Daftar Blog Saya

Sabtu, 24 September 2022

KITAB PENGKHOTBAH

 


Pengkhotbah adalah salah satu dari genre kitab kebijaksanaan dari Perjanjian Lama. Nama Ibrani kitab ini adalah Qoheleth (atau Koheleth) yaitu nama yang berasal dari si penulis. Bentuk kata Qoheleth adalah partisipel feminin aktif dari kata Ibrani yang berarti “menghimpun” dan karenanya memberikan dasar bagi kata Yunani Ekklesiastes, dan kata Latin Ecclesiastes. Beberapa terjemahan menerjemahkan nama Qoheleth itu dengan “Pengkhotbah”. Maka judul lengkap kitab ini adalah “Perkataan Pengkhotbah (Qoheleth), Putera Daud, raja di Yerusalem.”  Si Pengarang mungkin seorang Guru atau Pengkhotbah (Qoheleth) yang memimpin suatu kelompok atau himpunan. Kitab ini menunjukkan kepada kita bahwa semua yang ada dalam kehidupan adalah sia-sia, kecuali takut akan Allah, memuji Allah dan memelihara perintahNya.

I. Pengarang dan Waktu Penulisan

II. Isi

III. Tema

A. Arti Kehidupan

B. Ziarah Iman

C. Ugahari dalam Segala Hal

D. Mengandalkan Kebijakan Tuhan

 

I. Penulis dan Waktu Penulisan

Dalam Pkh 1:1 penulis kitab ini menyatakan bahwa dia adalah putera Daud; kemudian ia menyatakan bahwa dia adalah raja Israel di Yerusalem (Pkh 1:12). Keterangan ini menunjukkan bahwa dia adalah Salomo, seperti yang diyakini tradisi, sekalipun keterangan itu bisa saja merujuk pada raja-raja lain dari garis keturunan Daud. Pernyataan itu alat yang biasa dipakai secara literer, dengan mana seorang guru atau pengarang menyatakan ajarannya di bawah nama besar tokoh seperti Salomo (bdk 1 Raj 3:12). Kapan kitab ini mendapatkan bentuknya yang seperti sekarang, tidak begitu pasti. Beberapa ahli menyatakan bahwa kitab ini disusun seorang penulis yang tidak dikenal pada abad ketiga SM.

                Beberapa kritik memandang kitab ini sebagai kumpulan (bunga rampai) dari beberapa penulis, dan para-penulis yang terakhir berusaha membuat perimbangan atas sikap pesimis yang nyata dari naskah aslinya. Namun ahli-ahli yang lebih belakangan menerima gagasan bahwa buku ini berasal dari satu penulis, dan keseimbangan antara sikap pesimis dan iman memang disengaja.

II. Isi

Kitab Pengkhotbah diberi kerangka di pembukaan dan penutupnya dengan dua syair yang gampang diingat tentang kesia-siaan hidup manusia (Pkh 1:2-11; 11:7-12:7). Di antara kedua syair itu Pengkhotbah berulang-ulang mengungkapan pengamatan yang menunjukkan betapa mubazirnya usaha untuk memahami hidup, dan kebijaksanaan menerima karunia Tuhan ketika diberikan.

I. Pengantar (1:1-2)

II. Kesia-siaan Hidup Menusia (1:3-11)

III. Kesia-siaan Kehidupan Pribadi (1:12-3:15)

A. Sia-sia Mencari Hikmat Manusia (1:12-18)

B. Sia-sia Memuji Diri Sendiri (2:1-12)

C. Hikmat untuk Mengusahakan agar Tuhan Berkenan (2:13-26)

D. Segala Sesuatu Ada Waktunya (3:1-8)

E. Keadilan Tuhan (3:9-15)

IV. Kesia-siaan Hidup Publik (3:16-4:8)

V. Nilai Sahabat (4:9-12)

VI. Kegagalan Raja (4:13-16)

VII. Penyembah yang Benar (5:1-7)

VIII. Kesia-siaan Harta Kekayaan dan Kerja Keras (5:8-6:12)

IX. Nasehat Hikmat (7:1-14)

X. Hikmat Tidak Memberi Jaminan (7:15-29)

XI. Hikmat yang benar (8:1-9)

XII. Menerima Hidup Ketika Hidup itu Tiba (9:1-16)

XIV. Nasehat Hikmat (9:17-10:20)

XV. Usaha Manusia (11:1-8)

XVI. Masa Muda dan Usia Lanjut (11:9-12:8)

XVII. Penutup (12:9-14).

 

III. Tema

A. Arti Kehidupan

Pengkhotbah mempunyai satu pertanyaan pokok: “Apa artinya hidup?” Di dalam menjawab pertanyaan ini, si Pengkhotbah merenungkan hidup dari berbagai perspektif yang menarik dengan harapan untuk menentukan apakah kebahagiaan sejati bisa ditemukan. Kitab mulai dengan pernyataan “Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pkh 1:2-3) dan memberi kesimpulan dengan seruan sederhana: “Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat.” (Pkh 12:14).

                Untuk menunjukkan kedua pokok utama itu, Pengkhotbah sering bersandar pada pola penyampaian pernyataan dan kontra-pernyataan: usaha memecahkan teka-teki kehidupan dengan hikmat manusia adalah sungguh percuma, maka kita sebaiknya menikmati saja hidup ini dalam batas-batas yang digariskan oleh Tuhan, dengan mengakui bahwa “orang-orang yang benar dan orang-orang yang berhikmat dan perbuatan-perbuatan mereka, baik kasih maupun kebencian, ada di tangan Allah” (Pkh 9:1). Dalam suatu analisis yang sadar dan realistis atas keadaan manusia, misteri kejahatan dan penderitaan dibicarakan dengan cara yang hidup, tetapi kehadiran kejahatan dan penderitaan bukanlah alasan untuk meninggalkan iman kepada Tuhan.

B. Ziarah Iman

Berbeda dari pesimisme yang sesungguhnya, Pengkhotbah tidak berbicara melawan Tuhan, tetapi fokusnya terus tertuju pada manusia: “Lihatlah, hanya ini yang kudapati: bahwa Allah telah menjadikan manusia yang jujur, tetapi mereka mencari banyak dalih” (Pkh 7:29). Ungkapan kitab yang ragu dan bahkan sinis berbicara demi mereka yang menghadapi kecemasan dan kekecewaan hidup hingga mengguncangkan keyakinan iman. Penulis telah mengalami kecemasan dan kekecewaan yang sama, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama pula. Pada bagian awal, ia bahkan mempersoalkan hidup sesudah kematian (Pkh 3:2), tetapi kemudian ia menegaskannya (Pkh 12:7). Ia tidak menyembunyikan keraguan dan pemikirannya sama sekali.

C. Ugahari dalam Segala Hal

Penulis juga mengakui hukum kodrat yang tidak dapat diganggugugat dan tata susunan dunia ciptaan, tetapi pandangannya yang bersifat fatalis (terima nasib) digantikan oleh kesadaran bahwa semua hukum itu bergantung kepada kehendak ilahi (Pkh 3:14; 6:2; 7:34), dan kebebasan manusia berada di dalam batas-batas ini, termasuk pilihan melawan Tuhan (Pkh 7:29). Fatalismenya yang tampak juga diimbangi oleh belas kasih kepada mereka yang menderita, dengan menyatakan bahwa kegembiraan dan kepuasan hanya ditemukan dalam mensyukuri rahmat Tuhan. Ia menyatakan, “Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pkh 3:12 – 13).  Ini bukan resep hidup dari aliran Filsafat Epikureanisme, melainkan sikap merangkul keugaharian yang berasal dari penerimaan karunia Tuhan atas hidup dan rahmatNya (bdk 7:16-17).

D. Mengandalkan Kebijakan Tuhan

Akhirnya, berhadapan dengan teka-teki kehidupan ini, Pengkhotbah mengakui berulang kali ketidakcukupan hikmat pengetahuannya sendiri. Sebagai alternatif dari jangkauan yang terbatas hikmat pengetahuan manusia, ia mengusulkan cara lain: “Oleh sebab itu aku memuji kesukaan, karena tak ada kebahagiaan lain bagi manusia di bawah matahari, kecuali makan dan minum dan bersukaria. Itu yang menyertainya di dalam jerih payahnya seumur hidupnya yang diberikan Allah kepadanya di bawah matahari. Ketika aku memberi perhatianku untuk memahami hikmat dan melihat kegiatan yang dilakukan orang di dunia tanpa mengantuk siang malam,  maka nyatalah kepadaku, bahwa manusia tidak dapat menyelami segala pekerjaan Allah, yang dilakukan-Nya di bawah matahari. Bagaimanapun juga manusia berlelah-lelah mencarinya, ia tidak akan menyelaminya. Walaupun orang yang berhikmat mengatakan, bahwa ia mengetahuinya, namun ia tidak dapat menyelaminya” (Pkh 8:15 – 17). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar