Ini semacam kritik-diri untuk menata hidup rohani dan membuat jeda bagi kontemplasi menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari.
Mungkin tak ada kata lain yang menangkap sifat dan rasa
budaya kita seperti istilah galau resah-gelisah. Kita adalah orang yang galau resah-gelisah.
Tidaklah
sulit untuk melukiskan galau resah-gelisah itu. Lawannya adalah tidak bisa
tenteram istirahat. Istirahat tenteram adalah salah satu dari tujuan yang
digariskan di dalam diri kita. Kita melukiskan istirahat tenteram itu pada
titik yang kita samakan dengan surga: “Berilah kami istirahat (ketenteraman)
abadi.”
Hidup
kita semakin penuh tekanan. Kita semakin lelah. Dan ketika kita mulai bicara
tentang penat-bosan-habis-tenaga, kita berfantasi lebih banyak tentang
istirahat yang tenteram. Kita membayangkan suatu tempat yang tenang tenteram. Berjalan-jalan
di tepi telaga, memerhatikan matahari sedang tenggelam dengan tenteram, udud mengisap
rokok di kursi goyang teras. Gambaran istirahat tenteram itupun mungkin masih
suatu kegiatan lain, momong anak atau cucu, berkebun, merawat tanaman, sesuatu
yang kita lakukan yang membuat kita segar kembali... untuk kemudian kembali lagi pada kesibukan hidup
yang normal sehari-hari.
Namun
istirahat tenteram adalah sebentuk kesadaran, suatu suatu cara berada dalam
hidup. Yaitu berada dalam hidup sehari-hari dengan suatu cita-rasa ringan,
syukur, penghargaan, damai dan doa. Kita istirahat tenteram jika hidup
sehari-hari sudah cukup.
Thomas
Merton menuliskan suatu pengalaman harian sehubungan dengan suatu masa
menyendiri yang cukup lama, antara lain ia menulis begini:
Dengan cara hidup manusia sehari-hari yang biasa cukuplah
kita rasakan lapar dan tidur, kedinginan dan hangat, bangun dari atau berangkat
tidur. Mengenakan atau membuka selimut, membuat dan minum kopi. Mencairkan gumpalan
es di kulkas, membaca, merenung, bekerja, berdoa, aku menjalani hidup sama seperti
ayahku, nenek moyangku di dunia ini, sampai akhirnya aku mati nanti. Amin. Aku
tidak perlu menegaskan bahwa inilah hidupku, inilah yang khas milikku, sebab
sudah jelas ini bukan hidup orang lain. Aku harus berangsur-angsur melupakan
program dan semua rencana.
Sekarang ini tampaknya tak ada yang cukup bagi kita.
Kegembiraan hidup yang sederhana yang digambarkan Merton di atas sebagian sudah
hilang ketika kita makin galau resah-gelisah, terdorong-dorong, terpacu, dan
jadi hiper (sangat aktif). Dalam hidup kita rasa santai berkurang diganti oleh
demam; ketenteraman berkurang digantikan oleh kegiatan yang obsesif; kenikmatan
berkurang digantikan oleh ekses. Ini semua adalah tanda-tanda yang makin jelas
dari suatu kegalauan yang rumit dan tak terurai.
Namun
bukankah kita pada dasarnya memang selalu resah-gelisah? Bukankah kita ini
peziarah di dunia ini, dan hati kita dibuat sedemikian agar merindukan yang tak
terbatas, namun terperangkap dalam hidup yang sangat fana dan terbatas?
Haruskah kita heran karena kita terus menerus tersiksa oleh ketidakcukupan dari
apapun yang sudah kita peroleh? Menjadi galau resah gelisah terus memberikan
tambahan bukti bahwa kita ini hidup, sehat secara emosional dan normal.
Bukankah memang Tuhan membuat kita terus galau resah-gelisah sampai akhirnya
nanti kita beristirahat dalam Dia?
Resah
gelisah memang situasi yang normal. Tetapi seperti halnya suhu badan, di atas
titik tertentu suhu itu berubah menjadi
demam yang tidak sehat. Sekarang ini, tampaknya suhu psikis kita sudah
meningkat menjadi suatu demam. Resah-gelisah kegalauan kita sudah berlebihan.
Resah gelisah yang mulanya sehat sudah mendorong kita tidak puas secara sehat
terhadap keterbatasan hidup itu, sudah menjadi
tidak sehat seperti yang dilukiskan Merton ketika “tidaklah cukup berada dalam
cara hidup manusia sehari-hari yang wajar, dan kita harus membuat penegasan
inilah hidup kita.”
Di
dalam budaya sekarang, kegalauan resah gelisah
itu sudah mendorong kita melampaui ambang yang sehat. Konsekuensinya ada
tiga faktor yang dampaknya merugikan kemampuan kita mengelola hidup rohani:
i) Rakus
akan pengalaman
Ketika keadaan galau resah-gelisah itu berlebihan, tidaklah
mungkin untuk memuaskannya dengan sekedar menjadi seseorang yang biasa-biasa
saja (dengan “merasakan lapar dan tidur kita sendiri, dingin dan hangat,
membuat dan nyruput kopi”). Yang terasa dasar dan sederhana, cita-rasa tubuh
sendiri dan citarasa kopi sendiri, telah tenggelam dalam kerakusan yang obsesif
akan pengalaman.
Filsafat
skolastik biasa mengatakan bahwa tujuan yang memadai dari kerinduan manusia
adalah segala yang ada sejauh bisa diketahui dan baik. Pernyataan yang agak
abstrak itu sebenarnya mau mengatakan bahwa pada akhirnya yang memuaskan kita
adalah jika kita dapat mengalami setiap orang dan segala sesuatu, dan
sebaliknya kitapun dialami oleh setiap orang dan segala sesuatu. Tubuh, pikiran
dan hati kita dengan demikian rakus akan pengalaman.
Ketika keadaan galau resah-gelisah
itu menjadi berlebihan maka kerakusan akan pengalaman yang biasanya secara
sehat mendasari dan menggerakkan seluruh tindakan kita, sekarang lalu mendorong
kita keluar, sehingga tindakan kita itu tidak memancar dari semacam pusat yang
bebas, melainkan dari suatu keharusan. Hidup kita lalu ditelan oleh suatu
gagasan, bahwa jika kita tidak mengalami segalanya, tidak pergi ke semua tempat,
tidak melihat segala sesuatu, dan tidak menjadi bagian dari sejumlah besar
pengalaman orang lain, maka hidup kita ini kecil dan tak ada artinya. Kita
menjadi tidak sabar dengan setiap rasa lapar, setiap kerinduan, dan setiap
bidang yang belum tuntas dalam hidup kita dan kita jadi yakin bahwa jika kita
belum merasakan semua kesenangan yang kira inginkan, kita tidak bahagia.
Dalam
situasi kegalauan yang rumit tak terurai seperti ini, sikap kita di hadapan
hidup adalah sangat rakus, begitu sarat dengan hasrat dan harapan yang tak
terwujud, dan tak dapat menerima bahwa di sini, dalam hidup ini, semua simfoni
tak akan terselesaikan. Jika ini terjadi, kegalauan yang berlebihan ini membuat
kita tak bisa istirahat atau membuat kita tak bisa puas karena kita yakin bahwa
semua yang terasa serba kekurangan, yang serba tegang dan semua keinginan yang
belum terpenuhi adalah tragis. Maka sungguh tragislah jika kita sendirian; jika
kita tetap tidak menikah; jika kita menikah namun tidak terpuaskan sepenuhnya
secara romantis dan seksual; jika tampang kita buruk; jika kita tidak sehat,
tua dan renta. Adalah jadi tragis jika
kita terbelenggu oleh tugas dan komitmen yang membatasi kebebasan kita,
tragislah jika kita ini miskin, tragislah jika hidup kita susah dan tidak dapat
mencicipi semua kesenangan di dunia dan tak bisa memuaskan semua potensi yang
ada dalam diri kita. Jika kita terobsesei dengan cara demikian, maka sangat
sulit bagi kita untuk berdoa. Kita terlalu terfokus pada berbagai kerinduan
kita sendiri sehingga tak bisa terbuka dan tak bisa menerima apapun.
ii) Tidak sabar
dan kurang murni hati.
Di
dalam budaya kita ada ketidakmampuan untuk menunggu, dan di dalam
ketidaksabaran ini terdapat kekurangan dalam hal kemurnian hati, dan inilah
yang langsung sangat merugikan hidup rohani. Dengan tak mau menunggu, tidak
sabar, maka kita juga serentak mendorong hidup kita untuk menolak tak mau
menunggu berbagai hal, tak mau hidup dalam tegangan, dan memastikan bahwa tak
seorang pun dan tak ada sesuatu pun yang berhak untuk menyangkal keinginan
kita.
Akibat
dari ketidaksabaran kita adalah sama saja di mana-mana. Kita menemukan akibat
itu dalam ekonomi kita, dalam moralitas seksual kita dan dalam kecenderungan
kita untuk berdasarkan hak meraup segalanya yang pada hakekatnya adalah
anugerah.
Kemurnian
hati biasanya dipahami berhubungan dengan seks, tidak bernoda, suci,
terkendali, atau bahkan selibat dalam hal seks. Namun pengertian ini terlalu sempit. Kemurnian hati
pertama-tama bukanlah konsep seksual. Tetapi kemurnian berhubungan dengan
batas-batas dan ketepat-gunaan dari segala pengalaman, termasuk yang seksual.
Menjadi murni hati berarti mengalami hal-hal, semua hal, dengan respek, dan mereguk
pengalaman hanya jika sudah siap saja. Kita melanggar kemurnian jika mengalami
apa pun tanpa sikap menghargai, atau jika terlalu dini. Sikap tidak hormat dan
prematur tergesa-gesa merupakan pelanggaran terhadap kemurnian.
Pengalaman
bisa baik bisa buruk. Bisa merekat jiwa, bisa membuat ambyar cerai berai. Bisa
menimbulkan kegembiraan, tetapi juga bisa menghasilkan kekacauan hati.
Perjalanan, bacaan, prestasi, seks, mencoba hal baru, menerobos tabu-tabu,
semuanya bisa baik jika dialami dengan sikap hormat dan pada saat yang tepat.
Sebaliknya, semua itu bisa merobek jiwa (walaupun pada dirinya sendiri tidak
salah) jika dialami secara tidak murni, yaitu, jika dialami dengan cara yang
tidak menghargai yang lain, entah orang entah sesuatu, yang adalah subyek di
dalam pengalaman itu, atau jika dengan tidak menghargai integritas diri kita
sendiri.
Kegalauan
yang rumit tak terurai membuat kita jadi tidak sabaran secara tidak sehat akan
pengalaman, dan hal ini sering membawa kita melampaui ambang kemurnian hati.
Kerakusan dan ketidaksabaran mendorong kita ke arah pengalaman yang sifatnya
prematur dan tidak bertanggungjawab. Ini bisa sangat pelik. Sebab kita bisa
melakukan banyak hal yang sebenarnya tidak salah, namun pada akhirnya melanggar
kemurnian hati. Maka misalnya, kita bisa menuruti saja ketidaksabaran dan
permintaan anak-anak kita, dan memberikan kepada mereka setiap pengalaman yang
mereka minta... tamasya pada usia yang sangat muda, segala macam barang
konsumsi, membiarkan mereka menonton segala macam film dan video yang mereka
inginkan, berpacaran pada usia dua belas tahun, melakukan seks ketika berusia
enam belas tahun,... dan kemudian kita heran mengapa mereka bosan, sinis dan
loyo tak punya semangat pada usia dua puluh tahun.
Allan
Bloom dalam komentarnya tentang situasi ini menyatakan bahwa kurangnya
kesabaran dan kemurnian mengantar pada suatu situasi “eros yang lumpuh”. Bicara
hanya dari sudut seorang humanis dan pendidik, bukan dari perspektif agama, ia
menyatakan bahwa kita dilahirkan untuk suatu tujuan yang luhur. Diri kita dibina
untuk tujuan itu. Kita diluncurkan ke dalam hidup dengan suatu kegilaan yang
berasal dari ketidaklengkapan kita dan karenanya kita percaya bahwa kita dapat
memeroleh keutuhan diri kita kembali dengan merangkul yang lain, mengabadikan
benih kita, dan berkontemplasi pada Tuhan. Menurut Bloom kita telah mengecilkan
makna kerinduan akan kepenuhan diri kita itu dan mengartikannya menjadi sesuatu
yang lebih konkret, sesuatu yang kecil, sesuatu yang remeh. Bagi kita,
kerinduan itu sekarang hanyalah tertuju pada hidup yang enak, sukses,
kesenangan, hal-hal yang manis dalam hidup. Pada suatu tempat ia mengutip Plato
(filsuf Yunani dari Atena, 428-348 sebelum Kristus) yang dalam karyanya,
Symposium, menyuruh para muridnya duduk di sekelilingnya dan “menceritakan
kisah yang indah tentang makna kerinduan yang abadi.” Bloom melaporkan bahwa
para muridnya duduk di sekitar dan bercerita tentang kisah yang tidak indah
tentang kerinduan seksual yang jauh lebih konkret disalurkan.
Di
dasar semua ini, menurut Bloom, adalah kurangnya kemurnian hati. Bicara di luar
lingkup pertimbangan moralitas Kristiani, ia menyatakan bahwa ini merupakan
pengalaman yang belum saatnya (prematur) dan tidak-integral (tidak menyumbang
keutuhan jiwa), suatu kekurangan dalam hal kemurnian hati, yang sekarang
membelah jiwa dan menumpulkan eros. Katanya, pengalaman yang prematur adalah
buruk, persisnya karena pengalaman itu didapat sebelum saatnya tiba. Periode
kerinduan yang berkembang sebenarnya dimaksudkan untuk sublimasi, dalam arti
membuat jadi luhur, atas pengarahan
kecenderungan dan kerinduan jiwa muda menuju kasih yang luhur, seni yang luhur,
prestasi yang luhur. Pengalaman yang prematur adalah seperti ekstase palsu
karena narkotika yang di dalamnya “membuat rangsangan untuk mengeluarkan lenguh
kepuasan yang secara alamiah terkait dengan diselesaikannya suatu usaha besar –
seperti kemenangan yang didapat dari perang secara ksatria, perpaduan cinta
yang total dalam sanggama, kreasi seni, devosi keagamaan, dan penemuan
kebenaran.” Kurangnya kemurnian
mengakibatkan terkurasnya entusiasme dan harapan besar. Pada hal hal-halini
hanya dapat dibina melalui sublimasi, tegangan dan penantian.
Di
dalam melukiskan hal ini Allan Bloom menceritakan pengalamannya sebagai seorang
pengajar, yang mendapatkan para mahasiswanya megalami ketergantungan serius
pada narkotika – dan setelah dapat mengatasinya – mereka kesulitan dalam
membangun entusiasme dan pengharapan... “seolah-olah warna-warna menghilang
dari hidup mereka dan semua yang mereka lihat dalam hidup ini hanya hitam dan
putih... Mereka berfungsi dengan baik,
namun kering dan monoton. Energi mereka telah terserap habis, dan akhirnya mereka
tidak mengharapkan kegiatan hidup mereka menghasilkan apa-apa selain sekadar
hidup saja.”
Satu
generasi sebelumnya, Albert Camus menulis:
“Kemurnian hati sendiri terkait dengan kemajuan pribadi. Ada kalanya
jika bergerak melampauinya, adalah suatu kemenangan – lepas dari moral. Tetapi segera sesudah pencapaian semua
terasa sebagai kekalahan.”
Beberapa
hal menjadi hambatan besar bagi hidup rohani seperti ketidaksabaran dan
kurangnya kemurnian hati. Dan sesungguhnya, kesabaran dan kemurnian hati
sendiri nyaris merupakan defisini dari kontemplasi dalam hidup rohani. Pengenalan
dan penerimaan akan Tuhan sebagaimana jelas dalam pedagogi (pengajaran tentang)
inkarnasi terkait dengan suatu pengalaman akan adven, suatu masa tegangan dan
masa untuk hidup dalam kemurnian hati, untuk menyilakan Tuhan menjadi Tuhan dan
kasih menjadi karunia.
iii) Hilangnya
kerohanian
Sokrates pernah menyatakan bahwa “hidup yang tidak disadari
baik-baik tidaklah berharga untuk dijalani”. Namun belakangan ini, karena
kegalauan kita, semakin berkurang dan makin sedikit dari kita yang meluangkan
waktu untuk menyadari dengan baik hidup kita.
Di
dalam budaya kita justru yang semakin biasa adalah perhatian yang
terpencar-pencar; sedang kontemplasi, kesunyian dan doa justru bukan barang
biasa. Mengapa? Baik berdasarkan pilihan maupun ideologi, kita tidak
dipersiapkan menghadapi kebudayaan yang melawan hidup rohani. Kita berbeda dari
masa lalu, sebagaimana telah kita lihat dalam merenungkan pragmatisme, bukan
karena keburukan kita, melainkan karena kesibukan kita. Kita lain dari mereka juga
di dalam derajat kegalauan kita.
Henri
Nouwen melukiskan situasi galau kehidupan zaman sekarang sebagai berikut: Salah
satu sifat yang paling jelas dari kehidupan sehari-hari kita adalah bahwa kita
sibuk. Kita mengalami hari-hari kita penuh dengan agenda yang harus dikerjakan,
orang yang harus ditemui, proyek yang harus diselesaikan, WA dan postingan yang
harus ditulis, telepon yang harus dihubungi, janji temu yang harus dilakukan.
Hidup kita sering seperti kopor yang penuh sesak dan jebol kelimannya. Kita
selalu sadar bahwa telah terlambat di belakang jadwal. Kita terganggu oleh
perasaan akan tugas yang belum selesai, janji yang belum dipenuhi, saran yang
belum diwujudkan. Selalu masih ada hal lain yang harus diingat-ingat, yang
harus diselesaikan atau dikatakan. Selalu masih ada orang yang kelupaan belum
kita ajak bicara, belum kita tulisi surat, atau belum kita kunjungi. Maka
walaupun kita sudah sangat sibuk, kita masih merasa belum sepenuhnya memenuhi
kewajiban kita....
Namun
di dasar hidup kita yang terus galau gelisah itu ada sesuatu yang terus
berlangsung. Sementara hati dan pikiran kita sarat dengan banyak hal, kita ragu
apakah mampu memenuhi harapan yang membebani diri kita, baik harapan diri
sendiri maupun harapan orang lain, kita punya perasaan yang mendalam tentang
sesuatu yang belum tuntas. Sementara sibuk dan cemas oleh banyak hal, kita
jarang merasa sungguh-sungguh puas, damai, kerasan. Suatu perasaan akan sesuatu
yang belum tuntas terus mengusik di bawah hidup kita yang sibuk... Paradoks
besar dari zaman kita adalah banyak di antara kita ini sibuk namun serentak
dengan itu juga bosan. Sementara berlari dari satu hal kepada hal berikutnya,
kita punya keraguan di dalam relung hati kita apakah segala sesuatu ini sungguh
demikian. Sementara kita pontang-panting melaksanakan tugas dan kewajiban kita
yang begitu banyak, kita tidak begitu yakin apakah semua itu ada bedanya dengan
seandainya kita tidak melakukan apa-apa. Sementara orang terus mendesak kita ke
segala jurusan, kita ragu apakah mereka itu sungguh peduli. Pendeknya,
sementara hidup kita penuh sesak, kita tetap merasa kosong sebagian.
Perasaan “penuh sesak, namun kosong juga” berasal dari cara berada
tanpa kerohanian yang dalam. Bila tak
pernah ada waktu dan ruang untuk berdiri di balik hidup kita sendiri dan
merenungkannya, maka berbegai tekanan dan carut marut hidup begitu saja menelan
kita, sampai kita kehilangan kendali akan hidup kita sendiri.
Selain
itu, kurangnya kerohanian ini sebagian besar merupakan buah dari galau resah-gelisah
yang belum diatur dengan disiplin. Bila kita tidak suka merenung, itu jelas
karena kegalauan kita kekurangan sikap asketis dan dengan demikian mendorong
kita dihanyutkan arus kegiatan yang membuat kita sibuk dan mewarnai permukaan
hidup, dengan kesibukan mata pencarian, dengan melakukan banyak hal, dengan
banyak hal yang memerlukan perhatian, dan dengan hiburan. Kemudian
tindakan-tindakan kita tidak lagi timbul dari suatu pusat yang ada dalam diri
kita, sebaliknya merupakan hasil dari suatu paksaan. Kita melakukan banyak hal
namun kita tak tahu lagi mengapa. Kita merasa terus-menerus tertekan, dijadikan
korban dan begitu diburu-buru. Kita kelebihan pekerjaan, namun kita merasa
bosan; kita banyak berhubungan dengan orang, namun sekali gus kesepian; dan
kita bekerja hingga kehabisan daya, namun rasanya hidup kita terbuang percuma.
Inilah
hidup yang tidak disadari dengan baik-baik, seperti yang dikatakan Sokrates.
Inilah yang tersirat dalam mitologi Yunani di dalam Mitos tentang Sisipus.
Sisipus adalah seorang yang dipidana, karena alasan yang tidak baik, untuk
memanggul batu ke atas bukit selamanya. Setiap kali ia hendak mencapai puncak
bukit, batu itu menggelinding lagi ke kaki bukit dan ia harus memanggulnya naik
lagi. Ini merupakan gambaran suatu frustrasi, gambaran melakukan pekerjaan yang
sia-sia dan tak seorang pun kuasa menghentikannya. Ini juga merupakan suatu
gambaran dari buah-buah hidup yang tidak kontemplatif.
Resah-gelisah
dan galau, tanpa renungan yang memadai, menghancurkan kontemplasi hidup rohani,
dan serentak dengan itu kehilangan kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari.
Mengapa? Karena jika kita bekerja terdorong keluar oleh kegalauan itu, bukan
karena pusat yang benar dari diri kita, yang dalam perkataan Santo Agustinus
adalah Tuhan yang bersemayam dalam diri kita, kita terasing di luar diri kita
sendiri.
“Berbahagialah
yang murni hatinya, sebab mereka akan melihat Allah.” Apa yang menjadikan hati
kita murni? Itu bukanlah semata-mata dosa, moral yang cacat, atau niat buruk.
Narsisisme, pragmatisme dan kegalauan yang berlebihan dapat mengeruhkan
kesadaran kita dan dapat menghambat kita melihat Tuhan di dalam kesadaran kita
sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar