Bambang Kussriyanto
Sejarah Gereja Katolik Indonesia
Pasca 1970
BAB I
GEMURUH PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN
(1970-1979)
“Kemajuan yang sejati
terwujudkan dalam tata-ekonomi yang dimaksudkan demi kesejahteraan pribadi
manusia, bila rezeki sehari-hari yang diterima setiap orang memantulkan
kehangatan kasih persaudaraan dan uluran tangan Allah” (St Paulus VI,
Populorum Progressio 86)
Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1970
“Manusia berziarah ke depan, melangkah maju dalam menguasai
dunia: pikiran, studi dan pengetahuan mengantarkan penguasaan atas dunia itu; kerja,
alat dan prasarana serta teknologi menjadikan penguasaan ini kenyataan yang
indah. Apa gunanya kemajuan ini bagi manusia? Untuk membantu agar hidup lebih
baik dan lebih penuh. Manusia mencari kepenuhan hidup dalam waktunya yang
terbatas - dan sedang berusaha
mencapainya. Kepenuhan hidup itu haruslah universal, artinya, diperuntukkan
bagi semua orang. Maka manusia mengusahakan pemerataan hasil kemajuan bagi
semua orang; mengusahakan kesatuan, keadilan, keseimbangan dan kesempurnaan,
yang kita sebut Perdamaian.
Mereka yang memelajari gagasan besar perdamaian dunia tentu
akan mendapati bahwa sekarang ini diperlukan pendidikan ideologis baru,
pendidikan perdamaian. Ya, perdamaian yang bertumbuh dari hati. Pertama-tama
kita sendiri harus mengenal perdamaian itu, menghendakinya dan mencintai
perdamaian; selanjutnya perdamaian kita nyatakan, dan kita resapkan dalam
pembaruan moralitas dan peri-kemanusiaan,; dalam filsafah, dalam sosiologi,
dalam politik.” (St Paulus VI, Pesan Hari
Perdamaian Sedunia, 1 Januari 1970).
Ketika PBB mencanangkan dasawarsa 1950-an sebagai masa
pembangunan dan rekonstruksi pasca Perang Dunia, Indonesia sedang
menikmati euforia kemerdekaan dan dalam
tahap mengusahakan jalan
konsolidasi politik nasional untuk
pembangunan negara bangsa (nation building).
Ketika selanjutnya PBB mencanangkan dasawarsa 1960-an sebagai masa
pertumbuhan ekonomi dengan sasaran laju rata-rata 5% per tahun, ekonomi Indonesia yang terbengkelai oleh hiruk pikuk
politik justrru terjun bebas merosot hingga pertengahan dasawarsa, dan baru
selanjutnya dengan sistem baru bebenah untuk mengejar pertumbuhan pada 1967
dengan menerapkan rencana pembangunan sistematis. Pada awal 1970-an Indonesia
praktis dalam perintisan masa pembangunan dan mengejar pertumbuhan ekonomi.
Tidak semua harus disikapi serius. Anak-anak muda ikut derap
pembangunan dengan lagak dan lagunya sendiri. Setelah fenomen radio amatir (radam), radio eksperimen
(radeks), radio gelap ditertibkan pemerintah harus berbadan hukum, mereka tetap
mengudara dengan penuh gaya, dan pemancar radio mereka setelah terdaftar
berbadan hukum disebut “broadcasting
system” atau “broadcasting enterprise”.
Tahun 1970 disambut dengan lagu-lagu Led Zeppelin “A Thunder of Drums”
menandai suatu hingar bingar. Termasuk hingar bingar revolusi tawa, dengan
timbulnya banyak kelompok lawak. Juga lawakan intelektual para mahasiswa.
Paroki adalah orang-orang beriman (umat katolik) yang
tinggal di suatu kawasan dan berada dalam reksa pastoral (penggembalaan rohani)
seorang Uskup. Untuk mewakili Uskup melaksanakan tugas pastoralnya, maka Uskup
mengutus seorang imam menjadi pastor paroki tertentu. Karena sudah selayaknya
seorang pekerja mendapat upahnya, maka dalam pandangan lama (Hukum Gereja 1917)
terkesan bahwa paroki adalah sumber nafkah pastor. Pandangan itu berubah
setelah Konsili Vatikan II. Paroki adalah komunitas umat beriman yang didirikan
Uskup yang mempunyai hak dan melaksanakan kewajiban sehubungan dengan imannya.
“Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Kehidupan umatnya yang
beriman dalam Kristus bersumber dan tergantung dengan cara tertentu dari
padanya. Maka dari itu semua orang harus menaruh penghargaan amat besar
terhadap kehidupan Liturgi keuskupan di sekitar Uskup, terutama di gereja
katedral. Hendaknya mereka yakin, bahwa penampilan Gereja yang istimewa
terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh umat kudus Allah dalam
perayaan Liturgi yang sama, terutama dalam satu Ekaristi, dalam satu doa,pada
satu altar, dipimpin oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para
pelayan lainnya... Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau di mana-mana
memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk
kelompok-kelompok orang beriman, di antaranya yang terpenting yakni
paroki-paroki, yang di setiap tempat dikelola di bawah seorang pastor yang
mewakili Uskup. Sebab dalam arti tertentu paroki menghadirkan Gereja semesta
yang kelihatan. Maka dari itu hendaknya kehidupan Liturgi paroki serta
hubungannya dengan Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman serta
para rohaniwan. Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan dalam paroki
berkembang, terutama dalam perayaan Misa umat pada hari Minggu” (SC 41-42).
Sehubungan dengan itu sukacita persekutuan umat Allah terwujud dengan
berdirinya paroki-paroki baru pada 1 Januari 1970 antara lain di Malino,
sebagai hasil pemekaran Katedral Makassar. Juga di Mangkutana/ Maleku, yang
merupakan pemekaran paroki Palopo. Menurut statistik Vatikan pada 1970 terdapat
50.908 umat katolik di Keuskupan Agung Makassar, yang dilayani oleh 54 imam
diosesan dan 51 imam CICM. Sebelum 1970 mereka tersebar di 25 paroki yang
berada di Provinsi Selawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) pada tahun 1970 paroki baru
didirikan di Duren Sawit dan Rawa Mangun (keduanya hasil pemekaran dari paroki
Matraman yang berdiri sejak 1909). Menurut
statistik Vatikan pada 1970 umat Katolik di KAJ 59.846 jiwa tersebar di 24
paroki, dilayani 8 imam diosesan dan 92
imam religius dari berbagai ordo/tarekat.
Dua paroki baru juga didirikan di Blora (pemekaran dari
paroki Cepu) dan Pare (pemekaran dari paroki Kediri/Vincentius a Paulo), dan di
Ponorogo (pemekaran dari paroki Madiun), di Keuskupan Surabaya, dalam tahun
1970. Menurut statistik Vatikan pada 1970 umat Katolik di Keuskupan Surabaya
berjumlah 56.966 jiwa, dilayani 55 imam Lazaris (CM), tersebar di 21 paroki.
Dari paroki Katedral Ambon pada 1970 yang dimekarkan,
didirikan paroki Benteng/Ambon dan paroki Namlea di Pulau Buru. Menurut
statistik Vatikan pada 1970 umat Katolik di Keuskupan Amboina berjumlah 61.700
jiwa dan tersebar di 24 paroki, dilayani seorang imam diosesan dan 28 imam
religius (MSC).
Beberapa paroki baru lainnya yang didirikan pada 1970 adalah
paroki Genteng (Keuskupan Malang), paroki Perdagangan (Keuskupan Agung Medan),
Delta Kapuas (Keuskupan Agung Pontianak), Hepuba (Keuskupan Jayapura), dan
Wonda (Keuskupan Agung Ende).
Ada nada sumbang yang masih terdengar dari jalinan peristiwa
pahit di masa lalu. Mahkamah militer luarbiasa (Mahmilub) dilaksanakan atas
perkara Abdullah Alihami, Sekretaris I CBD PKI Riau, dan vonis hukuman mati
dijatuhkan menurut Putusan Mahkamah No. PTS-PK-032/MLB-I/AA/70, tanggal 16
Februari 1970.
Gereja-gereja di Kecamatan Donggo di Bima dibangun
kembali pada tahun 1970. Pada 1969
Donggo yang saat itu merupakan stasi
dari Paroki Raba, Bima, Keuskupan Weetebula, mengalami kejadian memprihatinkan,
menggoyangkan iman umat dan bangunan gereja. Umat katolik dianiaya dan
gereja-gereja di Tolonggeru, Mbawa dan
Nggerukopa Donggo dirobohkan dan dibakar. Umat katolik dipaksa masuk ke agama
lain. Pastor Heribertus Kuper,CssR nyaris dibunuh. Namun beberapa umat katolik
berhasil menyelamatkannya. Masalah itu dapat diselesaikan oleh pemerintah
Kabupaten Bima. Pemerintah bahkan menyediakan dana untuk membangun kembali
gereja yang dibakar massa. Sedangkan umat katolik yang dipaksa masuk agama lain
dikembalikan ke pangkuan gereja Katolik atas upaya Bimas Katolik Nusa Tenggara
Barat.
Sebagai langkah menuju perdamaian suatu kata baru yang viral
di ujung awal 1970 adalah “detente” di antara dua negara adidaya, Amerika
Serikat dan Uni Soviet. Sementara konflik dan perang masih membara di beberapa
daerah, terutama di Vietnam dan Indo-China.
Ada letupan kegembiraan pada
23 Februari 1970 tentang lahirnya Republik Guyana. Namun hal itu masih
menyiratkan keprihatinan universal sebab sebagian bangsa masih berada dalam
penderitaan iklim penjajahan kolonial, dan menghendaki kemerdekaan untuk menentukan
nasib sendiri. Sebagian penindasan bukan dilakukan bangsa lain, melainkan oleh
bangsa sendiri melalui pemerintahan yang tidak adil. Upaya pembebasan rakyat
dari penderitaan untuk mengembangkan hidup yang lebih penuh dan lebih adil
menjadi wacana di banyak tempat, dan dalam pigura iman kristiani diberi label
teologi pembebasan.
Pembajakan pesawat terbang yang menjadi marak menjelang
akhir 1969, di awal tahun 1970 dirasakan menjadi ancaman umum. Pembajakan
pesawat terbang yang mulanya bermotivasi pribadi dan ekonomis oleh perorangan
(misalnya kasus TWA 85 Los Angeles oleh pemuda 19 tahun yang ingin menengok
keluarganya yang sakit di negara lain; atau kasus Delta Airlines
Cincinnatti-Chicago oleh remaja 14 tahun yang belum cukup umur untuk diadili)
tanpa menimbulkan korban, pada bulan-bulan terakhir 1969 berubah menjadi bahasa
tuntutan politik karena dilakukan dan dimainkan oleh kelompok-kelompok politik
(KAL /YS-11 dari Gangneung ke Seoul-Gimpo dilarikan ke Korea Utara membawa 50
penumpang dan kru. Empat kru dan 6 penumpang dinyatakan hilang. Yang lain
ditahan Korea Utara). Pada 1 Januari 1970 pesawat Cruzeiro do Sul Sud Aviation
SE-210 Caravelle VI R dalam perjalanan dari Montevideo ke Rio de Janeiro membawa
33 penumpang ddibajak oleh 6 orang yang meminta diterbangkan ke Cuba.
Penerbangkan dialihkan ke Lima, Panama
City dan tiba di Havana dua hari kemudian.
A. Nama Lain Perdamaian adalah Pembangunan
(Populorum Progressio 87)
Suatu langkah maju perdamaian tersirat dalam peristiwa 16
Maret 1970 ketika dengan niat menjalin hubungan baik dengan negara tetangga,
Presiden Soeharto melakukan kunjungan pertama Presiden Republik Indonesia ke
Malaysia pasca konfrontasi. Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman berdialog dengan Presiden Soeharto soal Selat
Malaka dalam kunjungan itu. Tunku Abdul Rahman memuji Soeharto karena
komitmennya mewujudkan perdamaian antara Indonesia dan Malaysia.
Indonesia memasuki tahun kedua Pembangunan Lima Tahun pada
tahun 1970. Menurut Garis Besar Haluan Pembangunan yang berlaku saat itu,
diusahakan pola pertumbuhan yang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dalam
keseimbangan. “Di samping meningkatkan pendapatan nasional, sekaligus harus
menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan rasa keadilan, sehingga di satu
pihak pembangunan tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi, melainkan
sekali gus mencegah melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin
dengan menumbuhkan azas hidup sederhana; bukan saja untuk mencapai masyarakat
yang makmur, melainkan juga untuk mewujudkan masyarakat yang adil”.
Usaha penurunan inflasi telah dilakukan sejak awal paroh
kedua 1960-an melalui kebijakan moneter yang melarang pendanaan domestik dalam
bentuk utang domestik ataupun pencetakan uang, hingga tercapai stabilitas
harga. Bergabung kembali dengan International
Monetary Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia dalam
pertengahan akhir tahun 1960an membuka aliran bantuan keuangan dan bantuan asing
masuk ke Indonesia dari negara-negara Barat dan Jepang. Kemudian mekanisme
pasar bebas dipulihkan dengan tindakan-tindakan membebaskan kontrol pasar,
diikuti dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (1967) dan
UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Kedua undang-undang ini mengandung
insentif-insentif yang menarik bagi para investor untuk berinvestasi di negara
ini dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968.
Jika rumusan rencana kerja pemerintah pada tahun pertama
Pelita I 1969/1970 adalah murni gagasan pemerintah dan bersifat darurat,
rencana kerja pada tahun kedua 1970/1971
adalah hasil dari Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) maksudnya
diharapkan lebih teliti, logis, sistematis dan adil.
Untuk pembangunan kehidupan politik, pada 7 Januari 1970
Presiden Soeharto pertemuan konsultatif dengan para pimpinan dan tokoh-tokoh 9 partai
untuk membahas rencana pemerintah mengurangi jumlah partai. Dalam kesempatan
ini Presiden melontarkan gagasan pengelompokan parpol ke dalam dua kelompok,
masing-masing dipandang dari aspek material dan spiritual. Atau, jika diberi
bobot orientasinya, akan terbentuk dua kelompok, yang menekankan
material-spiritual dan yang menekankan spiritual-material. Idepengelompokan
ini berkaitan dengan keinginan Presiden
untuk menciptakan stabilitas yang menjadi “tanggung-jawab bersama”, terutama
untuk meredam konflik menjelang pemilu 1971.
Pertemuan lanjutan yang
lebih khusus dengan lima parpol yang dianggap mewakili “kelompok
material-spiritual” dilakukan Presiden pada 27 Pebruari 1970. Di samping
menyampaikan kembali pokok-pokok pikiran
pertemuan pertama, juga ditegaskan
perlunya “penyederhanaan cara kerja dan berpikir” dengan mengambil bentuk
“up-konfederasi parpol” (ide pokoknya
tidak ada kepengurusan baru, selain bentuk “dewan ketua-ketua umum
parpol” yang dibantu suatu “badan pekerja” sebagai brain trust). Dalam perkembangannya, gagasan Presiden itu melahirkan polarisasi parpol. Ada yang
mendukung karena dinilai sebagai “tuntutan obyektif” ataupun sebagai “pilihan
taktis”, tapi ada yang menolak. Di antara yang menerima bahkan ada yang siap
dengan usulan konkrit.
Selepas konsultasi itu berkembang isu santer bahwa Presiden
akan membubarkan parpol-parpol sebelum 11 Maret 1970 jika mereka gagal
merealisasikan ide Presiden. Menanggapi
rumor ini, para tokoh dari lima
parpol, antara lain, Hardi dan Gde Djaksa (PNI), Akhmad Sukarmadidjaja (IPKI),
VB Da Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan (Partai Katolik), Maruto Nitimihardjo
dan Sukarni (Murba), dan M. Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo) melakukan
pertemuan pada 7 Maret 1970 untuk membicarakan “soal-soal sekitar pengelompokan
partai-partai”. Dalam pertemuan selanjutnya
pada 9 Maret 1970 di tempat yang sama (ruang kerja wakil ketua MPR, Siregar,
Jl. Teuku Umar No. 5 Jakarta) dimatangkan draft “Pernyataan Bersama” yang telah
disiapkan Hardi dan draft-draft perbaikan dan tambahan yang disiapkan Murba dan
IPKI. Untuk itu pertemuan 9 Maret 1970 menyepakati pembentukan Panitia Perumus
yang terdiri dari Mh. Isnaeni (PNI), M. Supangat (IPKI), Murbantoko (Murba), Lo
Ginting (Partai Katolik), dan Sabam Sirait (Parkindo) yang berhasil menyelesaikan rumusannya hari itu juga.
Akhirnya para tokoh kelima parpol mengeluarkan “Pernyataan
bersama”, yang dilaporkan pada Presiden pada 12 Maret 1970 (dalam pertemuan ini
Presiden menampik adanya rencana pembubaran parpol). Pernyataan Bersama memuat
dua hal, yakni : (1) Kesediaan untuk melakukan kerjasama demi kepentingan nasional. (2) Hal-hal yang
menyangkut dasar, sifat, pengorganisasian, program kerja, prosedur dan nama
kerjasama, akan ditentukan dalam waktu sesingkat-singkatnya
Pada tanggal 24 Maret pertemuan para tokoh kelima parpol
kembali digelar di ruang kerja Siregar. Hadir antara lain, Hardi dan Usep
Ranuwidjaja (PNI), M. Siregar, JCT Simorangkir dan Sabam Sirait (Parkindo), VB
Da Costa, Lo Ginting dan Doeriat (Partai Katolik), Maruto Nitimihardjo (Murba)
serta Akhmad Sukarmadidjaja dan Mustafa Supangat (IPKI). Pertemuan ini berusaha
memformulasi secara lebih kongkrit butir kedua pernyataan bersama. Soal nama
kelompok muncul banyak gagasan, misalnya “Kelompok Demokrasi Kesejahteraan”,
“Kelompok Kesejahteraan Kerakyatan” (usulan partai Katolik), “Kelompok Gotong Royong”
(usulan Murba), “Kelompok Pembangunan” (usulan IPKI), “Kelompok Nasionalis
(usulan PNI). “Kelompok Demokrasi dan Pembangunan (usulan Parkindo)”. Sedangkan
mengenai bentuk dan sifat kerjasama muncul ide mulai dari konfederasi, aliansi,
koalisi, liga, ataupun badan kerjasama. Setelah melalui perdebatan melelahkan,
akhirnya disepakati nama kelompok adalah “Demokrasi Pembangunan” dalam rangka
perwujudan Badan Kerjasama yang isinya konfederasi. Dengan demikian nama resmi
yang diberikan adalah “Badan Kerja Sama Demokrasi Pembangunan” atau lebih
dikenal sebagai “Kelompok Demokrasi Pembangunan”. Pertemuan juga menetapkan dua
kontak person kelompok, masing-masing Hardi dan Siregar.
Selama pertemuan tokoh lima parpol, muncul kecemasan besar
akan terjadinya polarisasi politik nasional ke dalam dua kubu. Terjadi silang
pendapat bagaimana mengeliminir tendensi ini, termasuk gagasan menyertakan
salah satu parpol Islam dalam pengelompokan yang ada. Tetapi akhirnya ditemukan
jalan keluar, yakni dengan menempatkan “prinsip keterbukaan bagi semua kekuatan
sospol dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan nasional” sebagai
prinsip dasar pengelompokan.
Pertemuan
menghasilkan pembentukan dua kelompok koalisi di dalam DPR pada bulan
Maret 1970 yaitu Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, IPKI,
Murba, Parkindo, dan Partai Katolik; dan Kelompok Persatuan Pembangunan, yang
terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Sesuatu yang belum
disadari pada waktu itu adalah bahwa setelah belajar dari masa lalu ketika partai-partai
digerakkan oleh ideologi masing-masing dan menyebabkan kekacauan politik,
gagasan pengelompokan partai-partai yang dilontarkan Presiden Soeharto dengan
maksud untuk menciptakan stabilitas yang menjadi “tanggung-jawab bersama”,
terutama untuk meredam konflik menjelang pemilu, merupakan langkah
de-ideologisasi. Partai-partai dilucuti dari ideologinya yang menyebabkan
perseteruan satu sama lain. Yang tidak terduga sebagai akibatnya adalah bahwa
para anggota partai kemudian kehilangan pegangan juga. Oleh karena itu dalam
kehidupan politik mulai terbentuk “massa mengambang” di kalangan masyarakat
umum. Dan populasi “massa mengambang” ini bertambah besar dengan meningkatnya
“kelas menengah” yang kemudian fenomenal
sebagai hasil ikutan dari proses pembangunan ekonomi.
Penyederhanaan partai dirintis oleh Presiden Soekarno pada
tahun 1960. Jumlah partai politik yang ada pada waktu itu kira-kira 25,
dikurangi berdasar perolehan suara dalam Pemilu 1955 hingga tinggal 10 partai
saja, yaitu PNI, Partindo, IPKI, NU, PSII, Perti, Parkindo dan Partai Katolik,
PKI serta Murba yang sesungguhnya representasi dari ideologi Nasionalis, Islam,
Kristen dan Marxisme.
Gereja Katolik Indonesia menyambut dasawarsa 1970-an dengan membenahi
diri sejalan dengan pembaruan menurut semangat dan hasil-hasil Konsili Vatikan
II. Serentak dengan itu ia juga berusaha menempatkan diri sebaik-baiknya dalam
dinamika masyarakat dan bangsa mendayung usaha pembangunan di segala bidang.
Gereja hendak menampilkan diri sebagai hati nurani masyarakat. Dan untuk itu
berusaha belajar menggali kekayaan budaya Indonesia agar dapat mengungkapkan
iman secara otentik menjadi bagian integral dari keindonesiaan.
Umat Katolik Indonesia dalam satu dasa warsa mengalami
pertumbuhan hampir 100% dari 1,2 juta pada tahun 1960 menjadi sekitar 2,3 juta
pada 1970. Pertumbuhan umat yang sangat signifikan yang sekaligus membawa
tuntutan besar dalam penyediaan sarana, prasarana dan metode serta petugas
pastoral.
Membangun Manusia Pembangun
Suatu kerja sama ekumenis antara DGI dan MAWI di awal tahun
1970 di Cipayung Bogor diselenggaran sekretariat Sodepaxi mencetuskan gagasan utama “Membangun Manusia Pembangun”.
Gagasan ini bergaung panjang terutama di gereja-gereja kristen dan keuskupan
yang berkarya di daerah yang terbilang terbelakang dalam banyak hal
termassuk kekurangan tenaga pastoral,
atau tenaga pastoralnya mengalami kelebihan beban tugas sehingga tidak punya
waktu untuk merenungkan karyanya, sekaligus menjadi gelombang baru untuk sosialisasi
semangat dan ajaran Konsili Vatikan II.
Pada awal tahun 1970-an
jumlah imam yang berkarya di Indonesia 1.447 orang, sebagian besar
adalah misionaris asing, dan 507 imam asli Indonesia (32%), di antaranya 130
orang imam diosesan.
Untuk para imam yang sudah lama bekerja diselenggarakan “refresher course” . Tetapi juga
diperlukan forum-forum pertemuan untuk para imam yang lebih muda agar sering
bertukar pikiran dan tukar pengalaman saling memperkaya dalam semangat Konsili
Vatikan II (PO 7; DH 28 al 2). Dianggap baik juga jika forum=forum itu diikuti
para bruder dan suster. Diperlukan lebih banyak
Institut Pastoral yang membantu para imam paroki dalam upaya pendewasaan
umat, up-grading dewan paroki, para katekis dan diakon awam dalam semangat dan
keterampilan kerja pelayanan. Sementara Institut Pastoral yang sudah ada di
Yogyakarta, Surakarta, Malang dan Ende diharapkan agar dioptimalkan, dan agar
melengkapi tim yang dikirim dengan pengetahuan yang cukup mengenai keadaan dan
budaya setempat di mana mereka memimpin lokakarya pastoral.
Kesejahteraan para petugas pastoral dalam hal kesehatan juga memerlukan
perhatian. Medan tugas yang berat, beban pelayanan berlebih, kondisi rohani dan
fisik yang aus menimbulkan gejala merosotnya keseimbangan mental sebagian imam.
Mereka yang mengalami gangguan psikologis memerlukan tempat perawatan yang
layak dan menjamin pemulihan. Beberapa kota besar mempunyai sanatorium jiwa,
sebagian besar daerah tidak memiliki fasilitas itu.
Sebagian imam, bruder dan suster misionaris “sudah tak
bertenaga” setelah bekerja keras lima belas tahun, atau sepuluh tahun, menurut
ketahanan fisik, mental dan tohani masing-masing. Diperlukan pola liburan yang
menyegarkan dan membantu mereka mengkristalkan pengalaman bekerja, agar mereka
diremajakan setelah liburan dan masih dapat menyumbangkan dirinya lagi. Selain
itu dipikirkan juga tempat bagi mereka yang sudah sungguh-sungguh tidak dapat
aktif bekerja lagi, terutama yang sudah tua, dengan jaminan hidup yang pantas.
Di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Mgr Adrianus Djajasepoetra
SJ, memasuki usia 76 tahun dan pensiun
mengundurkan diri pada 21 Mei 1970. Ia sudah memimpin Keuskupan Agung Jakarta
selama 17 tahun sejak 1953. Untuk menggantikannya Paus Paulus VI pada hari yang
sama 21 Mei 1970, mengangkat Mgr Leo Sukoto SJ yang sudah cukup mengenal
situasi Jakarta. Antara 1966-1967 Leo
Sukoto SJ adalah sekretaris KAJ.
Kemudian ia menjadi Vikaris Jendral dari 1967 hingga 1970. KAJ pada awal
1970 mempunyai 23 paroki dengan jumlah umat mendekati 60.000 orang menurut statistik Annuario Pontifico 1971.
Dewan Waligereja Pusat (Dewap) Harian dalam pertemuan pada
25-27 Mei 1970 melakukan persiapan untuk Sidang Majelis Agung Waligereja
Indonesia (MAWI) yang akan diselenggarakan November-Desember 1970 nanti. Dalam pertemuan Dewap Harian itu timbul
gagasan agar MAWI membicarakan juga persoalan-persoalan aktual yang dihadapi bangsa Indonesia umumnya dan
masyarakat katolik khususnya. Gereja wajib ikut memperhatikan, terlibat dan
berperan memecahkan persoalan bangsa, menjadi inspirator dan memberi dorongan
pelaksanaan pembangunan demi perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Oleh pemerintah, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) ditempatkan sebagai suatu rencana operasional tahunan sekaligus
alat pemantauan dan pengendalian (pengawasan dan koreksi) dari pembangunan lima
tahunan (Repelita) serta diarahkan untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana
yang diamanatkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). APBN disusun menurut suatu sistem yang
dicangkok dari teori-praktek Amerika Serikat dan dikenal dengan nama PPBS (Planning, Programming and Budgeting System). Planning
atau perencanaan adalah paradigma naratif sistematis apa saja sasaran yang mau dicapai dalam masa tertentu. Programming adalah langkah penentuan
program atau rincian pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai sasaran.
Budgeting atau peranggaran menerjemahkan kebutuhan seluruh program dalam
nilai keuangan atau rupiah.Sistem adalah paduan menyeluruh dari bagian-bagian
yang saling berinteraksi. Di dalam sistem ini aktivitas PPB disusun setiap
tahun menggunakan konsep bottom-up
dan top-down sekaligus. Bottom-up maksudnya bahan
rencana-rencana berasal dari bawah agar mencerminkan aspirasi harapan dan
kehendak rakyat melalui peran Bappeda, baik Tk.II maupun Tk. I dan sektoral. Konsep top-down maksudnya setelah rencana-rencana disusun dalam paradigma
pembangunan menyeluruh, pemerintah pusatlah, di sini maksudnya Bappenas dan
Departernen Keuangan, yang kemudian menentukan rencana mana saja yang disetujui
untuk diprogramkan dan berapa besaran anggarannya, dengan memerhatikan
prioritas-prioritas.
Dalam pasal 23 ( I ) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
dinyatakan bahwa "Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan
tiap-tiap tahun dengan Undang Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak
menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka pemerinlah menjalankan
anggaran tahun lalu." Menurut ketentuan ini DPR yang terdiri dari wakil-wakil
rakyat ikut menentukan baik seluruh rencana, maupun program yang akan dilakukan
pemerintah yang dituangkan dalam APBN dan jika sudah didapat persetujuan dengan
mekanisme yang berlaku, APBN itu
ditetapkan menjadi Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi aktivitas
pemerintah. Pada tahun 1970 sekitar 30 orang umat katolik duduk dalam Parlemen
atau DPR. Melalui mereka umat Katolik boleh berharap menyalurkan aspirasi,
harapan dan kemauan terkait pembangunan yang dilakukan pemerintah. Secara
teoritis dan teknis di sini seluruh umat
katolik sebagai warga negara sudah ikut terlibat dan berperan-serta dalam
pembangunan.
Dasar teologi untuk keterlibatan membangun masyarakat adalah
kesatuan umat dengan Yesus Kristus Tuhan. Usaha menemukan kebahagiaan dan
kesejahteraan hanya mungkin oleh pertolongan Allah, melalui perantaraan Yesus
Kristus. Yesus Kristus dalam menyelamatkan manusia seluruhnya bekerja melalui
kita dengan memberikan Roh Kudus, yaitu sumber tenaga ilahi yang menggerakkan
dengan menyingkirkan hambatan dosa egoisme dan mengembangkan ikatan kesatuan melalui cinta kasih, sehingga
kendati ada perbedaan-perbedaan semua gerak usaha terkoordinasi membangun
kesejahteraan untuk semua.
Pandangan yang khas adalah berkenaan dengan makna
“pembangunan menyeluruh” (bukan hanya ekonomi saja), sekaligus berkenaan dengan
pelbagai daya yang memungkinkan dan mendorong pembangunan semesta. Dasar iman
ini tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan dengannya memeroleh jalan
pelaksanaan melalui kerja sama dengan umat beragama lain dalam persaudaraan,
bagai musafir bergerak menuju dunia baru yang menjamin kesejahteraan umum dan
keadilan sosial. Pedoman lalu
menyampaikan bagian petunjuk praktis dalam hal keluarga, pendidikan, politik,
ekonomi. Dilanjut petunjuk hubungan dengan umat beragama lain. Kemudian
petunjuk mewartakan dan merayakan ekaristi. Dalam bagian akhir, Pedoman
memaparkan tanggung jawab berbagai kelompok dalam Gereja.
Sistem PPB (Planning,
Programming, Budgeting) dilaksanakan
berdaur, bergulir setiap September hingga Desember sampai
Rencana APBN mendapat persetujuan DPR dan kemudian dijadikan
Undang-undang, untuk dilaksanakan dari awal masa anggaran tiap bulan April.
Berulang setiap tahun. Beberapa Keuskupan misalnya Keuskupan Ende dan Uskup
Donatus Djagom SVD, dalam rangka membangun kemandirian nantinya memerhatikan
cara kerja pemerintah itu dan belajar darinya, lalu dengan niat baik kendati
segala keterbatasan berusaha mempraktekkannya mutatis-mutandis. Maksudnya disesuaikan dengan keadaan gerejawi
yang masih terbiasa dengan program untuk lingkaran perayaan Paskah dan Natal
saja, ke arah kegiatan pastoral sepanjang tahun. Tentu dengan mengingat
organisasi Gereja juga belum serapi pemerintah, terdiri dari panitia-panitia ad
hoc, juga bukan suatu garis komando, karena bersifat suka rela. Sifat Gereja
institusional yang masih pekat membuat pola komunikasi Gereja pada umumnya top-down, maka sedang dalam tahap
belajar untuk mengubah sikap menjadi lebih luwes terbuka, mendengarkan aspirasi
dan menampung harapan dari bawah, bottom-up,
untuk menjadi Gereja Umat Allah sesuai Konsili Vatikan II. Aneka halangan dan
kesulitan bahkan kegagalan dijumpai,
tetapi pembelajaran harus berlanjut, dengan trial
and error. Atau coba dan ralat.
Dengan nada obyektif dan positif, disiapkan oleh Dewap MAWI naskah
Pedoman keterlibatan umat katolik dalam pembangunan yang walaupun bersifat umum
namun cukup konkret untuk disahkan pada Sidang Majelis Waligereja Indonesia
November 1970 berkat arahan Mgr Leo Sukoto SJ. Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia akan diumumkan bertepatan dengan kunjungan Paus
Paulus VI di Indonesia pada bulan Desember 1970. Pedoman Kerja Untuk Umat
Katolik Indonesia (PKUKI) ditandatangani Waligereja dari 33 keuskupan di
Indonesia, mengacu pada petunjuk Konsili Vatikan II (dokumen Lumen Gentium, Sacrosanctum Concilium,
Gaudium et Spes, Orientalium Ecclesiarum dan Ad Gentes). Maka dapat dikatakan PKUKI menerjemahkan Konsili
Vatikan II dalam realisme sosial Indonesia.
Para Uskup di Indonesia pada awal 1970: Mgr A.v.d. Hurk OFMCap
(Keuskupan Agung Medan); Mgr. R. Bergamin SX (Keuskupan Padang); Mgr. J.
Soudant SCJ (Keuskupan Palembang); Mgr. N.v.d. Westen SSCC (Keuskupan
Pangkalpinang); Mgr. A. Hermelink SCJ (Keuskupan Tanjung Karang); RP. B.
Willing OFMCap (Pro-Prefek Apost. Sibolga); Mgr. H.v.d. Burgt OFMCap (Keuskupan
Agung Pontianak); Mgr. W. Demarteau MSF (Keuskupan Banjarmasin); Mgr. G. Sillekens CP (Keuskupan Ketapang);
Mgr. J. Romeijn MSF (Keuskupan Samarinda); Lambertus van Kessel SMM (Keuskupan
Sintang); Mgr. M. Di Simone CP (Prefek Apost. Sekadau); Mgr. L. Soekoto SJ
(Keuskupan Agung Jakarta); Mgr. P. Arntz OSC (Keuskupan Bandung); Mgr. N. Geise
OFM (Keuskupan Bogor); Justinus Kardinal Darmoyuwono (Keuskupan Agung
Semarang); Mgr A.E.J. Albers O.Carm (Keuskupan Malang); Mgr. W. Schoemaker MSC
(Keuskupan Purwokerto); Mgr. J. Klooster CM (Keuskupan Surabaya); Mgr. N.
Schneider CICM (Keuskupan Agung
Makassar); Mgr. A. Sol MSC (Keuskupan Amboina); Mgr. Th. Moors MSC (Keuskupan
Manado); Mgr. D. Djagom SVD (Keuskupan Agung Ende); Mgr. Th.v.d. Tillaart SVD
(Keuskupan Atambua); Mgr. P. Sani SVD (Keuskupan Denpasar); Mgr. G. Manteiro
SVD (Keuskupan Kupang); Mgr. A. Thijssen SVD (Keuskupan Larantuka); Mgr.W.v.
Bekkum SVD (Keuskupan Ruteng); Mgr. W. Wagener CSSR (Prefek Apost.
Weetebula); Mgr. H. Tillemans MSC (Uskup Agung
Merauke); Mgr. A. Sowada OSC (Keuskupan Agats); Mgr. A. Staverman OFM
(Keuskupan Jayapura); P.M. van Diepen OSA (Keuskupan Manokwari). Baru enam nama
putera Indonesia asli berada di jajaran para Uskup. Dalam beberapa tahun
kemudian banyak putera Indonesia asli menggantikan para Uskup misionaris dari
mancanegara.
Indonesianisasi merupakan suatu proses yang disadari para
Uskup untuk melanjutkan tahap penanaman Gereja Katolik di Indonesia bergerak
setahap lebih maju lagi sesuai petunjuk Konsili Vatikan II (AG 19-22)
mewujudkan Gereja Katolik Indonesia. Jalan yang ditempuh di satu pihak melalui
proses budaya akulturasi, inkulturasi, dan kontekstualisasi, yaitu meresapkan
Injil dan iman ke dalam budaya hidup umat Katolik di Indonesia. Di pihak lain
percepatan pengadaan imam-imam putera asli Indonesia mendampingi para
misionaris asing. Tenaga luar negeri perlu secepatnya diganti oleh imam-imam
putera Indonesia asli. Proses Indonesianisasi tidak mudah karena memerlukan
persiapan sungguh-sungguh, di samping menghadapi keengganan berubah sementara
pihak. Ada pendapat “sejelek-jeleknya misionaris asing, masih lebih baik
ketimbang pastur Indonesia”. Ada indikasi seorang Uskup asli Indonesia dipaksa
pensiun oleh kalangannya sendiri karena terlalu bersemangat melancarkan
Indonesianisasi (Mgr Gabriel Manek SVD, 1968). Seorang Uskup lainnya, seorang
misionaris asing, sedang dalam sorotan karena ditentang dalam hal yang sama.
Para Uskup berangsur-angsur membarui semangat karya keuskupan
dan melengkapi prasarana penggembalaan menurut Konsili Vatikan II berdasar
mandat (LG 23; CD 11). Keuskupan dipahami sebagai gereja setempat yaitu
persekutuan umat Allah, orang beriman yang dipanggil dan dihimpun Sabda dan
sakramen dalam iman, kasih dan harapan (LG 8; SC 13, 42) yang dipercayakan kepada Uskup dalam
kesetaraan martabat, persaudaraan dan kebersamaan melaksanakan tugas perutusan
(LG 10-13, 31-32) dan dalam kesatuan dengan Uskup (LG 23). Kuria Keuskupan,
yaitu orang-orang yang membantu Uskup memimpin keuskupan dengan mendapatkan
wewenang jabatan menjalankan tugas tertentu seperti Vikaris Jenderal, Vikaris
Yudisial, Sekretaris dan Bendahara Keuskupan berdasar Hukum Gereja, diperbarui
dengan semangat kolegial. Suatu jabatan
baru diadakan untuk melengkapi kebutuhan Uskup dalam penggembalaan umat untuk
wilayah tertentu dalam Keuskupan, yaitu Vikaris Episkopalis (Vikep), “agar
Uskup dengan rekan kerja yang baru dapat menggembalakan keuskupannya dengan
lebih baik” (Motu Proprio Ecclesiae Sanctae
14). Struktur Kevikepan antara lain
coba diselenggarakan pada 1970 oleh Mgr. Schneiders CICM di Keuskupan Agung
Makasar dengan mendirikan Kevikepan Toraja-Luwu. Uskup juga dibantu Dewan
Konsultor sebagai senat dan penasehat yang memberi pertimbangan-pertimbangan
menurut norma-norma Hukum Gereja.
Dewan Imam Keuskupan diatur dengan semangat baru untuk
membantu karya pastoral Uskup (PO 7, MP Ecclesiae Sanctae 15-17, Surat Edaran
Kongregasi para Imam 11/4/1970 juga sebelumnya 10/10/1969). Mengenai para imam,
Uskup-uskup di Indonesia merasakan begitu besar kebutuhan untuk menyediakan
imam-imam untuk melayani umat. Diadakan penelitian mengenai Seminari,
pendidikan calon imam, dan pembinaan para imam. Perbandingan antara imam dan
umat yang dilayani begitu besar melampaui kapasitas sehingga pelayanan semakin
kurang optimal. Pada tahun 1970 seorang imam melayani sekitar 2000 jiwa.
Walaupun jumlah imam bertambah namun belum sebanding dengan pertambahan jumlah
umat. Sedang pendidikan seminari untuk melahirkan imam yang dibutuhkan meminta
waktu lama.
Menimbang kenyataan itu, pada tahun 1970 para uskup yang
terhimpun dalam MAWI mengajukan permohonan kepada Tahta Suci, agar diizinkan
untuk menahbiskan bapak keluarga yang telah teruji dalam pelbagai tugas
pelayanan pastoral menjadi imam bagi jemaat Katolik di wilayah terpencil.
menjelang akhir 1970, ketika Dewan Paroki se-Kota Makassar bersepakat menulis
surat ke MAWI. Mereka mengusulkan agar MAWI mengajukan permohonan ke Vatikan
supaya diberi kemungkinan ditahbiskannya imam-imam berkeluarga untuk
keuskupan-keuskupan tertentu di Indonesia, termasuk Keuskupan Agung Makassar.
Tentang imamat dan martabatnya dan selibat sejak akhir
Konsili Vatikan II makin banyak kajian yang dilakukan oleh Vatikan dengan
kesimpulan bahwa selibat di Gereja Latin tetap dipertahankan. Bahkan tentang
tahbisan pria berkeluarga diangkat dalam Sinode Uskup dengan pemungutan suara
untuk memilih pernyataan atas dua modi: (a)
Dengan mengecualikan hak khusus Paus, tahbisan pria berkeluarga dilarang
meskipun dalam hal-hal khusus; (b) Terserah kepada Paus untuk mengizinkan
tahbisan pria berkeluarga menjadi imam karena hal-hal khusus, kebutuhan
pastoral dan kebaikan Gereja asal calon sudah mapan dan baik hidupnya. Para
bapa sinode memilih rumusan A dengan 107 suara, sedang rumusan B 87 suara. Maka
yang berlaku adalah rumusan A. Maka Vatikan semakin kuat melarang segala
diskusi sekitar imam berkeluarga; diskusi mengenai jabatan gaya baru itu tidak
hidup di Indonesia dan penyelesaian praktis berorientasi pada gagasan memenuhi
keperluan akan imam untuk sakramen, terutama ekaristi dan pengampunan dosa
secara darurat mengandung pelbagai efek negatif yang tidak bisa diterima.
Pada tanggal 23 Agustus 1970 “Panitia Persiapan Konggres
Medis Gabungan Religius” dibentuk yang terdiri dari atas biarawati-biarawati
lima konggregasi yang bekerja dilapangan medis, ditambahkan dengan seorang
penasehat dari Konggar (Kongres Gabungan
antar Religius). Pada tanggal 16 Oktober 1970 diadakan suatu rapat khusus oleh
Panitia Persiapan Konggres tersebut menghadirkan Fr J.Tong, SJ, Presiden dari “The Catholic
Hospital Association of India” untuk memberi gambaran ringkas mengenai
pekerjaan dan susunan Association itu di India. Pada rapat itu diambil resolusi
sebagai berikut: a). Akan diminta pada MAWI supaya ada tempat yang dapat
disediakan untuk bagian assosiasi medis/paramedis itu di Kantor MAWI. B). Fr
Tong mengusulkan supaya seorang dibebaskan dari tugasnya supaya dapat kerja
untuk biro medis dan persiapan konggres sebagai full-timer (Sr.Tilde van Mook).
Konferensi para Uskup dalam Sidang MAWI memberi tanggapan positif untuk rencana
itu. Usaha karyawan medis dengan
konggres dan pelaksanaan selanjutnya berdiri autonom, tetapi berada dalam hubungan
tetap dengan konferensi para Uskup. Tugas-tugas di bidang medis yang untuk
selanjutnya diseragkan kepada
Sekretariat Panitia Konggres Medis dan diberi tempat ruangan di kantor
MAWI dengan tenaga dan biaya sendiri.
Ting! Tersiar lagi berita miring, hukuman mati dijatuhkan
atas Ranu Sunardi, Letkol Laut, dalam sidang Mahmilub G30/1965 dengan Putusan
Mahkamah No. PTS-033/MLB/X/RS/1970, tanggal 18 Oktober 1970.
Terjadi banyak perubahan dalam struktur dan cara kerja MAWI
tahun 1970 untuk penyusunan Statuta MAWI. Sidang MAWI sejak saat itu akan diadakan
setiap tahun sebagai "sidang tahunan" dan biasanya jatuh pada bulan
November di Jakarta. Selain sidang tahunan juga akan diadakan "sidang sinodal" setiap tiga tahun
sekali. DEWAP dihapuskan dan diganti oleh Presidium MAWI, yang menjadi
kepemimpinan tertinggi setelah Sidang MAWI.Dibentuk badan baru, yaitu Bagian
Penerangan. Struktur Sekretariat Jenderal dibagi dua kelompok:
1. Kantor Waligereja Indonesia (Kawali): Bagian
Umum/Keuangan, Bagian Personalia, Bagian Pendidikan, Bagian Penerangan.
2. Panitia-panitia Waligereja Indonesia/PWI: PWI Ekumene,
PWI Seminari, PWI Komunikasi Sosial (pengganti PWI Pers dan Propaganda), PWI
Sosial dan Ekonomi (pengganti PWI Sosial), PWI Kateketik, PWI Kerasulan Awam,
PWI Liturgi, PWI Pendidikan.
Kateketik
Sesudah Konsili Vatikan II, terutama dalam tahun 1970
istilah evangelisasi menjadi sangat terkenal di dalam kegiatan Gereja; banyak
dokumen, karya, pertemuan, dan program pastoral, yang membahas tema
Evangelisasi dalam dunia modern. Karena itu di dalam kerugma Gerejawi katekese
harus selalu memikirkan kembali tugas misi dan artinya.
Pada Tahun 1970 MAWI menyatakan sikapnya, sehubungan dengan
adanya kurikulum agama di sekolah, bahwa: Tidak nyatalah keharusan memasukkan
pelajaran agama dalam kurikulum sekolah. Tidak nyata pulalah bahwa Pemerintah
dapat mengharuskan pelajaran agama (sebagai usaha pengembangan iman) di
sekolah-sekolah. Pelajaran agama katolik adalah kompetensi Uskup setempat.
Tugas Gereja ialah untuk membantu orang tua dalam pendidikan iman anak-anaknya.
Namun nanti pada tahun 1972, MAWI menyetujui adanya Kurikulum Nasional Agama
Katolik pada SD, SLTP, SLTA, Universitas. Disetujui oleh sidang bahwa PWI
Kateketik yang mengerjakannya.
Dari tahun 1969 keuskupan-keuskupan telah menyelenggarakan
Komisi Kateketik, yang pada umumnya setelah berbagai penyempurnaan aktif
bekerja pada pertengahan tahun 1970-an. Komisi Kateketik Keuskupan bertugas
membantu Uskup mengembangkan karya pastoral katekese yaitu menanam dan
mengembangkan pengertian iman Kristiani di wilayah yurisdiksi masing-masing.
Pada tingkat nasional PWI Kateketik MAWI yang terdiri dari seorang Ketua dan
tujuh wakil provinsi Gerejawi merupakan badan konsultatif sekaligus pelaksana
kebijakan katekese MAWI, memprakarsai Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan Se-Indonesia
(PKKI) dan rapat-rapat serta lokakarya-lokakarya kateketik termasuk pelajaran
agama di sekolah dan Universitas.
Aksi Puasa Pembangunan
Sekitar tahun 1969, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung
Semarang (Vikjen KAS), Pastor C. Carri SJ menggulirkan gagasan Aksi Puasa di
KAS. Gagasan ini sebenarnya juga sudah diusulkan oleh Kardinal Justinus
Darmojuwono (1914-1994), yang kala itu menjabat sebagai Uskup Agung Semarang
sekaligus Ketua PWI Sosial (MAWI).
Pada tahun 1970, gagasan yang telah dilemparkan oleh Pastor
Carri SJ ditangkap oleh Pastor Gregorius Utomo Pr selaku Delegatus Sosial
(Delsos) KAS kala itu. Hal tersebut menjadi konsen para pelayan pastoral bidang
sosial ekonomi, yang pada saat itu sedang hangat membicarakan isi Ensiklik Populorum Progressio (PP), Ajaran Sosial
Gereja dari Paus Paulus VI yang terbit pada 26 Maret 1967. Ensiklik itu
mengatakan, “nama lain perdamaian adalah pembangunan” (PP 87).
Sebenarnya, gagasan Aksi Puasa sudah telah muncul dua dekake
sebelumnya, sekitar tahun 1955. Pada waktu itu, Sekretaris PWI Sosial MAWI,
Pastor Johanes Baptista Dijkstra SJ (1911-2003) telah menanggapi ASG dalam
karya kerasulannya. Dijkstra dengan pelbagai upaya telah berusaha memberi warna
tersendiri terhadap gerakan pemberdayaan ekonomi masyarakat Indonesia.
Misionaris Jesuit kelahiran Amsterdam, Belanda, 26 Oktober 1911 ini telah
berkiprah dengan ikut membidani lahirnya kelompok Pilot Project Aksi Puasa Pembangunan (APP). Aksi kelompok
umat Katolik ini sangat sederhana. Mereka dengan sukarela menyisihkan sebagian
uang hasil penghematan belanjanya di masa puasa untuk solidaritas bagi sesama
yang membutuhkan pada Masa Prapaskah.
Seusai hasil Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI)
Pastor Dijkstra SJ pada tahun 1955 dengan bantuan teman-temannya – salah
satunya adalah Romo Josephus Gerardus Beek SJ (1917-1983)– membentuk gerakan
yang bersifat umum, tidak berafiliasi pada Gereja Katolik, dinamakan Gerakan
Pancasila. Gerakan Pancasila inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Ikatan
Buruh Pancasila (IBP), Ikatan Petani Pancasila (IPP), Ikatan Para Medis
Pancasila (IPMPS), dan Ikatan Usahawan Pancasila (IUI). Di dalam Gerakan
Pancasila inilah cikal bakal “Aksi Puasa” untuk membangun hidup bersama
diluncurkan. Namun kemudian, Aksi Puasa itu ternyata bergaung dan
dikontekstualisasikan secara kreatif oleh Pastor Carri bersama Pastor Utomo
dalam Pilot Project APP.
Menurut pemikiran Romo Carri, umat Katolik perlu menjalankan
Aksi Puasa untuk menjembatani jurang antara kaya dan miskin dengan berpedoman pada
Ensiklik Populorum Progressio dari
Paus Paulus VI.
Kontekstualisasi kegiatan Masa Prapaskah tersebut akhirnya
menelorkan Aksi Puasa Prapaskah, yang dimulai pertama kali pada Masa Prapaskah
tahun 1970. Aksi Puasa ini ditetapkan menjadi kegiatan selama Masa Prapaskah
dalam Sidang Pleno PWI Sosial MAWI di Purworejo, Jawa Tengah, pada 1970. Dalam
Sidang Pleno tersebut, para peserta juga menyusun suatu Pedoman Aksi Puasa,
yang kemudian disahkan oleh para Uskup dalam Sidang Tahunan MAWI pada November
1970.
Dalam sidang MAWI
tahun 1970, para uskup Indonesia meresmikan dan mengangkat Lembaga
Biblika Saudara-saudara Dina yang telah dirintis dari tahun 1965 sebagai usaha
Ordo Saudara Dina Fransiskan (OFM) untuk menerjemahkan dan menerbitkan Kitab
Suci dan buku-buku mengenai Kitab Suci menjadi lembaga MAWI yang menangani
hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci. Berdasar surat sekretaris presidium
MAWI tanggal 19 Februari 1971, lembaga ini selanjutnya bernama Lembaga Biblika
Indonesia.
Didirikannya LBI dimaksudkan untuk menanggapi imbauan
Konsili Vatikan II: “Bagi kaum beriman kristiani, jalan menuju Kitab Suci harus
terbuka lebar-lebar” (Dei Verbum 22). Dengan demikian, mereka dapat memenuhi
anjuran untuk “… sering kali membaca Kitab Suci dan memperoleh pengertian yang
mulia akan Yesus Kristus … Sebab, tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak
mengenal Kristus” (Dei Verbum 25). Untuk itu selanjutnya diadakan kerja sama
dengan berbagai pihak dalam hal menerjemahkan dan menyebarkan Kitab Suci. Juga
diadakan bahan-bahan yang mendukung karya kerasulan Kitab Suci di lapangan.
Adalah kegembiraan besar bahwa Paus Paulus VI mampir
mengunjungi Indonesia dalam program lawatan apostolik ke beberapa negara Asia
dan Pasifik (26 November sampai 5
Desember 1970). Sebelum ke Indonesia, Paus terlebih dahulu mengunjungi Teheran (Iran), Dakka
(Bangladesh), Manila (Filipina), Samoa Barat (Pasifik), Sydney (Australia),
Papua New Guinea, Indonesia (3-4 Desember), untuk kemudian Paus Paulus VI
melanjutkan kunjungan ke Hongkong dan
Colombo (Sri Lanka). Menjelang keberangkatannya Paus Paulus VI menyatakan:
“Paus berkunjung bukan sebagai wisatawan, atau sebagai undangan perayaan dan
upacara, tetapi sebagai Uskup dan kepala Dewan Uskup, sebagai imam dan
misionaris, sebagai penjala manusia (lih. Mat 4: 19), yaitu, penjala manusia
dan bangsa-bangsa di dunia dan zaman kita; kami akan menghadiri serangkaian
pertemuan, yang akan menggambarkan adegan dan kata-kata pewartaan injil,
mengunjungi saudara-saudara dan putera-puteri, untuk menghimpun orang-orang dan
lembaga-lembaga, untuk menyampaikan hormat kepada mereka yang layak
mendapatkannya: mereka yang memikul tanggung jawab, kaum miskin, kaum muda,
mereka yang lapar akan keadilan dan perdamaian, yang menderita, dan yang
tersisih.
Di sana ada orang yang telah mendengarkan, dan terus
mendengarkan dan menyadari bahwa di dalam kata-kata yang samar dan sama itu
terdapat dua nada tunggal dan sangat manis, yang keras bergema di relung jiwa
mereka: nada kebenaran dan nada kasih. Mereka menyadari bahwa perkataan
hanyalah sarana dari Dia yang
mengucapkannya: yaitu Sang Firman sendiri, Firman dari Bapa. Di mana dulu dan
sekarang Bapa berada? Siapa Dia dulu dan sekarang? Dia tak lain dan tak bukan
adalah Dia yang hidup, Pribadi yang adalah Firman, Firman yang menjadi manusia,
Firman Allah. Di mana dulu dan sekarang Firman Allah yang menjadi manusia itu
berada? Karena sekarang Dia yang dahulu ada dan jelas bahwa sekarang pun Dia
ada, Dia hadir! Dialah Pribadi Ketiga yang kini berada di panggung dunia:
Pribadi yang tinggal dan berada di semua tempat di mana ia disambut, melalui
jalan yang khas, tetapi tidak asing bagi pengertian manusia, melalui iman....
Demikianlah gambaran abadi yang terjadi selama berabad-abad, yang dalam
perjalanan Kami hendak mendapatkan momentum realitas yang tak terperikan”.
Ketika Paus Paulus VI mengunjungi Manila November 1970 dan
sebagian Uskup dari Asia wakil-wakil Konferensi Waligereja masing-masing ikut
menyambut, disampaikanlah gagasan sesuai Konsili Vatikan II untuk mendirikan
Federasi Konferensi Uskup Asia (Federation
of Asian Bishop Conference, FABC) kepada Paus, yang olehnya disambut dengan
gembira. Momen itu dianggap sebagai
kelahiran Federation of Asian Bishop
Conference, FABC.
Kunjungan Paus Paulus VI
Kunjungan Paus Paulus VI ke Indonesia pada tahun 1970
“hanya” diliput oleh TVRI dalam tayangan hitam-putih. Walau begitu, semua media
cetak memberitakan kunjungan bersejarah ini di halaman utamanya. Ketika
kedatangannya disambut dengan upacara di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta,
Paus Paulus VI menyampaikan pidato yang hampir sepenuhnya bertolak dari
ajaran-ajaran Konsili Vatikan II: “Adalah fakta bahwa pada tahun 1546 seorang
santo terbesar kita, Fransiskus Xaverius, setelah menyusuri pantai Sumatera dan
Jawa, tinggal sebentar di Amboina dan Ternate, menanamkan dasar untuk
dikerjakan selanjutnya oleh saudara-saudaranya dan para pengganti.
Meninggalkan keluarga dan negaranya untuk datang ke sini,
hamba Tuhan itu tidak didorong oleh ambisi politik. Ia juga tidak mencari
kekayaan dengan berdagang, atau mencari kemuliaan atau mengejar kenikmatan
dengan melihat hal-hal yang baru dan membicarakan semua itu pada dunia.
Harapannya adalah untuk melakukan kebaikan, sebesar mungkin untuk sesamanya di
sini, karena ia tahu itulah yang dikehendaki Tuhan darinya,
Kami sendiri pun tak punya keinginan lain dalam perjalananan
kami ke seluruh penjuru bumi. Yang hendak kami lakukan sekuat tenaga adalah
bekerja untuk perbaikan hidup sesama manusia, dengan tujuan mewujudkan perdamaian
dan menegakkan keadilan, sebab tanpa keadilan tak ada perdamaian yang lestari.
Ketika kami mendekati kepulauan ini, dari angkasa kami
takjub pada kekayaan alam negeri yang terdiri dari rangkaian pulau-pulau yang
indah, negara kepulauan yang terpanjang di dunia. Begitu luasnya, negeri ini
juga mempunyai banyak suku bangsa, dengan berbagai budaya dan agama yang hidup
berdampingan. Semua agama dunia bertemu di sini: Muslim, Buddhis, Hindu,
Konfusianis dan Kristen; semuanya diakui sebagai agama resmi dalam Konstitusi
negeri ini, lebih-lebih lagi ditetapkan sebagai salah satu pilar dari
Pancasila, yaitu iman kepada “Tuhan yang Mahakuasa”.
Paus Paulus VI menyampaikan penghargaan atas kerukunan umat
beragama di Indonesia, “Maka sudah sepantasnya dan suatu sukacita bagi kami
untuk menyampaikan penghargaan kepada
Pemerintah dan bangsa Indonesia atas contoh yang sangat baik yang
diberikan kepada dunia atas cita rasa keagamaan yang tinggi, kerja sama dan
saling memperkaya di dalam keberagaman. Dengan gembira kami tegaskan lagi di
sini: «Kami mengakui dengan penuh hormat nilai-nilai spiritual dan moral
berbagai agama non-kristen, sebab kami bermaksud untuk bersama-sama dengan
mereka memajukan dan membela cita-cita yang sama dalam kebebasan beragaman,
pengajaran dan pendidikan persaudaraan sesama manusia, kesejahteraan sosial dan
ketertiban umum” (Ecclesiam suam,
AAS., LVI (1963), p. 655). Gereja tidak menolak apapun yang benar dan suci
dalam agama-agama. «Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara bertindak
dan cara hidup, kaidah-kaidah serta ajaran, yang memang dalam banyak hal
berbeda dari apa yang diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan
sinar Kebenaran yang menaungi semua orang» (Nostra
Aetate, 2).
«Gereja menghargai umat Islam, yang menyembah Allah esa,
yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit
dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia» (Ibid., 3). Gereja juga
mengagumi umat Hindu yang «mencari pembebasan dari kekesakan keadaan kita entah
melalui bentuk-bentuk hidup berulah tapa atau melalui permenungan yag mendalam,
atau dengan mengungsi kepada Allah yang penuh kasih dengan penuh keyakinan»
(Ibid., 2).
Gereja mengakui bahwa umat Buddha «mengakui bahwa dunia yang
fana sama sekali tidak mencukupi dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk
dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan memeroleh kebebasan yang sempurna,
entah dengan usaha sendiri, entah berkat bantuan dari atas, mencapai pencerahan
yang paling luhur (Nostra Aetate, 2).
Atas dasar semua ini kami menegaskan: “Gereja harus
melakukan dialog dengan dunia di mana ia hidup. Maksudnya ada pesan yang perlu
disampaikan, dan menjalin komunikasi” (Ecclesiam
suam, A.A.S., LVI (1964), p. 639).
Pada sore hari, Paus Paulus VI memimpin misa di Gereja
Katedral Jakarta. Mgr.Leo Soekoto yang baru saja dilantik menjadi Uskup Agung
Jakarta, mendampingi Paus. Gereja Katedral Jakarta tidak bisa menampung umat
yang mengikuti misa yang dipersembahkan Paus. Setelah misa di Katedral Jakarta
pada 3 Desember 1970 Paus Paulus VI menjumpai para Uskup, imam, biarawan,
biarawati dan awam termasuk tokoh-tokoh seperti IJ Kasimo, Doeriat dan Frans
Seda.
“Anda tahu bahwa keprihatinan kami tertuju pada Gereja seluruhnya. Dan bahwa
hati dan pikiran kami penuh doa tanpa henti keluar dari Roma tertuju pada
setiap saudara seiman. Hari ini kami menerima sukacita boleh berbicara pada
Anda, saudara-saudara para Uskup, para imam dan biarawan, yang mewakili dengan
cara istimewa misi evangelisasi yang dipercayakan kepada setiap murid Kristus (
Lumen Gentium, 17). Kami tahu
saudara-saudara mengasihi Yesus Kristus dan GerejaNya. Kami menghargai semangat
Anda mewartakan Injil. Kami menyampaikan harapan untuk menyaksikan kebenaran
akan keselamatan tersebar lebih luas lagi di Asia: Injil juga ditujukan untuk
benaua ini, karena Injil harus diwartakan kepada segenap mahluk ( Mrk. 16: 16).
Semoga Tuhan menopang keberanian Anda. Semoa Ia terus menerus menambah kasih
Anda.
“Kalian para imam hendaklah menghargai keluhuran imamat
Anda, yang menjadikan Anda serupa dengan Kristus imam agung yang kekal ( Ibr.
5: 1-10). Seperti dia, pergilah melakukan kebaikan, didorong oleh kasihNya (2
Kor. 5: 14), wartakanlah Sabda Allah, kuduskanlah jemaat beriman dan
sampaikanlah kepada Tuhan segala keperluan dan doa-doa mereka ( Ibr. 5: 1-10).
Kalian para rohaniwan hendaklah hidup dalam iman dan dalam
sukacita membaktikan diri sepenuhnya bagi kebaikan seluruh Gereja. Semoga Tuhan
membantu Anda dalam karya, masing-masing sesuai dengan kemampuannya dan menurut
bentuk panggilannya, dalam menanamkan dan mengukuhkan kerajaan Kristus dalam
jiwa-jiwa dan meluaskan kerajaan itu di semua negeri (Lumen
Gentium, 44).
Kami menyampaikan salam kasih kebapaan kepada segenap umat
beriman kristiani. Di hadapan dunia kalian adalah saksi-saksi hidup dari pesan
Injil untuk segala bangsa. Gereja yang diutus mewartakan pesan Injil tidak
terikat pada satu bangsa atau budaya saja; setiap orang menemukan di dalam
pesan itu prinsip-prinsip yang mengangkatnya, sebab Gereja dalam melaksanakan
misinya bekerja sama dan memajukan karya-karya peradaban (Gaudium et spes, 58).
Semoga Allah melimpahkan rahmatNya pada kalian. Dengan
sepenuh hati kami sampaikan kepadamu berkat apostolik kami. Semoga Tuhan selalu
melindungi Saudara-Saudara sekalian!”
Sesudah beristirahat di Nunsiatur dan melakukan kunjungan
kehormatan kepada Presiden Republik Indonesia, Paus merayakan Misa Kudus di
Stadion Senayan. Dalam Perayaan Ekaristi di Gelanggang Olah Raga Senayan, Paus
Paulus VI menyampaikan homili:
“Kami percaya dengan
seluruh kekuatan jiwa kami, bahwa umat manusia mempunyai kebutuhan utama dan
pertama-tama yang tak tergantikan, yang hanya dapat dipuaskan melalui Yesus
Kristus, yang sulung di antara manusia, kepala keluarga manusia yang baru, yang
padaNya setiap orang mencapai kesempurnaan diri. Sebab «hanya dalam misteri Firman yang
menjadi manusia sajalah misteri manusia menjadi jelas» (Gaudium et spes, 22).
Walaupun Ia Putera Allah, Yesus Kristus menghendaki demi
penebusan kita menjadi salah seorang di antara kita. Ia mengalami situasi
kemanusiaan kita, menjadikan diriNya bagian dari dunia pada zamanNya, berbicara
dengan bahasa negeriNya, dan mengambil dari kehidupan setempat contoh-contoh
untuk menerangkan ajaranNya tentang keadilan, iman, harapan dan kasih. Sekarang ajaranNya tersebar di seluruh dunia.
Disesuaikan dengan ungkapan-ungkapan segala bahasa, semua tradisi dan
peradaban. Tak ada buku lain yang diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain
sebanyak Injil. Tak ada doa yang diucapkan dalam begitu banyak bahasa seperti
doa Bapa Kami, yang diajarkan oleh Yesus sendiri. Dengan cara yang sama umat
Kristiani tidak asing satu sama lain. Mereka berbagi kebiasaan-kebiasaan yang
luhur di antara sesamanya.
Sebagai warga negara yang baik, ia harus mencintai tanah
airnya. Namun ia mengakui iman katolik sepenuhnya, iman yang sama dengan yang
diakui bangsa-bangsa di Afrika, di Amerika, di Eropa. Bagaimana bisa begitu? Itu
karena manusia historis yang bernama Yesus dari Nazaret adalah juga Anak
Allah. Karena manusia diciptakan Allah
untuk Allah, dan dalam keberadaannya yang sesungguhnya ia ditarik oleh Dia yang
memberi hidup kepadanya. Ini merupakan
elemen pribadi yang paling dasar, sehingga orang yang menolak Allah akan segera
pula menolak sesamanya sebagai saudaranya.
Yesus Kristus datang ke hati kita menjawab seruan kerinduan
yang benihnya sudah ditanamkan Allah di hati kita masing-masing (Ad Gentes, 11). Sang Sabda, yang adalah
wahyu kasih Allah, dan rahmat karuniaNya, yang membagikan hidup ilahi sendiri
melalui Roh Kudus dan sakramen-sakramen, membentuk komunitas Umat Allah, yaitu
Gereja. Komunitas yang dipersatukan oleh satu ©baptisan, satu iman dan satu
Tuhan, dan hidup untuk “Satu Allah, yaitu Bapa dari semuanya, untuk semuanya,
dalam segalanya” (Ef. 4: 5-6).
Bagaimana kita para anggota umat suciNya harus menyampaikan
tanggapan kepadaNya? Sepatutnyalah kita
menanggapi rahmat Allah dengan kesetiaan iman kepada Sang Sabda yang
menyelamatkan, dengan perilaku manusia baru yang sepatutnya. Kekudusan Allah
yang tiada terbatas yang disampaikan kepada kita meminta tanggapan kita dalam
bentuk kekudusan terbatas dengan meneladan Yesus Kristus. Maka semuanya akan
dubah dan dicerahkan: hidup pribadi, hidup keluarga, penggunaan benda-benda
duniawi, hubungan kita dengan liyan sesama, hidup masyarakat; sebab Kristus
membebaskan, menegakkan dan menyelamatkan seluruh umat manusia.
Para putra dan putriku, inilah yang Kami wartakan dalam
kedatangan Kami ke sini: Yesus Kristus. Dia adalah Penyelamat kita, dan
sekaligus Dia adalah Guru kita. Dia adalah: “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh
14: 6). Barang siapa mengikut Dia tidak akan berjalan dalam kegelapan (Yoh 8:
12). Inilah kenangan yang hendak Kami ukir pada jiwa Anda untuk selamanya.”
©©©
Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia (PKUKI) yang
ditandatangani para Uskup 3 Desember 1970 dan dipublikasikan bersamaan dengan
kunjungan Paus Paulus VI pertama-tama mengingatkan tugas dari keluarga katolik
dalam kemasyarakatan. Kesejahteraan umum
masyarakat erat bertalian dengan kesejahteraan keluarga, maka sangat penting
membina keluarga sebaik-baiknya. Perlu dikuatkan dasar keluarga sebagai ikatan
cinta suami-isteri, di mana kedua pihak saling menyerahkan diri, memberi diri
sepenuhnya, saling menghormati, saling menerima dalam keadaan bagaimana pun
juga. Dengan demikian membangun dasar yang kuat untuk menerima anak sebagai
buah cinta. Membangun keluarga adalah usaha insani merencanakan dan memupuk kesejahteraan
keluarga agar tidak kekurangan secara ekonomis, perhatian dan afektif,
pendidikan dan pengajaran, maka perlu juga merencanakan jumlah anak. Membangun
keluarga secara berencana diserahkan kepada tanggungjawab hati nurani
suami-isteri dengan menanggapi hukum Tuhan dengan selalu memperhatikan:
kesejahteraan dan kebahagiaan fisik, mental dan rohani suami-isteri; kesejahteraan
dan kebahagiaan fisik, mental dan rohani anak-anak; kesejahteraan orang lain
juga, dan keadaan masyarakat (kepadatan penduduk dan lain-lain). Pendidikan
dalam keluarga dengan teladan orang tua menjadi dasar pengembangan perilaku
anak terhadap masyarakat, menjadi latihan sikap memerhatikan keperluan orang
lain, menghormati kepribadian dan keyakinan orang lain dalam masyarakat. Perhatian,
kehangatan dan suasana penuh cinta kasih dalam keluarga merupakan bekal
perkembangan pribadi anak-anak dan sumber inspirasi dalam pertumbuhannya
menjadi manusia dewasa. Struktur keluarga perlu dikuatkan dengan
kebiasaan-kebiasaan positif dalam berbagi peran dan tugas serta pengaturan
ekonomi dalam pola hidup sederhana,
hemat, gemar menabung dan memerhatikan prioritas apa yang perlu bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Keluarga-keluarga perlu terbuka pada
keadaan masyarakat, negara dan Gereja. Untuk yang terakhir dalam kedewasaan sikap ikut mendukung dan
mengusahakan berkembangnya panggilan untuk membaktikan hidup sebagai imam,
rohaniwan atau rohaniwati; keluarga adalah seminari pertama untuk panggilan. (PKUKI no 8-15).
Gambaran perkembangan
keadaan perekonomian Indonesia dalam hal Perkembangan Penanaman Modal
Dalam Negeri yang dimulai sejak tahun 1968 yaitu sejak dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 6, menunjukkan gerak perkembangan yang menggembirakan. Jumlah permohonan yang
sampai akhir tahun 1969/1970 baru mencapai
373 proyek dengan nilai investasi Rp 145,91 milyar, pada akhir tahun
t970 telah mencapai jumlah 779 proyek dengan nilai investasi Rp 348,71 milyar.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang nomor 6 tahun 1967, kegiatan di bidang penanaman
modal asing juga menunjukkan kenaikan. Antara 1967-1969 telah diterima
permohonan PMA 217 proyek dengan nilai investasi sebesar AS $ 1.493.219. Pada
tahun 1970 diterima tambahan permohonan
PMA 157 proyek dengan nilai investasi AS
$ 438,433.
Bersama dengan besaran APBN, investasi baik modal dalam negeri dan modal asing diharap dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Besaran APBN 1969 adalah Rp 263,7 milyar, meningkat jadi Rp 344,6 milyar untuk tahun 1970. Di dalamnya besaran penerimaan untuk pembangunan pada 1969 adalah Rp 65,7 milyar, naik 13,2% menjadi Rp 78,9 milyar pada tahun 1970. Dari jumlah itu komponen Tabungan Pemerintah dari 1969 dan 1970 masing-masing sebesar Rp 27,2 milyar dan Rp 56,4 milyar. Selebihnya bantuan luar negeri baik grant (hibah) maupun pinjaman lunak.
Revolusi hijau di Indonesia dalam rangka meningkatkan hasil tanaman pangan mulai menggunakan pupuk dan pestisida kimia.
Angka Produk Domestik Bruto yang menjadi ukuran pertumbuhan
ekonomi pada tahun 1969 adalah Rp 2,7 trilyun menurut harga yang berlaku.
Dihitung menurut harga konstan diwujudkan laju pertumbuhan 4,8% terhadap tahun
sebelumnya. Pada tahun 1970 besaran Produk Domestik Bruto Indonesia Rp 3,2
trilyun. Laju pertumbuhan yang dicapai 5,2% dibanding tahun 1969 menurut harga
konstan. Artinya Indonesia berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi yang
disarankan PBB untuk dasawarsa 1960-an, pada awal dasawarsa baru 1970-an.
Geliat perkembangan perekonomian juga tampak dari jumlah pertumbuhan kendaraan jalan raya yang ada di seluruh Indonesia. Bertambahnya jumlah mobil mengisyaratkan meningkatnya kemudahan untuk mobilitas orang dan kegiatan, serta distribusi barang. Juga dari peningkatan jumlah armada laut dan penggunaannya
Situasi politik pada tahun 1970 diwarnai persiapan pemilihan umum yang akan diadakan tahun depan, 1971. Partai-partai politik membenahi diri dan menjalankan mesin kampanye.
Dalam ketetapan MPRS No.XI/MPRS/1966 sebenarnya pemerintah
diamanatkan melaksanakan Pemilihan Umum
paling lambat tanggal 5 Juli 1968. Akan tetapi karena undang-undang yang
mengatur tentang Pemilihan Umum ini tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah
bersama DPRGR tepat pada waktunya, maka pemilihan umum pun tidak dapat
dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. MPRS dalam Sidang Umumnya
yang kelima tahun 1968 selanjutnya menentukan agar Pemilihan Umum harus
diselenggarakan dengan pemungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli
1971 yang dituangkan dalam Tap MPRS No. XLII/MPRS/1968 dan pelaksanaannya diamanatkan
kepada Presiden/Mandataris MPRS.
Pemilu 1971 akan menjadi Pemilu kedua dalam sejarah
Indonesia; yang pertama kali diadakan di bawah UUD 1945, dan Pemilu pertama
pada masa pemerintahan Orde Baru.
Presiden dengan Surat Keputusan No.43 tanggal 23 Mei 1970, telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam Pemilu legislatif dan anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi politik yang dapat ikut dalam Pemilu ialah partai politik yang pada saat Pemilu sudah ada dan diakui serta mempunyai wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu ialah 1. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), 2. Murba, 3. Nahdatul Ulama (NU), 4. Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam (PI Perti), 5. Partai Katolik, 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), 7. Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), 8. Partai Nasional Indonesia (PNI), 9. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Ditambahkan selain partai, organisasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam Pemilu ialah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta karena dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Berbeda dari Pemilu 1955 yang menggunakan sistem
proporsional, Pemilu legislatif 1971 menggunakan sistem tak langsung. Dengan
demikian partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk
sesuatu daerah. Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak dapat dijumlahkan
dengan suara partai yang terkumpul di daerah lain. Dalam Pemilu 1971 diperebutkan
360 kursi, sedangkan 100 kursi disediakan untuk ABRI dan golongan serta utusan
daerah yang keanggotaannya dilakukan
dengan pengangkatan. Dengan demikian seluruh anggota DPR pasca Pemilu 1971
nanti berjumlah 460 anggota.
Dalam bidang sosio-politik Pedoman Kerja Umat Katolik
Indonesia (PKUKI) mengingatkan bahwa umat katolik mempunyai kewajiban yang sama
dengan umat-umat yang lain, namun dengan cara memohon bimbingan Roh Kudus,
dengan semangat Kristus mencintai semua orang, bekerja sama dengan pemerintah
berusaha menyehatkan struktur-struktur politik agar dapat melancarkan
pembangunan demi kesejahteraan segenap rakyat. Itu dikerjakan melalui peran
masing-masing baik sebagai aparat negara (eksekutif dan yudikatif), sebagai
anggota parlemen (legislatif, DPR/MPR), entah dalam organisasi atau golongan,
dengan memperjuangkan kepentingan umum. Peranan itu terkait dengan semangat
kewargaan yang baik atas nama pribadi dan kelompok, bukan atas nama Gereja.
Orang katolik yang bekerja dalam pemerintahan diharapkan memperjuangkan
manajemen terbuka dengan pengendalian secara teratur dan baik, membantu
melancarkan proyek-proyek Pelita di bidang sosial-ekonomi produktif, mencegah
dan mengatasi kemacetan dengan penuh
tanggungjawab. Dalam memperjuangkan kepentingan umum di atas kepentingan
golongan, semua orang katolik diharapkan memperjuangkan tertib hukum sebagai
kewajiban warga yang luhur demi ketertiban dan kelancaran hidup bersama dan
pembangunan. Sikap main hakim sendiri tidak dibenarkan. Pemilihan umum adalah
alat demokrasi untuk tujuan mencapai kesejahteraan umum. Diharapkan alat itu
digunakan bersama-sama dengan baik, dilaksanakan sedemikian untuk kelancaran
pembangunan politik, menomor duakan
golongan, demi tujuan primer kesejahteraan umum. Pemberantasan korupsi perlu
menjadi prioritas dimulai dengan memper baiki mentalitas dan sikap pribadi,
jujur dalam tindakan, tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri
sendiri atau orang lain, dan tidak melayani orang-orang yang mengajak berbuat
korupsi. Perlu diperjuangan kondisi yang
tidak konduif bagi tindak korupsi dengan sistem gaji yang baik dan prosedur
pengawasan dan pengendalian yang cukup memadai.
Pemerintah perlu didorong segera menyelesaikan masalah tahanan politik,
mengikuti tertib hukum dan keadilan serta perikemanusiaan, jangan sampai orang
menderita terlalu lama tanpa pemeriksaan apalagi keputusan yang adil. Sebagian
menjadi tahanan hanya karena indikasi yang tidak mempunyai kekuatan hukum atau
kenyataan faktual. Mereka menderita, keluarga mereka juga ikut menderita. Atas
dasar kemanusiaan umat katolik di mana pun diharapkan tergerak oleh kasih
memerhatikan nasib para tahanan politik dan keluarga mereka. Pemberantasan
komunisme lebih tepat dilakukan dengan membangun masyarakat yang berkeadilan
dan berperikemanusiaan tanpa kemunafikan. (PKUKI 27-36).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar