Bambang Kussriyanto
Sejarah Gereja Katolik Indonesia
Pasca 1970
BAB I
GEMURUH PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN
(1970-1979)
“Kemajuan yang sejati
terwujudkan dalam tata-ekonomi yang dimaksudkan demi kesejahteraan pribadi
manusia, bila rezeki sehari-hari yang diterima setiap orang memantulkan
kehangatan kasih persaudaraan dan uluran tangan Allah” (St Paulus VI,
Populorum Progressio 86)
“Manusia berziarah ke depan, melangkah maju dalam menguasai
dunia: pikiran, studi dan pengetahuan mengantarkan penguasaan atas dunia itu; kerja,
alat dan prasarana serta teknologi menjadikan penguasaan ini kenyataan yang
indah. Apa gunanya kemajuan ini bagi manusia? Untuk membantu agar hidup lebih
baik dan lebih penuh. Manusia mencari kepenuhan hidup dalam waktunya yang
terbatas - dan sedang berusaha
mencapainya. Kepenuhan hidup itu haruslah universal, artinya, diperuntukkan
bagi semua orang. Maka manusia mengusahakan pemerataan hasil kemajuan bagi
semua orang; mengusahakan kesatuan, keadilan, keseimbangan dan kesempurnaan,
yang kita sebut Perdamaian.
1973
Damai itu
niscaya, jika sungguh dikehendaki; dan karena niscaya, damai menjadi wajib.
Ditegakkan
dan dibangun atas kebenaran, dalam keadilan, kasih dan kebebasan, damai
diharapkan berlangsung berabad-abad mendatang; mulai dari 1973, kerjakan
keniscayaan damai dan wujudkan kenyataannya. Inilah rancangan yang dipaparkan
almarhum Paus Yohanes XXIII dalam Ensiklik "Pacem in Terris," yang
akan kita sambut ulang-tahunnya yang ke-10 pada bulan April 1973. Dan setelah
sepuluh tahun dengan penuh hormat dan syukur kita dengarkan suara kebapakan
Paus Yohanes XXIII, kita percaya bahwa kenangan semangat besar yang ia nyalakan
di dunia niscaya menguatkan hati untuk membuat resolusi-resolusi yang makin kokoh dan baru bagi perdamaian di
dunia. Kami menyertai Anda.
Demikian pesan perdamaian yang disampaikan oleh Paus Paulus
VI dalam membuka tahun baru 1973 pada Hari Perdamaian Sedunia 1 Januari 1973.
Pada tanggal 8 Januari perundingan damai antara AS dan
Vietnam Utara dibuka lagi di dekat Paris. Perundingan ini berusaha mengakhiri
keterlibatan AS dalam Perang Vietnam dan selanjutnya dituangkan dalam
Perjanjian Damai 1973 Paris. Perjanjian itu ditandatangani pihak-pihak yang
bertikai, yaitu AS, Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Republik Vietnam
(Vietnam Selatan), dan Republik Vietnam Selatan (PRG) pada tanggal 27 Januari
1973 di Paris, Prancis. PRG mewakili gerilyawan komunis Vietnam Selatan.
Perjanjian Damai Paris 1973 menetapkan parameter yang wajib
dilakukan pihak-pihak demi perdamaian dan penyelesaian Perang Vietnam. Salah satu yang utama adalah bahwa seluruh
pasukan Amerika harus meninggalkan
Vietnam. Selain itu pihak Vietnam Utara dan Selatan diberi kesempatan
untuk berunding, untuk mengatur pemerintahan bersama dan mengakhiri perang
saudara yang terjadi di antara mereka selama 30 tahun. Akhirnya Perjanjian
Paris juga mengatur pertukaran tawanan perang dan penarikan pasukan dari
Kampuchea dan Laos.
Di Indonesia
para pemimpin dan anggota Partai Katolik mengungkapkan kemasygulan hati mereka
bahwa partai yang mereka cintai selama 50 tahun akan meleburkan diri dalam
bentuk lain, adalah gambaran momentum, peristiwa, figur penting sesaat sebelum
dan selepas fusi 10 Januari 1973. Demikianlah setelah proses dan perkembangan
awal fusi hingga Kongres Surabaya, pembentukan fraksi bersama tidak secara cair
dan otomatis membawa kelima parpol melebur bersatu. Terlampau banyak perbedaan
dalam parpol yang sulit diselesaikan. PNI misalnya mengusulkan mekanisme hasil
pemilu sebagai cara untuk mengurangi jumlah parpol (posisi ini masih terus
bertahan hingga pertemuan 8 Januari 1973 dengan Pangkopkamtib Jendral Sumitro).
Tetapi parpol kecil menolak gagasan ini karena otomatis mengakhiri
eksistensinya. Parkindo dan Partai Katolik (atas prakarsa Kasimo dan Da Costa)
mengusulkan penggabungan sebagai “kerjasama” – diberi nama Partai Kristen
Demokrat– sebagai langkah awal untuk melakukan fusi yang lebih luas dengan
partai lain. Gagasan ini pun tidak pernah terealisasi. Pemerintah melakukan berbagai tekanan rekayasa
untuk mempercepat kebijakan “hanya tiga bendera” dalam Pemilu berikutnya,
dengan penggarapan daerah-daerah untuk fusi kepartaian lokal. Di bawah tekanan
fusi daerah-daerah yang disponsori pemerintah, pimpinan Kelompok Demokrasi
Pembangunan mengeluarkan SK No. 42/KD/1972, 24 Oktober 1972 yang menegaskan
kemungkinan rintisan sementara menuju fusi. Dalam berbagai pertemuan, tiga
kemungkinan nama muncul, masing-masing: 1). Partai Demokrasi Pancasila. 2).
Partai Demokrasi Pembangunan. 3). Partai Demokrasi Indonesia. Akhirnya nama
terakhir yang disepakati dengan kesadaran bahwa “demokrasi Indonesia” merupakan
suatu kesatuan pengertian.
Setelah melewati proses melelahkan, akhirnya pada 10 Januari
1973, tepat pada pukul 24.00, Deklarasi Fusi ditandatangani oleh wakil
masing-masing parpol, yakni Mh. Isnaeni dan A. Madjid (PNI), A. Wenas dan Sabam
Sirait (Parkindo), Ben Mang Reng Say dan FX. Wignjosumarsono (Partai Katolik),
A. Sukarmadidjaja dan M. Sadrie (IPKI) dan S. Murbantoko dan J. Pakan (Murba).
Hasil fusi disiarkan secara luas lewat konferensi pers tanggal 11 Januari yang
dipimpin Ben Mang Reng Say dan didampingi oleh Isnaeni, Wenas, Sukarmadidjaja,
dan Murbantoko.
Pada tanggal 13 Januari 1973 dibentuk Majelis Pimpinan Pusat
(MPP) di mana masing-masing unsur diwakili 5 orang dan sekaligus dibentuk DPP
yang terdiri dari 11 orang dengan komposisi unsur 3:2:2:2:2 di mana posisi
Ketua Umum diberikan pada PNI dan Sekjen Koordinator pada Parkindo sesuai
dengan urutan perolehan suara historis Pemilu 1971.
Susunan lengkap dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) adalah:
Ketua umum : Mh. Isnaeni; Ketua: A. Sukarmadidjaja; Ketua: Ben Mang Reng Say;
Ketua: A. Wenas; Ketua: Sugiarto Murbantoko; Ketua: Sunawar Sukowati; Sekjen
Koord :Sabam Sirait; Sekjen:W.A Chalik; Sekjen: FS Wignjosumarsono; Sekjen:
John Pakan; Sekjen:Abdul Madjid.
DPP dilengkapi lima departemen masing-masing dengan satu
ketua dan satu wakil, yakni Departemen Politik (Usep Ranuwidjaja dan John
Pakan), Departemen Ekubang/Kesra (Sukarmadidjaja dan Sabam Sirait), Departemen
Penerangan (Wenas dan Samosir), Departemen Pendidikan Kader/Pembinaan Massa (A.
Madjid), dan Departemen Organisasi (Wignjosumarsono dan Tagor Harahap). Setelah
fusi banyak politisi Kristiani justru berkiprah dalam Golkar ketimbang dalam
PDI. Suatu pertanyaan besar yang memerlukan jawaban: “Siapakah yang dapat
menjadi saluran aspirasi politik umat Kristiani dan bagaimana cara menyalurkan
aspirasi itu di masa depan?”
Partai-partai spiritual material Islam bergabung dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yaitu Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat
Islam Indonesia/PSII, dan Perti.
Pengadilan Federal Amerika Serikat menyatakan para pencuri
data pemilihan presiden di Watergate bersalah pada 15 Januari. Sementara
menurut prosedur tata-negara petahana Richard Nixon, pemenang pemilihan
presiden, walaupun terindikasi melakukan kecurangan menyangkut pencurian data
pemilu dalam perkara Watergate, tetap dilantik menjadi Presiden AS untuk masa
bakti kedua di Washington, D.C pada 20
Januari 1973.
Minyak bumi di Indonesia ditemukan sekitar tahun 1780-an
pertama-tama di Sumatera. Pemerintah kolonial Belanda membolehkan pengusaha
Belanda menambang minyak di tanah jajahan Hindia Belanda (Indonesia) dengan
memberikan sistem konsesi (sewa tanah) di mana perusahaan menguasai hasil
tambang dan membayar royalti kepada pemerintah sesuai hasil produksi minyak
suatu daerah. Setelah kemerdekaan dan berakhirnya masa konsesi pada tahun
1960-an, pemerintah Indonesia memperbarui sistem perjanjian pertambangan dengan
“kontrak kerja” (contract of work)
dengan perusahaan minyak lama, untuk waktu yang lebih pendek, yang intinya
adalah pembagian keuntungan. Tetapi untuk perusahaan-perusahaan baru, pada
tahun 1967 pemerintah memberlakukan generasi perjanjian kerja pertambangan minyak
yang disebut “bagi hasil” (production
sharing) atas minyak yang diproduksi dan melakukan pemasaran. Beberapa
perusahaan asing yang mengikuti sistem “production
sharing” 1967 adalah Refican, IIAPCO, Japex dan Kyushu, Unocal (Union).
Setelah melakukan penelitian eksplorasi pencarian sejak 1968, Unocal menemukan
ladang minyak Attaka di 12 mil lepas pantai Kalimantan Timur, yang merupakan
Cekungan Kutei, pada tahun 1970. Hingga tahun 1971 dilakukan pemboran
konfirmasi atas 50 sumur, dan pendirian 6 anjungan pengembangan pertambangan. Pada 22 Januari 1973 Presiden Soeharto
meresmikan lapangan produksi minyak Attaka dan terminal produksi Santan di
Tanjung Santan. Attaka pada waktu itu menghasilkan rata-rata 21.512 barel
minyak per hari atau sekitar 7,8 juta barel setahun.
Candi Borobudur di Jawa Tengah dibangun sekitar tahun 800 Masehi, pada masa itu terdapat dua dinasti yang berkuasa di Jawa, yakni Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu dan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Dinasti Syailendra memindahkan pusat kerajaan yang bermula di Jawa Tengah ke Jawa Timur. Kepindahan itu menyebabkan Candi Borobudur terbengkalai karena ditinggalkan. Erupsi gunung menyebabkan candi terkubur material vulkanik dan lama-kelamaan menjadi semacam bukit. Candi itu diketemukan lagi pada tahun 1815, sewaktu Inggris menguasai Jawa di bawah pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles menerima laporan dari bawahannya tentang keberadaan suatu candi yang tertutup tanah dan semak belukar. Raffles memerintahkan H.C. Cornelius untuk mengadakan survai lapangan. Dilakukan pembersihan pohon-pohon, semak-semak, serta menyingkirkan runtuhan-runtuhan batu sehingga Candi tampak kembali. Pemerintah Hindia-Belanda, pada tahun 1907, di bawah pimpinan van Erp melanjutkan tugas pemugaran Candi Borobudur untuk pertama kalinya, dengan dana f 34.600 dan van Erp berhasil menyelesaikan tiga lapis hingga stupa induk, sementara itu diduga masih ada lapisan bawah yang tertimbun tanah. Setelah kemerdekaan RI, Pemerintah Indonesia melihat kondisi bebatuan Candi Borobudur semakin kritis, dan pada tahun 1955 meminta bantuan UNESCO untuk memeriksa penyebab kerusakan dan mengidentifikasi cara mengatasinya. Setelah beberapa tahun penelitian, UNESCO mengorganisasi bantuan internasional untuk penyelamatan Candi Borobudur dengan upaya pemugaran menyeluruh. Pada 29 Januari 1973 dilaksanakan Konvensi Cagar Budaya Dunia di bawah UNESCO untuk pemugaran Candi Borobudur yang menghasilkan suatu perjanjian donor internasional membiayai pekerjaan pemugaran Candi yang dirancang berlangsung sepuluh tahun antara 1973-1983. Selama satu dekade, tim ahli dikerahkan untuk mengokohkan fondasi, membersihkan 1.460 panel relief, membongkar lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Dana internasional sekitar AS$ 7 juta dibentuk dalam suatu Dana Trust (Trust Fund).
Bicara soal dana internasional AS mengalami tekanan neraca
pembayaran negatif yang memuncak dan dalam persaingan ekonomi dengan Jepang dan
negara-negara Eropa Barat mengakibatkan dollar di pasar uang internasional
didevaluasi 11% pada 13 Februari 1973. Ini pada gilirannya membuat harga emas
melonjak.
Pembaruan Gereja terus bergulir ketika pada 27 Februari 1973
Paus Paulus VI menerbitkan surat konstitusi apostolik berupa motu proprio “Quo
aptius” yang membubarkan Kanselaris pengumpulan dana untuk karya misi dan
mengalihkan tugas itu pada Sekretariat Vatikan. Kemampuan pengumpulan dana
Vatikan menurun dengan akibat pengurangan pendanaan biaya karya misi, yang dengan
sendirinya mendorong usaha kemandirian di wilayah misi atau di daerah-daerah
hirarki yang masih muda termasuk Indonesia. Kemampuan umat setempat untuk
membiayai kegiatan Gereja perlu ditingkatkan.
Senin, 12
Maret 1973, Sidang Umum MPR hasil Pemilihan Umum 1971 dimulai. Dalam sidangnya,
MPR mempunyai empat acara, yaitu : 1) Menetapkan GBHN; 2) Memilih Presiden dan
Wakil Presiden; 3) Membahas Perubahan dan ketetapan-ketetapan MPR; 4)
Mengeluarkan ketetapan-ketetapan baru MPR sesuai keperluan.
Pada pembukaan Sidang Umum itu Presiden Soeharto
menyampaikan pidato pertanggung-jawaban. Presiden mengatakan bahwa usaha-usaha
stabilitas ekonomi dan pembangunan merupakan langkah yang sangat penting untuk
memberi isi kepada kemerdekaan nasional
antara lain kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa yang maju dan cerdas
dalam masyarakat berdasarkan Pancasila. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa
stabilitas ekonomi bukan saja merupakan landasan bagi suksesnya pelaksanaan
Repelita, tetapi sebaliknya Repelita itu sendiri juga mempunyai fungsi lebih
memantapkan stabilitas ekonomi.
Disampaikan
pula bahwa dasar pokok politik luar negeri Indonesia meliputi: 1) Memurnikan
kembali pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif, dan tetap
anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala manifestasinya. 2) Politik luar
negeri yang diabdikan untuk kepentingan nasional, khususnya pembangunan. 3)
Turut ambil bagian dalam usaha mewujudkan perdamaian dunia, kususnya stabilitas
Asia Tenggara, tanpa mengurangi kemampuan kita untuk melaksanakan pembangunan
nasional.
Hasil dari sidang MPR tahun 1973 antara lain:
* Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor I/MPR/1973 tentang Peraturan TataTertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat
* Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor : IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
* Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor : IX/MPR/1973 tentang Pengangkatan Presiden.
Membahas rancangan ketetapan tentang
"Pelimpahan Tugas dan Kewenangan kepada Presiden/Mandataris Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk melaksanakan Tugas TAP MPR No. X/MPR/1973
Pembangunan" yang telah dipersiapkan oleh Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Dan demi
tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sesuai dengan
cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945 menugaskan kepada Presiden/ Mandataris
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk dalam waktu 5 tahun: Melanjutkan pelaksanaan Pembangunan Lima
Tahun dan menyusun serta melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun II dalam
rangka Garis-garis Besar Haluan Negara; Melanjutkan penertiban dan pendaya-gunaan
aparatur negara di segala bidang dan tingkatan; Menata dan membina kehidupan
masyarakat agar sesuai dengan Demokrasi Pancasila; Melaksanakan politik Luar
Negeri yang bebas aktif dengan orientasi pada kepentingan Nasional.
Realisasi penyederhanaan partai-partai dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Hasil fusi penggabungan partai-partai adalah:
* Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari partai Islam yaitu
Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti
* Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari PNI, Partai Kristen
Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam
PDI.
+ Golongan
Karya (Golkar) yang semula bernama Sekber Golkar. Golkar tidak mau disebut
sebagai partai. Ini karena citra partai di masyarakat pada saat itu sedang
buruk, sebagai akibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI)
Ide untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi
dalam kehidupan berbangsa sebenarnya sudah muncul sejak 1970-an. Namun dalam Sidang Umum MPR pada
1973Fraksi Karya Pembangunan (FKP-Golkar) atas prakarsa pemerintah mengusulkan kembali
pembahasan gagasan tentang pencantuman asas tunggal Pancasila dalam organisasi
politik. Namun gagasan tersebut mendapat penolakan terutama dari Partai Fraksi
Persatuan (FP-PPP).
Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai politik,
Soeharto dipilih kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No
IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat ini, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.
Dari akhir 1960-an dan awal 1970-an di Indonesia pertambahan
organisasi gereja Kristen Protestan sangat fenomenal. Ada lebih dari seratus
denominasi gereja baru, terutama dari lingkaran Evangelis dan Pentakosta dengan
gerakan karismatik kebangunan rohani, muncul meramaikan pewartaan Injil, namun
juga dengan menimbulkan masalah sosial keagamaan ketika cara-cara yang
digunakan mengusik kaum muslim. Rencananya akan digelar Sidang Raya Dewan
Gereja (Protestan) Dunia (DGD) di Indonesia pada 1975. Dalam rangka ekumene
dengan maksud “mencari persaudaraan di antara semua orang yang percaya kepada
Kristus” (PKUKI 1970 no. 55) MAWI berusaha menghimpun informasi dan mengenali dengan lebih baik gereja-gereja
yang menjadi anggota Dewan Gereja Indonesia (DGI), Dewan Gereja Dunia (DGD) dan
pendatang-pendatang baru yang berada di luar lingkaran DGI. Menjelang Hari Raya
Pentakosta 1950 terbentuklah badan persatuan ekumene yang disebut Dewan
Gereja-gereja di Indonesia (DGI, pada waktu itu terdiri dari 29 Gereja
Protestan). Sejak didirikan DGI telah mengadakan Sidang Raya tahun 1950, 1953 bertemakan
“Yesus Kristus Harapan Dunia”, 1956 bertema“Keesaan kita dalam Kristus dan
perpecahan selaku gereja” , 1960 dengan tema “Yesus Kristus Terang Dunia”, 1964
dengan tema “Yesus Kristus Gembala yang Baik”, 1967 , bertema “Tengoklah Aku
Jadikan Semuanya Baru” dan sub tema “Pembaharuan Manusia, Gereja, dan
Masyarakat” dan 1971 bertema “Disuruh Ke Dalam Dunia” dan Sub tema “Tugas kita
dalam Negara Pancasila yang Membangun”. Selanjutnya Sidang Raya DGI akan
diselenggarakan setiap 4 tahun. Atas permintaan 2/3 anggota dapat juga
diselenggarakan Sidang Raya Istimewa untuk hal-hal luar biasa. Sehari-hari DGI
mempunyai struktur Badan Pekerja Harian yang terdiri dari seorang Ketua Umum,
tiga orang Ketua, seorang Sekretaris Umum, seorang Bendahara dan 7 orang
anggota. Dalam Sekretariat Umum, terdapat komisi-komisi (antara lain Komisi Keesaan dan Kesaksian meliputi
bidang pekabaran Injil, bidang pelayanan rohani Angkatan Bersenjata, bidang
pelayanan wanita, bidang pelayanan pemuda, bidang keesaan, bidang studi dan
penelitian; Komisi Pelayanan dan Pembangunan meliputi Pusat Pembangunan,
Program Pedesaan dan Pembangunan Masyarakat Petani, Program Pembangunan
Masyarakat Nelayan, Program Gereja Kota dengan Biro Penempatan Kerja, Koperasi
Simpan Pinjam, Pusat Kejuruan untuk Pemuda dll. Bidang Kesehatan, Bidang Sosial
dan Kesejahteraan Keluarga, Bidang Keluarga Berencana, Panitia Pembangunan GKI
Irian Jaya, Panitia Hidup Baru (Pelayanan Tahanan Politik); Komisi Pendidikan dan Komunikasi
meliputi Komisi Pendidikan Agama Kristen, Bidang Teologia, Komisi Bea Siswa,
Institut Ekumene Indonesia, Bidang Komunikasi/Yakoma). Pada tahun 1973
gereja-gereja yang bergabung dalam DGI berjumlah hampir 50 Gereja.
Pemerintah mengumumkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) 1973/1974 yang adalah APBN tahun terakhir dalam rangka
pelaksanaan PELITA I 1969/1970 - 1973/1974. Oleh sebab itu Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1973/1974 tetap mengikuti skala prioritas
nasional seperti yang tercantum didalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
Pengutamaan sektor pertanian, khususnya produksi pangan dan ekspor mengandung
arti bahwa sektor yang menunjang sektor pertanian terus diperkembangkan,
sedangkan kegiatan-kegiatan lainnya tetap akan dilakukan dalam kadar dan
intensitas sesuai dengan prioritas pembangunan nasional. Melalui pembangunan
sektor ekonomi seperti demikian itu, usaha peningkatan dan perbaikan taraf
hidup rakyat banyak diharapkan akan dapat terwujud. Dalam pada itu, kebijakan
anggaran berimbang yang dinamis terutama dimaksudkan untuk menyesuaikan
pengeluaran dengan penerimaan sedemikian rupa sehingga tabungan Pemerintah
dapat terus ditingkatkan dalam rangka meningkatkan pembangunan dengan kemampuan
sendiri. Jumlah seluruh Pendapatan Negara Tahun Anggaran 1973/1974 menurut
perkiraan berjumlah Rp.862,4 milyar. Pendapatan Rutin ditaksir berjumlah Rp.
671 milyar. Pendapatan Pembangunan dirancang berjumlah Rp. 191,4 milyar. Pada
sisi penggunaannya, Anggaran Belanja Rutin dipatok berjumlah Rp. 518.3 milyar.
Anggaran Belanja Pembangunan Rp.344.1 milyar. Jumlah seluruh Anggaran Belanja
Negara Tahun Anggaran 1973/1974 menurut perkiraan berjumlah Rp.862.4 milyar.
Dalam tahun 1973, pemerintah mewajibkan anak-anak berusia
7-12 tahun untuk mengenyam pendidikan Sekolah Dasar biasa disebut sebagai wajib
belajar 6 tahun. Secara umum tujuan pendidikan sudah dinyatakan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Bab XII pasal 31: a). Masing- masing penduduk negeri
berhak mendapat pengajaran; b). Pemerintah mengusahakan serta menyelenggarakan
satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Soal tersebut
kemudian dikuatkan dalam pasal 4 ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966, dan berikutnya
disebutkan tentang isi pendidikan wajib: a). Mempertinggi mental, moral, budi
pekerti, serta menguatkan kepercayaan beragama; b). Mempertinggi kecerdasan
serta keahlian; c). Membina/mengembangkan fisik yang kuat serta sehat. Usaha pemerintah untuk memperluas peluang
mendapatkan pendidikan dasar mulai diwujudkan pada 1973. Dengan melimpahya
pendapatan pemerintah dari kenaikan harga minyak, pemerintah memeratakan
pembangunan pendidikan, antara lain lewat Inpres Nomor. 10 tahun 1973 tentang
program dorongan pembangunan Sekolah Dasar. Tujuan kebijakan ini adalah perluasan
kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan bagi
penduduk berpenghasilan rendah, serta untuk mengentaskan masalah buta huruf di
Indonesia. Tahap pertama program SD Inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD
yang masing-masing memiliki tiga ruang kelas. Dalam pelaksanaan dan perkembangannya
di kemudian hari, penggelontoran program SD Inpres mengubah situasi
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dengan monopoli pemerintah atas pendidikan,
mengubah sisi penawaran dan memukul persekolahan swasta, termasuk
sekolah-sekolah Katolik, dalam perebutan murid baru dan dalam pembiayaan
operasional sekolah.
Bendungan Riam Kanan Barito di Kalimantan Selatan yang
dibangun sejak 1963 sebagai proyek Kementerian Pekerjaan Umum dengan pengawasan
konstruksi (dam, power house serta fasilitas lain) dari Hazama Gumi Jepang
diselesaikan pada awal 1973. Untuk pekerjaan yang berurusan dengan metal dan
logam (gates, penstok, surge tank) dilaksanakan
oleh kontraktor Nippon Kokkan; untuk instalasi mesin-mesin perlistrikan
dikerjakan oleh kontraktor Fuji Electric dan Toyomenka; sedangkan pembangunan
jaringan transmisi beserta stasiun-stasiunnya dikerjakan oleh kontraktor Indonesia
yaitu PT. Wijaya Karya. Proyek ini dibangun atas bantuan pemerintah Jepang entah
berupa dana hibah atau pinjaman pembangunan. Presiden Soeharto meresmikan
penggunaan Bendungan dan Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Riam Kanan, di
Kalimantan Selatan, pada 30 April 1973. Waduk Riam Kanan berada di Aranio, yang
aslinya bernama Arnawal, tetapi karena para pekerja Jepang kesulitan melafalkan
Arnawal, mereka sering menyebutnya Aranio. Bendungan ini dimanfaatkan untuk
irigasi sawah seluas 7.012 hektar dengan konsumsi air 10,161 m3 per detik,
memenuhi kebutuhan perikanan dimana tercatat 290 kolam ikan dengan total luas
326,26 hektar yang memerlukan air 6,918 m3 per detik, serta untuk kebutuhan air
minum melalui PDAM Banjarbaru dengan kebutuhan air 150 liter per detik dan PDAM
Banjarmasin dengan kebutuhan air 1.100 liter per detik. Selain itu bendungan
juga dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) berkapasitas 30 MW
untuk Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Pada masa itu Keuskupan Banjarmasin merupakan wilayah
Gerejawi yang sangat luas, meliputi Kalimantan Selatan (kabupaten Banjar,
Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Tanah
Laut, Tabalong, Tapin, Kota Baru dan Kota Banjarmasin) dan Kalimantan Tengah (kabupaten Barito Selatan, Barito Timur,
Barito Utara, Murung Raya, Kuala Kapuas, Gunung Mas, Kota Waringin Timur, Kota
Waringin Barat, Katingan, dan Kota Palangka Raya). Dalam catatan statistik 1970,
jumlah umat 7.778 tersebar di 11 paroki (Ampah, Banjarmasin-Katedral,
Banjarmasin-Rantauan Timur, Banjarmasin Veteran, Buntok, Kuala Kapuas, Muara
Teweh, Palangka Raya, Pangkalan Bun, Puruk Cahu dan Sampit) dan dilayani 11
imam religius MSF. Gambaran Keuskupan Banjarmasin adalah medan yang sangat luas
dan relatif berat, kebanyakan umat miskin, hidup terpencil di tengah masyarakat
yang dalam hal keagamaan tidak ramah (95% Islam, 1% Protestan, 0.4% Katolik,
Hindu 0,3%, Buddha 0,7%, Kepercayaan 0,6%).
Karena usia tua dan faktor kesehatan, Uskup Keuskupan Malang
Mgr. Antoine Everard Jean Avertanus Albers, O. Carm yang telah melayani dari 28
Januari 1935 mengundurkan diri pada 1 Maret 1973 dan digantikan oleh Mgr.
Fransiskus Xaverius Sudartanta Hadisumarta, O. Carm. Dalam masa pelayanannya,
Mgr Albers O. Carm memberi banyak perhatian pada karya pendidikan melalui
Yayasan Karmel yang didirikan pada 1927. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh
Yayasan Karmel berjumlah 140 unit di wilayah Keuskupan Malang, yang meliputi
Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah
Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Perubahan situasi penyelenggaraan
pendidikan di kemudian hari dengan munculnya SD Inpres memberi pukulan keras
pada karya Yayasan Karmel, yang pada tahun 1974 saja terpaksa menutup 24 unit
sekolahnya.
Setiap kali muncul berita tentang Mahmilub sehubungan G30S
1965, terasakan kegetiran. Dalam Mahmilub, Suwandi, Sekretaris CDB PKI Jawa
Timur, dijatuhi hukuman mati berdasar Putusan Mahkamah No. 520/K/1973, tanggal
11 Juni 1973.
Pengembangan industri plastik di Indonesia dimulai menjelang
pertengahan tahun 1960-an, dengan berdirinya pabrik-pabrik yang memproduksi
aneka ragam kebutuhan rumah tangga seperti keranjang, ember dan sandal jepit.
Selanjutnya pada tahun 1970-an, hampir semua jenis barang plastik, termasuk
bijih plastik polymerisasi polyester yaitu sejenis serat sintetis yang
digunakan untuk industri tekstil, telah dapat diproduksi di Indonesia. Kini
dikenal berbagai barang plastik terutama untuk berbagai ragam kemasan buatan
dalam negeri, mulai dari kebutuhan tradisional sampai kepada kebutuhan yang
lebih canggih seperti untuk komputer, telepon, radio, tape recorder, televisi,
video, bagian-bagian mobil, kapal pesawat terbang dan sebagainya. Pada 18 Juli
1973 pabrik polypropylene di Kilang Pertamina Plaju, Palembang, Sumatera
Selatan beroperasi memperkuat hulu industri plastik.
Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan
keragaman didalamnya. Keragaman tersebut dimulai dari keragam suku bangsa
sampai pada keragaman agama yang dianut. Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan
Budha merupakan agama yang sudah ada sejak dulu. mereka bebas melaksanakan
ajaran agamanya sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Dengan adanya
keragaman suku, agama juga pandangan politik membuat terbukanya celah untuk terjadi
konflik di Indonesia. Salah satu contoh yaitu saat dilakukan pembahasan
mengenai rancangan undang-undang tentang perkawinan. Banyak kalangan yang pro
dan kontra terhadap permasalahan rancangan undang-undang perkawinan. Isu
dibentuknya rancangan undang-undang perkawinan menjadi permasalahan yang
disorot dari berbagai kalangan partai politik dan agama karena perkawinan
merupakan hal yang menyeluruh di kalangan masyarakat. Sehingga mereka berusaha
menjadikan rancangan undang-undang perkawinan sesuai dengan aturan yang mereka
percayai. Pemerintah terutama DPR sebisa mungkin merumuskan pasal-pasal
perkawinan yang tidak menyinggung salah satu agama dan tidak menimbulkan
problematika lain dikalangan masyarakat. Mengingat pentingnya persatuan yang
harus dijaga dan undang-undang tentang perkawinan merupakan aturan yang
menyeluruh dikalangan masyarakat. proses pembentukan Undang-undang Perkawinan
di Indonesia mengundang perhatian yang sangat besar dari seluruh lapisan
masyarakat Indonesia.
Hukum perkawinan yang berlaku setelah penjajahan Belanda
dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1). Bagi orang-orang Indonesia asli
yang bergama islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi dengan hukum adat.
Bagi orang-orang Indonesia lainya yang beragama selain Islam berlaku hukum
adat. 2). Orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie christen Indonesia (HOCI)
dalam Staatsblad 1933 No.74. 3.
Orang-orang timur asing, Eropa dan orang Indonesia keturunan Cina ditulis dalam
staatsblad 1933 No 73, kitab
undang-undang hukum perdata (BW) yang digunakan untuk orang Eropa dan keturunan
Cina, dan peraturan tentang perkawinan campuran yang diatur dalam staatsblad 1898 No. 158.
Setelah kemerdekaan RI diperlukan hukum nasional tentang
perkawinan. Tahun 1946 banyak terjadi permasalahan perkawinan pada orang-orang
Islam. hal ini disebabkan karena tidak adanya kodifikasi hukum perkawinan untuk
penganut Islam. Orang yang beragama Islam berpedoman pada kitab-kitab fiqh
seperti kitab Imam Syafii, misalnya. Karena banyak terjadi perbedaan dalam
menerapkan hukum maka timbul banyak permasalahan. Kemudian pada tanggal 26
November 1946 pemerintah mulai membuat peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk yang diberlakukan di Jawa dan
Madura disahkan oleh Presiden Soekarno di Linggarjati. Kemudian diberlakukan
juga di wilayah Sumatera. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 sebatas mengatur
nikah, talak, dan rujuk sehingga hanya mengatur hukum acara. Sedangkan materi
hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan perkara untuk orang Islam
masih bersumber pada kitab-kitab fiqh. Sebagai bukti Statuta Batavia 1642 menyebutkan
bahwa sengketa waris antara orang pribumi yang beragama Islam diselesaikan
menggunakan hukum Islam. Selain itu digunakan kitab Muharrar dan Pepakem
Cirebon, dan beberapa kitab lain dari hukum Islam yang digunakan di daerah
lain. Dengan adanya perbedaan sumber-sumber hukum yang digunakan tentu akan
menghasilkan putusan hukum yang berbeda untuk kasus yang sama. Selain itu
pemahaman umat Islam di Indonesia terhadap kitab-kitab fiqh juga berbeda-beda sehingga
menimbulkan kasus-kasus baru seperti perkawinan paksa, perkawinan anak dan poligami.
Pada tahun 1930 berdiri organisasi perempuan yang menentang
keras poligami yaitu Gerakan Wanita Isteri Sedar (GEWIS). Dalam Indische Verlagh tahun 1930 terdapat
catatan data yang menyebutkan jumlah
laki-laki yang beristri satu orang sebanyak 11.418.297 orang (97,5%) sedangkan
yang berpoligami berjumlah 302.726 orang (2,5%). Maraknya poligami membuat
permasalahan keluarga semakin rumit dan pihak istri merasa hak-haknya sebagai
perempuan tidak dilindungi. Pendapat GEWIS dalam menentang poligami mendapatkan
kecaman dari organisasi perempuan Islam. Tahun 1932 organisasi Aisyiah menyatakan
bahwa kedudukan perempuan dalam Islam tidak direndahkan oleh poligami yang diperbolehkan dan sah dalam
Islam.
Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) yang dibentuk
tahun 1945 aktif membela hak-hak kaum perempuan dalam bidang politik,
perkawinan dan pekerjaan. Selain PERWARI, organisasi Gerakan Wanita Isteri
Sedar (GEWIS) yang telah disebutkan, pada perkembangan selanjutnya berubah
menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Kedua organisasi ini merupakan organisasi
perempuan yang giat menyoroti permasalahan perempuan dalam keluarga. Mereka
gencar menuntut diadakannya undang-undang perkawinan yang baru. Ketika
pemerintah menetapkan peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 1952 yang berlaku
untuk seluruh Indonesia Gerwani dan Perwari menolak peraturan yang melegalkan
poligami yang dilakukan pejabat sipil. Pada tanggal 17 Desember 1953 terjadi
demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh Perwari didukung organisasi lain,
dengan akibat semakin hari pergerakan Perwari semakin dibatasi. Pada tahun 1955
Perwari menyampaikan pendapat kepada pemerintah dalam masalah poligami bagi
pejabat-pejabat.
Saat ulang tahunnya yang ke 17 pada tangga 17 Desember 1962 Perwari
membuat pernyataan yang isinya mendesak lembaga pemerintah supaya segera mengundangkan
Rencana Undang-Undang Perkawinan demi kesejahteraan keluarga. Tuntutan ini
terus disuarakan oleh Perwari hingga tahun 1965 dengan terus bergerak aktif bersama
organisasi perempuan lainnya. Pada Mei 1967 ketika RUUP diajukan kepada DPR muncul
reaksi pro dan kontra dalam kalangan masyarakat baik dari masyarakat muslim
maupun dari masyarakat non muslim.tetapi mendapat penolakan dari Fraksi
Katolik. Alasan penolakan adalah karena DPR tidak dimaksudkan untuk membahas perkara
yang berhubungan dengan hukum agama. Setiap kali Pemerintah mengajukan usulan
RUU Perkawinan kepada DPR, Reaksi pro dan kontra terhadap RUU Perkawinan itu
muncul baik di kalangan para anggota DPR itu sendiri melalui fraksi-fraksinya
maupun di kalangan masyarakat Iuas yang disampaikan melalui tokoh-tokoh
masyarakat yang bersangkutan. Pada saat itu Pemerintah mengajukan dua RUU
Perkawinan, yaitu: (1) RUU tentang Pokok-pokok Perkawinan Umat Islam, dan (2)
RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan yang berlaku bagi golongan non-muslim. Kalangan
umat Islam menghendaki agar hukum perkawinan Islam yang selama ini berlaku
diangkat dijadikan undang-undang yang berlaku khusus bagi umat Islam. Sedang
golongan masyarakat lain terutama golongan non muslim sangat keberatan apabila
hukum (adat) perkawinan Islam dijadikan sebagai hukum positif bagi umat Islam. Kedua
RUU itu akhirnya dikembalikan lagi kepada Pemerintah karena salah satu fraksi (Fraksi
Katolik) menolak RUU yang pertama (RUU tentang Pokok-pokok Perkawinan Umat
Islam) meskipun fraksi-fraksi lain yang berjumlah 13 fraksi dapat menerimanya. Meskipun
perwakilan dari Fraksi Katolik hanya sedikit, yaitu 8 anggota dari 500 anggota
DPR tetapi pendapat mereka amat vokal dan membuat RUU Perkawinan kandas
berhenti dibahas. Fraksi Katolik di DPR menyatakan bahwa pembahasan RUU Pokok
Pernikahan umat Islam tidak termasuk bidang kompetensi parlemen dan pemerintah,
lepas dari soal baik dan buruk. Dengan kata lain, mereka menghendaki agar umat
Islam meninggalkan hukum perkawinan Islam khusus bagi dirinya, dan bersedia
mengikuti hukum perkawinan umum yang bersifat sekuler yang merupakan hukum
nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat.
Kemudian setelah Pemilu 1971 dan Fraksi-fraksi dalam DPR
disederhanakan, pada 31 Juli 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU Perkawinan
kepada DPR. Pada 30 Agustus 1973 pemerintah memberikan keterangan di hadapan
sidang pleno DPR. Ini dilakukan setelah sebelumnya Presiden menyampaikan surat
dengan lampiran naskah RUU kepada pimpinan DPR. Keterangan dari pemerintah pada
saat itu diwakili oleh Menteri Kehakiman Oemar Senoadji, Menteri Agama Mukti
Ali. Proses selanjutnya dilaksanakan mengikuti alur tata-cara pembentukan
undang-undang, yaitu penyampaian
pandangan dari anggota-anggota DPR yang diwakili juru bicara dari masing-masing
Fraksi. Masing-masing Fraksi mendapatkan waktu yang sama untuk memeriksa
pasal-pasal dalam naskah RUU dan menyampaikan pendapat masing-masing. Pada
waktu itu terdapat empat Fraksi DPR yaitu Fraksi Persatuan Pembangunan, PDI,
Karya dan ABRI. Pada tahapan ketiga, yaitu rapat kerja antar komisi DPR dengan
pemerintah yang diwakili para menteri, RUU diolah dengan dialog-dialog antara
pemerintah dan Fraksi-fraksi DPR. Proses dialog antara pemerintah dan DPR
bersifat sinkronisasi pendapat, demi mendapatkan pendapat yang sama dalam tiap-tiap
hal dan pasal. Proses yang terakhir adalah sidang pleno DPR dengan musyawarah
untuk mufakat mengesahkan undang-undang.
Salah satu masalah dalam RUU Perkawinan yang mempertajam
perbedaan pandangan adalah Perkawinan Campur, yang merupakan konsekuensi logis
dalam masyarakat pluralis. Dalam pandangan masyarakat Islam, cepatnya
pertumbuhan Gereja-gereja di Indonesia dikaitkan dengan praktek kawin campur
antara umat Kristen dan Muslim, sementara tidak ada peraturan
perundang-undangan mengatur soal itu. Beberapa pemuka agama Islam yang
berpengaruh menilai RUU Perkawinan bertentangan dengan hukum Islam karena
membolehkan kawin campur, atau menyatakan bahwa perbedaan agama bukan halangan
bagi perkawinan. Mereka mencurigai RUU Perkawinan merupakan alat kristenisasi,
bahkan dengan terus terang menyampaikan kecurigaan bahwa RUU Perkawinan adalah
“akal-akalan orang Katolik”, terutama orang-orang Katolik yang bekerja dalam CSIS
berada di balik RUU Perkawinan.
CSIS atau Centre for
Strategic and International Studies (Pusat Studi Strategis dan
Internasional) adalah wadah penelitian dan analisis para pemikir strategi
kebijakan politik, ekonomi, kebudayaan, keamanan dan hubungan internasional
yang didirikan antara lain oleh Ali Moertopo, Soedjono Hoemardhani, Harry Tjan
Silalahi, Rm Josephus Gerardus Beek SJ, Hadi Soesastro, Daoed Joesoef, Yusuf
Wanandi, pada 1 September 1971 di Jakarta. CSIS menerbitkan berkala Analisa
(sejak 1971) dan The Indonesian Quarterly
(sejak 1972), dan dalam kerjasama dengan Universitas Nasional Australia (ANU)
mengedarkan Bulletin of Indonesian
Economic Studies (BIES). CSIS mempunyai pengaruh besar pada pemerintah di
awal tahun 1970-an.
Figur Rm Josephus Gerardus Beek SJ mendapat sorotan khusus
sebab sejak akhir 1969 ia melakukan kaderisasi militan di kalangan kaum muda
Katolik (Kasebul) yang dicurigai membentuk semacam jaringan intelijen di
berbagai instansi pemerintahan, industri dan kemasyarakatan, dan tersebar di
seluruh Indonesia.
Nada getir dari Mahmilub G30S 1965 lagi. Ismail Bakri, Sekretaris
I CDB PKI Jawa Barat, dihukum mati berdasar Putusan Mahkamah No.
1/1973/PID.SUBV, tanggal 3 Oktober 1973.
Komisi Teologi Internasional memberi pencerahan tentang
konsep suksesi apostolik, di satu pihak bagi Gereja Katolik menjamin penerusan
ajaran Katolik sepenuhnya, di pihak lain menanggapi permintaan dialog
ekumenis. Studi ajaran tentang suksesi
apostolik ini di satu pihak demi
menguatkan saudara-saudara seiman, seraya memberi sumbangan pada perkembangan
dialog ekumenis yang matang.
Kendati berlainan dalam kadar penghargaan pada tahta Petrus,
Gereja Katolik, Orthodox, dan gereja-gereja lain yang meyakini suksesi
apostolik berbagi pengertian dasar yang satu tentang sakramentalitas Gereja,
yang berkembang dari Perjanjian Baru dan melalui para Bapa Gereja, khususnya
Ireneus. Gereja-gereja meyakini sifat sakramental dalam pelayanan berasal dari
penumpangan tangan dengan seruan kepada Roh Kudus, dan ini merupakan formula
yang mutlak bagi penerusan suksesi apostolik, yang memampukan Gereja selalu
setia kepada ajarannya dan selalu berada dalam persekutuan. Ini pulalah yang
menjadi jaminan kesetiaan tak pernah putus pada Kitab Suci, Tradisi dan
sakramen, sekaligus memberikan terang mengapa persekutuan di antara
gereja-gereja tersebut dengan Gereja Katolik tetap ada dan dewasa ini dapat
lebih dikembangkan.
Melaksanakan panggilan kasih dan perikemanusiaan, Romo
Werner Ruffing SJ pada 1973mulai berkarya di kalangan tahanan politik di Pulau
Buru. Kehadiran Romo Ruffing pada mulanya diterima dengan baik oleh para aparat
keamanan yang bertugas di Pulau Buru. Tetapi berangsur-angsur terjadi berbagai masalah
teknis dan prinsip antara Romo Ruffing dengan para aparat sehingga tiga tahun
kemudian ia dikeluarkan dari Buru. Namun, menyadari bahwa penolakan itu
bersifat pribadi, bukan penolakan umum terhadap ide pelayanan rohani, ia berusaha
mencari seorang pastor Yesuit lain yang mau dan lebih cocok menggantikan dirinya
di Pulau Buru. Upaya Romo Ruffing berhasil ketika ia bertemu dengan Romo Alexander
Dirdjasoesanta SJ. Saat itu Romo Alex Dirdja baru saja pulang dari India
mengikuti kursus Maxi (meditasi) Sadhana dari Pastor Anthony de Mello SJ. Romo
Alex dengan gembira menerima tawaran Romo Ruffing. Tahun itu juga ia berangkat
ke Pulau Buru. “Ini Santo Paulus, di
Atas Bukit Karang, kudirikan gerejaku,” kata Romo Alex Dirdjo SJ bangga ketika
sebuah gereja Katolik yang layak bagi para tahanan politik (tapol) bermula dari ide Lukas Tumiso, tapol
asal Surabaya akhirnya berhasil didirikan di Unit III kamp pembuangan Pulau
Buru. Karena keterbatasan bahan
bangunan, ia menggunakan sebuah bangunan bekas kandang ayam. Setelah
dibersihkan dari gurem dan sedikit perbaikan, gereja sederhana itu bisa
mengadakan kegiatan-kegiatan agama Katolik.
Joseph (Tapol Joseph Slamet Riadie) yang aslinya dari Probolinggo, Jawa
Timur, setelah setahun di Pulau Buru, mendapat tugas menjadi petugas Urusan
Agama (Uragam) Katolik atas rekomendasi dari Uskup Amboina Mgr Andreas P. C.
Sol MSC. Joseph Slamet Riadie mula-mula mengikuti bimbingan sebagai katekis di
Paroki Bintang Laut Namlea selama tiga bulan. Setelah itu, ia diminta memberi
pelajaran agama kepada penduduk setempat dengan bimbingan dua bruder Yesuit dan
Romo Werner Ruffing SJ. Joseph kemudian memberi pelajaran agama kepada sesama
tapol di bawah pengawasan Markas Komando (Mako). Ia memberikan renungan saat
ibadat sabda dan membagikan komuni. Renungan yang dibawakan harus mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari pimpinan Komandan Militer.
Usaha pemerintah dalam peningkatan ketertiban berlanjut
dengan membuat kebijakan menyederhanakan Organisasi Politik dan Organisasi
Sosial-Kemasyarakatan, termasuk Organisasi Tani, sekaligus kebijakan yang mengarus-utamakan
stabilitas politik untuk pertumbuhan ekonomi. Berkenaan Organisasi Tani, dalam
tahun 1973 juga, Ikatan Petani Pancasila (IPP) pusat meleburkan diri ke dalam
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Dengan demikian pendekatan organisasi
massa, termasuk kegiatan advokasi diintegrasikan ke dalam HKTI, sementara
pendekatan manajemen proyek dan pengembangan partisipasi masyarakat lokal dalam
Kelompok Swadaya Masyarakat di kelola oleh Yayasan Sosial Tani Membangun (YSTM)
yang selanjutnya bertranformasi menjadi Yayasan Bina Swadaya. Sebagai penerus
IPP, YSTM mengawali kegiatan dengan mengelola dua kegiatan yaitu : Pertama,
pengembangan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) / Self Help Group (SHG) kearah
pemberdayaan ekonomi rakyat lemah dan miskin. Kedua, penerbitan Majalah TRUBUS
(1969) untuk informasi pertanian yang kemudian berkembang menjadi media
komunikasi pembangunan. Berawal dari kedua kegiatan tersebut, muncullah
berbagai kegiatan baik karena pengembangan dari masing-masing kegiatan maupun
yang muncul karena interaksi dari keduanya sebagai respon terhadap kebutuhan
masyarakat yang dimungkinkan karena adanya kemampuan memanfaatkan kesempatan
yang ada. Selanjutnya “Bina Swadaya” dikenal umum sebagai suatu Lembaga
Pengembangan Sosial Ekonomi (LPSE).
Uskup Keuskupan Agung Makassar Mgr Nicolas Martinus
Schneiders, CICM yang telah melayani sejak 10 Juni 1948 pada tanggal 7 Agustus
1973 pensiun dan digantikan Mgr Theodorus Lumanauw. Pada 22 Agustus 1973 secara resmi Keuskupan
Agung Makassar berganti nama menjadi Keuskupan Agung Ujung Pandang.
Meletus Perang Arab-Israel yang keempat pada tanggal 6-25
Oktober 1973; perang ini sering disebut
Perang Yom Kippur artinya penebusan dosa, yaitu salah satu hari suci keagamaan
bagi umat Yahudi. Kemudian perang ini juga lazim disebut perang Ramadhan karena
meletusnya ketika umat muslim sedang melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Karena
itu pihak Israel tidak menyangka akan adanya serangan tiba-tiba dari pihak
Arab, yaitu serangan mendadak yang dilancarkan Mesir dan Suria pada daerah yang
diduduki Israel, pada hari Sabtu tanggal 6 Oktober 1973 pukul 14.00 waktu
setempat. Mesir menyerang sisi benteng Barlev di semenanjung Sinai di sebelah
selatan, sedangkan Suria langsung menyerang pos Israel di Dataran Tinggi Golan
di sebelah timur laut. Perang Arab-Israel keempat dilatarbelakangi kejengkelan
atas keengganan dan alotnya Israel mematuhi Resolusi Dewan Keamanan PBB No.
242/1967. Inti resolusi tersebut adalah bahwa Israel harus menarik mundur
pasukan-pasukannya keluar dari daerah-daerah Arab yang diduduki Israel dalam
perang 6 Hari 1967. Ketika perang Yom Kippur sudah memasuki minggu kedua, pihak
Arab dan Israel mulai kehabisan amunisi sehingga, sekutu masing-masing
mengirimkan bantuan. Baik Amerika Serikat yang pro Israel maupun Uni Soviet
yang pro Arab, keduanya mengirimkan bantuan pada pihak yang berperang. Nampak
perbedaan yang jauh antara kekuatan Arab dan Israel dari besarnya bantuan
persenjataan militer, sebab pada tanggal 22 Oktober 1973 Israel bahkan mampu
memukul mundur pasukan Mesir hingga hampir mendekati ibukota Kairo. Langkah
cepat segera diambil bangsa Arab untuk membantu Mesir dan Suria, dengan
mengeluarkan senjata pamungkas yaitu minyak. Negara-negara Arab penghasil
minyak (OAPEC) bersatu untuk menghalau Israel yang memperoleh bantuan Amerika
Serikat, dengan melakukan embargo kiriman minyak bagi siapapun yang membantu
Israel. Oleh karena embargo itu, kenaikkan harga minyak terjadi di pasar gelap
dan pengurangan produksi minyak mengakibatkan krisis minyak terutama di
negara-negara industri, sehingga memaksa negara-negara industri terutama Eropa
Barat dan Jepang berpikir dua kali untuk membantu Israel.
Sidang OPEC yang solider dengan OAPEC mencapai suatu
keputusan untuk menaikkan harga minyak secara sepihak, tanpa perundingan dengan
negara-negara konsumen. Langkah pertama yaitu, harga minyak akan dinaikkan dari
harga awal sebesar US$ 3.01 menjadi US$ 5.12 per barel. Langkah berikutnya
pengurangan produksi minyak sebanyak 5 % pada bulan Oktober ini, dan produksi
akan dikurangi 5% lagi di bulan November. Langkah yang lebih berani dilakukan
Arab Saudi dan Kuwait dengan mengurangi produksi minyaknya hingga 10% sampai
bulan November. Kenaikkan harga minyak dan pengurangan produksi itu pada mulanya
tidak mendapat tanggapan positif dari para pendukung Israel. Maka selanjutnya
pada tanggal 4 November 1973 OPEC kembali berunding di Teheran, Iran.
Perundingan kali ini, disepakati adanya pengurangan produksi minyak lebih
banyak, sebesar 25%. Dengan segera kelangkaan membuat harga minyak lepas
kendali hingga mencapai US$ 11,65 per barel. Kenaikkan harga minyak itu kurang
lebih sebesar 300 % dari harga semula. Perang Yom Kippur pun berakhir. Tetapi dampak
krisis minyak berkelanjutan melebar menjadi krisis energi, terutama karena di
banyak negara yang menggunakan produk minyak bumi sebagai bahan bakar utama pembangkit
tenaga listrik diesel. Sekalipun sangat berat, krisis minyak/energi 1973/1974
bagaikan blessings in disguise, rahmat terselubung, memacu upaya alternatif kreatif
untuk memulai diversifikasi penggunaan sumber-sumber energi alam dengan
memanfaatkan batubara, panas bumi, tenaga air, tenaga angin, tenaga surya dan
tenaga ombak.
Sidang MAWI diselenggarakan tanggal 12–22 November 1973, di
Gedung MAWI Jakarta. Dilakukan pemilihan Presidium MAWI baru sesuai Statuta.
Berdasarkan hasil pemilihan itu terbentuk Presidium MAWI 1973-1976 sebagai
berikut: Ketua Presidium Yustinus Kardinal Darmoyuwana. Wakil Ketua I Mgr Th
Lumanauw. Wakil Ketua II Mgr Donatus Djagom SVD. Sekretaris Umum Mgr Leo
Soekoto SJ. Bendahara Umum Mgr van den Burgt OFMCap. Ketua PWI Ekumene Mgr N.
Geise OFM. Ketua PWI Kateketik Mgr FX Hadisoemarto O.Carm. Ketua PWI Kerasulan
Awam Mgr Leo Soekoto SJ. Ketua PWI Komunikasi Sosial Mgr Y. Soudant SCJ. Ketua
PWI Liturgi Mgr G. Manteiro SVD. Ketua PWI Pendidikan Mgr P. Arntz OSC. Ketua
PWI PSE Mgr Th. Moors MSC. Ketua PWI Seminari Mgr V. Djebarus SVD. Anggota
Dewan Moneter Mgr A. Sowada MSC.
Uskup Keuskupan Purwokerto Mgr Willem Schoemaker, MSC yang
telah melayani sejak 31 Mei 1950 pensiun pada 17 Desember 1973 digantikan Mgr
Paschalis Soedita Hardjasoemarta, MSC.
Denting getir lagi dari Mahmilub G30S 1965. R. Sugeng Sutarto, Brigjen Polisi, dihukum
mati dengan Putusan Mahkamah No. PTS-37/MLB-IX/RSS/1973, tanggal 24 Desember
1973.
Sebagai buah upaya ekumenis pada Perayaan Natal 1973 Dewan
Gereja Indonesia dan MAWI mengeluarkan Pesan Natal bersama. Bertolak dari Luk
2:14, “Kemuliaan bagi Allah di tempat mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di
antara manusia yang berkenan kepadaNya” terpancar butir-butir ajakan untuk
berdoa memohon perdamaian di Timur Tengah, Vietnam dan Kampuchea. Membangun
damai dengan memberantas kemiskinan dan menegakkan keadilan demi kesejahteraan
umat manusia sesuai kehendak Tuhan.
Pembangunan itu mensyaratkan agar kebebasan, martabat dan tanggungjawab
manusia berjalan seiring dengan keamanan dan ketertiban. Adalah menggembirakan
adanya perkembangan kesadaran bahwa pembangunan pertumbuhan ekonomi perlu
disertai keadilan sosial. Gereja
diundang aktif melibatkan diri dalam upaya keadilan di segala bidang: politik,
ekonomi, antar manusia, antar golongan, keadilan dalam tata susunan masyarakat
dan keadilan dalam hubungan internasional. Keterlibatan umat kristiani dalam
pembangunan terutama perlu mewujudkan pelayanan sosial, pendidikan dan
kesehatan demi mengangkat martabat mereka yang miskin, lemah ekonominya, lemah
pengetahuannya, dan menderita. “Pesan Natal ini berarti membawa damai di mana
ada dendam, dan membawa kepercayaan akan pengharapan masa depan. Damai
sejahtera Allah, yang melampaui segala pikiran, akan memelihara hati dan
pikiranmu dalam Kristus Yesus (Flp 4:7)”.