Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Historiografi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Historiografi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 September 2022

1971 Pembangunan dan Pembaruan

 


Bambang Kussriyanto

Sejarah Gereja Katolik Indonesia Pasca 1970

 


BAB I

GEMURUH PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN

(1970-1979)

Kemajuan yang sejati terwujudkan dalam tata-ekonomi yang dimaksudkan demi kesejahteraan pribadi manusia, bila rezeki sehari-hari yang diterima setiap orang memantulkan kehangatan kasih persaudaraan dan uluran tangan Allah” (St Paulus VI, Populorum Progressio 86)

Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1971

 

Di Mesir pembangunan bendungan Aswan berhasil diselesaikan pada pertengahan tahun 1970, dan secara resmi diopersikan pada 15 Januari  1971. Dengan keberhasilan pembangunan bendungan Aswan banjir  tahunan dari Sungai Nil dapat dikendalikan. Selain itu bendungan ini juga dimaksudkan untuk pembangkit listrik. Air dimasukkan kedalam Danau Nasser yang panjangnya 500 km dan merupakan reservoir terbesar keenam di dunia. Selanjutnya dibuat saluran irigasi untuk pertanian di sekitarnya. Sukses pembangunan bendungan Aswan kemudian menjadi inspirasi pembangunan bendungan-bendungan lain di dunia, termasuk di Indonesia.

Setidaknya sekali setahun, umat kristiani diingatkan pada doa Yesus untuk para muridNya  “Supaya mereka menjadi satu... agar dunia percaya”  (Yoh 17:21). Dengan menyapa hati mereka, umat kristiani diajak berdoa untuk kesatuan di antara mereka. Kesatuan di antara rukun-rukun umat, paroki-paroki, gereja-gereja, di seluruh dunia.  Bertukar mimbar. Menyelenggarakan perayaan dan doa-doa ekumenis antara 18-25 Januari, sekitar peringatan St Petrus dan St Paulus. Untuk perayaan tahunan, para mitra ekumenis di daerah-daerah setempat tertentu dianjurkan melakukan perjumpaan untuk menyusun teks ibadat dan tema biblis. Suatu tim mewakili Dewan Gereja Dunia dan Gereja Katolik kemudian menyempurnakan tema dan teks doa usulan untuk dibagikan ke seluruh dunia demi kesatuan yang tampak seluruh umat kristiani.  Semakin banyak keuskupan dan paroki-paroki di dalamnya di Indonesia ikut serta melaksanakannya.

Setiap kali paroki baru didirikan hal itu merupakan kabar sukacita bagi Gereja sebab dalam struktur kuno itu kesatuan umat Allah ditampakkan, terutama dalam perayaan Ekaristi yang diselenggarakan pada hari Minggu. Pada awal tahun 1971 paroki Kare Makassar didirikan sebagai pemekaran dari paroki Katedral Makassar.

Di Keuskupan Malang pada tahun 1971 didirikan paroki Kepanjen dan paroki Lodalem (keduanya pemekaran dari paroki Purworejo di Malang Selatan).  Umat Katolik di Keuskupan Malang pada tahun 1971 sekitar 28.000 jiwa, tersebar di 23 paroki  di bagian selatan Jawa Timur (hingga jazirah Blambangan) dan Pulau Madura, dilayani seorang imam diosesan dan 58 imam religius (khususnya Ordo Karmel, O.Carm). 

Dua paroki baru juga didirikan pada 1971 di Keuskupan Surabaya yang berada di Jawa Timur sebelah barat dan utara, yaitu paroki Jombang (pemekaran dari paroki Mojokerto) dan paroki Ngawi (pemekaran dari paroki Madiun). Paroki-paroki lain yang muncul pada 1971 adalah Paroki Basiem (Keuskupan Agats Asmat), paroki Melolo (Keuskupan Weetebula), paroki Obano (Keuskupan  Jayapura), paroki Boanio (Keuskupan Agung Ende), paroki Nela (Keuskupan Atambua), paroki Pemalang (pemekaran dari paroki Pekalongan, Keuskupan Purworejo), dan paroki Maria Fatima Magelang (pemekaran dari paroki Ignatius Magelang).

Pendirian paroki-paroki baru disemangati ajaran Konsili Vatikan II mengenai partisipasi atau peran serta aktif dalam hidup Gereja, yang seharusnya terlaksana dalam paroki. “Dari harta-kekayaan rohani Gereja kaum awam, seperti semua orang beriman kristiani, berhak menerima secara melimpah melalui pelayanan para Gembala hirarkis, terutama bantuan sabda Allah dan sakramen-sakramen. Hendaklah para awam mengemukakan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka kepada para imam, dengan kebebasan dan kepercayaan, seperti layaknya bagi anak-anak Allah dan saudara-saudara dalam Kristus. Sekadar ilmu-pengetahuan, kompetensi dan kecakapan mereka para awam mempunyai kesempatan, bahkan kadangkadang juga kewajiban, untuk menyatakan pandangan mereka tentang hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja. Bila itu terjadi, hendaklah itu dijalankan melalui lembaga-lembaga yang didirikan Gereja untuk itu, dan selalu dengan jujur, tegas dan bijaksana, dengan hormat dan cinta kasih terhadap mereka, yang karena tugas suci bertindak atas nama Kristus.

Hendaklah para awam, seperti semua orang beriman kristiani, mengikuti teladan Kristus, yang dengan ketaatan-Nya sampai mati, membuka jalan yang membahagiakan bagi semua orang, jalan kebebasan anak-anak Allah. Hendaklah mereka dengan ketaatan kristiani bersedia menerima apa yang ditetapkan oleh para Gembala hirarkis sejauh menghadirkan Kristus, sebagai guru dan pemimpin dalam Gereja. Dan janganlah mereka lupa mendoakan di hadirat Allah para Pemimpin mereka, – sebab para Pemimpin itu berjaga karena akan memberi pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa kita, – supaya itu mereka jalankan dengan gembira dan tanpa keluh kesah (lih. Ibr. 13:1).

Sebaliknya, hendaklah para Gembala hirarkis mengakui dan memajukan martabat serta tanggung jawab kaum awam dalam Gereja. Hendaklah nasihat mereka yang bijaksana dimanfaatkan dengan suka hati, dan dengan penuh kepercayaan diserahkan kepada mereka tugas-tugas dalam pengabdian kepada Gereja. Dan hendaklah mereka diberi kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak; bahkan mereka pantas diberi hati, supaya secara spontan memulai kegiatan-kegiatan juga. Hendaklah para Gembala dengan kasih kebapaan, penuh perhatian dalam Kristus, mempertimbangkan prakarsa-prakarsa, usul-usul serta keinginan-keinginan yang diajukan oleh kaum awam. Hendaklah para Gembala dengan saksama mengakui kebebasan sewajarnya, yang ada pada semua warga masyarakat duniawi.

Dari pergaulan persaudaraan antara kaum awam dan para Gembala itu, boleh diharapkan banyak manfaat bagi Gereja. Sebab dengan demikian dalam para awam diteguhkan kesadaran bertanggungjawab dan ditingkatkan semangat. Lagi pula tenaga kaum awam lebih mudah digabungkan dengan karya para Gembala. Sebaliknya, dibantu oleh pengalaman para awam, para Gembala dapat mengadakan penegasan yang lebih jelas dan tepat dalam perkara-perkara rohani maupun jasmani. Dengan demikian seluruh Gereja, dikukuhkan oleh semua anggotanya akan menunaikan secara lebih tepat guna perutusannya demi kehidupan dunia.

Setiap orang awam wajib menjadi saksi kebangkitan dan kehidupan Tuhan Yesus serta menjadi tanda Allah yang hidup di hadapan dunia. Semua serentak dan masing-masing untuk bagiannya sendiri wajib memperkaya dunia dengan buah-buah rohani (lih. Gal. 5:22), dan menyebarkan di dalamnya semangat, yang menjiwai mereka yang miskin, lemah-lembut dan cinta damai, yang dalam Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan (lih. Mat. 5:3-9). Pendek kata: ‘Seperti jiwa dalam tubuh, begitulah umat kristiani dalam dunia’ “ (LG 37-38).

25 Januari 1971 suatu junta militer pimpinan Idi Amin merebut kekuasaan di Uganda. Paus Paulus VI belum lama berselang pada Agustus 1969 mengunjungi Uganda dan diterima Presiden Milton Obote dan isterinya, Miria. Kunjungan itu seperti lelucon indah. Pada bulan Maret 1969 Uskup Agung Kampala, Mgr Emmanuel Nsubuga, mengunjungi Vatican dalam rangka menggalang dana untuk membangun tempat ziarah Namugongo. Ia membawa sebuah kantong yang disebut kikapu untuk wadah uang. Ia menghadap Paus Paulus VI dan mohon agar Paus memberkati kikapu yang dibawanya. Ternyata Paus tidak hanya memberkati kikapu itu tetapi juga memasukkan banyak uang di dalamnya. Sempat bengong sesaat Mgr Emmanuel Nsubuga mengucapkan basa-basi mengundang Paus untuk peletakan batu pertama. Paus hanya senyum-senyum saja.  Pada 19 Maret 1969 dalam pesta peringatan St Yosef,  Paus Paulus VI membuat kejutan, memutuskan akan mengunjungi Uganda. Itu akan merupakan kunjungan Paus di Afrika yang pertama dalam sejarah. Kalangan Vatikan menentang dengan keras rencana kunjungan Paus dengan alasan keamanan. Tetapi Paus Paulus VI tetap berkunjung ke Uganda menggunakan pesawat East African Airways Super VC10 31 Juli-2 Agustus 1969 dengan aman, diterima secara meriah oleh rakyat Uganda,  tanpa insiden; ia tidak diterkam singa, tidak kena malaria, dan tidak mengalami ancaman bahaya.  Umat katolik di Uganda merupakan 38% dari total penduduk 46,2 juta. 42% beragama Kristen, utamanya Anglikan (33%). Sekitar 14% adalam muslim.

Menurut sensus penduduk tahun 1971 jumlah umat kristiani seluruhnya di Indonesia mendekati 10 juta atau 7.4 % dari total penduduk.  Jumlah umat katolik 2.692.215 jiwa atau  2,3%; umat kristen protestan 6.049.491 atau 5,1%. Mereka hidup bersama berdampingan dengan umat  Hindu 2.296.299 atau 1,9%; umat  Buddha 1.092.314 atau  0,9%; pengikut Konghucu  972.133 atau 0,8%, umat kepercayaan lainnya 1.685.902 atau 1.4% dan mayoritas umat  Islam 103.579.496 atau 87.5%.

Pada waktu berkunjung di Indonesia, dalam upacara penyambutan di Bandara Halim Perdana Kusuma 3 Desember 1970, pidato Paus Paulus VI mendorong semangat perkembangan para imam bumiputera:   Saya senang di sini dapat berdampingan dengan saudara setumpah darah Anda: Kardinal Darmoyuwono, yang memegang wewenang tertinggi Gereja Katolik di negeri ini. Selain dia juga beberapa Uskup lain putera negeri ini, dan sejumlah imam bumiputera yang semakin bertambah jumlahnya dan menyiapkan diri untuk menggantikan para misionaris. Para misionaris ini sudah memberikan segalanya dengan murah hati demi membantu bangsa Indonesia di semua bidang yang dapat mereka jangkau; mereka hidup seperti Anda, mengikuti adat kebiasaan dan kepentingan Anda. Balasan terbaik yang dapat diberikan kepada mereka ini yang memandang Gereja Katolik seperti tatanan Eropa adalah mewujudkan Gereja yang katolik, artinya yang universal; di mana pun Gereja menunjukkan kenyataan seperti yang Anda alami di sini. Hormat dan penghargaan kami kepada para misionaris yang telah membaktikan diri tersebar di seluruh negeri kepulauan ini. Salam yang sama hangatnya kepada generasi imam dan Uskup putera asli Indonesia yang semakin bertambah jumlahnya.

Para Uskup pun mengarahkan perhatian pada seminari-seminari. Pendidikan para calon imam di seminari-seminari berangsur-angsur diselaraskan dengan Dekrit Konsili Vatikan Optatam Totius (OT) tentang pembinaan Imam, dan  juga bertalian dengan Dekrit Presbiterorum Ordinis (PO) tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam, dengan  menekankan aspek pastoral.  Tradisi pendidikan calon imam sejak Konsili Trente yang meletakkan preferensi pada pembinaan spiritual, moral dan intelektual sudah lama ditengarai membentuk pribadi imam-imam yang feodalis dan institusionalis dan agak diubah dengan berkembangnya gereja-gereja misi pada awal Abad XX. Surat Apostolik Maximum Illuds (1919) dari Paus Benediktus XV menganjurkan seminari-seminari didirikan di tanah misi, mendidik putra-putra daerah untuk gereja setempat. Ensiklik Rerum Ecclesiae (1926) dari Paus Pius XI memberi petunjuk agar pendidikan para calon imam dilakukan selengkap-lengkapnya dan jangan dipersingkat. Seolah menanggapi kedua dokumen itu Mgr Willekens SJ telah membuka Seminari Tinggi St Paulus di Muntilan pada 1939. Para Uskup juga membuka Seminari Tinggi dan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) di tempat lain, antara lain Seminari Tinggi St Paulus Ledalero (1937), Seminari Tinggi Hati Kudus Yesus Pineleng (1954), Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret (1955),  STFT St Yohanes Pematang Siantar (1956),  Seminari Tinggi Suryagung Bumi Bandung (1969),  STF Driyarkara Jakarta (1969), STFT Fajar Timur Abepura (1969), dan STFT Widya Sasana Malang (1970). Dalam Ensiklik Princeps Pastorum (1959) Paus Yohanes XXIII memberi petunjuk agar pendidikan calon imam dilaksanakan lebih terbuka agar mereka dapat terlibat dengan kehidupan masyarakatnya. Disadari bahwa keberhasilan menerapkan semangat dan hasil-hasil arahan Konsili Vatikan II akan sangat tergantung pada jumlah dan mutu imam-imam generasi baru yang akan dihasilkan seminari-seminari ini.

Suatu penelitian memberikan gambaran dinamika mahasiswa Seminari Tinggi di Indonesia hingga awal 1970-an.

 

Periode

Masuk

Ditahbis

%

Keluar

%

1953-1964

536

301

56.2

235

43.8

1965-1970

535

262

49

273

51

 

Sementara diperlukan struktur pastoral bagi para imam yang dihasilkan agar dapat melayani umat lebih efektif, di pihak lain perlu juga mengembangkan peran serta awam untuk membantu para imam dalam bidang-bidang pelayanan yang dapat didelegasikan kepada mereka. Sehubungan dengan itu pendidikan para calon imam juga perlu mengembangkan gaya kepemimpinan yang baru, gaya kepemimpinan yang transformatif dan partisipatif.

Dari Dinamika Moneter, Politik dan Seruan Keadilan

Bursa efek NASDAQ atau National Association of Securities Dealers Automated Quotations didirikan pada 4 Februar i 1971. Berbeda dari bursa efek yang sudah ada lebih dulu pada waktu itu, NASDAQ tidak punya lantai bursa dan surat berharga tidak ditawarkan atau dibeli lewat petugas bursa. Di bursa NASDAQ transaksi dilakukan menggunakan komputer. Perusahaan-perusahaan yang menjual sahamnya di NASDAQ terutama perusahaan-perusahaan teknologi raksasa dan terkait komputer. NASDAQ nantinya akan berkembang menjadi bursa efek terbesa di dunia setelah Wall Street. Jika orang sekarang menyebut NASDAQ yang dimaksud bukan bursa efeknya, tetapi indeks komposit Nasdaq yang terbentuk pada 8  Februari 1971. Kelahiran NASDAQ dan keasadaran akan daya kekuatannya menambah keprihatinan Gereja akan apa yang disebut kapitalisme teknokratis yang ditopang kemajuan ilmu dan teknologi, bahwa sekalipun dapat menimbulkan utopia-utopia  oleh keyakinan dapat memecahkan masalah politik masyarakat modern lebih baik dari ideologi, dan membawa masyarakat  ke dalam perandaian sebagai alibi yang nyaman untuk melarikan diri diri tanggungjawab langsung, namun jika diarahkan dengan benar dalam semangat Kristus dan bimbingan Roh Kudus, daya kekuatan inventif dari budi manusia itu dapat mengundang lintasan daya cipta manusia ke depan, baik untuk menggali  di masa kini peluang tersembunyi , maupun menawarkan masa depan yang cerah. Pada akhir tahun 1971 nanti, kritik Gereja akan ditampilkan dalam Ensiklik Octogesima Adveniens (OA 36-37 dst).

Alan Shepard dan Edgar Mitchell dengan pesawat Apollo 14  pada 5 Februari 1971 mendarat di permukaan bulan. Misi para astronot Apollo 14 Alan Shepard, Stuart Roosa dan Edgar Mitchell kali ini berhasil menebus kegagalan misi sebelumnya, Apollo 13 (April 1970) yang mengalami ledakan tangki oksigen dan terpaksa harus pulang ke bumi. Shepard dan Mitchell tinggal 33 jam dan 31 menit di permukaan bulan. Sesudah keberhasilan pendaratan Apollo 11 pada Juli 1969, NASA mengumumkan suatu daftar yang memuat 8 tempat pendaratan lagi di luar lokasi yang diperutukkan  Apollo 12, yang mendarat di bulan selama hampir 8 jam pada akhir 1969. Tujuan utama misi Apollo adalah melakukan percobaan ilmiah untuk memahami lebih jauh geologi bulan, kegiatan seismik di dalamnya, angiin dan komposisi atmosfir bulan. Lebih banyak eksperimen ilmiah sesudah program Apollo yang akan berlangsung hingga tahun 1972, akan dilakukan lagi pada pertengahan 2020-an nanti.  Biaya setiap kali peluncuran pesawat Apollo diperkiran AS$ 445 juta pada nilai yang berlaku saat itu, dan keseluruhan program Apollo diperkirakan akan menghabiskan antara AS$ 7-12 milyar hingga 1973 dengan mempekerjakan kurang lebih 400.000 orang. Walaupun mensyukuri capaian kemajuan teknologi yang dicapai untuk maksud-maksud damai untuk lebih memahami dalamnya rahasia ciptaan Allah, dalam berbagai dokumen ajarannya Gereja juga selalu mengingatkan kegunaan dari eksperimen-eksperimen teknologi bagi kesejahteraan manusia, dihadapkan pada prioritas-prioritas mendesak kerjasama internasional dalam rangka pembangunan  dan keperluan bangsa-bangsa yang sedang berkembang.

Seolah menanggapi capaian teknologi ruang angkasa pada 5 Maret 1971 grup musik Led Zeppelin meluncurkan lagu  “Stairway to Heaven” yang kemudian sangat populer, juga di Indonesia.  Syairnya mengisahkan seorang meniti jalan ke surga namun ketika sampai di sana toko-toko tutup dan ia tidak dapat menemukan atau membeli apa yang ia cari. Pada akhirnya liriknya, Led Zeppelin mengingatkan bahwa masih ada waktu untuk mengubah jalan yang ditempuh, dengan mendengarkan sungguh-sungguh bisikan suara hati nurani, bahwa apa yang dicari ada pada semua hal, dan segalanya ada pada satu saja. Umat kristiani seraya menikmati lagu yang indah itu diingatkan secara tidak langsung melalui budaya pop pada sabda, bahwa “Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15:28). 

Denting sumbang terdengar lagi dari berita bahwa Sukatno, Sekjen Dewan Nasional Pemuda Rakyat, anggota CC PKI, divonis hukuman mati dalam sidang Mahmilub dengan Putusan Mahkamah No. 51/70/Vord, tanggal 11 Maret 1971. Kegetiran tersirat mengingat belasan ribu tahanan politik terpanjara menanti proses pemeriksaan perkaranya secara adil.

Sementara itu budaya manusia memang sulit diduga dalamnya dan menyajikan kejutan-kejutan kreatif. Dari rasa pahit pengalaman minum kopi diangkat sebagai suatu pengalaman luks ketika pada 31 Maret 1971 kedai kopi  Starbucks didirikan di Seattle, Washington. Dalam kepahitan ada kemewahan, itulah pesan revolusi kopi yang kemudian dicontoh di banyak tempat di dunia dengan menjamurnya kedai kopi, industri kopi kreatif dan budaya minum kopi  di seluruh dunia hingga sekarang. Bagi Indonesia suatu peluang untuk revitalisasi pasar internasional bagi kopi Nusantara yang sudah populer sejak zaman kolonial, dan berlanjut di dalam negeri melalui tradisi “wedangan” atau “ngangkring”. Pesannya yang lebih luas lagi memberi semangat baru dalam menjalani hidup, yaitu bahwa dalam kebersamaan, derita dan dukacita pun memberikan sukacita.

Pada masa Soekarno olahraga dijadikan alat politik. Misalnya hal itu dilakukan dalam penyelenggaraan Asian Games IV (1962) dan Ganefo (1963) di Jakarta. Pada 6 April, dalam rangka kejuaraan tenis meja dunia ke-31 di Nagoya, Jepang,  Mao Zedong mengundang tim pingpong (tenis meja) AS untuk mengunjungi RRT.  Istilah “diplomasi ping-pong” menjadi terkenal. Buahnya adalah penghentian embargo perdagangan AS atas RRT oleh Presiden Nixon pada 10 Juni 1971. AS menghentikan perdagangan dengan RRT sejak 1950 karena menganggap RRT sebagai agresor dalam Perang Korea. Sejak itu tidak ada hubungan ekonomi dan diplomatik antara AS dan RRT. Diplomasi bola kecil “ping-pong”  membuka peluang dan mengantar hubungan bilateral baik ekonomi maupun diplomatik yang lebih baik di antara AS dan RRT.  Hal-hal kecil selalu mampu menjadi hal-hal besar.

Paroki Kedaton sebagai pemekaran dari Paroki Katedral Tanjungkarang diberkati pada hari Kamis Putih, 7 April 1971 dengan nama pelindung Santo Yohanes Rasul. Suatu momen yang tepat untuk melakukan kilas balik. Paroki Tanjungkarang terus berkembang. Meski gedung gereja telah diperluas tetapi menjelang tahun 1970 sudah terasa sesak lagi. Gedung baru tak dapat mengimbangi jumlah umat. Maka Pastor bersama sejumlah tokoh umat membuat rencana untuk mengembangkan paroki baru. Panitia ditetapkan pada 8 April 1970, dan segera bekerja membeli tanah, mengurus perijinan dan sebagainya, dan berhasil melewati berbagai kendala birokrasi.  Menurut statistik Vatikan pada tahun 1969 di Keuskupan Tanjungkarang terdapat 30.031 umat katolik.  Pada saat berdirinya Prefektur Apostolik Tanjungkarang pada 1952 terdapat  4 paroki yaitu Tanjungkarang (1949), Telukbetung (1949), Pringsewu (1932) dan Metro (1937). Umat berjumlah kira-kira 2.500 orang dan dilayani oleh 7 imam. Paroki Gisting (1955) didirikan sebagai pemekaran paroki Pringsewu. Selanjutnya setelah Prefektur Apostolik ditingkatkan menjadi Keuskupan pada 1961, didirikan paroki Kotabumi (1963), Kalirejo (1966), Kotagajah (1968) dan Bandarjaya (1968). Keuskupan Tanjungkarang dilayani oleh para imam Oblat Hati Kudus Yesus (SCY) dan pada tahun 1971 hanya ada seorang imam diosesan.

Pada 24 April 1971 terjadi demo terbesar yang mengerahkan 500.000 pemrotes Perang Vietnam di Washington D.C. dan 150.000 lainnya di San Francisco. Demo itu menandai permulaan berhentinya pengiriman tentara AS ke Vietnam. Sejauh ini Perang Vietnam bahkan telah melebar ke Laos dan Kampuchea. AS telah menempatkan lebih dari 340 ribu personil di Vietnam pada awal 1971. Penggunaan senjata kimia oleh tentara AS di provinsi Ninth Thuan pada 7 Januari menghanguskan hutan dan berhasil memusnahkan tanaman pangan logistik pihak tentara komunis Vietnam. Tetapi berita itu membangkitkan kemarahan dan protes di dalam negeri AS sendiri. Pastor Jesuit Philip Berrigan SJ memimpin protes anti perang dengan meledakkan terowongan bawah tanah Gedung Federal di Washington dan diduga berusaha menculik penasehat keamanan Henry Kissinger, bersamaan dengan keluarnya tuntutan “Gerakan Perwira yang Peduli” untuk mengadili kejahatan perang para jendral AS pada 12 Januari. Pada 13 Januari Presiden Nixon menandatangani undang-undang yang mencabut Resolusi Teluk Tonkin yang selama ini menjadi dasar hukum bagi keterlibatan AS dalam perang Vietnam. Presiden Republik Khmer (Kampuchea) Lon Nol menderita stroke dan menyerahkan kendali kepada Pangeran Sisowath Sirik Matak. Majalah Newsweek 15 Maret menyajikan cerita sampul berjudul "Perang Helikopter" dan menggambarkan intensitas operasi helikopter AS dan sambutan tembakan antipesawat gerilyawan komunis Vitnam Selatan di atas Laos. Semua ini menjadi faktor yang menggerakkan demo 24 April 1971 untuk menyudahi keterlibatan AS di Vietnam.

Suatu konggres medis kongregasi religius sudah disiapkan dari tahun 1970 dan pada  25 April 1971 panitia di Jakarta menetapkan bahwa kaum awam diikut-sertakan dalam konggres medis tersebut. Dalam bulan Pebruari 1971 panitia persiapan konggres medis telah mengirimkan suatu angket ke segala rumah sakit/rumah- bersalin/poliklinik Katolik untuk inventarisasi kegiatan medis Katolik di seluruh Indonesia dan bahan-bahan lain yang dapat menjadi pokok pembahasan dalam konggres nanti. Mulanya suatu konggres ekumenis dianggap masih sedikit prematur, sebab berkumpul dalam kelompok Katolik sendirisaja belum pernah dilakukan, tetapi dalam rapat-rapat kemudian  itu dipertimbangkan lagi secara positif. Selanjutnya dipikirkan kemungkinan untuk mendirikan “Biro Medis” yang terkait dengan Waligereja Indonesia (MAWI).

Karena kebijakan moneter AS yang menurunkan suku bunga untuk mengatasi kelesuan ekonomi dalam negeri, banyak dolar Amerika mengalir keluar ke negara-negara yang menganut nilai tukar tetap dan memasang suku bunga lebih tinggi. Sekitar AS$ 30,5 milyar menuju sepuluh negara terutama di Eropa Barat.  Jerman Barat menerima inflow dolar Amerika sebesar AS$ 4,9 milyar  dan menyebabkan likuiditas berlebih. Dalam perdagangan internasional DM mengalami revaluasi merangkak dan memukul impor. Menyadari situasi sulit pada 9 Mei 1971 melepaskan kurs tetap DM dari dolar AS dan mengambil posisi nilai tukar mengambang terhadap semua mata uang utama. Langkah Jerman Barat nanti diikuti Perancis dan Swiss sehingga dengan makin banyaknya kebijakan nilai tukar mata uang mengambang dasar dasar Perjanjian Bretton-Woods dari tahun 1944 dengan sistem nilai tukar mata uang tetap secara international berangsur-angsur runtuh.  Kejadian ini sekaligus menjadi awal “krisis dollar AS” yang berdampak panjang bagi dunia. Pada tahun 1971, nilai kurs rupiah juga terpukul  oleh krisis dollar AS. Nilai rupiah merosot (terdevaluasi) dari Rp 378 menjadi Rp 420 per 1 USD (23 Agustus 1971). Bagi Indonesia, devaluasi rupiah mengurangi kebutuhan impor karena membeli dengan dollar jadi mahal, dan perolehan dollar jadi lebih menggiurkan hingga meningkatkan usaha ekspor.  Ekonomi Indonesia mulai berorientasi pada ekspor.

Pada 14 Mei 1971 Paus Paulus VI menerbitkan ajaran sosial dalam Ensiklik Octogesima Adveniens, memeringati  dengan perspektif baru 80 tahun terbitnya Ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII tahun 1891. Ensiklik ini menanggapi perkembangan situasi sosial politik dan kebudayaan baru yang bermacam ragam. Di sebagian daerah muncul sistem totaliter yang menimbulkan penindasan dan peminggiran. Kaum minoritas tak berdaya dan dibungkam diam tak bersuara. Sebagian anggota Gereja tergoda menempuh cara radikal yang menggunakan kekerasan untuk memecahkan persoalan dan berusaha mencapai hasil yang lebih baik.Sebagian lagi tidak peka pada pelanggaran keadilan justru melestarikan keadaan dikelabui oleh ideologi-ideologi  yang menjanjikan hasil yang lebih baik namun toh akhirnya mengecewakan (OA 2-4). Maka Gereja merasa wajib memberikan amanatnya untuk pedoman umat dengan perspektif yang disegarkan dalam  upaya menentukan dan mengarahkan masa depan menurut kasih dan keadilan yang diajarkan Yesus Kristus dan ajaran-ajaran sosial Gereja (OA 5). Sebagian masalah keadilan akan dibahas para Uskup secara lebih seksama dan rinci dalam Sinode para Uskup yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober nanti (OA 6).

Ensiklik membahas konsekuensi gelombang Urbanisasi yang disatu pihak menunjukkan kemajuan kota dan kemewahan baru namun menyembunyikan peningkatan  erosi kerukunan warga, kriminalitas, penyalahgunaan narkotika dan pelampiasan nafsu seksual yang melukai martabat manusia (8-17).  Media komunikasi sosial seharusnya menjadi alat kesatuan dan memajukan pendidikan dan kebudayaan demi kesejahteraan umum  (20). Eksploatasi alam yang acak-acakan mengancam kerusakan lingkungan hidup (21). Aspirasi untuk memajukan keadilan dan partisipasi dalam pembangunan demi martabat dan kebebasan manusia semakin menguat dan mencari salurannya dalam politik (22-25). Ketegangan akibat tarik menarik ideologi sosialisme, marxisme dan liberalisme menantang jawaban dinamis iman kristiani (36.42).

Hubungan berdasar kekuatan tidak pernah menciptakan situasi keadilan. Dialog dan kerjasama selalu perlu dilakukan untuk kesepakatan-kesepakatan yang berkedalian dalam ekonomi dan politik, dalam menininjau tatanan produksi, stuktur perdagangan, pembagian maslahat, mengenai sistem moneter, dengan semangat solidaritas dan subsidiaritas (43-44). Ruang untuk partisipasi dalam tanggungjawab dan pengambilan keputusan politik yang menghargai kebebasan berpendapat perlu diberikan dengan semangat perdamaian (45-47). Gereja menyerukan panggilan untuk bertindak, terutama kaum awam, melalui peranan masing-masing dengan mengingat karya Allah dalam menebus manusia, penuh komitmen dan semangat solidaritas (48-50).   

Derap pembangunan di Indonesia pada 1971 mulai terasa menimbulkan masalah, utamanya penggusuran tanah seisinya milik warga yang terkena proyek pembangunan. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1969 menetapkan, jika ada hak warga tergusur yang harus dipenuhi pemerintah, di antaranya pemberian penggantian yang layak, dan menikmati penambahan nilai dari kegiatan penggusuran tersebut. Maksudnya kalau ada penggusuran di suatu lokasi, kemudian di lokasi tersebut dibangun sesuatu maka warga yang  tergusur harus menikmati dan memperoleh manfaat dari pembangunan lokasi tersebut. Pembebasan tanah untuk Proyek Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta merupakan salah satu sorotan umum. Proyek TMII diluncurkan dengan cepat. Gagasan dari Ibu Tien Soeharto dilontarkan kepada pemerintah DKI Jakarta pertengahan tahun 1970 dan minta agar rancangannya selesai dalam 4 bulan. Begitu rancangan selesai dan anggaran ditetapkan, dari 1971 mulai diayunkan langkah pembebasan tanah.  Untuk proyek TMII itu tanah lokasi seluas 150 hektar dibebaskan dengan mengumpulkan kepala desa di sekitar Bambu Apus. Warga resah karena belum tahu besarnya ganti rugi yang akan diberikan untuk per meter persegi tanah mereka, pada hal rencananya proyek pembangunan TMII akan dimulai tahun 1972. Selain itu, tanah yang dibebaskan adalah tanah subur untuk usaha tani.

Menjelang Pemilihan Umum 1971, setelah menerima laporan dan mengamati situasi dari lapangan, bahwa banyak terjadi intimidasi di daerah-daerah, misalnya di Flores, MAWI bersidang di Jakarta di awal Juni 1971 dan membuat surat terbuka yang isinya dimuat dan mendapat sambutan di berbagai media antara 6-10 Juni 1971. MAWI menyatakan bahwa pemerintah wajib melaksanakan pemilihan umum dengan menjaga sifat dasarnya, yaitu bebas dan rahasia. Maka MAWI mendesak pemerintah agar mencegah segala bentuk intimidasi dan ancaman dari manapun dan oleh siapa pun. Baik itu ancaman fisik langsung maupun tak langsung, ancaman moril, psikologis, serta menghindarkan segala macam manipulasi dan kecurangan baik sebelum, selama, dan sesudah Pemilihan Umum.

Pemilihan Umum ke-2 di Indonesia dilaksanakan pada 3 Juli 1971. Rakyat Indonesia menyambutnya sebagai Pesta Demokrasi. Golkar menang dengan mengantongi 62,8 persen suara (236 kursi DPR). Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dengan 18,6 persen suara (58 kursi), Parmusi dengan 5,3 persen suara (24 kursi), Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan 6,9 persen suara (20 kursi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dengan 2,3 persen suara (10 kursi), Partai Kristen Indonesia mendapat 7 kursi. Partai Katolik 3 kursi. Persatuan Tarbiyah Islamiah 2 kursi. Dua partai gagal mendapat kursi yaitu Partai Musyawarah Rakyat Banyak dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Walau mulanya diragukan kemampuannya oleh partai-partai, namun Golkar sudah diperkirakan bakal menang secara merata meski baru kali pertama ikut pemilu. Demi kedudukan politiknya, termasuk untuk menyongsong Pemilihan Umum 1971, pemerintah memilih Golongan Karya (Golkar) yang didirikan pada Oktober 1964 sebagai wahana politiknya, walaupun sesungguhnya Golkar bukan suatu partai politik. Pilihan ini antara lain karena Golkar didukung oleh tentara dan ikut memainkan peran penting dalam menghancurkan kekuatan PKI .  Tiga jalur kantong pemilih segera digarap yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan seluruh jaringannya, Birokrasi pegawai negeri sipil (PNS), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), serta perangkat pemerintahan di semua tingkat dari pusat sampai ke desa-desa menjadi alat untuk memobilisasi rakyat agar memilih Golkar. Kemudian jalur golongan karya sendiri yang meliputi hampir 120 anak organisisasi.Ketiga jalur itu disebut ABG.

Gagasan Dwifungsi ABRI yang diambil dari sejarah perjuangan kemerdekaan sudah dikemukakan dan dipersiapkan secara strategis oleh Jendral AH Nasution, ketika mengutus para perwira TNI/ABRI belajar manajemen dan ekonomi pada awal tahun 1950-an di Fakultas Ekonomi UI dan di perguruan tinggi lain. Ketika pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda antara 1957-1959 perwira tinggi TNI/ABRI yang sudah berbekal ilmu manajemen adalah yang paling siap menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pelbagai perusahaan yang kemudian menjadi milik negara. Dengan mengandalkan rantai komando, TNI/ABRI yang menjadi pemimpin perusahaan menempatkan bawahan-bawahan mereka yang terpercaya untuk menempati fungsi-fungsi penting dalam perusahaan. Dengan demikian sebenarnya TNI/ABRI sudah menjalankan Dwi Fungsi sejak 1960-an  sebagai kekuatan militer sekaligus ekonomi.  Pada tahun 1960-an awal hingga pertengahan, sudah jelas TNI/ABRI  menjadi faktor yang diperhitungkan sebagai jalan tengah yang disegani di antara ideologi agamis dan ideologi komunis. Maka pada tahun 1966, Dwi Fungsi ABRI dalam politik dan kemasyarakatan lebih mengemuka  untuk menunjang pembangunan. Demi pembangunan TNI/ABRI dapat menjadi tulang punggung politik praktis/pragmatis penyokong Orde Baru. Hal itu segera ditanamkan dalam jiwa korps seluruh jajaran TNI/ABRI sejak 1967.

Di dalam birokrasi, kekuatan pemerolehan suara digalang melalui Peraturan Monoloyalitas Pegawai Negeri. Pada 1966, Kementrian Dalam Negeri mengeluarkan dua peraturan, yaitu Peraturan Menteri No. 12 (Permen 12)/1966, yang menetapkan bahwa pegawai negeri tidak diperbolehkan untuk menjadi anggota partai politik manapun. Peraturan yang kedua adalah, Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/1970, yang menetapkan bahwa pegawai negeri harus menerapkan loyalitas tunggal, yaitu kepada pemerintah. Peraturan ini mengarahkan Pegawai Negeri untuk menyalurkan aspirasi politiknya pada Sekber Golkar.  Selain itu struktur panitia penyelenggara pemilu diduduki para pejabat pemerintahan, terutama dari Departemen Dalam Negeri. Dengan dikuasainya jalur-jalur strategis ABG kemenangan Golkar sudah dapat dibayangkan. Daerah kantong suara Partai Katolik di NTT terutama Flores pun tergerus oleh Golkar.

Beberapa waktu sebelum hari pemilihan Juli 1971, sudah muncul fenomen yang dinamakan “golongan putih” atau golput, yaitu orang-orang yang secara sadar tidak menggunakan hak pilihnya, sengaja tidak datang ke tempat pemungutan suara  dan tidak mencoblos sebagai protes atas ketidakadilan, ketidakjujuran yang terjadi selama masa persiapan dan kampanye pemilihan umum. Golput di kemudian hari semakin besar dan mengurangi tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, dan karena itu mengurangi nilai dan kualitas pemilihan umum.

India pada 9 Agustus 1971 menandatangani pakta perdamaian, persahabatan dan kerjasama  20 tahun dengan Uni Soviet.  Kemesraan diplomasi ping-pong yang mengeratkan hubungan AS-Beijing membuat India gerah. Perdana Menteri India Indira Gandhi menduga hubungan itu akan membuat India tertekan oleh Pakistan sebab AS dan RRT membantu Pakistan. Sementara itu Pakistan Timur sedang bergolak dan India perlu menegaskan perbatasannya, namun diancam Pakistan. Semua itu mengarahkan politik luar negeri India mencari keseimbangan dengan mendekati Uni Soviet.  Dan Uni Soviet menyambut India dengan mesra sebab pada dasarnya kerjasama kedua negara sudah dijalin dari tahun 1950 dan mengemuka ketika perang perbatasan India-RRT 1962. Walau Pakta Perdamaian, Persahabatan dan Kerjasama lebih dilaksanakan dalam bidang ekonomi namun tetap membayangkan juga kerjasama militer yang harus dipertimbangkan pihak-pihak yang hendak menggoyangkan keseimbangan situasi Asia Selatan. Postur hubungan Indo-Soviet ini ikut memuluskan kemerdekaan Bangladesh ketika Pakistan kehilangan dukungan AS dan RRT yang sedang asyik mesra mengembangkan relasi di antara mereka sendiri  pada 1971.

Sebenarnya Amerika Serikat bukannya tidak peduli, tetapi AS sedang sibuk mengurus kerepotannya sendiri juga. Karena inflasi yang meningkat tinggi di dalam negeri, berhubung  likuiditas berlebih, dan beban Perang Vietnam, pada 15 Agustus 1971  Presiden Nixon setelah berdiskusi selama tiga hari di Camp David dengan para penasehat keuangan AS terpaksa mengambil kebijakan moneter penting.  Sejauh ini nilai tukar dollar diikatkan secara tetap dengan harga emas, yaitu  AS$ 35 per satu ounce emas. Demi mengurangi inflasi Nixon selain memutuskan untuk mengurangi jumlah pasukan AS di Vietnam, kemudian melepas ikatan dollar dengan emas, membuat nilai tukar dollar mengambang dan mendapat keseimbangan baru dalam devaluasi  pada tingkat AS$ 38 per satu ounce emas.  Moment itu lazim disebut “Nixon Shock”, suatu langkah yang akan mengubah pola keuangan dunia, perdagangan dunia dan distribusi pangan.

Pada 14 Oktober 1971 Organisasi non-pemerintah (Ornop) untuk lingkungan hidup  Greenpeace didirikan di  Vancouver, Canada, sebagai bagian dari Komite  “Don’t Make a Wave.” Komite ini suatu organissi anti-nuklir yang menentang percobaan nuklir bawah tanah di  Amchitka Island. Komite Don’t Make a Wave dikemudian hari menjadi Yayasan Greenpeace. Sejak itu Greenpeace menjadi inspirasi didirikannya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi lingkungan di seluruh dunia. Bahkan berpengaruh pada semua gerakan yang berwawasan “green” dalam politik kebijakan pemerintahan. Juga di Indonesia.

Dengan Resolusi Sidang Umum PBB 2758 pada 25 Oktober 1971 RRT diterima menjadi anggota penuh PBB. Hari berikutnya Taiwan keluar dari PBB. Taiwan dianggap bagian dari RRT. Menteri Luar Negeri Adam Malik ikut berperan dalam penerimaan RRT menjadi anggota penuh PBB. Sementara itu secara diplomatik diusahakan terwujudnya kesatuan Tiongkok, dengan pendekatan pada Republik Tiongkok (Taipei) yang pernah menjadi anggota PBB penuh 1946-1971 dan dengan RRT.

Pada 3 November 1971 diterbitkan UNIX Programmer’s Manual  yang pertama. UNIX-sistem ini nanti akan melahirkan Linux, macOS, dan berbagai sistem operasi  untuk jaringan hand-phone yang merajai dunia. Tak lama kemudian pada 15 November  Intel membuat prosesor mikro yang pertama  Intel 4004. Ini merupakan langkah pertama penggunaan prosesor mikro dengan satu chip yang memuat CPU 4 bit, merintis jalan menuju digitalisasi global. Pada awalnya kehadiran komputer  belum bisa diterima di masyarakat yang mengkhawatirkan penggunaan komputer akan menghambat penciptaan lapangan pekerjaan. Namun pada  4 Juli 1969 pemerintah Indonesia membuat suatu organisasi bernama BAKOTAN (Badan Koordinasi Otomatisasi Administrasi Negara) sebagai konsultan bagi instansi-instansi yang akan membeli atau menyewa peralatan komputer untuk menjawab tantangan penggunaan komputer demi efisiensi. Memasuki tahun 1970 komputer besar  IBM S/370 (main-frame) mulai digunakan di instansi pemerintah (DKI Jakarta) dan perusahaan (Pertamina), dan mulai merambah lembaga pendidikan. Baru pada 1980-an Sistem operasi UNIX digunakan di Indonesia dengan menjamurnya penggunaan komputer mini.


Sementara itu antara 30 September-6 November 1971 diselenggarakan Sinode Para Uskup Sedunia II membahas  dua tema (1) Imamat Pelayanan dan (2) Keadilan di Dunia (Justice in the World,JIW). “Pemeriksaan batin kita sekarang menyentuh pola hidup semua anggota: para Uskup, imam-imam, religius, dan umat awam. Berkenaan dengan rakyat yang miskin perlu ditanyakan, apakah keanggotaan Gereja menempatkan orang-orang di atas pulau kaya di lingkungan orang miskin? Dalam masyarakat yang menikmati taraf lebih tinggi pembelanjaan bernada konsumerisme, harus ditanyakan, apakah pola hidup kita memberi teladan penghematan dalam menggunakan barang-barang... supaya sekian juta rakyat yang kelaparan di seluruh dunia mendapat makanan. Sumbangan khas umat Kristiani kepada keadilan adalah kenyataan hidup sehari-hari orang beriman yang bertindak ibarat ragi Injil dalam keluarga, sekolah, pekerjaan, kehidupan sosial dan sipilnya” (JIW/CEU 48-49).

Para Bapa Sinode memuji dedikasi para imam di seluruh dunia dalam mewartakan Sabda dan melayani sakramen, dalam karya pastoral dan kerasulan. Disadari banyaknya tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi dalam karya mereka.  Ada yang merasa asing di tengah dinamika perubahan masyarakat dan tidak bisa menanggapi tuntutan baru. Kesulitan dirasakan dalam karya kerasulan karena penggunaan metode-metode usang untuk memecahkan masalah-masalah baru. Maka selain sulit membimbing awam karena sekularisasi, imam sendiri juga diterpa kemelut mengenai status selibatnya. Di pihak lain sebagian imam dengan semangat menyucikan dunia ikut hanyut dalam peristiwa-peritiwa masyarakat mewujudkan komunitas yang adil dalam kasih persaudaraan. Menyadari bahwa segala sesuatu bersifat politik, mereka berpendapat bahwa menjadi revolusioner adalah sikap yang tak bisa dielakkan. Di tengah kebimbangan umum mengenai  nilai segala yang bersifat sakramental dan kultis, para imam justru mencari cara bagaimana menyatakan iman yang dapat meresapi hidup pribadi dan sosial umat. Sulitnya, tidak cukup teladan yang bisa dilihat dalam hubungan di antara sesama Uskup dan sesama imam untuk menjadi bahasa kesaksian. Maka para imam diajak mendalami ajaran Konsili Vatikan II mulai dari  LG 10 mengenai  perbedaan imamat umum dan imamat jabatan, agar dapat dipegang mana yang seharusnya dilakukan imam sesuai imamat jabatan yang ia terima, dan mana yang seyogyanya diserahkan kepada  awam dalam melaksanakan imamat umum. Demi pembedaan ini usulan tahbisan pria yang telah menikah berpotensi menambah kerancuan sehingga ditolak.

Para imam diajak merenungkan Kristus, Alfa dan Omega, yang dikuduskan dan diutus ke dunia (Yoh 10:36) dan ditandai dengan meterai kepenuhan Roh Kudus  (Luk 4:1, 18-21; Kis 10:38) mewartakan Injil perdamaian antara Allah dengan manusia. Sebagai Gembala yang baik di kayu salib Ia menyerahkan nyawa untuk mereka yang Ia persatukan dengan diriNya di salib (Yoh 10:15; 11:52). Demikianlah Ia melaksanakan imamat tertinggi untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik sekarang dan di masa depan. Kristus melalui Gereja persekutuan para Rasul (LG 18) dan dalam Roh (AG 5) menjadi gambar pedoman hidup para imam, yang dalam kesatuan hirarkis menjadi imam para umat. Berkat urapan Roh, yang menyertai jabatan imam, dilimpahkan tugas menyucikan, mengajar dan memimpin umat (PO 2) dalam persekutuan hirarkis demi pelaksanaan tugas ini dengan lebih cermat (LG 24, 27-28), memuncak pada pelaksanaan Ekaristi. Dengan tetap menghormati otonomi sekulir, imam memerhatikan urusan dunia namun tidak wajib menerapkan kuasa teknis, sebab yang terutama ditugaskan padanya adalah tertib keagamaan, bukan tertib ekonomi, sosial, politik (GS 42). Maka selanjutnya para Bapa Sinode memberikan pedoman pelaksanaan tugas pelayanan imamat jabatan dalam pewartaan dan perayaan sakramen; batasan kegiatan sekulir dan politik; mengembangkan hidup rohani; dan mempertahankan selibat.  Akhirnya mengembangkan persekutuan Gereja dengan membangun relasi dengan Uskup, sesama imam dan dengan awam.

Tema bahasan kedua para Bapa Sinode 1971 menunjukkan pengaruh kuat para pemimpin lokal Gereja-gereja di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Di sini sekaligus diperlihatkan contoh kolegialitas para Uskup pasca Konsili Vatikan II dalam memikirkan secara konkret, realistis dan mendalam  soal keadilan dengan menyatakan perlunya mengaitkan Injil dengan keadaan dunia dan daerah setempat. Tahun 1970-an pada umumnya disebut sebagai “engsel perubahan” dunia, terutama dengan meningkatnya kebangunan ekonomi bangsa-bangsa dengan ekses-eksesnya yang memprihatinkan. Setelah menjadi saksi banyaknya pelanggaran keadilan berupa dominasi, penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan, para Uskup menyerukan pengembangan masyarakat yang lebih adil bersifat persaudaraan, menggalang daya-daya yang mendukung persatuan, memajukan dialog, mengingatkan hak atas pembangunan/perkembangan, terutama keadilan kasih untuk membela kaum miskin. Dalam merenungkan bahwa “perutusan Gereja” adalah juga “untuk mewartakan keadilan di dunia,” para Bapa Sinode  1971 menyatakan bahwa  Gereja harus menjadi saksi keadilan melalui cara hidupnya sendiri, dalam kegiatan pengajaran, dan dalam kegiatan internasional.

Dosa pelanggaran bersifat struktural dan membentuk jaringan dominasi, penindasan serta penyalanggunaan yang mencekik kebebasan dan menghalangi bagian besar umat manusia untuk peran serta membangun dan menikmati masyarakat yang adil dalam persaudaraan (JIW 3). Dinamika pewartaan Injil termasuk mendengarkan jeritan mereka yang menderita karena kekerasan, ditindas sistem dan stuktur yang tidak adil (JIW 5). “Kegiatan demi keadilan dan partisipasi dalam perombakan dunia nampak sepenuhnya sebagai dimensi hakiki pewartaan Injil, perutusan Gereja demi penebusan umat manusia serta pemerdekaan dari tiap situasi penindasan”  (JIW 6).

Tentang keadilan dan masyarakat sedunia tampak suatu paradoks modern:  bahwa ada daya kekuatan yang dahsyat dan dinamis untuk memajukan martabat manusia dan menyatukan semua anggota keluarga manusia dalam kesetaraan (JIW 7);  tetapi daya=daya yang menyebabkan perpecahan juga semakin kuat diperlengkapi teknologi yang menimbulkan penghancuran seperti perlombaan senjata, persaingan, pemusatan kekayaan, kekuasaan dan wewenang mengambil keputusan pada kelompok tertentu, melanggar keadilan ekonomi dan meniadakan partisipasi sosial sebagian besar warga untuk memeroleh hak asasi dan hak sipil (JIW 9). Perlu pengakuan bahwa hak setiap warga atas perkembangan merupakan hak dasar dan asasi manusia (JIW 15). Itu adalah panggilan modernisasi untuk pengembangan kepribadian yang otentik dan kreatif dan peka pada faktor-faktor sosial budaya (JIW  17-19). Kebanyakan para korban pelbagai bentuk  ketidakadilan hanya diam, tak mampu angkat suara (JIW 20).  Kaum korban kekerasan itu beraneka macam:  migran yang mencari pekerjaan, pengungsi korban konflik; penindasan agama; pelanggaran hak asasi; korban penyiksaan; tahanan politik; korban sikap pro-aborsi; korban sikap pro-perang; media yang membuli; korban tindakan anti-keluarga (JIW 21-26). Diserukan dialog yang berkelanjutan untuk kemajuan usaha pengembangan untuk semua pihak, terutama kaum muda dalam rangka koreksi atas siatuasi ketidakadilan (JIW 28).

Tanggungjawab Gereja untuk mewartakan keadilan dan mewujudkan masyarakat yang lebih adil dalam persaudaraan kasih bersumber pada amanat Injil dan perutusannya. Dengan rendah hati kita perlu terbuka kepada amanat Allah, menimba inspirasi langkah dan tindakan baru demi keadilan di dunia  (JIW 29). Dalam Perjanjian Lama Allah mewahyukan diri sebagai Pembebas kaum tertindas dan Pembela kaum miskin (JIW 30). Yesus sendiri menyerahkan diri sepenuhnya untuk penyelamanat dan pembebasan umat manusia, menyatakan campur tangan kebapaan Allah untuk semua orang, dan keadilan ilahi demi mereka yang kekurangan dan tertindas (Luk 6:21-23). Ia mengidentifikasikan diri sebagai “seorang yang paling hina” (Mat 5:40) demi menegakkan keadilan(JIW 31). • St. Paulus menyatakan hidup iman kristiani membuahkan kasih dan pengabdian pada sesama termasuk memenuhi tuntutan keadilan (JIW 33). Kasih kristiani pada sesama mencakup keadilan dengan pengakuan martabat dan menghormati hak-hak sesama (JIW 34). Gereja wajib menegakkan keadilan. Mewartakan Injil juga menghendaki pembaktian diri bagi pemerdekaan manusia dari kondisinya di dunia sekarang (JIW 35). Menyerukan keadilan di  semua tingkatan, baik  komunitas sosial lokal, nasional maupun internasional terutama dengan memberikan kesaksian akan keadilan dalam lembaga-lembaga Gereja dan kehidupan umat kristiani (JIW 36). Bukan termasuk tugas persekutuan Gereja dan hirarkis untuk ikut campur memberikan solusi masalah-masalah praktis, melainkan untuk memajukan martabat dan hak-hak asasi pibadi (JIW 37). Namun sebagai warga masyarakat, anggota Gereja berhak dan wajib memajukan kesejahteraan umum dengan setia dan cakap dengan tanggungjawab pribadi di ranah sosial, ekonomi, budaya dan politik dan seharusnya selalu cermat berhati-hati, karena tetap saja tindakan pribadi sebagai warga melibatkan Gereja seluruhnya (JIW 38).

Pelaksanaan keadilan dengan demikian dilakukan orang kristiani perorangan melalui kesaksian hidup dan cara bertindak yang adil (JIW 40). Warga Gereja yang menyuarakan keadilan pada dirinya sendiri harus dapat menunjukkan sikap dan perilaku yang adil (JIW 40). Mereka yang mengabdi dalam hidup Gereja harus memeroleh hak-hak atas imbalan yang sepantasnya dan adil baik imam, religius maupun awam (JIW 43). Hak-hak imbalan itu meliputi: upah yang layak, jaminan sosial, kemajuan pangkat, kesetaraan jender, kebebasan menyatakan diri dan berpendapat dalam semangat dialog, prosedur pengadilan terutama dalam masalah-masalah pernikahan, hak peran serta dalam proses pengambilan keputusan (JIW 45-46). Gaya hidup Gereja berkenaan dengan harta milik dan penggunaannya tidak boleh menjadi skandal ketidakadilan dan bertenggangrasa dengan kaum miskin; jangan sampai menunjukkan diri sebagai kumpulan pulau orang kaya yang eksklusif di tengah samudera orang miskin, agar kabar gembira dapat dirasakan oleh kaum miskin (JIW 47-48).

Pendidikan untuk menghayati  dan mewujudkan etika keadilan dalam pergaulan sosial perlu ditingkatkan melalui perihidup pribadi dan keluarga (JIW 49-50). Pembaruan hati untuk mewujudkan corak hidup yang berkeadilan, penuh kasih dan sederhana diperlukan di mana saja. Dan di negara sedang berkembang  pembinaan hati nurani dimaksudkan agar perubahan di segala bidang secara konkret menjamin perbaikan hidup untuk semua dalam segala aspeknya, sebagai bagian dari pembaruan dunia seluruhnya  (JIW 51). Diperlukan sikap kritis jangan sampai membantu terjadi manipulasi baik oleh media komunikasi maupun kekuatan politik, dan mewujudkan rukun hidup yang mampu menentukan nasib sendiri dan sungguh manusiawi, melalui pembinaan dan pendampingan berkelanjutan (JIW 52-53). Pendidikan keadilan itu pertama-tama dalam keluarga, tetapi juga lembaga-lembaga gerejawi, sekolah-sekolah dan serikat-serikat serta partai-partai  (JIW 54). Seluruh ajaran sosial gereja yang menerapkan pokok=pokok Injil  merupakan sumber ajar untuk pembinaan keadilan (JIW 56). Kritik atas ketidakadilan haruslah bijaksana, tegas namun penuh kasih  agar mengungkapkan perihidup Gereja sendiri dan menghasilkan kesepakatan keadilan berkelanjutan dalam masyarakat (JIW 57). Liturgi dan perayaan sakramen juga merupakan saluran pendidikan keadilan (JIW 58). Pemerataan sumber-sumber daya Gereja dalam kerangka solidaritas di antara Gereja-gereja di daerah kaya dan miskin guna pengelolaan bersama seluruh karunia Allah perlu didorong untuk tujuan meningkatkan otonomi dan kemampuan tanggungjawab pihak-pihak penerima bantuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (JIW 59-60). Kerjasama Ekumenis untuk mengusahakan keadilan di antara Gereja-gereja sesuai Konsili Vatikan II perlu didukung, demikian pula kerja sama di antara mereka yang berkehendak baik lintas iman (JIW 61-62).

Disampaikan  8-butir program universal internasional untuk memajukan keadilan: 1. Agar Pernyataan dan Piagam hak-hak asasi manusia PBB diterima dan dipatuhi oleh semua negara (JIW 64). 2. Agar PBB dan organisasi-organisasi internasional terkait didukung membatasi perlombaan senjata, menghentikan perdagangan senjata , menjamin perlucutan senjata dan menyelesaikan sengketa-sengketa secara damai (JIW 65). 3. Mendukung pelaksanaan Dasawarsa Pembangunan Kedua (1970-an) dengan menyalurkan dana solidaritas dari negara kaya kepada negara sedang berkembang  dengan mematok harga yang lebih wajar atas bahan mentah, membuka pasar untuk barang kerajinan negara berkembang dengan keringanan pajak, serta bantuan teknis untuk perencanaan pembangunan ekonomi dan sosial (JIW 66). 4. Pusat-pusat kekuatan pasar, dominasi ekonomi, penelitian, investasi, peraturan perdagangan dan transportasi  laut hendaknya memberi kesempatan pada partisipasi yang proporsional dari negara-negara berkembang untuk pembangunan bersama (JIW 67). 5. Lembaga-lembaha khusus dalam PBB hendaknya disempurnakan dan ditingkatkan terutama yang mengatur pertanian dan pangan, kesehatan, pendidikan, penggunaan tenaga kerja, perumahan dan urbanisasi, juga untuk kesejahteraan anak-anak dan keluarga (JIW 68). 6. Seruan kesinambungan komitmen bantuan dana dari negara donor kepada negara berkembang  untuk program  pembangunan yang bertanggungjawab (JIW 69). 7. Dukungan untuk KTT Bumi di Stockholm 1972 untuk mengerem kerakusan negara kaya dalam eksploitasi sumber daya alam (JIW 70). 8. Tindakan nyata untuk memberi kemudahan pada pembangunan nasional sesuai kebudayaan setempat, kerjasama timbal balik yang meningkatkan kemampuan bangsa-bangsa untuk mengusahakan rancang bangun ekonomi dan sosial secara mandiri, tiap bangsa berhak secara aktif dan bertanggungjawab bekerjasama demi kesejahteraan umum dalam kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain  (JIW 71).

Dengan demikian diharapkan dalam keikutsertaan umat Kristiani dapat diwujudkan  Kerajaan Allah , kerajaan keadilan, kebebasan, persaudaraan dan cinta kasih, yang akan disempurnakan Allah sendiri ketika Ia datang membarui seluruh bumi (JIW 75-76).

Dokumen Keadilan di Dunia (Justice in the World, JIW atau dalam bahasa Latin Convenientes ex Universo) diumumkan pada 30 November 1971. Butir-butir dokumen Keadilan di Dunia (Justice in the World, JIW) memberi inspirasi umat Kristiani termasuk di Indonesia untuk ikut memajukan keadilan dalam program pembangunan, terutama dalam kerja sama internasional baik melalui hubungan dengan lembaga-lembaga PBB seperti GATT (menjelang Tokyo Round 1973 berkenaan masalah pengurangan atau pembebasan hambatan tarif dan non-tarif yang meliputi Subsidi dan Tindakan Pengimbang, Hambatan Teknis Perdagangan, Tata Cara Perijinan Impor, Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, dan Penilaian Pabean), FAO (Indonesia menjadi anggota FAO sejak 1950. FAO banyak membantu  mengatasi kekurangan pangan.  Dalam pengembangan pertanian FAO telah membantu mengembangkan strategi dan kebijakan pangan dan pertanian. Pada tahun 1971 didirikan Kelompok Konsultatif untuk Riset Pertanian Internasional (Consultative Group on International Agricultural Research CGIAR), oleh kelompok yang berupa asosiasi negara, organisasi internasional dan regional, serta yayasan swasta, untuk mendukung sistem pusat penelitian dan program pertanian di seluruh dunia. CGIAR berperan dalam pelestarian keanekaragaman sumber daya genetik dengan membentuk Pusat-pusat Riset Pertanian Internasional), World Health Organization (WHO) , UNICEF dalam kesejahteraan dan pendidikan anak-anak, International Labour Organization (ILO) melalui Kementerian Tenaga Kerja dan berbagai serikat buruh/pekerja di Indonesia  tentang pokok-pokok dasar dan hak-hak dalam pekerjaan, peningkatan pemerkerjaan dan perbaikan imbalan, proteksi sosial dan dialog, dan lain-lain;  juga meningkatkan hubungan kerjasama dengan lembaga-lembaga donor keagamaan untuk pengembangan seperti Catholic Relief Service (CRS), Novib (Belanda), Misereor (Jerman), Justice & Peace (Canada) dan lain-lain.

Pedoman Kerja Umat Katolik 1970 sudah mengantisipasi perkembangan dengan menyatakan: “Ketidakadilan dalam perdagangan internasional dirasakan dalam negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Ekspor kita sebagian besar terdiri dari bahan-bahan mentah yang harganya di pasaran internasional sangat rendah, bahkan menurun, sedang alat-alat mesin yang diimpor untuk pembangunan sangat mahal dan naik terus”. Para ahli Indonesia diharapkan membarui struktur-struktur perdagangan internasional melalui perundingan-perundingan  demi keadilan internasional yang mutlak perlu bagi pembangunan di negara kita yang sedang berkembang. Pengusaha dalam negeri dianjurkan mengembangkan produksi substitusi impor dengan cara yang baik dan efisien, meningkatkan baik jenis, kualitas maupun kuantitas produk (PKUKI 44).

1 September 1971 Perubahan nama Kotamadya Makassar ke Kotamadya Ujung Pandang akibat perluasan wilayah kota yang dilakukan oleh wali kota Makassar. Pada tahun 1999 nama Makassar kembali digunakan lagi. Perubahan nama ini juga otomatis mengubah nama Keuskupan Agung Makassar/Ujung Pandang.

MAWI belum dapat memberikan suatu ruangan kepada Panitia Kongres/Biro Medis berhubung pekerjaan renovasi gedung KWI pada waktu belum selesai. Namun diusahakan mencari tempat sewa untuk sementara agar  Biro Medis  dapat mulai berfungs mengerjakan inventarisasi pekerjaan medis yang dilakukan di kalangan Katolik diseluruh Indonesia. Dalam rapat Biro Medis tanggal 24 Oktober 1971 diputuskan demi mempermudah dan mempercepat persiapan konggres, dibentuk suatu panitia baru yang anggotanya bertempat tinggal di Jakarta dan awam yang didampingi beberapa Suster. Pada akhir November, panitia baru mulai rapat dan memutuskan bahwa Konggres Medis   akan diadakan dalam bulan Juli 1972 di Wisma Samadi Klender. Namun nama “Konggres” diubah menjadi “Rapat Kerja Kesehatan Katolik”. Segala unit-unit kesehatan di seluruh Indonesia diundang ikut serta. Bantuan biaya penyelenggaraan dimintakan dari Lembaga Donor Misereor, Jerman.

Sidang MAWI diselenggarakan pada tanggal 22 November–3 Desember 1971, di Gedung MAWI Jakarta. Sidang terutama membahas soal Pembinaan Para Imam. Perhatian kepada hidup dan pelayanan ini dimaksudkan agar jangan sampai ucapan bahwa “para imam adalah domba-domba yang paling terlantar dalam Gereja” yang berasal dari mancanegara, terjadi juga di Indonesia. Maksudnya adalah bahwa para imam yang berjerih payah menunaikan tugas, bekerja keras, melayani dan membina umat, bahkan di daerah ada yang bertahan bertahun-tahun secara heroik dalam pelbagai kesulitan dan keterbatasan, juga perlu mendapat perhatian nyata, penghargaan, penyegaran, pembinaan lanjut, serta bantuan.  Di tengah sidang Majelis Agung Wali Gereja Indonesia tanggal 28 November 1971 Mgr.Dr. Paulus Sani Kleden,SVD  Uskup Denpasar, meninggal dunia di Jakarta. Beliau dimakamkan di Jakarta. (Namun kemudian nanti  jasad Mgr. Paulus Sani Kleden dipindah dan dimakamkan kembali di Palasari Bali, pada tanggal 23 September 1980).

Dari Sinode Para Uskup Oktober yang lalu sudah banyak yang didengar tentang aspek teologis perutusan dan hidup para imam. Para imam sendiri perlu diajak mengolah dan memikirkan aspek pastoral praktis dari hal itu di setiap keuskupan. Dari mereka di lapangan diharapkan banyak masukan yang tahun depan dapat diolah untuk menjadi bahan pedoman secara nasional sebagai citarasa kebersamaan dan kesatuan Gereja Katolik Indonesia.  Persiapan para calon imam diletakkan dalam perspektif tuntutan tugas yang luas dan berat  menurut perkembangan Gereja dan negara, dalam rangka pembangunan bangsa, yang berbeda-beda tarafnya di masyarakat yang dilayani, kendati jumlah imam terbatas, tetap memerlukan pendidikan lengkap yang tidak bisa disingkat.

Seleksi para calon imam sudah dilakukan sejak awal, dan selanjutnya berlapis-lapis. Bagi calon dari pedesaan, masuk seminari dianggap kemajuan status dalam masyarakat. Tidak demikian bagi calon yang berasal dari kota yang mempunyai pilihan sekolah yang lebih luas. Maka diperlukan katekese panggilan yang berbeda,  menerapkan aspek sosiologi, psikologi perkembangan dan sosial, serta ilmiah sesuai subyek katekese (SD, SMP, SMA) walau Kristus memanggil orang yang Dia kehendaki (Mrk 3:13). Perlu perencanaan bersama untuk menyampaikan pengertian panggilan, terarah, bertahap dan terpadu dalam menggunakan semua sarana komunikasi. Tes dan penyaringan dengan pola tertentu hendaknya diterapkan bertahap diarahkan pada tantangan peningkatan tekat dan kesungguhan para calon, bukan sekedar cara eliminasi. Seminari Menengah diarahkan agar membimbing siswa menerapkan “cara memahami”, bukan sekedar menghapal.  Tekanan diberikan pada penguasaan bahasa (utamanya bahasa Inggris), segi-segi hidup agamis (katekese, liturgi, Kitab Suci),  hidup budaya (sastra, seni), dan bimbingan rohani menuju kedewasaan iman. Pengembangan kurikulum Seminari Tinggi hendaknya diarahkan pada segi pastoral, memerhatikan situasi lokal (Indonesia? Asia?). Penempatan seminaris dalam tahun pastoral dalam bimbingan dan lingkungan yang membangun, perlu rancangan bersama pihak Seminari, keuskupan dan pembimbing yang ditunjuk, demi menguatkan semangat dan memberi inspirasi. Kehidupan asrama di samping kondusif untuk belajar juga untuk menunjang kedewasaan rohani, kemandirian, sekaligus ruang eksperimen pastoral yang menekankan komitmen, keterlibatan, dan kebersamaan satu cita-cita, kendati pun memerhatikan aspek khas pengabdian pada dioses, ordo/tarekat. Selain itu ada permintaan agar mereka disiapkan untuk sanggup ditempatkan di mana pun di Indonesia menurut urgensi pastoral. 

Penempatan imam baru sangat penting dipertimbangkan dengan seksama karena menentukan perkembangannya. Diharapkan perhatian dari rekan imam yang lebih senior. Jangan sampai karena enggan lalu imam muda tak diacuhkan. Imam baru tentu saja belum dapat diharapkan mampu dalam banyak hal. Ia masih akan berkembang dan memerlukan bimbingan. Diperlukan teman untuk berdialog agar ia mengenal apa yang masih perlu dikembangkan, dan apa yang perlu dikurangi karena berlebihan. Untuk itu diperlukan suasana persahabatan yang kondusif.

Sebagian umat Katolik adalah pegawai pemerintah. Mereka dimasukkan dalam Korps Pegawai Negeri  (KORPRI) yang didirikan pada tanggal 29 November 1971 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971. KORPRI merupakan wadah untuk menghimpun seluruh Pegawai Republik Indonesia dan diikat dengan Panca Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia,  yaitu sumpah/janji pegawai negri sipil yang dimaksudkan untuk menciptakan sosok PNS yang profesional, jujur, bersih dari segala korupsi, kolusi, nepotisme, berjiwa sosial, dan sebagainya. Isi  Panca Prasetya : 1. Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara,serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara; 3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan; 4. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia ; 5. Menegakkan kejujuran, keadilan, dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme.

Entah kapan pastinya tetapi menjelang akhir 1971 Ray Tomlinson mengirim ARPANET pertama, sebagai awal dari di mana surat elektronik dikiriman dari komputer satu ke komputer yang lain. 


Di Flores dari total penduduk tahun 1970 yang berjumlah sekitar  1 juta orang hanya 14.5% menyelesaikan pendidikan dasar. Gereja Katolik adalah perintis pendidikan dasar bagi masyarakat, telah membangun dan menyelenggarakan sekitar 1.000 sekolah dengan 155.000 murid dan menyediakan hampir 5.000 guru. Yang memprihatinkan pada waktu itu adalah besarnya drop-out, hampir 50% dari para murid karena berbagai alasan tidak dapat menyelesaikan sekolah hingga kelulusan. Agar upaya pendidikan semakin efektif pada  tahun 1971 Yayasan Pendidikan Katolik Vedapura, satu-satunya yayasan  yang menyelenggarakan seluruh persekolahan Katolik di seluruh  Flores, praktis telah dipecah menjadi lima yayasan berdasarkan kabupaten masing-masing, dengan visi sekolah umat. Kelima yayasan itu sejak 5 Agustus adalah  Yapersuktim  (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Flores Timur-Lembata), Yasukda (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada-Nagekeo) ,  Sanpukat (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Sikka) , Yasukel (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ende Lio) dan Yapersukma  (Yayasan Persekolahan Umat Katolik Manggarai).

Di beberapa Keuskupan pada masa itu penyelenggaraan pendidikan sekolah terkendala banyak hal terutama penyediaan dana dan SDM guru, maka upaya pendidikan dialihkan pada bidang pendidikan informal kemasyarakatan seperti kursus baca-tulis dan ketrampilan, utamanya di bidang pertanian (do-school). Pedoman Kerja Umat Katolik 1970 menyatakan: “Pembangunan bukan berarti membangun gedung saja, bukan pula membangun alat-alat produksi dan penyalurannya, tetapi berarti terutama membangun, mengembangkan manusia sehingga mampu membangun gedung dan alat-alat tersebut dan mempergunakannya”. Rakyat perlu diikutsertakan seerat mungkin agar mereka dapat mengembangkan diri sebagai manusia produktif (PKUKI 38).

Dimulai dari Kursus/Pelatihan Credit Union (CU), pada tahun 1971 tumbuh 3-5 CU di Jakarta dan Bandung, dan Periangan Timur Jawa Barat. Kursus pelatihan itu diselenggarakan oleh Biro Konsultasi Koperasi Simpan Pinjam/Credit Union Counselling Office (CUCO). Lembaga yang  berfungsi mempersiapkan Program Motivasi dan Pendidikan Pelatihan Credit Union bagi masyarakat ini didirikan pada 4 Januari 1970, dikelola oleh para relawan, dipimpin oleh Romo Albrecht Karim Arbie SJ sebagai Direktur Utama dan Robby Tulus sebagai Managing Director. Credit Union yang aslinya gerakan koperasi keuangan internasional di Indonesia beroperasi dengan menyesuaikan diri kepada ketentuan–ketentuan  dalam UU No. 12/1967 tentang pokok – pokok Perkoperasian di Indonesia. Dirjen Koperasi saat itu Ir. Ibnoe Soedjono memandang Credit Union layak dikembangkan di Indonesia. Ibnoe Soedjono bahkan bersedia menjadi Ketua Dewan Penyantun CUCO yang beranggotakan Raden Mas Margono Djoyohadikusumo (pendiri BNI 46), Prof. Dr. Fuad Hasan (Guru besar psikologi yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan & Kebudayaan), Mochtar Lubis (wartawan dan satrawan), Prof. Dr. A.M. Kuylaars Kadarman, SJ (Pendiri Lembaga Pendidikan & Pengembangan Manajemen), A.J. Sumandar, John Dijkstra, SJ dan  Albrecht Karim Arbie, SJ. Kemudian pada 1971, Romo Albrecht SJ menyerahkan pengelolaan CUCO sepenuhnya kepada Robby Tulus.

Pedoman Kerja Umat Katolik 1970 menyatakan: “Gereja wajib berusaha ke arah otonomi keuangan lembaga-lembaganya. Usaha-usaha, proyek-proyek pembangunan kecil swadaya rakyat sangat lebih tepat dibantu dengan kredit-kredit yang harus dibayar kembali dari hasil usaha swadaya rakyat sendiri daripada (mengandalkan) derma dana melulu. Gereja ingin berswadaya bersama rakyat” (PKUKI 38).


(Bersambung Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1972)

 

 

1970 Pembangunan dan Perubahan

 


Bambang Kussriyanto

Sejarah Gereja Katolik Indonesia Pasca 1970

 

BAB I

GEMURUH PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN

(1970-1979)

Kemajuan yang sejati terwujudkan dalam tata-ekonomi yang dimaksudkan demi kesejahteraan pribadi manusia, bila rezeki sehari-hari yang diterima setiap orang memantulkan kehangatan kasih persaudaraan dan uluran tangan Allah” (St Paulus VI, Populorum Progressio 86)


Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1970

“Manusia berziarah ke depan, melangkah maju dalam menguasai dunia: pikiran, studi dan pengetahuan mengantarkan penguasaan atas dunia itu; kerja, alat dan prasarana serta teknologi menjadikan penguasaan ini kenyataan yang indah. Apa gunanya kemajuan ini bagi manusia? Untuk membantu agar hidup lebih baik dan lebih penuh. Manusia mencari kepenuhan hidup dalam waktunya yang terbatas  - dan sedang berusaha mencapainya. Kepenuhan hidup itu haruslah universal, artinya, diperuntukkan bagi semua orang. Maka manusia mengusahakan pemerataan hasil kemajuan bagi semua orang; mengusahakan kesatuan, keadilan, keseimbangan dan kesempurnaan, yang kita sebut Perdamaian.

Mereka yang memelajari gagasan besar perdamaian dunia tentu akan mendapati bahwa sekarang ini diperlukan pendidikan ideologis baru, pendidikan perdamaian. Ya, perdamaian yang bertumbuh dari hati. Pertama-tama kita sendiri harus mengenal perdamaian itu, menghendakinya dan mencintai perdamaian; selanjutnya perdamaian kita nyatakan, dan kita resapkan dalam pembaruan moralitas dan peri-kemanusiaan,; dalam filsafah, dalam sosiologi, dalam politik.” (St Paulus VI,  Pesan Hari Perdamaian Sedunia, 1 Januari 1970).

Ketika PBB mencanangkan dasawarsa 1950-an sebagai masa pembangunan dan rekonstruksi pasca Perang Dunia, Indonesia sedang menikmati  euforia kemerdekaan dan dalam tahap mengusahakan  jalan konsolidasi  politik nasional untuk pembangunan negara bangsa (nation building).  Ketika selanjutnya PBB mencanangkan dasawarsa 1960-an sebagai masa pertumbuhan ekonomi dengan sasaran laju rata-rata 5% per tahun, ekonomi  Indonesia yang terbengkelai oleh hiruk pikuk politik justrru terjun bebas merosot hingga pertengahan dasawarsa, dan baru selanjutnya dengan sistem baru bebenah untuk mengejar pertumbuhan pada 1967 dengan menerapkan rencana pembangunan sistematis. Pada awal 1970-an Indonesia praktis dalam perintisan masa pembangunan dan mengejar pertumbuhan ekonomi.

Tidak semua harus disikapi serius. Anak-anak muda ikut derap pembangunan dengan lagak dan lagunya sendiri. Setelah fenomen  radio amatir (radam), radio eksperimen (radeks), radio gelap ditertibkan pemerintah harus berbadan hukum, mereka tetap mengudara dengan penuh gaya, dan pemancar radio mereka setelah terdaftar berbadan hukum  disebut “broadcasting system” atau “broadcasting enterprise”.  Tahun 1970 disambut dengan lagu-lagu Led Zeppelin “A Thunder of Drums” menandai suatu hingar bingar. Termasuk hingar bingar revolusi tawa, dengan timbulnya banyak kelompok lawak. Juga lawakan intelektual para mahasiswa.

Paroki adalah orang-orang beriman (umat katolik) yang tinggal di suatu kawasan dan berada dalam reksa pastoral (penggembalaan rohani) seorang Uskup. Untuk mewakili Uskup melaksanakan tugas pastoralnya, maka Uskup mengutus seorang imam menjadi pastor paroki tertentu. Karena sudah selayaknya seorang pekerja mendapat upahnya, maka dalam pandangan lama (Hukum Gereja 1917) terkesan bahwa paroki adalah sumber nafkah pastor. Pandangan itu berubah setelah Konsili Vatikan II. Paroki adalah komunitas umat beriman yang didirikan Uskup yang mempunyai hak dan melaksanakan kewajiban sehubungan dengan imannya. “Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Kehidupan umatnya yang beriman dalam Kristus bersumber dan tergantung dengan cara tertentu dari padanya. Maka dari itu semua orang harus menaruh penghargaan amat besar terhadap kehidupan Liturgi keuskupan di sekitar Uskup, terutama di gereja katedral. Hendaknya mereka yakin, bahwa penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh umat kudus Allah dalam perayaan Liturgi yang sama, terutama dalam satu Ekaristi, dalam satu doa,pada satu altar, dipimpin oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para pelayan lainnya... Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau di mana-mana memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk kelompok-kelompok orang beriman, di antaranya yang terpenting yakni paroki-paroki, yang di setiap tempat dikelola di bawah seorang pastor yang mewakili Uskup. Sebab dalam arti tertentu paroki menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan. Maka dari itu hendaknya kehidupan Liturgi paroki serta hubungannya dengan Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman serta para rohaniwan. Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan dalam paroki berkembang, terutama dalam perayaan Misa umat pada hari Minggu” (SC 41-42). Sehubungan dengan itu sukacita persekutuan umat Allah terwujud dengan berdirinya paroki-paroki baru pada 1 Januari 1970 antara lain di Malino, sebagai hasil pemekaran Katedral Makassar. Juga di Mangkutana/ Maleku, yang merupakan pemekaran paroki Palopo. Menurut statistik Vatikan pada 1970 terdapat 50.908 umat katolik di Keuskupan Agung Makassar, yang dilayani oleh 54 imam diosesan dan 51 imam CICM. Sebelum 1970 mereka tersebar di 25 paroki yang berada di Provinsi Selawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) pada tahun 1970 paroki baru didirikan di Duren Sawit dan Rawa Mangun (keduanya hasil pemekaran dari paroki Matraman yang berdiri sejak 1909).  Menurut statistik Vatikan pada 1970 umat Katolik di KAJ 59.846 jiwa tersebar di 24 paroki, dilayani  8 imam diosesan dan 92 imam religius dari berbagai ordo/tarekat.

Dua paroki baru juga didirikan di Blora (pemekaran dari paroki Cepu) dan Pare (pemekaran dari paroki Kediri/Vincentius a Paulo), dan di Ponorogo (pemekaran dari paroki Madiun), di Keuskupan Surabaya, dalam tahun 1970. Menurut statistik Vatikan pada 1970 umat Katolik di Keuskupan Surabaya berjumlah 56.966 jiwa, dilayani 55 imam Lazaris (CM), tersebar di 21 paroki. 

Dari paroki Katedral Ambon pada 1970 yang dimekarkan, didirikan paroki Benteng/Ambon dan paroki Namlea di Pulau Buru. Menurut statistik Vatikan pada 1970 umat Katolik di Keuskupan Amboina berjumlah 61.700 jiwa dan tersebar di 24 paroki, dilayani seorang imam diosesan dan 28 imam religius (MSC).

Beberapa paroki baru lainnya yang didirikan pada 1970 adalah paroki Genteng (Keuskupan Malang), paroki Perdagangan (Keuskupan Agung Medan), Delta Kapuas (Keuskupan Agung Pontianak), Hepuba (Keuskupan Jayapura), dan Wonda (Keuskupan Agung Ende).

Ada nada sumbang yang masih terdengar dari jalinan peristiwa pahit di masa lalu. Mahkamah militer luarbiasa (Mahmilub) dilaksanakan atas perkara Abdullah Alihami, Sekretaris I CBD PKI Riau, dan vonis hukuman mati dijatuhkan menurut Putusan Mahkamah No. PTS-PK-032/MLB-I/AA/70, tanggal 16 Februari 1970.

Gereja-gereja di Kecamatan Donggo di Bima dibangun kembali  pada tahun 1970. Pada 1969 Donggo yang saat itu merupakan  stasi dari Paroki Raba, Bima, Keuskupan Weetebula, mengalami kejadian memprihatinkan, menggoyangkan iman umat dan bangunan gereja. Umat katolik dianiaya dan gereja-gereja  di Tolonggeru, Mbawa dan Nggerukopa Donggo dirobohkan dan dibakar. Umat katolik dipaksa masuk ke agama lain. Pastor Heribertus Kuper,CssR nyaris dibunuh. Namun beberapa umat katolik berhasil menyelamatkannya. Masalah itu dapat diselesaikan oleh pemerintah Kabupaten Bima. Pemerintah bahkan menyediakan dana untuk membangun kembali gereja yang dibakar massa. Sedangkan umat katolik yang dipaksa masuk agama lain dikembalikan ke pangkuan gereja Katolik atas upaya Bimas Katolik Nusa Tenggara Barat.

Sebagai langkah menuju perdamaian suatu kata baru yang viral di ujung awal 1970 adalah “detente” di antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sementara konflik dan perang masih membara di beberapa daerah, terutama di Vietnam dan Indo-China.

Ada letupan kegembiraan pada  23 Februari 1970 tentang lahirnya Republik Guyana. Namun hal itu masih menyiratkan keprihatinan universal sebab sebagian bangsa masih berada dalam penderitaan iklim penjajahan kolonial, dan menghendaki kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri. Sebagian penindasan bukan dilakukan bangsa lain, melainkan oleh bangsa sendiri melalui pemerintahan yang tidak adil. Upaya pembebasan rakyat dari penderitaan untuk mengembangkan hidup yang lebih penuh dan lebih adil menjadi wacana di banyak tempat, dan dalam pigura iman kristiani diberi label teologi pembebasan.

Pembajakan pesawat terbang yang menjadi marak menjelang akhir 1969, di awal tahun 1970 dirasakan menjadi ancaman umum. Pembajakan pesawat terbang yang mulanya bermotivasi pribadi dan ekonomis oleh perorangan (misalnya kasus TWA 85 Los Angeles oleh pemuda 19 tahun yang ingin menengok keluarganya yang sakit di negara lain; atau kasus Delta Airlines Cincinnatti-Chicago oleh remaja 14 tahun yang belum cukup umur untuk diadili) tanpa menimbulkan korban, pada bulan-bulan terakhir 1969 berubah menjadi bahasa tuntutan politik karena dilakukan dan dimainkan oleh kelompok-kelompok politik (KAL /YS-11 dari Gangneung ke Seoul-Gimpo dilarikan ke Korea Utara membawa 50 penumpang dan kru. Empat kru dan 6 penumpang dinyatakan hilang. Yang lain ditahan Korea Utara).  Pada 1 Januari  1970 pesawat Cruzeiro do Sul Sud Aviation SE-210 Caravelle VI R dalam perjalanan dari Montevideo ke Rio de Janeiro membawa 33 penumpang ddibajak oleh 6 orang yang meminta diterbangkan ke Cuba. Penerbangkan dialihkan ke  Lima, Panama City dan tiba di Havana dua hari kemudian.

   

A. Nama Lain Perdamaian adalah Pembangunan

(Populorum Progressio 87)

Suatu langkah maju perdamaian tersirat dalam peristiwa 16 Maret 1970 ketika dengan niat menjalin hubungan baik dengan negara tetangga, Presiden Soeharto melakukan kunjungan pertama Presiden Republik Indonesia ke Malaysia pasca konfrontasi. Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman  berdialog dengan Presiden Soeharto soal Selat Malaka dalam kunjungan itu. Tunku Abdul Rahman memuji Soeharto karena komitmennya mewujudkan perdamaian antara Indonesia dan Malaysia.

Indonesia memasuki tahun kedua Pembangunan Lima Tahun pada tahun 1970. Menurut Garis Besar Haluan Pembangunan yang berlaku saat itu, diusahakan pola pertumbuhan yang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dalam keseimbangan. “Di samping meningkatkan pendapatan nasional, sekaligus harus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat  sesuai dengan rasa keadilan, sehingga di satu pihak pembangunan tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi, melainkan sekali gus mencegah melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin dengan menumbuhkan azas hidup sederhana; bukan saja untuk mencapai masyarakat yang makmur, melainkan juga untuk mewujudkan masyarakat yang adil”.

Usaha penurunan inflasi telah dilakukan sejak awal paroh kedua 1960-an melalui kebijakan moneter yang melarang pendanaan domestik dalam bentuk utang domestik ataupun pencetakan uang, hingga tercapai stabilitas harga. Bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia dalam pertengahan akhir tahun 1960an membuka  aliran bantuan keuangan dan bantuan asing masuk ke Indonesia dari negara-negara Barat dan Jepang. Kemudian mekanisme pasar bebas dipulihkan dengan tindakan-tindakan membebaskan kontrol pasar, diikuti dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Kedua undang-undang ini mengandung insentif-insentif yang menarik bagi para investor untuk berinvestasi di negara ini dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968.

Jika rumusan rencana kerja pemerintah pada tahun pertama Pelita I 1969/1970 adalah murni gagasan pemerintah dan bersifat darurat, rencana kerja  pada tahun kedua 1970/1971 adalah hasil dari Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) maksudnya diharapkan lebih teliti, logis, sistematis dan adil. 

Untuk pembangunan kehidupan politik, pada 7 Januari 1970 Presiden Soeharto pertemuan konsultatif  dengan para pimpinan dan tokoh-tokoh 9 partai untuk membahas rencana pemerintah mengurangi jumlah partai. Dalam kesempatan ini Presiden melontarkan gagasan pengelompokan parpol ke dalam dua kelompok, masing-masing dipandang dari aspek material dan spiritual. Atau, jika diberi bobot orientasinya, akan terbentuk dua kelompok, yang menekankan material-spiritual dan yang menekankan spiritual-material. Idepengelompokan ini  berkaitan dengan keinginan Presiden untuk menciptakan stabilitas yang menjadi “tanggung-jawab bersama”, terutama untuk meredam konflik menjelang pemilu 1971.

Pertemuan lanjutan yang  lebih khusus dengan lima parpol yang dianggap mewakili “kelompok material-spiritual” dilakukan Presiden pada 27 Pebruari 1970. Di samping menyampaikan kembali  pokok-pokok pikiran pertemuan pertama, juga  ditegaskan perlunya “penyederhanaan cara kerja dan berpikir” dengan mengambil bentuk “up-konfederasi parpol” (ide pokoknya  tidak ada kepengurusan baru, selain bentuk “dewan ketua-ketua umum parpol” yang dibantu suatu “badan pekerja” sebagai brain trust). Dalam perkembangannya, gagasan Presiden itu  melahirkan polarisasi parpol. Ada yang mendukung karena dinilai sebagai “tuntutan obyektif” ataupun sebagai “pilihan taktis”, tapi ada yang menolak. Di antara yang menerima bahkan ada yang siap dengan usulan konkrit.

Selepas konsultasi itu berkembang isu santer bahwa Presiden akan membubarkan parpol-parpol sebelum 11 Maret 1970 jika mereka gagal merealisasikan ide Presiden. Menanggapi  rumor ini, para tokoh dari  lima parpol, antara lain, Hardi dan Gde Djaksa (PNI), Akhmad Sukarmadidjaja (IPKI), VB Da Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan (Partai Katolik), Maruto Nitimihardjo dan Sukarni (Murba), dan M. Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo) melakukan pertemuan pada 7 Maret 1970 untuk membicarakan “soal-soal sekitar pengelompokan partai-partai”. Dalam  pertemuan selanjutnya pada 9 Maret 1970 di tempat yang sama (ruang kerja wakil ketua MPR, Siregar, Jl. Teuku Umar No. 5 Jakarta) dimatangkan draft “Pernyataan Bersama” yang telah disiapkan Hardi dan draft-draft perbaikan dan tambahan yang disiapkan Murba dan IPKI. Untuk itu pertemuan 9 Maret 1970 menyepakati pembentukan Panitia Perumus yang terdiri dari Mh. Isnaeni (PNI), M. Supangat (IPKI), Murbantoko (Murba), Lo Ginting (Partai Katolik), dan Sabam Sirait (Parkindo) yang berhasil  menyelesaikan rumusannya hari  itu juga.

Akhirnya para tokoh kelima parpol mengeluarkan “Pernyataan bersama”, yang dilaporkan pada Presiden pada 12 Maret 1970 (dalam pertemuan ini Presiden menampik adanya rencana pembubaran parpol). Pernyataan Bersama memuat dua hal, yakni : (1) Kesediaan untuk melakukan kerjasama demi  kepentingan nasional. (2) Hal-hal yang menyangkut dasar, sifat, pengorganisasian, program kerja, prosedur dan nama kerjasama, akan ditentukan dalam waktu sesingkat-singkatnya

Pada tanggal 24 Maret pertemuan para tokoh kelima parpol kembali digelar di ruang kerja Siregar. Hadir antara lain, Hardi dan Usep Ranuwidjaja (PNI), M. Siregar, JCT Simorangkir dan Sabam Sirait (Parkindo), VB Da Costa, Lo Ginting dan Doeriat (Partai Katolik), Maruto Nitimihardjo (Murba) serta Akhmad Sukarmadidjaja dan Mustafa Supangat (IPKI). Pertemuan ini berusaha memformulasi secara lebih kongkrit butir kedua pernyataan bersama. Soal nama kelompok muncul banyak gagasan, misalnya “Kelompok Demokrasi Kesejahteraan”, “Kelompok Kesejahteraan Kerakyatan” (usulan partai Katolik), “Kelompok Gotong Royong” (usulan Murba), “Kelompok Pembangunan” (usulan IPKI), “Kelompok Nasionalis (usulan PNI). “Kelompok Demokrasi dan Pembangunan (usulan Parkindo)”. Sedangkan mengenai bentuk dan sifat kerjasama muncul ide mulai dari konfederasi, aliansi, koalisi, liga, ataupun badan kerjasama. Setelah melalui perdebatan melelahkan, akhirnya disepakati nama kelompok adalah “Demokrasi Pembangunan” dalam rangka perwujudan Badan Kerjasama yang isinya konfederasi. Dengan demikian nama resmi yang diberikan adalah “Badan Kerja Sama Demokrasi Pembangunan” atau lebih dikenal sebagai “Kelompok Demokrasi Pembangunan”. Pertemuan juga menetapkan dua kontak person kelompok, masing-masing Hardi dan Siregar.

Selama pertemuan tokoh lima parpol, muncul kecemasan besar akan terjadinya polarisasi politik nasional ke dalam dua kubu. Terjadi silang pendapat bagaimana mengeliminir tendensi ini, termasuk gagasan menyertakan salah satu parpol Islam dalam pengelompokan yang ada. Tetapi akhirnya ditemukan jalan keluar, yakni dengan menempatkan “prinsip keterbukaan bagi semua kekuatan sospol dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan nasional” sebagai prinsip dasar pengelompokan.

Pertemuan  menghasilkan pembentukan dua kelompok koalisi di dalam DPR pada bulan Maret 1970 yaitu Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik; dan Kelompok Persatuan Pembangunan, yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.

Sesuatu yang  belum disadari pada waktu itu adalah bahwa setelah belajar dari masa lalu ketika partai-partai digerakkan oleh ideologi masing-masing dan menyebabkan kekacauan politik, gagasan pengelompokan partai-partai yang dilontarkan Presiden Soeharto dengan maksud untuk menciptakan stabilitas yang menjadi “tanggung-jawab bersama”, terutama untuk meredam konflik menjelang pemilu, merupakan langkah de-ideologisasi. Partai-partai dilucuti dari ideologinya yang menyebabkan perseteruan satu sama lain. Yang tidak terduga sebagai akibatnya adalah bahwa para anggota partai kemudian kehilangan pegangan juga. Oleh karena itu dalam kehidupan politik mulai terbentuk “massa mengambang” di kalangan masyarakat umum. Dan populasi “massa mengambang” ini bertambah besar dengan meningkatnya “kelas menengah” yang  kemudian fenomenal sebagai hasil ikutan dari proses pembangunan ekonomi.

Penyederhanaan partai dirintis oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Jumlah partai politik yang ada pada waktu itu kira-kira 25, dikurangi berdasar perolehan suara dalam Pemilu 1955 hingga tinggal 10 partai saja, yaitu PNI, Partindo, IPKI, NU, PSII, Perti, Parkindo dan Partai Katolik, PKI serta Murba yang sesungguhnya representasi dari ideologi Nasionalis, Islam, Kristen dan Marxisme.

Gereja Katolik Indonesia menyambut dasawarsa 1970-an dengan membenahi diri sejalan dengan pembaruan menurut semangat dan hasil-hasil Konsili Vatikan II. Serentak dengan itu ia juga berusaha menempatkan diri sebaik-baiknya dalam dinamika masyarakat dan bangsa mendayung usaha pembangunan di segala bidang. Gereja hendak menampilkan diri sebagai hati nurani masyarakat. Dan untuk itu berusaha belajar menggali kekayaan budaya Indonesia agar dapat mengungkapkan iman secara otentik menjadi bagian integral dari keindonesiaan.

Umat Katolik Indonesia dalam satu dasa warsa mengalami pertumbuhan hampir 100% dari 1,2 juta pada tahun 1960 menjadi sekitar 2,3 juta pada 1970. Pertumbuhan umat yang sangat signifikan yang sekaligus membawa tuntutan besar dalam penyediaan sarana, prasarana dan metode serta petugas pastoral.

Membangun Manusia Pembangun

Suatu kerja sama ekumenis antara DGI dan MAWI di awal tahun 1970 di Cipayung Bogor diselenggaran sekretariat Sodepaxi mencetuskan gagasan utama “Membangun Manusia Pembangun”. Gagasan ini bergaung panjang terutama di gereja-gereja kristen dan keuskupan yang berkarya di daerah yang terbilang terbelakang dalam banyak hal termassuk  kekurangan tenaga pastoral, atau tenaga pastoralnya mengalami kelebihan beban tugas sehingga tidak punya waktu untuk merenungkan karyanya, sekaligus menjadi gelombang baru untuk sosialisasi semangat dan ajaran Konsili Vatikan II.

Pada awal tahun 1970-an  jumlah imam yang berkarya di Indonesia 1.447 orang, sebagian besar adalah misionaris asing, dan 507 imam asli Indonesia (32%), di antaranya 130 orang imam diosesan.

Untuk para imam yang sudah lama bekerja diselenggarakan “refresher course” . Tetapi juga diperlukan forum-forum pertemuan untuk para imam yang lebih muda agar sering bertukar pikiran dan tukar pengalaman saling memperkaya dalam semangat Konsili Vatikan II (PO 7; DH 28 al 2). Dianggap baik juga jika forum=forum itu diikuti para bruder dan suster. Diperlukan lebih banyak  Institut Pastoral yang membantu para imam paroki dalam upaya pendewasaan umat, up-grading dewan paroki, para katekis dan diakon awam dalam semangat dan keterampilan kerja pelayanan. Sementara Institut Pastoral yang sudah ada di Yogyakarta, Surakarta, Malang dan Ende diharapkan agar dioptimalkan, dan agar melengkapi tim yang dikirim dengan pengetahuan yang cukup mengenai keadaan dan budaya setempat di mana mereka memimpin lokakarya pastoral.

Kesejahteraan para petugas pastoral  dalam hal kesehatan juga memerlukan perhatian. Medan tugas yang berat, beban pelayanan berlebih, kondisi rohani dan fisik yang aus menimbulkan gejala merosotnya keseimbangan mental sebagian imam. Mereka yang mengalami gangguan psikologis memerlukan tempat perawatan yang layak dan menjamin pemulihan. Beberapa kota besar mempunyai sanatorium jiwa, sebagian besar daerah tidak memiliki fasilitas itu.

Sebagian imam, bruder dan suster misionaris “sudah tak bertenaga” setelah bekerja keras lima belas tahun, atau sepuluh tahun, menurut ketahanan fisik, mental dan tohani masing-masing. Diperlukan pola liburan yang menyegarkan dan membantu mereka mengkristalkan pengalaman bekerja, agar mereka diremajakan setelah liburan dan masih dapat menyumbangkan dirinya lagi. Selain itu dipikirkan juga tempat bagi mereka yang sudah sungguh-sungguh tidak dapat aktif bekerja lagi, terutama yang sudah tua, dengan jaminan hidup yang pantas.

Di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Mgr Adrianus Djajasepoetra SJ, memasuki  usia 76 tahun dan pensiun mengundurkan diri pada 21 Mei 1970. Ia sudah memimpin Keuskupan Agung Jakarta selama 17 tahun sejak 1953. Untuk menggantikannya Paus Paulus VI pada hari yang sama 21 Mei 1970, mengangkat Mgr Leo Sukoto SJ yang sudah cukup mengenal situasi Jakarta.  Antara 1966-1967 Leo Sukoto SJ adalah sekretaris KAJ.  Kemudian ia menjadi Vikaris Jendral dari 1967 hingga 1970. KAJ pada awal 1970 mempunyai 23 paroki dengan jumlah umat mendekati  60.000 orang menurut statistik Annuario Pontifico 1971.

Dewan Waligereja Pusat (Dewap) Harian dalam pertemuan pada 25-27 Mei 1970 melakukan persiapan untuk Sidang Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) yang akan diselenggarakan November-Desember 1970 nanti.  Dalam pertemuan Dewap Harian itu timbul gagasan agar MAWI membicarakan juga persoalan-persoalan aktual  yang dihadapi bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat katolik khususnya. Gereja wajib ikut memperhatikan, terlibat dan berperan memecahkan persoalan bangsa, menjadi inspirator dan memberi dorongan pelaksanaan pembangunan demi perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia.

Oleh pemerintah, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditempatkan sebagai suatu rencana operasional tahunan sekaligus alat pemantauan dan pengendalian (pengawasan dan koreksi) dari pembangunan lima tahunan (Repelita) serta diarahkan untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN).  APBN disusun menurut suatu sistem yang dicangkok dari teori-praktek Amerika Serikat dan dikenal dengan nama PPBS (Planning, Programming and Budgeting System).  Planning atau perencanaan adalah paradigma naratif sistematis apa saja sasaran  yang mau dicapai dalam masa tertentu. Programming adalah langkah penentuan program atau rincian pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai  sasaran. Budgeting atau peranggaran menerjemahkan kebutuhan seluruh program dalam nilai keuangan atau rupiah.Sistem adalah paduan menyeluruh dari bagian-bagian yang saling berinteraksi. Di dalam sistem ini aktivitas PPB disusun setiap tahun menggunakan konsep bottom-up dan top-down sekaligus. Bottom-up maksudnya bahan rencana-rencana berasal dari bawah agar mencerminkan aspirasi harapan dan kehendak rakyat melalui peran Bappeda, baik Tk.II maupun Tk. I  dan sektoral. Konsep top-down maksudnya setelah rencana-rencana disusun dalam paradigma pembangunan menyeluruh, pemerintah pusatlah, di sini maksudnya Bappenas dan Departernen Keuangan, yang kemudian menentukan rencana mana saja yang disetujui untuk diprogramkan dan berapa besaran anggarannya, dengan memerhatikan prioritas-prioritas.

Dalam pasal 23 ( I ) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dinyatakan bahwa "Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Undang Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka pemerinlah menjalankan anggaran tahun lalu." Menurut ketentuan ini DPR yang terdiri dari wakil-wakil rakyat ikut menentukan baik seluruh rencana, maupun program yang akan dilakukan pemerintah yang dituangkan dalam APBN dan jika sudah didapat persetujuan dengan mekanisme yang berlaku, APBN  itu ditetapkan menjadi Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi aktivitas pemerintah. Pada tahun 1970 sekitar 30 orang umat katolik duduk dalam Parlemen atau DPR. Melalui mereka umat Katolik boleh berharap menyalurkan aspirasi, harapan dan kemauan terkait pembangunan yang dilakukan pemerintah. Secara teoritis dan  teknis di sini seluruh umat katolik sebagai warga negara sudah ikut terlibat dan berperan-serta dalam pembangunan.

Dasar teologi untuk keterlibatan membangun masyarakat adalah kesatuan umat dengan Yesus Kristus Tuhan. Usaha menemukan kebahagiaan dan kesejahteraan hanya mungkin oleh pertolongan Allah, melalui perantaraan Yesus Kristus. Yesus Kristus dalam menyelamatkan manusia seluruhnya bekerja melalui kita dengan memberikan Roh Kudus, yaitu sumber tenaga ilahi yang menggerakkan dengan menyingkirkan hambatan dosa egoisme dan mengembangkan ikatan  kesatuan melalui cinta kasih, sehingga kendati ada perbedaan-perbedaan semua gerak usaha terkoordinasi membangun kesejahteraan untuk semua.

Pandangan yang khas adalah berkenaan dengan makna “pembangunan menyeluruh” (bukan hanya ekonomi saja), sekaligus berkenaan dengan pelbagai daya yang memungkinkan dan mendorong pembangunan semesta. Dasar iman ini tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan dengannya memeroleh jalan pelaksanaan melalui kerja sama dengan umat beragama lain dalam persaudaraan, bagai musafir bergerak menuju dunia baru yang menjamin kesejahteraan umum dan keadilan sosial.  Pedoman lalu menyampaikan bagian petunjuk praktis dalam hal keluarga, pendidikan, politik, ekonomi. Dilanjut petunjuk hubungan dengan umat beragama lain. Kemudian petunjuk mewartakan dan merayakan ekaristi. Dalam bagian akhir, Pedoman memaparkan tanggung jawab berbagai kelompok dalam Gereja.

Sistem PPB (Planning, Programming, Budgeting)  dilaksanakan berdaur, bergulir setiap September hingga Desember  sampai  Rencana APBN mendapat persetujuan DPR dan kemudian dijadikan Undang-undang, untuk dilaksanakan dari awal masa anggaran tiap bulan April. Berulang setiap tahun. Beberapa Keuskupan misalnya Keuskupan Ende dan Uskup Donatus Djagom SVD, dalam rangka membangun kemandirian nantinya memerhatikan cara kerja pemerintah itu dan belajar darinya, lalu dengan niat baik kendati segala keterbatasan berusaha mempraktekkannya mutatis-mutandis. Maksudnya disesuaikan dengan keadaan gerejawi yang masih terbiasa dengan program untuk lingkaran perayaan Paskah dan Natal saja, ke arah kegiatan pastoral sepanjang tahun. Tentu dengan mengingat organisasi Gereja juga belum serapi pemerintah, terdiri dari panitia-panitia ad hoc, juga bukan suatu garis komando, karena bersifat suka rela. Sifat Gereja institusional yang masih pekat membuat pola komunikasi Gereja pada umumnya top-down, maka sedang dalam tahap belajar untuk mengubah sikap menjadi lebih luwes terbuka, mendengarkan aspirasi dan menampung harapan dari bawah, bottom-up, untuk menjadi Gereja Umat Allah sesuai Konsili Vatikan II. Aneka halangan dan kesulitan bahkan kegagalan  dijumpai, tetapi pembelajaran harus berlanjut, dengan trial and error. Atau coba dan ralat.

Dengan nada obyektif dan positif, disiapkan oleh Dewap MAWI naskah Pedoman keterlibatan umat katolik dalam pembangunan yang walaupun bersifat umum namun cukup konkret untuk disahkan pada Sidang Majelis Waligereja Indonesia November 1970 berkat arahan Mgr Leo Sukoto SJ. Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia akan  diumumkan bertepatan dengan kunjungan Paus Paulus VI di Indonesia pada bulan Desember 1970. Pedoman Kerja Untuk Umat Katolik Indonesia (PKUKI) ditandatangani Waligereja dari 33 keuskupan di Indonesia, mengacu pada petunjuk Konsili Vatikan II (dokumen Lumen Gentium, Sacrosanctum Concilium, Gaudium et Spes, Orientalium Ecclesiarum dan Ad Gentes). Maka dapat dikatakan PKUKI menerjemahkan Konsili Vatikan II dalam realisme sosial Indonesia.

Para Uskup di Indonesia pada awal 1970: Mgr A.v.d. Hurk OFMCap (Keuskupan Agung Medan); Mgr. R. Bergamin SX (Keuskupan Padang); Mgr. J. Soudant SCJ (Keuskupan Palembang); Mgr. N.v.d. Westen SSCC (Keuskupan Pangkalpinang); Mgr. A. Hermelink SCJ (Keuskupan Tanjung Karang); RP. B. Willing OFMCap (Pro-Prefek Apost. Sibolga); Mgr. H.v.d. Burgt OFMCap (Keuskupan Agung Pontianak); Mgr. W. Demarteau MSF (Keuskupan Banjarmasin);  Mgr. G. Sillekens CP (Keuskupan Ketapang); Mgr. J. Romeijn MSF (Keuskupan Samarinda); Lambertus van Kessel SMM (Keuskupan Sintang); Mgr. M. Di Simone CP (Prefek Apost. Sekadau); Mgr. L. Soekoto SJ (Keuskupan Agung Jakarta); Mgr. P. Arntz OSC (Keuskupan Bandung); Mgr. N. Geise OFM (Keuskupan Bogor); Justinus Kardinal Darmoyuwono (Keuskupan Agung Semarang); Mgr A.E.J. Albers O.Carm (Keuskupan Malang); Mgr. W. Schoemaker MSC (Keuskupan Purwokerto); Mgr. J. Klooster CM (Keuskupan Surabaya); Mgr. N. Schneider CICM (Keuskupan  Agung Makassar); Mgr. A. Sol MSC (Keuskupan Amboina); Mgr. Th. Moors MSC (Keuskupan Manado); Mgr. D. Djagom SVD (Keuskupan Agung Ende); Mgr. Th.v.d. Tillaart SVD (Keuskupan Atambua); Mgr. P. Sani SVD (Keuskupan Denpasar); Mgr. G. Manteiro SVD (Keuskupan Kupang); Mgr. A. Thijssen SVD (Keuskupan Larantuka); Mgr.W.v. Bekkum  SVD (Keuskupan Ruteng);  Mgr. W. Wagener CSSR (Prefek Apost. Weetebula); Mgr. H. Tillemans MSC (Uskup Agung  Merauke); Mgr. A. Sowada OSC (Keuskupan Agats); Mgr. A. Staverman OFM (Keuskupan Jayapura); P.M. van Diepen OSA (Keuskupan Manokwari). Baru enam nama putera Indonesia asli berada di jajaran para Uskup. Dalam beberapa tahun kemudian banyak putera Indonesia asli menggantikan para Uskup misionaris dari mancanegara.

Indonesianisasi merupakan suatu proses yang disadari para Uskup untuk melanjutkan tahap penanaman Gereja Katolik di Indonesia bergerak setahap lebih maju lagi sesuai petunjuk Konsili Vatikan II (AG 19-22) mewujudkan Gereja Katolik Indonesia. Jalan yang ditempuh di satu pihak melalui proses budaya akulturasi, inkulturasi, dan kontekstualisasi, yaitu meresapkan Injil dan iman ke dalam budaya hidup umat Katolik di Indonesia. Di pihak lain percepatan pengadaan imam-imam putera asli Indonesia mendampingi para misionaris asing. Tenaga luar negeri perlu secepatnya diganti oleh imam-imam putera Indonesia asli. Proses Indonesianisasi tidak mudah karena memerlukan persiapan sungguh-sungguh, di samping menghadapi keengganan berubah sementara pihak. Ada pendapat “sejelek-jeleknya misionaris asing, masih lebih baik ketimbang pastur Indonesia”. Ada indikasi seorang Uskup asli Indonesia dipaksa pensiun oleh kalangannya sendiri karena terlalu bersemangat melancarkan Indonesianisasi (Mgr Gabriel Manek SVD, 1968). Seorang Uskup lainnya, seorang misionaris asing, sedang dalam sorotan karena ditentang dalam hal yang sama.

Para Uskup berangsur-angsur membarui semangat karya keuskupan dan melengkapi prasarana penggembalaan menurut Konsili Vatikan II berdasar mandat (LG 23; CD 11). Keuskupan dipahami sebagai gereja setempat yaitu persekutuan umat Allah, orang beriman yang dipanggil dan dihimpun Sabda dan sakramen dalam iman, kasih dan harapan (LG 8; SC 13, 42)  yang dipercayakan kepada Uskup dalam kesetaraan martabat, persaudaraan dan kebersamaan melaksanakan tugas perutusan (LG 10-13, 31-32) dan dalam kesatuan dengan Uskup (LG 23). Kuria Keuskupan, yaitu orang-orang yang membantu Uskup memimpin keuskupan dengan mendapatkan wewenang jabatan menjalankan tugas tertentu seperti Vikaris Jenderal, Vikaris Yudisial, Sekretaris dan Bendahara Keuskupan berdasar Hukum Gereja, diperbarui dengan semangat kolegial.  Suatu jabatan baru diadakan untuk melengkapi kebutuhan Uskup dalam penggembalaan umat untuk wilayah tertentu dalam Keuskupan, yaitu Vikaris Episkopalis (Vikep), “agar Uskup dengan rekan kerja yang baru dapat menggembalakan keuskupannya dengan lebih baik” (Motu Proprio Ecclesiae Sanctae 14).  Struktur Kevikepan antara lain coba diselenggarakan pada 1970 oleh Mgr. Schneiders CICM di Keuskupan Agung Makasar dengan mendirikan Kevikepan Toraja-Luwu. Uskup juga dibantu Dewan Konsultor sebagai senat dan penasehat yang memberi pertimbangan-pertimbangan menurut norma-norma Hukum Gereja.

Dewan Imam Keuskupan diatur dengan semangat baru untuk membantu karya pastoral Uskup (PO 7, MP Ecclesiae Sanctae 15-17, Surat Edaran Kongregasi para Imam 11/4/1970 juga sebelumnya 10/10/1969). Mengenai para imam, Uskup-uskup di Indonesia merasakan begitu besar kebutuhan untuk menyediakan imam-imam untuk melayani umat. Diadakan penelitian mengenai Seminari, pendidikan calon imam, dan pembinaan para imam. Perbandingan antara imam dan umat yang dilayani begitu besar melampaui kapasitas sehingga pelayanan semakin kurang optimal. Pada tahun 1970 seorang imam melayani sekitar 2000 jiwa. Walaupun jumlah imam bertambah namun belum sebanding dengan pertambahan jumlah umat. Sedang pendidikan seminari untuk melahirkan imam yang dibutuhkan meminta waktu lama.

Menimbang kenyataan itu, pada tahun 1970 para uskup yang terhimpun dalam MAWI mengajukan permohonan kepada Tahta Suci, agar diizinkan untuk menahbiskan bapak keluarga yang telah teruji dalam pelbagai tugas pelayanan pastoral menjadi imam bagi jemaat Katolik di wilayah terpencil. menjelang akhir 1970, ketika Dewan Paroki se-Kota Makassar bersepakat menulis surat ke MAWI. Mereka mengusulkan agar MAWI mengajukan permohonan ke Vatikan supaya diberi kemungkinan ditahbiskannya imam-imam berkeluarga untuk keuskupan-keuskupan tertentu di Indonesia, termasuk Keuskupan Agung Makassar.

Tentang imamat dan martabatnya dan selibat sejak akhir Konsili Vatikan II makin banyak kajian yang dilakukan oleh Vatikan dengan kesimpulan bahwa selibat di Gereja Latin tetap dipertahankan. Bahkan tentang tahbisan pria berkeluarga diangkat dalam Sinode Uskup dengan pemungutan suara untuk memilih pernyataan atas dua modi: (a)  Dengan mengecualikan hak khusus Paus, tahbisan pria berkeluarga dilarang meskipun dalam hal-hal khusus; (b) Terserah kepada Paus untuk mengizinkan tahbisan pria berkeluarga menjadi imam karena hal-hal khusus, kebutuhan pastoral dan kebaikan Gereja asal calon sudah mapan dan baik hidupnya. Para bapa sinode memilih rumusan A dengan 107 suara, sedang rumusan B 87 suara. Maka yang berlaku adalah rumusan A. Maka Vatikan semakin kuat melarang segala diskusi sekitar imam berkeluarga; diskusi mengenai jabatan gaya baru itu tidak hidup di Indonesia dan penyelesaian praktis berorientasi pada gagasan memenuhi keperluan akan imam untuk sakramen, terutama ekaristi dan pengampunan dosa secara darurat mengandung pelbagai efek negatif yang tidak bisa diterima.

Pada tanggal 23 Agustus 1970 “Panitia Persiapan Konggres Medis Gabungan Religius” dibentuk yang terdiri dari atas biarawati-biarawati lima konggregasi yang bekerja dilapangan medis, ditambahkan dengan seorang penasehat dari  Konggar (Kongres Gabungan antar Religius). Pada tanggal 16 Oktober 1970 diadakan suatu rapat khusus oleh Panitia Persiapan Konggres tersebut menghadirkan  Fr J.Tong, SJ, Presiden dari “The Catholic Hospital Association of India” untuk memberi gambaran ringkas mengenai pekerjaan dan susunan Association itu di India. Pada rapat itu diambil resolusi sebagai berikut: a). Akan diminta pada MAWI supaya ada tempat yang dapat disediakan untuk bagian assosiasi medis/paramedis itu di Kantor MAWI. B). Fr Tong mengusulkan supaya seorang dibebaskan dari tugasnya supaya dapat kerja untuk biro medis dan persiapan konggres sebagai full-timer (Sr.Tilde van Mook). Konferensi para Uskup dalam Sidang MAWI memberi tanggapan positif untuk rencana itu.  Usaha karyawan medis dengan konggres dan pelaksanaan selanjutnya berdiri autonom, tetapi berada dalam hubungan tetap dengan konferensi para Uskup. Tugas-tugas di bidang medis yang untuk selanjutnya diseragkan kepada  Sekretariat Panitia Konggres Medis dan diberi tempat ruangan di kantor MAWI dengan tenaga dan biaya sendiri.

Ting! Tersiar lagi berita miring, hukuman mati dijatuhkan atas Ranu Sunardi, Letkol Laut, dalam sidang Mahmilub G30/1965 dengan Putusan Mahkamah No. PTS-033/MLB/X/RS/1970, tanggal 18 Oktober 1970.

Terjadi banyak perubahan dalam struktur dan cara kerja MAWI tahun 1970 untuk penyusunan Statuta MAWI. Sidang MAWI sejak saat itu akan diadakan setiap tahun sebagai "sidang tahunan" dan biasanya jatuh pada bulan November di Jakarta. Selain sidang tahunan juga akan diadakan  "sidang sinodal" setiap tiga tahun sekali. DEWAP dihapuskan dan diganti oleh Presidium MAWI, yang menjadi kepemimpinan tertinggi setelah Sidang MAWI.Dibentuk badan baru, yaitu Bagian Penerangan. Struktur Sekretariat Jenderal dibagi dua kelompok:

1. Kantor Waligereja Indonesia (Kawali): Bagian Umum/Keuangan, Bagian Personalia, Bagian Pendidikan, Bagian Penerangan.

2. Panitia-panitia Waligereja Indonesia/PWI: PWI Ekumene, PWI Seminari, PWI Komunikasi Sosial (pengganti PWI Pers dan Propaganda), PWI Sosial dan Ekonomi (pengganti PWI Sosial), PWI Kateketik, PWI Kerasulan Awam, PWI Liturgi, PWI Pendidikan.

 

Kateketik

Sesudah Konsili Vatikan II, terutama dalam tahun 1970 istilah evangelisasi menjadi sangat terkenal di dalam kegiatan Gereja; banyak dokumen, karya, pertemuan, dan program pastoral, yang membahas tema Evangelisasi dalam dunia modern. Karena itu di dalam kerugma Gerejawi katekese harus selalu memikirkan kembali tugas misi dan artinya.

Pada Tahun 1970 MAWI menyatakan sikapnya, sehubungan dengan adanya kurikulum agama di sekolah, bahwa: Tidak nyatalah keharusan memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum sekolah. Tidak nyata pulalah bahwa Pemerintah dapat mengharuskan pelajaran agama (sebagai usaha pengembangan iman) di sekolah-sekolah. Pelajaran agama katolik adalah kompetensi Uskup setempat. Tugas Gereja ialah untuk membantu orang tua dalam pendidikan iman anak-anaknya. Namun nanti pada tahun 1972, MAWI menyetujui adanya Kurikulum Nasional Agama Katolik pada SD, SLTP, SLTA, Universitas. Disetujui oleh sidang bahwa PWI Kateketik yang mengerjakannya.

Dari tahun 1969 keuskupan-keuskupan telah menyelenggarakan Komisi Kateketik, yang pada umumnya setelah berbagai penyempurnaan aktif bekerja pada pertengahan tahun 1970-an. Komisi Kateketik Keuskupan bertugas membantu Uskup mengembangkan karya pastoral katekese yaitu menanam dan mengembangkan pengertian iman Kristiani di wilayah yurisdiksi masing-masing. Pada tingkat nasional PWI Kateketik MAWI yang terdiri dari seorang Ketua dan tujuh wakil provinsi Gerejawi merupakan badan konsultatif sekaligus pelaksana kebijakan katekese MAWI, memprakarsai Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan Se-Indonesia (PKKI) dan rapat-rapat serta lokakarya-lokakarya kateketik termasuk pelajaran agama di sekolah dan Universitas.

Aksi Puasa Pembangunan

Sekitar tahun 1969, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang (Vikjen KAS), Pastor C. Carri SJ menggulirkan gagasan Aksi Puasa di KAS. Gagasan ini sebenarnya juga sudah diusulkan oleh Kardinal Justinus Darmojuwono (1914-1994), yang kala itu menjabat sebagai Uskup Agung Semarang sekaligus Ketua PWI Sosial (MAWI).

Pada tahun 1970, gagasan yang telah dilemparkan oleh Pastor Carri SJ ditangkap oleh Pastor Gregorius Utomo Pr selaku Delegatus Sosial (Delsos) KAS kala itu. Hal tersebut menjadi konsen para pelayan pastoral bidang sosial ekonomi, yang pada saat itu sedang hangat membicarakan isi Ensiklik Populorum Progressio (PP), Ajaran Sosial Gereja dari Paus Paulus VI yang terbit pada 26 Maret 1967. Ensiklik itu mengatakan, “nama lain perdamaian adalah pembangunan” (PP 87).

Sebenarnya, gagasan Aksi Puasa sudah telah muncul dua dekake sebelumnya, sekitar tahun 1955. Pada waktu itu, Sekretaris PWI Sosial MAWI, Pastor Johanes Baptista Dijkstra SJ (1911-2003) telah menanggapi ASG dalam karya kerasulannya. Dijkstra dengan pelbagai upaya telah berusaha memberi warna tersendiri terhadap gerakan pemberdayaan ekonomi masyarakat Indonesia. Misionaris Jesuit kelahiran Amsterdam, Belanda, 26 Oktober 1911 ini telah berkiprah dengan ikut membidani lahirnya kelompok Pilot Project  Aksi Puasa Pembangunan (APP). Aksi kelompok umat Katolik ini sangat sederhana. Mereka dengan sukarela menyisihkan sebagian uang hasil penghematan belanjanya di masa puasa untuk solidaritas bagi sesama yang membutuhkan pada Masa Prapaskah.

Seusai hasil Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) Pastor Dijkstra SJ pada tahun 1955 dengan bantuan teman-temannya – salah satunya adalah Romo Josephus Gerardus Beek SJ (1917-1983)– membentuk gerakan yang bersifat umum, tidak berafiliasi pada Gereja Katolik, dinamakan Gerakan Pancasila. Gerakan Pancasila inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Ikatan Buruh Pancasila (IBP), Ikatan Petani Pancasila (IPP), Ikatan Para Medis Pancasila (IPMPS), dan Ikatan Usahawan Pancasila (IUI). Di dalam Gerakan Pancasila inilah cikal bakal “Aksi Puasa” untuk membangun hidup bersama diluncurkan. Namun kemudian, Aksi Puasa itu ternyata bergaung dan dikontekstualisasikan secara kreatif oleh Pastor Carri bersama Pastor Utomo dalam Pilot Project  APP.

Menurut pemikiran Romo Carri, umat Katolik perlu menjalankan Aksi Puasa untuk menjembatani jurang antara kaya dan miskin dengan berpedoman pada Ensiklik Populorum Progressio dari Paus Paulus VI.

Kontekstualisasi kegiatan Masa Prapaskah tersebut akhirnya menelorkan Aksi Puasa Prapaskah, yang dimulai pertama kali pada Masa Prapaskah tahun 1970. Aksi Puasa ini ditetapkan menjadi kegiatan selama Masa Prapaskah dalam Sidang Pleno PWI Sosial MAWI di Purworejo, Jawa Tengah, pada 1970. Dalam Sidang Pleno tersebut, para peserta juga menyusun suatu Pedoman Aksi Puasa, yang kemudian disahkan oleh para Uskup dalam Sidang Tahunan MAWI pada November 1970.

Dalam sidang MAWI  tahun 1970, para uskup Indonesia meresmikan dan mengangkat Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina yang telah dirintis dari tahun 1965 sebagai usaha Ordo Saudara Dina Fransiskan (OFM) untuk menerjemahkan dan menerbitkan Kitab Suci dan buku-buku mengenai Kitab Suci menjadi lembaga MAWI yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci. Berdasar surat sekretaris presidium MAWI tanggal 19 Februari 1971, lembaga ini selanjutnya bernama Lembaga Biblika Indonesia.

Didirikannya LBI dimaksudkan untuk menanggapi imbauan Konsili Vatikan II: “Bagi kaum beriman kristiani, jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar” (Dei Verbum 22). Dengan demikian, mereka dapat memenuhi anjuran untuk “… sering kali membaca Kitab Suci dan memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus … Sebab, tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus” (Dei Verbum 25). Untuk itu selanjutnya diadakan kerja sama dengan berbagai pihak dalam hal menerjemahkan dan menyebarkan Kitab Suci. Juga diadakan bahan-bahan yang mendukung karya kerasulan Kitab Suci di lapangan.

Adalah kegembiraan besar bahwa Paus Paulus VI mampir mengunjungi Indonesia dalam program lawatan apostolik ke beberapa negara Asia dan Pasifik (26 November sampai  5 Desember 1970). Sebelum ke Indonesia, Paus terlebih dahulu  mengunjungi Teheran (Iran), Dakka (Bangladesh), Manila (Filipina), Samoa Barat (Pasifik), Sydney (Australia), Papua New Guinea, Indonesia (3-4 Desember), untuk kemudian Paus Paulus VI melanjutkan kunjungan  ke Hongkong dan Colombo (Sri Lanka). Menjelang keberangkatannya Paus Paulus VI menyatakan: “Paus berkunjung bukan sebagai wisatawan, atau sebagai undangan perayaan dan upacara, tetapi sebagai Uskup dan kepala Dewan Uskup, sebagai imam dan misionaris, sebagai penjala manusia (lih. Mat 4: 19), yaitu, penjala manusia dan bangsa-bangsa di dunia dan zaman kita; kami akan menghadiri serangkaian pertemuan, yang akan menggambarkan adegan dan kata-kata pewartaan injil, mengunjungi saudara-saudara dan putera-puteri, untuk menghimpun orang-orang dan lembaga-lembaga, untuk menyampaikan hormat kepada mereka yang layak mendapatkannya: mereka yang memikul tanggung jawab, kaum miskin, kaum muda, mereka yang lapar akan keadilan dan perdamaian, yang menderita, dan yang tersisih.

Di sana ada orang yang telah mendengarkan, dan terus mendengarkan dan menyadari bahwa di dalam kata-kata yang samar dan sama itu terdapat dua nada tunggal dan sangat manis, yang keras bergema di relung jiwa mereka: nada kebenaran dan nada kasih. Mereka menyadari bahwa perkataan hanyalah  sarana dari Dia yang mengucapkannya: yaitu Sang Firman sendiri, Firman dari Bapa. Di mana dulu dan sekarang Bapa berada? Siapa Dia dulu dan sekarang? Dia tak lain dan tak bukan adalah Dia yang hidup, Pribadi yang adalah Firman, Firman yang menjadi manusia, Firman Allah. Di mana dulu dan sekarang Firman Allah yang menjadi manusia itu berada? Karena sekarang Dia yang dahulu ada dan jelas bahwa sekarang pun Dia ada, Dia hadir! Dialah Pribadi Ketiga yang kini berada di panggung dunia: Pribadi yang tinggal dan berada di semua tempat di mana ia disambut, melalui jalan yang khas, tetapi tidak asing bagi pengertian manusia, melalui iman.... Demikianlah gambaran abadi yang terjadi selama berabad-abad, yang dalam perjalanan Kami hendak mendapatkan momentum realitas yang tak terperikan”.

Ketika Paus Paulus VI mengunjungi Manila November 1970 dan sebagian Uskup dari Asia wakil-wakil Konferensi Waligereja masing-masing ikut menyambut, disampaikanlah gagasan sesuai Konsili Vatikan II untuk mendirikan Federasi Konferensi Uskup Asia (Federation of Asian Bishop Conference, FABC) kepada Paus, yang olehnya disambut dengan gembira.  Momen itu dianggap sebagai kelahiran Federation of Asian Bishop Conference, FABC.

Kunjungan Paus Paulus VI

Kunjungan Paus Paulus VI ke Indonesia pada tahun 1970 “hanya” diliput oleh TVRI dalam tayangan hitam-putih. Walau begitu, semua media cetak memberitakan kunjungan bersejarah ini di halaman utamanya. Ketika kedatangannya disambut dengan upacara di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, Paus Paulus VI menyampaikan pidato yang hampir sepenuhnya bertolak dari ajaran-ajaran Konsili Vatikan II: “Adalah fakta bahwa pada tahun 1546 seorang santo terbesar kita, Fransiskus Xaverius, setelah menyusuri pantai Sumatera dan Jawa, tinggal sebentar di Amboina dan Ternate, menanamkan dasar untuk dikerjakan selanjutnya oleh saudara-saudaranya dan para pengganti.

Meninggalkan keluarga dan negaranya untuk datang ke sini, hamba Tuhan itu tidak didorong oleh ambisi politik. Ia juga tidak mencari kekayaan dengan berdagang, atau mencari kemuliaan atau mengejar kenikmatan dengan melihat hal-hal yang baru dan membicarakan semua itu pada dunia. Harapannya adalah untuk melakukan kebaikan, sebesar mungkin untuk sesamanya di sini, karena ia tahu itulah yang dikehendaki Tuhan darinya,

Kami sendiri pun tak punya keinginan lain dalam perjalananan kami ke seluruh penjuru bumi. Yang hendak kami lakukan sekuat tenaga adalah bekerja untuk perbaikan hidup sesama manusia, dengan tujuan mewujudkan perdamaian dan menegakkan keadilan, sebab tanpa keadilan tak ada perdamaian yang lestari.

Ketika kami mendekati kepulauan ini, dari angkasa kami takjub pada kekayaan alam negeri yang terdiri dari rangkaian pulau-pulau yang indah, negara kepulauan yang terpanjang di dunia. Begitu luasnya, negeri ini juga mempunyai banyak suku bangsa, dengan berbagai budaya dan agama yang hidup berdampingan. Semua agama dunia bertemu di sini: Muslim, Buddhis, Hindu, Konfusianis dan Kristen; semuanya diakui sebagai agama resmi dalam Konstitusi negeri ini, lebih-lebih lagi ditetapkan sebagai salah satu pilar dari Pancasila, yaitu iman kepada “Tuhan yang Mahakuasa”.

Paus Paulus VI menyampaikan penghargaan atas kerukunan umat beragama di Indonesia, “Maka sudah sepantasnya dan suatu sukacita bagi kami untuk menyampaikan penghargaan kepada  Pemerintah dan bangsa Indonesia atas contoh yang sangat baik yang diberikan kepada dunia atas cita rasa keagamaan yang tinggi, kerja sama dan saling memperkaya di dalam keberagaman. Dengan gembira kami tegaskan lagi di sini: «Kami mengakui dengan penuh hormat nilai-nilai spiritual dan moral berbagai agama non-kristen, sebab kami bermaksud untuk bersama-sama dengan mereka memajukan dan membela cita-cita yang sama dalam kebebasan beragaman, pengajaran dan pendidikan persaudaraan sesama manusia, kesejahteraan sosial dan ketertiban umum” (Ecclesiam suam, AAS., LVI (1963), p. 655). Gereja tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama. «Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara bertindak dan cara hidup, kaidah-kaidah serta ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar Kebenaran yang menaungi semua orang» (Nostra Aetate, 2).

«Gereja menghargai umat Islam, yang menyembah Allah esa, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia» (Ibid., 3). Gereja juga mengagumi umat Hindu yang «mencari pembebasan dari kekesakan keadaan kita entah melalui bentuk-bentuk hidup berulah tapa atau melalui permenungan yag mendalam, atau dengan mengungsi kepada Allah yang penuh kasih dengan penuh keyakinan» (Ibid., 2).

Gereja mengakui bahwa umat Buddha «mengakui bahwa dunia yang fana sama sekali tidak mencukupi dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan memeroleh kebebasan yang sempurna, entah dengan usaha sendiri, entah berkat bantuan dari atas, mencapai pencerahan yang paling luhur (Nostra Aetate, 2).

Atas dasar semua ini kami menegaskan: “Gereja harus melakukan dialog dengan dunia di mana ia hidup. Maksudnya ada pesan yang perlu disampaikan, dan menjalin komunikasi” (Ecclesiam suam, A.A.S., LVI (1964), p. 639).


Pada sore hari, Paus Paulus VI memimpin misa di Gereja Katedral Jakarta. Mgr.Leo Soekoto yang baru saja dilantik menjadi Uskup Agung Jakarta, mendampingi Paus. Gereja Katedral Jakarta tidak bisa menampung umat yang mengikuti misa yang dipersembahkan Paus. Setelah misa di Katedral Jakarta pada 3 Desember 1970 Paus Paulus VI menjumpai para Uskup, imam, biarawan, biarawati dan awam termasuk tokoh-tokoh seperti IJ Kasimo, Doeriat dan Frans Seda.

“Anda tahu bahwa keprihatinan kami  tertuju pada Gereja seluruhnya. Dan bahwa hati dan pikiran kami penuh doa tanpa henti keluar dari Roma tertuju pada setiap saudara seiman. Hari ini kami menerima sukacita boleh berbicara pada Anda, saudara-saudara para Uskup, para imam dan biarawan, yang mewakili dengan cara istimewa misi evangelisasi yang dipercayakan kepada setiap murid Kristus ( Lumen Gentium, 17). Kami tahu saudara-saudara mengasihi Yesus Kristus dan GerejaNya. Kami menghargai semangat Anda mewartakan Injil. Kami menyampaikan harapan untuk menyaksikan kebenaran akan keselamatan tersebar lebih luas lagi di Asia: Injil juga ditujukan untuk benaua ini, karena Injil harus diwartakan kepada segenap mahluk ( Mrk. 16: 16). Semoga Tuhan menopang keberanian Anda. Semoa Ia terus menerus menambah kasih Anda.

“Kalian para imam hendaklah menghargai keluhuran imamat Anda, yang menjadikan Anda serupa dengan Kristus imam agung yang kekal ( Ibr. 5: 1-10). Seperti dia, pergilah melakukan kebaikan, didorong oleh kasihNya (2 Kor. 5: 14), wartakanlah Sabda Allah, kuduskanlah jemaat beriman dan sampaikanlah kepada Tuhan segala keperluan dan doa-doa mereka ( Ibr. 5: 1-10).

Kalian para rohaniwan hendaklah hidup dalam iman dan dalam sukacita membaktikan diri sepenuhnya bagi kebaikan seluruh Gereja. Semoga Tuhan membantu Anda dalam karya, masing-masing sesuai dengan kemampuannya dan menurut bentuk panggilannya, dalam menanamkan dan mengukuhkan kerajaan Kristus dalam jiwa-jiwa dan meluaskan kerajaan itu di semua negeri  (Lumen Gentium, 44).

Kami menyampaikan salam kasih kebapaan kepada segenap umat beriman kristiani. Di hadapan dunia kalian adalah saksi-saksi hidup dari pesan Injil untuk segala bangsa. Gereja yang diutus mewartakan pesan Injil tidak terikat pada satu bangsa atau budaya saja; setiap orang menemukan di dalam pesan itu prinsip-prinsip yang mengangkatnya, sebab Gereja dalam melaksanakan misinya bekerja sama dan memajukan karya-karya peradaban (Gaudium et spes, 58).

Semoga Allah melimpahkan rahmatNya pada kalian. Dengan sepenuh hati kami sampaikan kepadamu berkat apostolik kami. Semoga Tuhan selalu melindungi Saudara-Saudara sekalian!”

Sesudah beristirahat di Nunsiatur dan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Republik Indonesia, Paus merayakan Misa Kudus di Stadion Senayan. Dalam Perayaan Ekaristi di Gelanggang Olah Raga Senayan, Paus Paulus VI menyampaikan homili:

 “Kami percaya dengan seluruh kekuatan jiwa kami, bahwa umat manusia mempunyai kebutuhan utama dan pertama-tama yang tak tergantikan, yang hanya dapat dipuaskan melalui Yesus Kristus, yang sulung di antara manusia, kepala keluarga manusia yang baru, yang padaNya setiap orang mencapai kesempurnaan diri.  Sebab «hanya dalam misteri Firman yang menjadi manusia sajalah misteri manusia menjadi jelas» (Gaudium et spes, 22).

Walaupun Ia Putera Allah, Yesus Kristus menghendaki demi penebusan kita menjadi salah seorang di antara kita. Ia mengalami situasi kemanusiaan kita, menjadikan diriNya bagian dari dunia pada zamanNya, berbicara dengan bahasa negeriNya, dan mengambil dari kehidupan setempat contoh-contoh untuk menerangkan ajaranNya tentang keadilan, iman, harapan dan kasih.  Sekarang ajaranNya tersebar di seluruh dunia. Disesuaikan dengan ungkapan-ungkapan segala bahasa, semua tradisi dan peradaban. Tak ada buku lain yang diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain sebanyak Injil. Tak ada doa yang diucapkan dalam begitu banyak bahasa seperti doa Bapa Kami, yang diajarkan oleh Yesus sendiri. Dengan cara yang sama umat Kristiani tidak asing satu sama lain. Mereka berbagi kebiasaan-kebiasaan yang luhur di antara sesamanya.

Sebagai warga negara yang baik, ia harus mencintai tanah airnya. Namun ia mengakui iman katolik sepenuhnya, iman yang sama dengan yang diakui bangsa-bangsa di Afrika, di Amerika, di Eropa. Bagaimana bisa begitu? Itu karena manusia historis yang bernama Yesus dari Nazaret adalah juga Anak Allah.  Karena manusia diciptakan Allah untuk Allah, dan dalam keberadaannya yang sesungguhnya ia ditarik oleh Dia yang memberi hidup kepadanya.  Ini merupakan elemen pribadi yang paling dasar, sehingga orang yang menolak Allah akan segera pula menolak sesamanya sebagai saudaranya.

Yesus Kristus datang ke hati kita menjawab seruan kerinduan yang benihnya sudah ditanamkan Allah di hati kita masing-masing (Ad Gentes, 11). Sang Sabda, yang adalah wahyu kasih Allah, dan rahmat karuniaNya, yang membagikan hidup ilahi sendiri melalui Roh Kudus dan sakramen-sakramen, membentuk komunitas Umat Allah, yaitu Gereja. Komunitas yang dipersatukan oleh satu ©baptisan, satu iman dan satu Tuhan, dan hidup untuk “Satu Allah, yaitu Bapa dari semuanya, untuk semuanya, dalam segalanya” (Ef. 4: 5-6).

Bagaimana kita para anggota umat suciNya harus menyampaikan tanggapan  kepadaNya? Sepatutnyalah kita menanggapi rahmat Allah dengan kesetiaan iman kepada Sang Sabda yang menyelamatkan, dengan perilaku manusia baru yang sepatutnya. Kekudusan Allah yang tiada terbatas yang disampaikan kepada kita meminta tanggapan kita dalam bentuk kekudusan terbatas dengan meneladan Yesus Kristus. Maka semuanya akan dubah dan dicerahkan: hidup pribadi, hidup keluarga, penggunaan benda-benda duniawi, hubungan kita dengan liyan sesama, hidup masyarakat; sebab Kristus membebaskan, menegakkan dan menyelamatkan seluruh umat manusia.

Para putra dan putriku, inilah yang Kami wartakan dalam kedatangan Kami ke sini: Yesus Kristus. Dia adalah Penyelamat kita, dan sekaligus Dia adalah Guru kita. Dia adalah: “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh 14: 6). Barang siapa mengikut Dia tidak akan berjalan dalam kegelapan (Yoh 8: 12). Inilah kenangan yang hendak Kami ukir pada jiwa Anda untuk selamanya.”

©©©

Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia (PKUKI) yang ditandatangani para Uskup 3 Desember 1970 dan dipublikasikan bersamaan dengan kunjungan Paus Paulus VI pertama-tama mengingatkan tugas dari keluarga katolik dalam kemasyarakatan.  Kesejahteraan umum masyarakat erat bertalian dengan kesejahteraan keluarga, maka sangat penting membina keluarga sebaik-baiknya. Perlu dikuatkan dasar keluarga sebagai ikatan cinta suami-isteri, di mana kedua pihak saling menyerahkan diri, memberi diri sepenuhnya, saling menghormati, saling menerima dalam keadaan bagaimana pun juga. Dengan demikian membangun dasar yang kuat untuk menerima anak sebagai buah cinta. Membangun keluarga adalah usaha insani merencanakan dan memupuk kesejahteraan keluarga agar tidak kekurangan secara ekonomis, perhatian dan afektif, pendidikan dan pengajaran, maka perlu juga merencanakan jumlah anak. Membangun keluarga secara berencana diserahkan kepada tanggungjawab hati nurani suami-isteri dengan menanggapi hukum Tuhan dengan selalu memperhatikan: kesejahteraan dan kebahagiaan fisik, mental dan rohani suami-isteri; kesejahteraan dan kebahagiaan fisik, mental dan rohani anak-anak; kesejahteraan orang lain juga, dan keadaan masyarakat (kepadatan penduduk dan lain-lain). Pendidikan dalam keluarga dengan teladan orang tua menjadi dasar pengembangan perilaku anak terhadap masyarakat, menjadi latihan sikap memerhatikan keperluan orang lain, menghormati kepribadian dan keyakinan orang lain dalam masyarakat. Perhatian, kehangatan dan suasana penuh cinta kasih dalam keluarga merupakan bekal perkembangan pribadi anak-anak dan sumber inspirasi dalam pertumbuhannya menjadi manusia dewasa. Struktur keluarga perlu dikuatkan dengan kebiasaan-kebiasaan positif dalam berbagi peran dan tugas serta pengaturan ekonomi  dalam pola hidup sederhana, hemat, gemar menabung dan memerhatikan prioritas apa yang perlu bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Keluarga-keluarga perlu terbuka pada keadaan masyarakat, negara dan Gereja. Untuk yang terakhir  dalam kedewasaan sikap ikut mendukung dan mengusahakan berkembangnya panggilan untuk membaktikan hidup sebagai imam, rohaniwan atau rohaniwati; keluarga adalah seminari pertama untuk panggilan.  (PKUKI no 8-15).

Gambaran perkembangan  keadaan perekonomian Indonesia dalam hal Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri yang dimulai sejak tahun 1968 yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6, menunjukkan gerak perkembangan  yang menggembirakan. Jumlah permohonan yang sampai akhir tahun 1969/1970 baru mencapai  373 proyek dengan nilai investasi Rp 145,91 milyar, pada akhir tahun t970 telah mencapai jumlah 779 proyek dengan nilai investasi Rp 348,71 milyar.

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang   nomor 6 tahun 1967, kegiatan di bidang penanaman modal asing juga menunjukkan kenaikan. Antara 1967-1969 telah diterima permohonan PMA 217 proyek dengan nilai investasi sebesar AS $ 1.493.219. Pada tahun 1970 diterima tambahan  permohonan PMA 157 proyek dengan nilai investasi  AS $ 438,433.

Bersama dengan besaran APBN, investasi baik modal dalam negeri dan modal asing diharap dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Besaran APBN 1969 adalah Rp 263,7 milyar, meningkat jadi Rp 344,6 milyar untuk tahun 1970. Di dalamnya besaran penerimaan untuk pembangunan pada 1969 adalah Rp 65,7 milyar, naik 13,2% menjadi Rp 78,9 milyar pada tahun 1970. Dari jumlah itu komponen Tabungan Pemerintah dari  1969 dan 1970 masing-masing sebesar Rp 27,2 milyar dan Rp 56,4 milyar. Selebihnya bantuan luar negeri baik grant (hibah) maupun pinjaman lunak.

Revolusi hijau di Indonesia dalam rangka meningkatkan hasil tanaman pangan mulai menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Angka Produk Domestik Bruto yang menjadi ukuran pertumbuhan ekonomi pada tahun 1969 adalah Rp 2,7 trilyun menurut harga yang berlaku. Dihitung menurut harga konstan diwujudkan laju pertumbuhan 4,8% terhadap tahun sebelumnya. Pada tahun 1970 besaran Produk Domestik Bruto Indonesia Rp 3,2 trilyun. Laju pertumbuhan yang dicapai 5,2% dibanding tahun 1969 menurut harga konstan. Artinya Indonesia berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi yang disarankan PBB untuk dasawarsa 1960-an, pada awal dasawarsa baru 1970-an.

Geliat perkembangan perekonomian juga tampak dari jumlah pertumbuhan kendaraan jalan raya yang ada di seluruh Indonesia. Bertambahnya jumlah mobil mengisyaratkan meningkatnya kemudahan untuk mobilitas orang dan kegiatan, serta distribusi barang. Juga dari peningkatan jumlah armada laut dan penggunaannya

Situasi politik pada tahun 1970 diwarnai persiapan pemilihan umum yang akan diadakan tahun depan, 1971. Partai-partai politik membenahi diri dan menjalankan mesin kampanye.

Dalam ketetapan MPRS No.XI/MPRS/1966 sebenarnya pemerintah diamanatkan  melaksanakan Pemilihan Umum paling lambat tanggal 5 Juli 1968. Akan tetapi karena undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan Umum ini tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah bersama DPRGR tepat pada waktunya, maka pemilihan umum pun tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. MPRS dalam Sidang Umumnya yang kelima tahun 1968 selanjutnya menentukan agar Pemilihan Umum harus diselenggarakan dengan pemungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971 yang dituangkan dalam Tap MPRS No. XLII/MPRS/1968 dan pelaksanaannya diamanatkan kepada Presiden/Mandataris MPRS.

Pemilu 1971 akan menjadi Pemilu kedua dalam sejarah Indonesia; yang pertama kali diadakan di bawah UUD 1945, dan Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru.

Presiden dengan Surat Keputusan No.43  tanggal 23 Mei 1970, telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam Pemilu legislatif dan anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi politik yang dapat ikut dalam Pemilu ialah partai politik yang pada saat Pemilu sudah ada dan diakui serta mempunyai wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu ialah 1. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), 2. Murba, 3. Nahdatul Ulama (NU), 4. Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam (PI Perti), 5. Partai Katolik, 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), 7. Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), 8. Partai Nasional Indonesia (PNI), 9. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Ditambahkan selain partai, organisasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam Pemilu ialah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta karena dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Berbeda dari Pemilu 1955 yang menggunakan sistem proporsional, Pemilu legislatif 1971 menggunakan sistem tak langsung. Dengan demikian partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk sesuatu daerah. Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak dapat dijumlahkan dengan suara partai yang terkumpul di daerah lain. Dalam Pemilu 1971 diperebutkan 360 kursi, sedangkan 100 kursi disediakan untuk ABRI dan golongan serta utusan daerah  yang keanggotaannya dilakukan dengan pengangkatan. Dengan demikian seluruh anggota DPR pasca Pemilu 1971 nanti berjumlah 460 anggota.

Dalam bidang sosio-politik Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia (PKUKI) mengingatkan bahwa umat katolik mempunyai kewajiban yang sama dengan umat-umat yang lain, namun dengan cara memohon bimbingan Roh Kudus, dengan semangat Kristus mencintai semua orang, bekerja sama dengan pemerintah berusaha menyehatkan struktur-struktur politik agar dapat melancarkan pembangunan demi kesejahteraan segenap rakyat. Itu dikerjakan melalui peran masing-masing baik sebagai aparat negara (eksekutif dan yudikatif), sebagai anggota parlemen (legislatif, DPR/MPR), entah dalam organisasi atau golongan, dengan memperjuangkan kepentingan umum. Peranan itu terkait dengan semangat kewargaan yang baik atas nama pribadi dan kelompok, bukan atas nama Gereja. Orang katolik yang bekerja dalam pemerintahan diharapkan memperjuangkan manajemen terbuka dengan pengendalian secara teratur dan baik, membantu melancarkan proyek-proyek Pelita di bidang sosial-ekonomi produktif, mencegah dan mengatasi kemacetan  dengan penuh tanggungjawab. Dalam memperjuangkan kepentingan umum di atas kepentingan golongan, semua orang katolik diharapkan memperjuangkan tertib hukum sebagai kewajiban warga yang luhur demi ketertiban dan kelancaran hidup bersama dan pembangunan. Sikap main hakim sendiri tidak dibenarkan. Pemilihan umum adalah alat demokrasi untuk tujuan mencapai kesejahteraan umum. Diharapkan alat itu digunakan bersama-sama dengan baik, dilaksanakan sedemikian untuk kelancaran pembangunan  politik, menomor duakan golongan, demi tujuan primer kesejahteraan umum. Pemberantasan korupsi perlu menjadi prioritas dimulai dengan memper baiki mentalitas dan sikap pribadi, jujur dalam tindakan, tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan tidak melayani orang-orang yang mengajak berbuat korupsi.  Perlu diperjuangan kondisi yang tidak konduif bagi tindak korupsi dengan sistem gaji yang baik dan prosedur pengawasan dan pengendalian yang cukup memadai.  Pemerintah perlu didorong segera menyelesaikan masalah tahanan politik, mengikuti tertib hukum dan keadilan serta perikemanusiaan, jangan sampai orang menderita terlalu lama tanpa pemeriksaan apalagi keputusan yang adil. Sebagian menjadi tahanan hanya karena indikasi yang tidak mempunyai kekuatan hukum atau kenyataan faktual. Mereka menderita, keluarga mereka juga ikut menderita. Atas dasar kemanusiaan umat katolik di mana pun diharapkan tergerak oleh kasih memerhatikan nasib para tahanan politik dan keluarga mereka. Pemberantasan komunisme lebih tepat dilakukan dengan membangun masyarakat yang berkeadilan dan berperikemanusiaan tanpa kemunafikan. (PKUKI  27-36). 


(Bersambung Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1971)