Pengkhotbah adalah salah satu dari genre kitab kebijaksanaan
dari Perjanjian Lama. Nama Ibrani kitab ini adalah Qoheleth (atau Koheleth) yaitu nama yang berasal dari si penulis.
Bentuk kata Qoheleth adalah partisipel feminin aktif dari kata Ibrani yang
berarti “menghimpun” dan karenanya memberikan dasar bagi kata Yunani
Ekklesiastes, dan kata Latin Ecclesiastes. Beberapa terjemahan menerjemahkan
nama Qoheleth itu dengan “Pengkhotbah”. Maka judul lengkap kitab ini adalah
“Perkataan Pengkhotbah (Qoheleth), Putera Daud, raja di Yerusalem.” Si Pengarang mungkin seorang Guru atau
Pengkhotbah (Qoheleth) yang memimpin suatu kelompok atau himpunan. Kitab ini
menunjukkan kepada kita bahwa semua yang ada dalam kehidupan adalah sia-sia,
kecuali takut akan Allah, memuji Allah dan memelihara perintahNya.
I. Pengarang
dan Waktu Penulisan
II. Isi
III. Tema
A. Arti
Kehidupan
B. Ziarah
Iman
C. Ugahari
dalam Segala Hal
D.
Mengandalkan Kebijakan Tuhan
I. Penulis
dan Waktu Penulisan
Dalam Pkh 1:1 penulis kitab ini menyatakan bahwa dia adalah
putera Daud; kemudian ia menyatakan bahwa dia adalah raja Israel di Yerusalem
(Pkh 1:12). Keterangan ini menunjukkan bahwa dia adalah Salomo, seperti yang
diyakini tradisi, sekalipun keterangan itu bisa saja merujuk pada raja-raja
lain dari garis keturunan Daud. Pernyataan itu alat yang biasa dipakai secara
literer, dengan mana seorang guru atau pengarang menyatakan ajarannya di bawah
nama besar tokoh seperti Salomo (bdk 1 Raj 3:12). Kapan kitab ini mendapatkan
bentuknya yang seperti sekarang, tidak begitu pasti. Beberapa ahli menyatakan
bahwa kitab ini disusun seorang penulis yang tidak dikenal pada abad ketiga SM.
Beberapa
kritik memandang kitab ini sebagai kumpulan (bunga rampai) dari beberapa penulis,
dan para-penulis yang terakhir berusaha membuat perimbangan atas sikap pesimis
yang nyata dari naskah aslinya. Namun ahli-ahli yang lebih belakangan menerima
gagasan bahwa buku ini berasal dari satu penulis, dan keseimbangan antara sikap
pesimis dan iman memang disengaja.
II. Isi
Kitab Pengkhotbah diberi kerangka di pembukaan dan
penutupnya dengan dua syair yang gampang diingat tentang kesia-siaan hidup
manusia (Pkh 1:2-11; 11:7-12:7). Di antara kedua syair itu Pengkhotbah
berulang-ulang mengungkapan pengamatan yang menunjukkan betapa mubazirnya usaha
untuk memahami hidup, dan kebijaksanaan menerima karunia Tuhan ketika
diberikan.
I. Pengantar
(1:1-2)
II.
Kesia-siaan Hidup Menusia (1:3-11)
III.
Kesia-siaan Kehidupan Pribadi (1:12-3:15)
A. Sia-sia
Mencari Hikmat Manusia (1:12-18)
B. Sia-sia
Memuji Diri Sendiri (2:1-12)
C. Hikmat
untuk Mengusahakan agar Tuhan Berkenan (2:13-26)
D. Segala
Sesuatu Ada Waktunya (3:1-8)
E. Keadilan
Tuhan (3:9-15)
IV.
Kesia-siaan Hidup Publik (3:16-4:8)
V. Nilai
Sahabat (4:9-12)
VI.
Kegagalan Raja (4:13-16)
VII.
Penyembah yang Benar (5:1-7)
VIII.
Kesia-siaan Harta Kekayaan dan Kerja Keras (5:8-6:12)
IX. Nasehat
Hikmat (7:1-14)
X. Hikmat
Tidak Memberi Jaminan (7:15-29)
XI. Hikmat
yang benar (8:1-9)
XII.
Menerima Hidup Ketika Hidup itu Tiba (9:1-16)
XIV. Nasehat
Hikmat (9:17-10:20)
XV. Usaha
Manusia (11:1-8)
XVI. Masa
Muda dan Usia Lanjut (11:9-12:8)
XVII.
Penutup (12:9-14).
III. Tema
A. Arti
Kehidupan
Pengkhotbah mempunyai satu pertanyaan pokok: “Apa artinya
hidup?” Di dalam menjawab pertanyaan ini, si Pengkhotbah merenungkan hidup dari
berbagai perspektif yang menarik dengan harapan untuk menentukan apakah
kebahagiaan sejati bisa ditemukan. Kitab mulai dengan pernyataan “Kesia-siaan
belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia.
Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?” (Pkh
1:2-3) dan memberi kesimpulan dengan seruan sederhana: “Takutlah akan Allah dan
berpeganglah pada perintah-perintahNya, karena ini adalah kewajiban setiap
orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku
atas sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat.” (Pkh 12:14).
Untuk
menunjukkan kedua pokok utama itu, Pengkhotbah sering bersandar pada pola penyampaian
pernyataan dan kontra-pernyataan: usaha memecahkan teka-teki kehidupan dengan
hikmat manusia adalah sungguh percuma, maka kita sebaiknya menikmati saja hidup
ini dalam batas-batas yang digariskan oleh Tuhan, dengan mengakui bahwa
“orang-orang yang benar dan orang-orang yang berhikmat dan perbuatan-perbuatan
mereka, baik kasih maupun kebencian, ada di tangan Allah” (Pkh 9:1). Dalam
suatu analisis yang sadar dan realistis atas keadaan manusia, misteri kejahatan
dan penderitaan dibicarakan dengan cara yang hidup, tetapi kehadiran kejahatan
dan penderitaan bukanlah alasan untuk meninggalkan iman kepada Tuhan.
B. Ziarah
Iman
Berbeda dari pesimisme yang sesungguhnya, Pengkhotbah tidak
berbicara melawan Tuhan, tetapi fokusnya terus tertuju pada manusia: “Lihatlah,
hanya ini yang kudapati: bahwa Allah telah menjadikan manusia yang jujur,
tetapi mereka mencari banyak dalih” (Pkh 7:29). Ungkapan kitab yang ragu dan bahkan
sinis berbicara demi mereka yang menghadapi kecemasan dan kekecewaan hidup
hingga mengguncangkan keyakinan iman. Penulis telah mengalami kecemasan dan
kekecewaan yang sama, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama pula. Pada
bagian awal, ia bahkan mempersoalkan hidup sesudah kematian (Pkh 3:2), tetapi
kemudian ia menegaskannya (Pkh 12:7). Ia tidak menyembunyikan keraguan dan
pemikirannya sama sekali.
C. Ugahari
dalam Segala Hal
Penulis juga mengakui hukum kodrat yang tidak dapat
diganggugugat dan tata susunan dunia ciptaan, tetapi pandangannya yang bersifat
fatalis (terima nasib) digantikan oleh kesadaran bahwa semua hukum itu
bergantung kepada kehendak ilahi (Pkh 3:14; 6:2; 7:34), dan kebebasan manusia
berada di dalam batas-batas ini, termasuk pilihan melawan Tuhan (Pkh 7:29).
Fatalismenya yang tampak juga diimbangi oleh belas kasih kepada mereka yang
menderita, dengan menyatakan bahwa kegembiraan dan kepuasan hanya ditemukan
dalam mensyukuri rahmat Tuhan. Ia menyatakan, “Aku tahu bahwa untuk mereka tak
ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup
mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan
dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pkh 3:12 – 13). Ini bukan resep hidup dari aliran Filsafat
Epikureanisme, melainkan sikap merangkul keugaharian yang berasal dari
penerimaan karunia Tuhan atas hidup dan rahmatNya (bdk 7:16-17).
D.
Mengandalkan Kebijakan Tuhan
Akhirnya, berhadapan dengan teka-teki kehidupan ini,
Pengkhotbah mengakui berulang kali ketidakcukupan hikmat pengetahuannya
sendiri. Sebagai alternatif dari jangkauan yang terbatas hikmat pengetahuan
manusia, ia mengusulkan cara lain: “Oleh sebab itu aku memuji kesukaan, karena
tak ada kebahagiaan lain bagi manusia di bawah matahari, kecuali makan dan
minum dan bersukaria. Itu yang menyertainya di dalam jerih payahnya seumur
hidupnya yang diberikan Allah kepadanya di bawah matahari. Ketika aku memberi
perhatianku untuk memahami hikmat dan melihat kegiatan yang dilakukan orang di
dunia tanpa mengantuk siang malam, maka
nyatalah kepadaku, bahwa manusia tidak dapat menyelami segala pekerjaan Allah,
yang dilakukan-Nya di bawah matahari. Bagaimanapun juga manusia berlelah-lelah
mencarinya, ia tidak akan menyelaminya. Walaupun orang yang berhikmat
mengatakan, bahwa ia mengetahuinya, namun ia tidak dapat menyelaminya” (Pkh
8:15 – 17).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar