Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Putera Sirakh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Putera Sirakh. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 Desember 2022

PUISI KITAB SUCI

 


Setiap hasil komposisi – termasuk nyanyian, doa, kata-kata bijak, amsal, dan kidung – yang sering menggunakan bentuk ungkapan dan pelukisan yang kuat dalam menyatakan perasaan tentang hidup dan ibadat. Puisi alkitabiah memainkan peranan besar dalam sastra dan ibadat Ibrani, dan bentuk-bentuk puisi digunakan baik untuk sastra kebijaksanaan maupun nubuat-nubuat nabi.

      Perbedaan tajam di antara bentuk prosa dan bentuk puisi yang sudah sangat dikenal pembaca dan pelajar sastra modern tidak begitu menonjol dalam sastra Ibrani. Bangsa Israel kuno tidak menganggap kedua bentuk sastrawi itu berbeda benar, dan para penutur dengan terampil beralih-alih menggunakan kedua bentuk itu sebagai bagian dari suatu wacana atau pidato resmi. Ajaran puitis sering disebut “petatah” atau “petitih”. Ini sering diketemukan dalam pelbagai kesempatan dan situasi, seperti perkawinan (Kej 24:60), melncarkan perang (Kel 17:16), perayaan kemenangan (Kel 15:20; 1 Sam 18:7; dan terutama Hak 5, lagu Debora yang sangat terkenal). Para ahli sastra tidak selalu bersepakat mengenai mana yang harusnya digolongkan sebagai prosa, dan mana yang seharusnya puisi.

 

I. PUISI SEKULAR

Sebagian besar syair dan karya puisi dalam Kitab Suci bersifat keagamaan. Namun, Kitab Suci mengutip atau merujuk puisi sekular yang disusun sebagai nyanyian ketika membuat anggur (Yes 16:10); melakukan panen (Hak 9:27); mengiringi minum-minum (Yes 5:11-12; 22:13), dan menggali sumur (Bil 21:17-18). Selain itu, Perjanjian Lama menyimpan sejumlah syair kesedihan (elegi) dan ratapan, semisal nyanyian duka Daud bagi Saul dan Yonatan (2 Sam 1:19-27) dan Abner (2 Sam 3:33-34)

 

II. KARAKTERISTIK PUISI IBRANI

Suatu karakteristik puisi Ibani adalah keseimbangan atau simetri, pengulangan dibaris kedua gagasan atau gambaran yang sama dengan yang digunakan dalam baris pertama. Para ahli menyebut keseimbangan itu “paralelisme”. Bagian yang kedua (atau kolon) dapat merupakan pengulangan [gagasan] baris pertama dengan kata-kata yang berbeda, atau mengembangkan gagasan itu dengan beberapa tambahan. Misalnya:

Berbahagialah orang yang takut akan Tuhan,

         yang sangat suka kepada segala perintah-Nya  (Mzm 112:1)

 

Mereka yang memelajari puisi Ibrani membedakan setidaknya tiga macam paralelisme.

      1. Paralelisme sinonim (juga disebut paralelisme sintetik), mengulangi kalimat pertama dengan kata-kata yang sedikit lain di baris kedua:

Masakan Allah membengkokkan keadilan?

         Masakan Yang Mahakuasa membengkokkan kebenaran? (Ayb 8:3)

 

Lepaskanlah aku dari pada musuhku, ya Allahku;

         bentengilah aku terhadap orang-orang yang bangkit melawan aku.

(Mzm 59:1) 

 

      2. Paralelisme antitetik yang mengungkapkan maksudnya dengan membuat suatu kontras di antara dua baris. Bentuk paralelisme antitetik ini terutama banyak diketemukan dalam Amsal:

Orang fasik lari walaupun tidak ada yang mengejarnya,

         tetapi orang benar merasa aman seperti singa muda (Ams 28:1)

 

      3. Paralelisme klimatik merupakan suatu kategori untuk stansa puitis, yang tidak bersifat sinonim, tidak pula anti-tetik. Pada umumnya, baris kedua dan seterusnya melengkapi atau mengembangkan gagasan baris pertama:

aku tidak takut bahaya,

         sebab Engkau besertaku;

gada-Mu dan tongkat-Mu,

         itulah yang menghibur aku (Mzm 23:4) 

 

Hai anakku, peliharalah perintah ayahmu,

         dan janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu.

Tambatkanlah senantiasa semuanya itu pada hatimu,

         kalungkanlah pada lehermu  (Ams 6:20-21) 

 

III. PERANGKAT DAN BENTUK SASTRA

Seperti semua puisi, puisi Ibrani penuh dengan persamaan, tamsil atau ibarat, aliterasi (kesamaan bunyi sajak suku kata terakhir) dan asonansi (perulangan bunyi vokal dalam baris). Puisi alfabetis atau akrostik lazim terdapat dalam Mazmur, di mana huruf-huruf yang berurutan [alif, bet, gimel dst] mengawali baris-baris, atau bait, atau strofa [bentuk ini umumnya tidak nampak lagi setelah Mazmur bahasa Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa lain]. Misalnya Mzm 119 adalah untaian stansa yang masing-masing baitnya terdiri dari delapan baris: suatu huruf alfabet mengawali setiap stanza, dan setiap barus dimulai dengan huruf itu. Metrum (jumlah suku kata) tampaknya tidak diindahkan, karena penyair Ibrani lebih menyukai irama yang bervariasi dan gaya yang lebih bebas.

      Sastra kebijaksanaan pada umumnya ditulis dalam bentuk puisi, seperti dalam Kitab Amsal, Ayub, Pengkhotbah dan Sirakh. Fungsinya adalah menyampaikan kepada pembaca hasil permenungan yang sudah lama atas hidup dan pengalaman hidup. Puisi kebijaksanaan sering lebih bersifat reflektif (permenungan) ketimbang pernyataan polemik atau konfrontatif.

 

IV. PUISI PERJANJIAN BARU

Hanya sedikit puisi yang terdapat dalam Perjanjian Baru, tetapi bisa ditemukan beberapa contoh tersendiri. Ada empat kidung utama yang digunakan dalam liturgi G|ereja awal, yaitu Magnificat atau Kidung Maria (Luk 1:46-55), Benedictus atau Kidung Zakharia (Luk 1:68-79); Gloria atau Kidung Kemuliaan (Luk 2:14); dan Nunc Dimittis atau Kidung Simeon (Luk 2:29-32). Komposisi atau tata susunan puitis juga ditemukan antara lain dalam Rm 11:33; 1 Kor 15:54-55; Ef 5:14; dan Fil 2:6-11. Kidung juga terdapat dalam Kol 1:15; 1 Tim 3:16, dan tersebar dalam seluruh kitab Wahyu (Why 4:8.11; 5:9-10; 11:17-18; dst).

      Para penulis Perjanjian Baru sangat akrab dengan tulisan-tulisan Perjanjian Lama dan menggunakan sejumlah besar kutipan dari puisi Perjanjian Lama. Ada pula yang akrab dengan puisi Yunani, seperti ditunjukkan dalam kutipan dari Aratus dari Kilikia (Kis 17:28); Menander (1 Kor 15:33) dan Epimenides (Tit 1:12).