Tapi
maksudnya apa? Pada waktu Kapitel Jendral OP di Caleruega tahun 1995, kami tinggal
tiga minggu di tempat kelahiran Dominikus, di suatu dataran berdebu di sebelah
utara Castile. Aku tak tahu apakah bisa tahan lama di tengah-tengah ranah antah
berantah seperti itu. Tetapi aku jatuh cinta pada tempat itu. Lebih tepatnya,
aku jatuh cinta dengan cahaya yang menerangi apa saja, kejernihannya, sinarnya
yang kuat. Aku percaya bahwa cahaya inilah yang khas Dominikus, kemampuannya
untuk melihat dengan jelas, untuk mengakui keberadaan seseorang sebagai manusia,
kebaikan mereka, penderitaan mereka. Kebenaran ini mungkin, pertama-tama,
adalah suatu cahaya yang mengungkapkan keindahan dan kebaikan dunia dari Allah,
dan juga kesengsaraan dan penderitaannya.
Karena itu ada kaitan yang sangat erat di antara kebenaran dengan kasih. Ini mungkin aneh,
karena kita biasanya memikirkan kasih sebagai perasaan yang hangat dan tidak
ada hubungannya dengan pikiran. Tetapi mengasihi pribadi lain meliputi usaha
memahami siapa dia sebagaimana adanya. Bertumbuh dalam kasih menuntut usaha
untuk memahami mereka, melihat dengan mata mereka, meresap dalam kemanusiaan
mereka; dan bertumbuh di dalam pemahaman mengalirkan kasih. Orang-orang yang
sezaman dengan kita cenderung menganggap pengetahuan itu dingin, sikap ambil
jarak secara impersonal, mengamati dari jarak tertentu. Kitab Suci mengajarkan
sebaliknya: kata “kenal” berarti berarti suatu hubungan yang intim. Maka pengenalan, pengetahuan, mensyaratkan keintiman, keakraban. Kasih
membantuku mengenal kebenaran, dan kebenaran membantuku dalam mengasihi.
Kebenaran
juga membuka komunikasi di antara orang-orang yang terpisahkan. Ketika aku
tidak sepakat dengan seseorang, kita dapat mengatasi perbedaan kita dengan
melihat kebenaran yang lebih besar yang merangkul kebenaranku yang kecil dan
kebenaran orang lain. Mencari kebenaran berarti bahwa kita jangan sampai
terkungkung selamanya dalam kegagalan kita untuk mendapatkan kesepakatan, dalam
salah pengertian kita bersama. Percaya bahwa kita bisa sampai pada kebenaran,
kebenaran yang obyektif, mengandung janji rekonsiliasi, untuk sampai pada suatu
kejernihan persepsi di mana kita dapat mengakui dan memahami apa yang benar
bagi pihak lain. Tidak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran, seperti yang
didapatkan di Afrika Selatan. Ambillah Balkan sebagai contoh, konflik berabad-abad
antara Serbia dan Croatia. Damai macam apa yang bisa didapat di sana jika
mereka tidak mencapai lebih dulu kebenaran yang sama, semacam persepsi yang
sama-sama dimiliki atas sejarah mereka, di mana penderitaan semua orang
mendapatkan pengakuan obyektif.
Menegaskan
kemungkinan untuk mencapai kebenaran juga mengamini martabat manusia. Kita
diciptakan bagi kebenaran, kita mencari kebenaran itu secara naluri, sekalipun
kita menyangkal bahwa kebenaran itu dapat dicapai. Ikan membutuhkan air,
tanaman membutuhkan tanah, begitu pula kita memerlukan kebenaran. Aku percaya
bahwa para pengkhotbah punya kecenderungan untuk meremehkan aspirasi umum
menuju kebenaran ini, meremehkan persepsi mereka yang mendengarkan khotbah
kita. Secara naluri mereka tahu betul apakah kita ini berbicara dengan benar
atau hanya memberondongkan kata-kata.
Namun, bukankah itu maksud dari magisterium, tugas mengajar Gereja, yaitu menyatakan kebenaran, mengatakan siapa yang bidat siapa yang bukan?
Kuulangi lagi: menyatakan bahwa Tuhan itu melampaui segala pengertian kita tidak berarti bahwa setiap pernyataan kebenaran adalah mustahil. Jika seseorang berkata bahwa Yesus itu tidak ada, bahwa Ia tidak bangkit dari mati, aku yakin bahwa orang itu keliru; aku bisa menyampaikan pernyataan-pernyataan yang benar, tetapi aku tidak dapat menguraikannya secara tuntas. Bidat tepatnya berawal ketika seseorang menyatakan mengetahui seluruh kebenaran. Bidat sebenarnya adalah usaha untuk memasukkan Tuhan ke dalam suatu peti, menyusutkan Tuhan di dalam jangkauan pengertianku yang kecil. Dogma sebaliknya, berusaha melonggarkan cengkeraman posesif kita yang tak seberapa ini, sehingga kebenaran dapat menyatakan dirinya sendiri lebih penuh; seperti dikatakan Agustinus, “Tuhan selalu lebih”. Dogma mendorongku maju di dalam ziarah menuju kebenaran itu. Aku sadar bahwa penggunaan kata “dogmatik” sekarang ini diartikan berkebalikan dari ini. Tetapi itu karena kesalahpahaman.
Bisakah kamu menempatkan pernyataan seperti “Yesus ada” dan ”Yesus bangkit dari mati” pada tataran yang sama? Dalam pengertian manusiawi, derajat kepastiannya tentulah tidak sama.
Bahwa Yesus ada merupakan fakta historis, dalam pengertian yang sama dengan keberadaan Yulius Caesar. Kita tahu apa yang bisa dinyatakan sebagai bukti akan hal itu. Ketika aku menyatakan bahwa Yesus bangkit dari mati, tidaklah sesederhana itu. Kebangkitan merupakan suatu misteri yang artinya tidak sepenuh-penuhnya kupahami. Bisa saja kunyatakan bahwa ada jejak sejarah dari misteri ini: makam kosong. Jika tubuh Yesus ada di makam, pernyataanku tentu tidak benar. Maka kebangkitan meninggalkan fakta historis, sekalipun kebangkitan sendiri tak bisa direduksi menjadi fakta historis. Orang mungkin tergoda untuk menganggap kebangkitan sebagai fakta historis seperti kelahiran Yesus, karena kita mempunyai pandangan yang sempit mengenai maknanya secara ragawi. Banyak di antara ajaran-ajaran Katolik menyangkut hal-hal ragawi: bayi di palungan, Ekaristi adalah pemberian tubuh, kebangkitan tubuh Kristus, kebangkitan badan kita sendiri. Aku yakin banyak kerancuan mengenai ajaran Katolik berasal dari kecenderungan kita untuk menganggap tubuh manusia sebagai sekantung daging dan tulang. Tapi tubuh jauh lebih dari itu. Tubuh adalah kehadiranku bagi orang lain; bertubuh adalah caraku berkomunio dengan orang lain. Serentak dengan itu bertubuh membawa berbagai macam keterbatasan: jika aku berada di ruang sebelah, aku tak bisa di sini bersamamu; jika seseorang mati, aku tak bisa bicara dengannya. Kebangkitan badan jauh lebih daripada sekedar jenazah yang hidup kembali. Kebangkitan adalah peralihan rupa kehadiran Kristus bagi kita, menembus semua batas yang kita alami secara ragawi. Mungkin salah satu cara untuk memikirkan kebangkitan itu adalah memandangnya sebagai perubahan Kristus menjadi komunio murni. Maka kebenaran mengenai kebangkitan dalam arti tertentu adalah kebenaran historis, tetapi lebih dari sekedar historis saja.
Apakah hanya umat Kristen saja yang memercayai kebenaran tentang Tuhan dan manusia?
Dalam Surat kepada jemaan Efesus, salah satu kata favorit Paulus adalah pleroma. Kata Yunani yang indah itu berrti “kepenuhan”, atau sepenuh-penuhnya. Paulus menyatakan bahwa Allah sepenuhnya mewahyukan diri dalam Kristus. Aku percaya itu. Tetapi kita baru dalam tahap mulai memahami kebenaran yang sepenuhnya itu. Wahyu itu terwujud dalam Kristus, ya, tetapi itu tidak berarti bahwa kita berhasil memahaminya secara lengkap. Hal itu akan kita lakukan dan kita akan selalu dalam proses melakukannya. Hal itu hanya akan terlaksana jika diri kita sudah diubah, dan kita semakin menjadi seperti-Kristus. Mengetahui, mengenal, mengandaikan proses “menjadi”.
Misalnya,
Gereja kita sebagian besar bersifat barat. Kita adalah produk sejarah tertentu.
Untuk sebagian besar, iman kita ditentukan sambil menanggapi bidat tertentu. Kita harus melakukan dialog dengan
budaya dan agaman lain supaya dapat bergerak melampaui batas-batas identitas
Eropa dan menjadi katolik sepenuhnya. Katolik berarti umum. Tapi kita tak akan
pernah bisa menjadi cukup dalam kekatolikan itu.
Kita adalah
warga Katolik Roma, dan aku menyukai ketegangan dari dua kata itu. Kita disebut
Roma karena kita merupakan suatu komunitas khusus dengan tempat tersendiri
dalam sejarah: kita adalah orang-orang yang mempunyai sejarah ini. Dan itu
oke-oke saja : Yesus sendiri dilahirkan di tempat tertentu, pada waktu tertentu,
dalam kebudayaan tertentu. Tetapi Ia sekaligus juga katolik, dan inilah
sebabnya kita didorong untuk melampaui batas-batas identitas kita saat ini. Ini
indahnya sejarah Gereja; ketika Gereja meninggalkan Yerusalem dan pindah ke
dunia Roma, peristiwa itu merupakan suatu tranformasi yang sulit kita
bayangkan, sama seperti ketika Gereja melewati batas-batas Kekaisaran Roma dan
merangkul kaum barbar. Setiap tahap merupakan kematian kecil bagi identitas
yang lama dan yang lebih terbatas; dan merupakan suatu kelahiran baru. Kita
harus melanjutkan ziarah ini menuju kebenaran yang tidak dapat sepenuhnya kita
pahami. Oleh sebab itu kita menaruh perhatian pada agama lain; bukan karena
mereka mungkin bisa membantu kita dalam ziarah kita menuju kebenaran Kristus. Seorang
yang beragama Buddha mungkin mempunyai sesuatu yang mengajarku tentang
bagaimana caranya mengatasi tuntutan ego-ku. Seorang Muslim meungkin bisa
menunjukkan kepadaku tentang kemutlakan Tuhan.
Mari kita kembali pada masalah magisterium sebentar. Organ-organ Tahta Suci sekarang mempunyai kecenderungan yang semakin besar dalam menggunakan ungkapan “kebenaran definitif” untuk menyatakan pokok ajaran, yang tidak selalu merupajan ajaran yang sangat penting. Apakah nosi “kebenaran definitif” itu selaras dengan uraianmu tentang suatu kebenaran yang masih harus diketemukan?
Kebenran tertentu jelas “definitif”. Pekerjaan teologi yang tiada pernah berhenti dalam hal eksplorasi tidak selalu berarti bahwa tidak ada hal yang sudah pasti. Misalnya, Gereja menyatakan bahwa Yesus sungguh Allah sungguh manusia. Gereja tidak bisa meralat pernyataan ini dan berkata, ”Oh maaf ya, Yesus bukan Allah.” Tetapi teologi harus terus melakukan ekplorasi atas “kebenaran definitif”, kebenaran yang sudah pasti itu. Kebenaran-kebenaran itu tetap pro-vokatif, artinya, bahwa kebenaran-kebenaran itu terus memanggil kita agar semakin mendalami misteri itu. Kita terus mencari apa artinya mengatakan bahwa Yesus sungguh Allah sungguh manusia. Pencarian itu akan berlangsung terus sampai kita bertemu muka dengan muka dengan Tuhan – dan mungkin bahkan hingga sesudahnya! Seorang teolog menyatakan bahwa seluruh ajaran gereja adalah kabar baik, tetapi kita harus menemukan alasannya mengapa dikatakan begitu. Tugas pengkhotbah adalah menampakkan dimensi yang membebaskan dari suatu pernyataan ajaran, karena jika ajaran itu ada di dalam Injil maka pasti membebaskan!
Pokok persoalan kebenaran tak pelak lagi membawa kita pada pertanyaan mengenai hubungan antara iman dan akal budi. Bisakah celah yang menganga di antara keduanya dijembatani?
Jembatan itu sungguh vital baik bagi iman maupun bagi akal budi. Itu sebabnya Ensiklik Paus Yohanes Paulus II penting sekali.[i] Jika kita berkata Ya kepada Tuhan, kita berangkat melakukan perjalanan di suatu arah di mana akal budi membantu kita maju ke arah suatu kilasan misteri. Maka aku sungguh percaya bahwa iman memerlukan akal budi. Tetapi begitu pula sebaliknya, akal budi membutuhkan iman, jika tidak akal budi akan kekurangan dasar.
Itu bisa
dikatakan dengan cara lain: dengan inkarnasi Putera, Allah merangkul semua yang
manusiawi, seluruh aspek kita – cita rasa kita akan keindahan, kemampuan kita
untuk mengasihi, juga kemampuan kita untuk berpikir. Jika Kristus menjadi
manusia, maka dengan cara tertentu, daya nalar kita dikuduskan oleh Tuhan. Kita
harus memanfaatkannya. Abad kesembilan belas ditandai oleh konflik yang tegas
di antara para ilmuwan dan teolog; di antara mikroskop dan Kitab Suci.
Para ilmuwan mendapatkan penjelasan
ilmiah baru mengenai keadaan dunia tampak bertentangan dengan Kitab Suci. Ini
suatu pertarungan yang tidak ada gunanya, dan buahnya adalah pemahaman Kitab
suci yang keliru dan harafiah, dan syukur pada Tuhan karena itu semua sudah
selesai. Aku tak tahu apakah ada teolog yang memandang ilmu pengetahuan sebagai
ancaman bagi iman. Dan kebanyakan ilmuwan juga belajar rendah hati. Mereka tahu
bahwa karya mereka juga didasarkan atas semacam pengakuan iman, berdasarkan
perkiraan-perkiraan yang tidak dapat mereka buktikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar