Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Koalisi partai-partai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Koalisi partai-partai. Tampilkan semua postingan

Rabu, 05 Oktober 2022

Analisis Pemilu 2019 dan Penyebaran Berita Palsu

 


Analisis kecil ini dimaksudkan untuk mengajak pembaca sekilas mengenang apa yang terjadi dalam seputar Pemilu 2019, belajar dari masa lalu demi menyiapkan masa depan, dan mengantisipasi masalah Pemilu yang akan datang dengan bijak.

Pada Pemilu 2019 ini, dua kubu besar yang memperebutkan posisi eksekutif di Indonesia. Kubu besar berupa Koalisi dibentuk karena tidak ada satu pun kekuatan yang dominan yang dapat memenangkan Pemilu berdasarkan konstelasi politik pasca Pemilu 2014. Yang pertama "Koalisi Indonesia Kerja" yang mengusung Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai calon eksekutif, dan yang kedua "Koalisi Indonesia Adil Makmur" yang mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai calon eksekutif. Koalisi ini terdiri dari beberapa partai. Koalisi Indonesia Kerja terdiri dari PDI-P, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura sebagai partai pengusung dan  partai pendukung Perindo, PSI, dan PKP. Sementara Koalisi Indonesia Adil Makmur terdiri dari Gerindra, PAN, Demokrat, dan PKS sebagai partai pengusung dan Partai Berkarya sebagai pendukung.

Persaingan antara kedua kubu dalam kampanye positif menunjukkan kubu mana yang lebih layak. Dalam beberapa kesempatan kampanye negatif kedua kubu sama-sama menampilkan keburukan dari lawannya.

Setelah melewati masa kampanye dengan persaingan ketat dan panjang, Pemilihan Umum (Pemilu) serentak di Indonesia dilaksanakan. Hasilnya pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin tampil sebagai  pemenang dan ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan, menurut perhitungan perolehan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Perolehan suara Jokowi-Ma'ruf adalah 55,50% dari total suara sah di Pilpres 2019, sedangkan Prabowo-Sandiaga mendapatkan 44,50% dari total suara sah.

Sedangkan untuk posisi legislatif rekapitulasi hasil pemilu menetapkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi pemenang dengan memeroleh 19.33% suara dan mendapat jatah 128 kursi di DPR, diikuti oleh Partai Golongan Karya (Golkar) dengan mendapat jatah 85 kursi di DPR, sedangkan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mendapat 78 kursi di DPR.

Setelah pengumuman hasil Pemilu, respon dari pendukung pihak Koalisi Adil Makmur sangat beragam. Mulai dari adanya tudingan kecurangan hingga pengakuan melemahnya kondisi internal Koalisi Adil Makmur. Kemenangan Koalisi Indonesia Kerja pada pemilu tahun 2019 menjadi pasti karena upaya yang di lakukan pihak oposisi kandas, tidak dapat dibuktikan secara hukum. Pihak oposisi selanjutnya mulai terpecah karena beberapa partai di dalam kubu oposisi mulai merapat ke dalam Koalisi Indonesia Kerja Partai Demokrat di bawah ketuanya, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Agus Harimurti Yudhoyono mengadakan pertemuan dengan Jokowi di Istana Merdeka. Kemudian Prabowo Subianto selaku Ketua Partai Gerindra bertemu dengan Presiden Jokowi pada 11 Oktober 2019, membahas kemungkinan Partai Gerindra bergabung dengan Koalisi Pemerintah terpilih. Dari Gerindra, Prabowo Subianto selanjutnya dipasang sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Jokowi dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dalam Parlemen, dilihat dari perbandingan komposisi kursi DPR partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah di DPR mencapai 481 kursi (termasuk Partai Gerindra dan Partai Demokrat)  sedangkan oposisi hanya memiliki 94 kursi. Sebenarnya oposisi bukanlah sekadar posisi anti-pemerintah atau sekedar berbeda, melainkan kekuatan yang dapat memberi kritik positif dan tawaran kebijakab alternatif, sekaligus kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan demi kepentingan rakyat dan menghindari kekuasaan yang berlebih atau oligarki. Lemahnya oposisi menyebabkan berkurangnya kekuatan check and balance.

Selain itu perlu perhatian pada penggunaan isu negatif menggunakan berita palsu, yaitu segala bentuk informasi yang sengaja maupun tidak sengaja dipalsukan baik untuk menyerang kandidat maupun penyelenggara, sebagai strategi delegitimasi Pemilu 2019. Upaya ini penting tidak hanya untuk mengidentifikasi pola-pola penyebaran isu negatif di masa depan dan mengantisipasinya, tetapi juga untuk memahami perubahan dan keberlanjutan demokrasi elektoral Indonesia di tengah arus global yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan post-truth era.

Situasi demokrasi elektoral paska 2014 di Indonesia ditandai dengan maraknya penggunaan berita palsu secara masif dimana kandidat menjadi target dari berita-berita palsu yang sengaja diedarkan di masyarakat. Isu utama yang diangkat dalam berita palsu adalah isu identitas berbasis SARA terutama ras dan agama. Di satu pihak, para kandidat dan tim sukses sangat memahami bahwa penggunaan isu SARA yang dimanipulasi dalam berita palsu sangat efektif untuk memobilisasi suara dalam Pemilu . Di pihak para pemilih, khususnya pemilih dengan orientasi keagamaan, dipandang lebih mengutamakan isu dan figur tokoh yang merepresentasikan agama tertentu daripada memilih untuk mendukung kandidat yang menawarkan programmatic politics. Beberapa literatur menunjukan gejala signifikan  penguatan populisme kanan sejak 2014 dan menjadi karakteristik dari pemilu di Indonesia.

Secara umum berita palsu dalam pemilu disebarkan melalui media online dan menargetkan kandidat. Media online, terutama media sosial menjadi sarana yang efektif dalam menyebarkan berita palsu dalam pemilu. Hal ini tidak terlepas dari algoritma media sosial yang membuat orang-orang dengan ketertarikan sejenis – termasuk orientasi poltik – membentuk “echo chambers” atau “filter bubbles” di mana mereka akan terisolasi dari perspektif yang berlawanan. Target berita palsu sebagian besar adalah kandidat yang bertarung dalam pemilu. Berita palsu yang beredar melalui media online menunjukan sisi negatif yang tidak benar dari kandidat, dan mempengaruhi pemilih agar tidak memilih kandidat tersebut.

Suatu penelitian menunjukkan tagar, crawling label yang digunakan dalam kampanye negatif Pemilu 2019 dalam kurun tertentu pada satu media sosial: Paslon 1: Jokowi PKI, Jokowi kafir, Jokowi china, Jokowi cina, Jokowi kristen, Jokowi yahudi, Jokowi curang, Jokowi penipu, Jokowi bukan islam, Jokowi antek aseng, Jokowi antek asing, Jokowi larang adzan, Utang Pemerintah, Tol utang china, Konsultan Asing Jokowi, Jokowi melegalkan zina, Jokowi menghapus pendidikan agama, Jokowi melegalkan pernikahan sejenis, Jokowi melegalkan hubungan sejenis, #jokowicurang, #jokowiPKI, #jokowikafir, #jokowichina, #jokowicina, #jokowikristen, #jokowiaseng, #jokowiasing, #jokowicurang, #jokowipenipu, #Jokowiradikal

Paslon 2: Prabowo kafir, Prabowo china, Prabowo cina, Prabowo kristen, Prabowo yahudi, Prabowo bukan islam, Prabowo antek aseng, Prabowo antek asing, Prabowo Khilafah, Prabowo HTI, Prabowo Radikalis, Prabowo gak bisa sholat, Prabowo enggak bisa sholat, Prabowo tidak bisa sholat, Prabowo gak bisa ngaji, Prabowo enggak bisa ngaji, Prabowo enggak bisa wudhu, Prabowo tidak bisa wudhu, Prabowo delusi, #prabowokafir, #prabowochina, #prabowocina, #prabowokristen, #prabowoyahudi, #prabowobukanislam, #prabowoaseng, #prabowoasing, #prabowokhilafah, #prabowoHTI, #praboworadikal

 KPU: KPU Bohong, KPU Manipulasi, KPU Curang, KPU Hoax, KPU Hoaks, KPU tidak netral, KPU error, KPU budeg, KPU buta, KPU tuli, KPU berpihak, KPU tersandera, KPU tidak netral, KPU bobol, KPU Cina, KPU China, Hack KPU, Wasit ikut main, Wasit kok ikut main, #KPUberpihak, #KPUtersandera, #KPUtidaknetral, #KPUbobol, #KPUCina, #KPUChina, #PemiluDiretas, #KPUdiretas, #KPUbudeg, #KPUbuta, #KPUtuli  

Dampak persebaran isu negatif dan gigihnya usaha deligitimasi adalah segregasi sosial di masyarakat. Salah satu tujuan awal perubahan mekanisme pemilu yang sebelumnya parsial kemudian dilakukan secara serentak adalah mencegah konflik horizontal di level grassroot. Namun, konflik horizontal tetap terjadi bahkan paska pemilu telah selesai. Laporan penelitian menunjukan bahwa segregasi sosial yang terjadi paska pemilu 2019, merupakan ekses negatif dari polarisasi selama proses pemilu berlangsung. Masyarakat terkotak-kotak pada orientasi politik dan cenderung memusuhi kelompok masyarakat yang memiliki orientasi politik yang berbeda. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi dan kohesi sosial.

Secara keseluruhan, penyebaran isu negatif mengakibatkan dampak destruktif yang tidak hanya berpengaruh di level struktur namun juga di level grassroot. Dibutuhkan penguatan dari sisi masyarakat, baik melalui literasi maupun pendidikan politik. Jika isu negatif seperti virus yang penyebarannya sulit dikendalikan, maka salah satu cara untuk menangkalnya adalah dengan memperkuat imunitas masyarakat.