Analisis kecil ini dimaksudkan untuk mengajak pembaca sekilas mengenang apa yang terjadi dalam seputar Pemilu 2019, belajar dari masa lalu demi menyiapkan masa depan, dan mengantisipasi masalah Pemilu yang akan datang dengan bijak.
Pada Pemilu 2019 ini, dua kubu besar yang memperebutkan
posisi eksekutif di Indonesia. Kubu besar berupa Koalisi dibentuk karena tidak ada satu pun kekuatan yang dominan yang dapat memenangkan Pemilu berdasarkan konstelasi politik pasca Pemilu 2014. Yang pertama "Koalisi Indonesia Kerja" yang
mengusung Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai calon eksekutif, dan yang kedua "Koalisi Indonesia Adil Makmur" yang mengusung pasangan Prabowo Subianto dan
Sandiaga Uno sebagai calon eksekutif. Koalisi ini terdiri dari beberapa partai.
Koalisi Indonesia Kerja terdiri dari PDI-P, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura
sebagai partai pengusung dan partai
pendukung Perindo, PSI, dan PKP. Sementara Koalisi Indonesia Adil Makmur
terdiri dari Gerindra, PAN, Demokrat, dan PKS sebagai partai pengusung dan
Partai Berkarya sebagai pendukung.
Persaingan antara kedua kubu dalam kampanye positif
menunjukkan kubu mana yang lebih layak. Dalam beberapa kesempatan kampanye
negatif kedua kubu sama-sama menampilkan keburukan dari lawannya.
Setelah melewati masa kampanye dengan persaingan ketat dan
panjang, Pemilihan Umum (Pemilu) serentak di Indonesia dilaksanakan. Hasilnya
pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin tampil sebagai pemenang dan ditetapkan sebagai Presiden dan
Wakil Presiden Indonesia untuk lima tahun ke depan, menurut perhitungan
perolehan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Perolehan suara
Jokowi-Ma'ruf adalah 55,50% dari total suara sah di Pilpres 2019, sedangkan
Prabowo-Sandiaga mendapatkan 44,50% dari total suara sah.
Sedangkan untuk posisi legislatif rekapitulasi hasil pemilu
menetapkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi pemenang dengan
memeroleh 19.33% suara dan mendapat jatah 128 kursi di DPR, diikuti oleh Partai
Golongan Karya (Golkar) dengan mendapat jatah 85 kursi di DPR, sedangkan Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mendapat 78 kursi di DPR.
Setelah pengumuman hasil Pemilu, respon dari pendukung pihak
Koalisi Adil Makmur sangat beragam. Mulai dari adanya tudingan kecurangan hingga
pengakuan melemahnya kondisi internal Koalisi Adil Makmur. Kemenangan Koalisi
Indonesia Kerja pada pemilu tahun 2019 menjadi pasti karena upaya yang di
lakukan pihak oposisi kandas, tidak dapat dibuktikan secara hukum. Pihak oposisi
selanjutnya mulai terpecah karena beberapa partai di dalam kubu oposisi mulai merapat
ke dalam Koalisi Indonesia Kerja Partai Demokrat di bawah ketuanya, Susilo
Bambang Yudhoyono, dan Agus Harimurti Yudhoyono mengadakan pertemuan dengan
Jokowi di Istana Merdeka. Kemudian Prabowo Subianto selaku Ketua Partai
Gerindra bertemu dengan Presiden Jokowi pada 11 Oktober 2019, membahas
kemungkinan Partai Gerindra bergabung dengan Koalisi Pemerintah terpilih. Dari
Gerindra, Prabowo Subianto selanjutnya dipasang sebagai Menteri Pertahanan dalam
Kabinet Jokowi dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dalam Parlemen, dilihat dari perbandingan komposisi kursi
DPR partai-partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah di DPR mencapai 481 kursi
(termasuk Partai Gerindra dan Partai Demokrat) sedangkan oposisi hanya memiliki 94 kursi. Sebenarnya
oposisi bukanlah sekadar posisi anti-pemerintah atau sekedar berbeda, melainkan
kekuatan yang dapat memberi kritik positif dan tawaran kebijakab alternatif, sekaligus
kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan demi kepentingan rakyat dan
menghindari kekuasaan yang berlebih atau oligarki. Lemahnya oposisi menyebabkan
berkurangnya kekuatan check and balance.
Selain itu perlu perhatian pada penggunaan isu negatif menggunakan
berita palsu, yaitu segala bentuk informasi yang sengaja maupun tidak sengaja dipalsukan
baik untuk menyerang kandidat maupun penyelenggara, sebagai strategi delegitimasi
Pemilu 2019. Upaya ini penting tidak hanya untuk mengidentifikasi pola-pola
penyebaran isu negatif di masa depan dan mengantisipasinya, tetapi juga untuk
memahami perubahan dan keberlanjutan demokrasi elektoral Indonesia di tengah
arus global yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan post-truth era.
Situasi demokrasi elektoral paska 2014 di Indonesia ditandai
dengan maraknya penggunaan berita palsu secara masif dimana kandidat menjadi
target dari berita-berita palsu yang sengaja diedarkan di
masyarakat. Isu utama yang diangkat dalam berita palsu adalah isu
identitas berbasis SARA terutama ras dan agama.
Di satu pihak, para kandidat dan tim sukses sangat memahami
bahwa penggunaan isu SARA yang dimanipulasi dalam berita palsu sangat
efektif untuk memobilisasi suara dalam Pemilu . Di pihak para pemilih, khususnya pemilih dengan
orientasi keagamaan, dipandang lebih mengutamakan isu dan figur tokoh yang
merepresentasikan agama tertentu daripada memilih untuk mendukung kandidat yang
menawarkan programmatic politics. Beberapa literatur menunjukan gejala signifikan penguatan populisme kanan sejak 2014 dan menjadi karakteristik dari
pemilu di Indonesia.
Secara umum berita palsu dalam pemilu disebarkan melalui
media online dan menargetkan kandidat. Media online, terutama media sosial menjadi
sarana yang efektif dalam menyebarkan berita palsu dalam pemilu. Hal ini tidak terlepas dari algoritma media sosial yang
membuat orang-orang dengan ketertarikan sejenis – termasuk orientasi poltik –
membentuk “echo chambers” atau “filter bubbles” di mana mereka akan terisolasi
dari perspektif yang berlawanan.
Target berita palsu sebagian besar adalah kandidat yang bertarung
dalam pemilu. Berita palsu yang beredar melalui media online
menunjukan sisi negatif yang tidak benar dari kandidat, dan mempengaruhi pemilih agar tidak memilih kandidat tersebut.
Suatu penelitian menunjukkan tagar, crawling label yang digunakan
dalam kampanye negatif Pemilu 2019 dalam kurun tertentu pada satu media sosial:
Paslon 1: Jokowi PKI, Jokowi kafir, Jokowi china, Jokowi cina, Jokowi kristen,
Jokowi yahudi, Jokowi curang, Jokowi penipu, Jokowi bukan islam, Jokowi antek
aseng, Jokowi antek asing, Jokowi larang adzan, Utang Pemerintah, Tol utang
china, Konsultan Asing Jokowi, Jokowi melegalkan zina, Jokowi menghapus
pendidikan agama, Jokowi melegalkan pernikahan sejenis, Jokowi melegalkan
hubungan sejenis, #jokowicurang, #jokowiPKI, #jokowikafir, #jokowichina,
#jokowicina, #jokowikristen, #jokowiaseng, #jokowiasing, #jokowicurang, #jokowipenipu,
#Jokowiradikal
Paslon 2: Prabowo kafir, Prabowo china, Prabowo cina,
Prabowo kristen, Prabowo yahudi, Prabowo bukan islam, Prabowo antek aseng,
Prabowo antek asing, Prabowo Khilafah, Prabowo HTI, Prabowo Radikalis, Prabowo
gak bisa sholat, Prabowo enggak bisa sholat, Prabowo tidak bisa sholat, Prabowo
gak bisa ngaji, Prabowo enggak bisa ngaji, Prabowo enggak bisa wudhu, Prabowo
tidak bisa wudhu, Prabowo delusi, #prabowokafir, #prabowochina, #prabowocina,
#prabowokristen, #prabowoyahudi, #prabowobukanislam, #prabowoaseng,
#prabowoasing, #prabowokhilafah, #prabowoHTI, #praboworadikal
Dampak persebaran isu negatif dan gigihnya usaha
deligitimasi adalah segregasi sosial di masyarakat. Salah satu tujuan awal perubahan
mekanisme pemilu yang sebelumnya parsial kemudian dilakukan secara serentak
adalah mencegah konflik horizontal di level grassroot. Namun, konflik
horizontal tetap terjadi bahkan paska pemilu telah selesai. Laporan penelitian menunjukan
bahwa segregasi sosial yang terjadi paska pemilu 2019, merupakan ekses negatif
dari polarisasi selama proses pemilu berlangsung. Masyarakat terkotak-kotak
pada orientasi politik dan cenderung memusuhi kelompok masyarakat yang memiliki
orientasi politik yang berbeda. Hal ini menjadi ancaman serius bagi
keberlangsungan demokrasi dan kohesi sosial.
Secara keseluruhan, penyebaran isu negatif mengakibatkan
dampak destruktif yang tidak hanya berpengaruh di level struktur namun juga di
level grassroot. Dibutuhkan penguatan dari sisi masyarakat, baik melalui
literasi maupun pendidikan politik. Jika isu negatif seperti virus yang
penyebarannya sulit dikendalikan, maka salah satu cara untuk menangkalnya
adalah dengan memperkuat imunitas masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar