Daftar Blog Saya

Senin, 10 Oktober 2022

HIDUP KITA YANG PENUH GALAU

Ini semacam kritik-diri untuk menata hidup rohani dan membuat jeda bagi kontemplasi menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari.



Mungkin tak ada kata lain yang menangkap sifat dan rasa budaya kita seperti istilah galau resah-gelisah. Kita  adalah orang yang galau resah-gelisah.

                Tidaklah sulit untuk melukiskan galau resah-gelisah itu. Lawannya adalah tidak bisa tenteram istirahat. Istirahat tenteram adalah salah satu dari tujuan yang digariskan di dalam diri kita. Kita melukiskan istirahat tenteram itu pada titik yang kita samakan dengan surga: “Berilah kami istirahat (ketenteraman) abadi.”

                Hidup kita semakin penuh tekanan. Kita semakin lelah. Dan ketika kita mulai bicara tentang penat-bosan-habis-tenaga, kita berfantasi lebih banyak tentang istirahat yang tenteram. Kita membayangkan suatu tempat yang tenang tenteram. Berjalan-jalan di tepi telaga, memerhatikan matahari sedang tenggelam dengan tenteram, udud mengisap rokok di kursi goyang teras. Gambaran istirahat tenteram itupun mungkin masih suatu kegiatan lain, momong anak atau cucu, berkebun, merawat tanaman, sesuatu yang kita lakukan yang membuat kita segar kembali... untuk  kemudian kembali lagi pada kesibukan hidup yang normal sehari-hari.

                Namun istirahat tenteram adalah sebentuk kesadaran, suatu suatu cara berada dalam hidup. Yaitu berada dalam hidup sehari-hari dengan suatu cita-rasa ringan, syukur, penghargaan, damai dan doa. Kita istirahat tenteram jika hidup sehari-hari sudah cukup.

                Thomas Merton menuliskan suatu pengalaman harian sehubungan dengan suatu masa menyendiri yang cukup lama, antara lain ia menulis begini:

Dengan cara hidup manusia sehari-hari yang biasa cukuplah kita rasakan lapar dan tidur, kedinginan dan hangat, bangun dari atau berangkat tidur. Mengenakan atau membuka selimut, membuat dan minum kopi. Mencairkan gumpalan es di kulkas, membaca, merenung, bekerja, berdoa, aku menjalani hidup sama seperti ayahku, nenek moyangku di dunia ini, sampai akhirnya aku mati nanti. Amin. Aku tidak perlu menegaskan bahwa inilah hidupku, inilah yang khas milikku, sebab sudah jelas ini bukan hidup orang lain. Aku harus berangsur-angsur melupakan program dan semua rencana. 

Sekarang ini tampaknya tak ada yang cukup bagi kita. Kegembiraan hidup yang sederhana yang digambarkan Merton di atas sebagian sudah hilang ketika kita makin galau resah-gelisah, terdorong-dorong, terpacu, dan jadi hiper (sangat aktif). Dalam hidup kita rasa santai berkurang diganti oleh demam; ketenteraman berkurang digantikan oleh kegiatan yang obsesif; kenikmatan berkurang digantikan oleh ekses. Ini semua adalah tanda-tanda yang makin jelas dari suatu kegalauan yang rumit dan tak terurai.

                Namun bukankah kita pada dasarnya memang selalu resah-gelisah? Bukankah kita ini peziarah di dunia ini, dan hati kita dibuat sedemikian agar merindukan yang tak terbatas, namun terperangkap dalam hidup yang sangat fana dan terbatas? Haruskah kita heran karena kita terus menerus tersiksa oleh ketidakcukupan dari apapun yang sudah kita peroleh? Menjadi galau resah gelisah terus memberikan tambahan bukti bahwa kita ini hidup, sehat secara emosional dan normal. Bukankah memang Tuhan membuat kita terus galau resah-gelisah sampai akhirnya nanti kita beristirahat dalam Dia?

                Resah gelisah memang situasi yang normal. Tetapi seperti halnya suhu badan, di atas titik tertentu  suhu itu berubah menjadi demam yang tidak sehat. Sekarang ini, tampaknya suhu psikis kita sudah meningkat menjadi suatu demam. Resah-gelisah kegalauan kita sudah berlebihan. Resah gelisah yang mulanya sehat sudah mendorong kita tidak puas secara sehat terhadap keterbatasan hidup itu,  sudah menjadi tidak sehat seperti yang dilukiskan Merton ketika “tidaklah cukup berada dalam cara hidup manusia sehari-hari yang wajar, dan kita harus membuat penegasan inilah hidup kita.”

                Di dalam budaya sekarang, kegalauan resah gelisah  itu sudah mendorong kita melampaui ambang yang sehat. Konsekuensinya ada tiga faktor yang dampaknya merugikan kemampuan kita mengelola hidup rohani:

i)             Rakus akan pengalaman

Ketika keadaan galau resah-gelisah itu berlebihan, tidaklah mungkin untuk memuaskannya dengan sekedar menjadi seseorang yang biasa-biasa saja (dengan “merasakan lapar dan tidur kita sendiri, dingin dan hangat, membuat dan nyruput kopi”). Yang terasa dasar dan sederhana, cita-rasa tubuh sendiri dan citarasa kopi sendiri, telah tenggelam dalam kerakusan yang obsesif akan pengalaman.

                Filsafat skolastik biasa mengatakan bahwa tujuan yang memadai dari kerinduan manusia adalah segala yang ada sejauh bisa diketahui dan baik. Pernyataan yang agak abstrak itu sebenarnya mau mengatakan bahwa pada akhirnya yang memuaskan kita adalah jika kita dapat mengalami setiap orang dan segala sesuatu, dan sebaliknya kitapun dialami oleh setiap orang dan segala sesuatu. Tubuh, pikiran dan hati kita dengan demikian rakus akan pengalaman.

Ketika keadaan galau resah-gelisah itu menjadi berlebihan maka kerakusan akan pengalaman yang biasanya secara sehat mendasari dan menggerakkan seluruh tindakan kita, sekarang lalu mendorong kita keluar, sehingga tindakan kita itu tidak memancar dari semacam pusat yang bebas, melainkan dari suatu keharusan. Hidup kita lalu ditelan oleh suatu gagasan, bahwa jika kita tidak mengalami segalanya, tidak pergi ke semua tempat, tidak melihat segala sesuatu, dan tidak menjadi bagian dari sejumlah besar pengalaman orang lain, maka hidup kita ini kecil dan tak ada artinya. Kita menjadi tidak sabar dengan setiap rasa lapar, setiap kerinduan, dan setiap bidang yang belum tuntas dalam hidup kita dan kita jadi yakin bahwa jika kita belum merasakan semua kesenangan yang kira inginkan, kita tidak bahagia.

                Dalam situasi kegalauan yang rumit tak terurai seperti ini, sikap kita di hadapan hidup adalah sangat rakus, begitu sarat dengan hasrat dan harapan yang tak terwujud, dan tak dapat menerima bahwa di sini, dalam hidup ini, semua simfoni tak akan terselesaikan. Jika ini terjadi, kegalauan yang berlebihan ini membuat kita tak bisa istirahat atau membuat kita tak bisa puas karena kita yakin bahwa semua yang terasa serba kekurangan, yang serba tegang dan semua keinginan yang belum terpenuhi adalah tragis. Maka sungguh tragislah jika kita sendirian; jika kita tetap tidak menikah; jika kita menikah namun tidak terpuaskan sepenuhnya secara romantis dan seksual; jika tampang kita buruk; jika kita tidak sehat, tua dan renta.  Adalah jadi tragis jika kita terbelenggu oleh tugas dan komitmen yang membatasi kebebasan kita, tragislah jika kita ini miskin, tragislah jika hidup kita susah dan tidak dapat mencicipi semua kesenangan di dunia dan tak bisa memuaskan semua potensi yang ada dalam diri kita. Jika kita terobsesei dengan cara demikian, maka sangat sulit bagi kita untuk berdoa. Kita terlalu terfokus pada berbagai kerinduan kita sendiri sehingga tak bisa terbuka dan tak bisa menerima apapun.

ii)            Tidak sabar dan kurang murni hati.

                Di dalam budaya kita ada ketidakmampuan untuk menunggu, dan di dalam ketidaksabaran ini terdapat kekurangan dalam hal kemurnian hati, dan inilah yang langsung sangat merugikan hidup rohani. Dengan tak mau menunggu, tidak sabar, maka kita juga serentak mendorong hidup kita untuk menolak tak mau menunggu berbagai hal, tak mau hidup dalam tegangan, dan memastikan bahwa tak seorang pun dan tak ada sesuatu pun yang berhak untuk menyangkal keinginan kita.

                Akibat dari ketidaksabaran kita adalah sama saja di mana-mana. Kita menemukan akibat itu dalam ekonomi kita, dalam moralitas seksual kita dan dalam kecenderungan kita untuk berdasarkan hak meraup segalanya yang pada hakekatnya adalah anugerah.

                Kemurnian hati biasanya dipahami berhubungan dengan seks, tidak bernoda, suci, terkendali, atau bahkan selibat dalam hal seks. Namun pengertian  ini terlalu sempit. Kemurnian hati pertama-tama bukanlah konsep seksual. Tetapi kemurnian berhubungan dengan batas-batas dan ketepat-gunaan dari segala pengalaman, termasuk yang seksual. Menjadi murni hati berarti mengalami hal-hal, semua hal, dengan respek, dan mereguk pengalaman hanya jika sudah siap saja. Kita melanggar kemurnian jika mengalami apa pun tanpa sikap menghargai, atau jika terlalu dini. Sikap tidak hormat dan prematur tergesa-gesa merupakan pelanggaran terhadap kemurnian.

                Pengalaman bisa baik bisa buruk. Bisa merekat jiwa, bisa membuat ambyar cerai berai. Bisa menimbulkan kegembiraan, tetapi juga bisa menghasilkan kekacauan hati. Perjalanan, bacaan, prestasi, seks, mencoba hal baru, menerobos tabu-tabu, semuanya bisa baik jika dialami dengan sikap hormat dan pada saat yang tepat. Sebaliknya, semua itu bisa merobek jiwa (walaupun pada dirinya sendiri tidak salah) jika dialami secara tidak murni, yaitu, jika dialami dengan cara yang tidak menghargai yang lain, entah orang entah sesuatu, yang adalah subyek di dalam pengalaman itu, atau jika dengan tidak menghargai integritas diri kita sendiri.

                Kegalauan yang rumit tak terurai membuat kita jadi tidak sabaran secara tidak sehat akan pengalaman, dan hal ini sering membawa kita melampaui ambang kemurnian hati. Kerakusan dan ketidaksabaran mendorong kita ke arah pengalaman yang sifatnya prematur dan tidak bertanggungjawab. Ini bisa sangat pelik. Sebab kita bisa melakukan banyak hal yang sebenarnya tidak salah, namun pada akhirnya melanggar kemurnian hati. Maka misalnya, kita bisa menuruti saja ketidaksabaran dan permintaan anak-anak kita, dan memberikan kepada mereka setiap pengalaman yang mereka minta... tamasya pada usia yang sangat muda, segala macam barang konsumsi, membiarkan mereka menonton segala macam film dan video yang mereka inginkan, berpacaran pada usia dua belas tahun, melakukan seks ketika berusia enam belas tahun,... dan kemudian kita heran mengapa mereka bosan, sinis dan loyo tak punya semangat pada usia dua puluh tahun.

                Allan Bloom dalam komentarnya tentang situasi ini menyatakan bahwa kurangnya kesabaran dan kemurnian mengantar pada suatu situasi “eros yang lumpuh”. Bicara hanya dari sudut seorang humanis dan pendidik, bukan dari perspektif agama, ia menyatakan bahwa kita dilahirkan untuk suatu tujuan yang luhur. Diri kita dibina untuk tujuan itu. Kita diluncurkan ke dalam hidup dengan suatu kegilaan yang berasal dari ketidaklengkapan kita dan karenanya kita percaya bahwa kita dapat memeroleh keutuhan diri kita kembali dengan merangkul yang lain, mengabadikan benih kita, dan berkontemplasi pada Tuhan. Menurut Bloom kita telah mengecilkan makna kerinduan akan kepenuhan diri kita itu dan mengartikannya menjadi sesuatu yang lebih konkret, sesuatu yang kecil, sesuatu yang remeh. Bagi kita, kerinduan itu sekarang hanyalah tertuju pada hidup yang enak, sukses, kesenangan, hal-hal yang manis dalam hidup. Pada suatu tempat ia mengutip Plato (filsuf Yunani dari Atena, 428-348 sebelum Kristus) yang dalam karyanya, Symposium, menyuruh para muridnya duduk di sekelilingnya dan “menceritakan kisah yang indah tentang makna kerinduan yang abadi.” Bloom melaporkan bahwa para muridnya duduk di sekitar dan bercerita tentang kisah yang tidak indah tentang kerinduan seksual yang jauh lebih konkret disalurkan.

                Di dasar semua ini, menurut Bloom, adalah kurangnya kemurnian hati. Bicara di luar lingkup pertimbangan moralitas Kristiani, ia menyatakan bahwa ini merupakan pengalaman yang belum saatnya (prematur) dan tidak-integral (tidak menyumbang keutuhan jiwa), suatu kekurangan dalam hal kemurnian hati, yang sekarang membelah jiwa dan menumpulkan eros. Katanya, pengalaman yang prematur adalah buruk, persisnya karena pengalaman itu didapat sebelum saatnya tiba. Periode kerinduan yang berkembang sebenarnya dimaksudkan untuk sublimasi, dalam arti membuat jadi luhur, atas  pengarahan kecenderungan dan kerinduan jiwa muda menuju kasih yang luhur, seni yang luhur, prestasi yang luhur. Pengalaman yang prematur adalah seperti ekstase palsu karena narkotika yang di dalamnya “membuat rangsangan untuk mengeluarkan lenguh kepuasan yang secara alamiah terkait dengan diselesaikannya suatu usaha besar – seperti kemenangan yang didapat dari perang secara ksatria, perpaduan cinta yang total dalam sanggama, kreasi seni, devosi keagamaan, dan penemuan kebenaran.”  Kurangnya kemurnian mengakibatkan terkurasnya entusiasme dan harapan besar. Pada hal hal-halini hanya dapat dibina melalui sublimasi, tegangan dan penantian.

                Di dalam melukiskan hal ini Allan Bloom menceritakan pengalamannya sebagai seorang pengajar, yang mendapatkan para mahasiswanya megalami ketergantungan serius pada narkotika – dan setelah dapat mengatasinya – mereka kesulitan dalam membangun entusiasme dan pengharapan... “seolah-olah warna-warna menghilang dari hidup mereka dan semua yang mereka lihat dalam hidup ini hanya hitam dan putih...  Mereka berfungsi dengan baik, namun kering dan monoton. Energi mereka telah terserap habis, dan akhirnya mereka tidak mengharapkan kegiatan hidup mereka menghasilkan apa-apa selain sekadar hidup saja.”

                Satu generasi sebelumnya, Albert Camus menulis:  “Kemurnian hati sendiri terkait dengan kemajuan pribadi. Ada kalanya jika bergerak melampauinya, adalah suatu kemenangan – lepas dari  moral. Tetapi segera sesudah pencapaian semua terasa sebagai kekalahan.”

                Beberapa hal menjadi hambatan besar bagi hidup rohani seperti ketidaksabaran dan kurangnya kemurnian hati. Dan sesungguhnya, kesabaran dan kemurnian hati sendiri nyaris merupakan defisini dari kontemplasi dalam hidup rohani. Pengenalan dan penerimaan akan Tuhan sebagaimana jelas dalam pedagogi (pengajaran tentang) inkarnasi terkait dengan suatu pengalaman akan adven, suatu masa tegangan dan masa untuk hidup dalam kemurnian hati, untuk menyilakan Tuhan menjadi Tuhan dan kasih menjadi karunia.

iii)           Hilangnya kerohanian

Sokrates pernah menyatakan bahwa “hidup yang tidak disadari baik-baik tidaklah berharga untuk dijalani”. Namun belakangan ini, karena kegalauan kita, semakin berkurang dan makin sedikit dari kita yang meluangkan waktu untuk menyadari dengan baik hidup kita.

                Di dalam budaya kita justru yang semakin biasa adalah perhatian yang terpencar-pencar; sedang kontemplasi, kesunyian dan doa justru bukan barang biasa. Mengapa? Baik berdasarkan pilihan maupun ideologi, kita tidak dipersiapkan menghadapi kebudayaan yang melawan hidup rohani. Kita berbeda dari masa lalu, sebagaimana telah kita lihat dalam merenungkan pragmatisme, bukan karena keburukan kita, melainkan karena kesibukan kita. Kita lain dari mereka juga di dalam derajat kegalauan kita.

                Henri Nouwen melukiskan situasi galau kehidupan zaman sekarang sebagai berikut: Salah satu sifat yang paling jelas dari kehidupan sehari-hari kita adalah bahwa kita sibuk. Kita mengalami hari-hari kita penuh dengan agenda yang harus dikerjakan, orang yang harus ditemui, proyek yang harus diselesaikan, WA dan postingan yang harus ditulis, telepon yang harus dihubungi, janji temu yang harus dilakukan. Hidup kita sering seperti kopor yang penuh sesak dan jebol kelimannya. Kita selalu sadar bahwa telah terlambat di belakang jadwal. Kita terganggu oleh perasaan akan tugas yang belum selesai, janji yang belum dipenuhi, saran yang belum diwujudkan. Selalu masih ada hal lain yang harus diingat-ingat, yang harus diselesaikan atau dikatakan. Selalu masih ada orang yang kelupaan belum kita ajak bicara, belum kita tulisi surat, atau belum kita kunjungi. Maka walaupun kita sudah sangat sibuk, kita masih merasa belum sepenuhnya memenuhi kewajiban kita....

                Namun di dasar hidup kita yang terus galau gelisah itu ada sesuatu yang terus berlangsung. Sementara hati dan pikiran kita sarat dengan banyak hal, kita ragu apakah mampu memenuhi harapan yang membebani diri kita, baik harapan diri sendiri maupun harapan orang lain, kita punya perasaan yang mendalam tentang sesuatu yang belum tuntas. Sementara sibuk dan cemas oleh banyak hal, kita jarang merasa sungguh-sungguh puas, damai, kerasan. Suatu perasaan akan sesuatu yang belum tuntas terus mengusik di bawah hidup kita yang sibuk... Paradoks besar dari zaman kita adalah banyak di antara kita ini sibuk namun serentak dengan itu juga bosan. Sementara berlari dari satu hal kepada hal berikutnya, kita punya keraguan di dalam relung hati kita apakah segala sesuatu ini sungguh demikian. Sementara kita pontang-panting melaksanakan tugas dan kewajiban kita yang begitu banyak, kita tidak begitu yakin apakah semua itu ada bedanya dengan seandainya kita tidak melakukan apa-apa. Sementara orang terus mendesak kita ke segala jurusan, kita ragu apakah mereka itu sungguh peduli. Pendeknya, sementara hidup kita penuh sesak, kita tetap merasa kosong sebagian.

Perasaan “penuh sesak, namun kosong juga” berasal dari cara berada tanpa kerohanian yang dalam.  Bila tak pernah ada waktu dan ruang untuk berdiri di balik hidup kita sendiri dan merenungkannya, maka berbegai tekanan dan carut marut hidup begitu saja menelan kita, sampai kita kehilangan kendali akan hidup kita sendiri.

                Selain itu, kurangnya kerohanian ini sebagian besar merupakan buah dari galau resah-gelisah yang belum diatur dengan disiplin. Bila kita tidak suka merenung, itu jelas karena kegalauan kita kekurangan sikap asketis dan dengan demikian mendorong kita dihanyutkan arus kegiatan yang membuat kita sibuk dan mewarnai permukaan hidup, dengan kesibukan mata pencarian, dengan melakukan banyak hal, dengan banyak hal yang memerlukan perhatian, dan dengan hiburan. Kemudian tindakan-tindakan kita tidak lagi timbul dari suatu pusat yang ada dalam diri kita, sebaliknya merupakan hasil dari suatu paksaan. Kita melakukan banyak hal namun kita tak tahu lagi mengapa. Kita merasa terus-menerus tertekan, dijadikan korban dan begitu diburu-buru. Kita kelebihan pekerjaan, namun kita merasa bosan; kita banyak berhubungan dengan orang, namun sekali gus kesepian; dan kita bekerja hingga kehabisan daya, namun rasanya hidup kita terbuang percuma.

                Inilah hidup yang tidak disadari dengan baik-baik, seperti yang dikatakan Sokrates. Inilah yang tersirat dalam mitologi Yunani di dalam Mitos tentang Sisipus. Sisipus adalah seorang yang dipidana, karena alasan yang tidak baik, untuk memanggul batu ke atas bukit selamanya. Setiap kali ia hendak mencapai puncak bukit, batu itu menggelinding lagi ke kaki bukit dan ia harus memanggulnya naik lagi. Ini merupakan gambaran suatu frustrasi, gambaran melakukan pekerjaan yang sia-sia dan tak seorang pun kuasa menghentikannya. Ini juga merupakan suatu gambaran dari buah-buah hidup yang tidak kontemplatif.

                Resah-gelisah dan galau, tanpa renungan yang memadai, menghancurkan kontemplasi hidup rohani, dan serentak dengan itu kehilangan kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari. Mengapa? Karena jika kita bekerja terdorong keluar oleh kegalauan itu, bukan karena pusat yang benar dari diri kita, yang dalam perkataan Santo Agustinus adalah Tuhan yang bersemayam dalam diri kita, kita terasing di luar diri kita sendiri.

                “Berbahagialah yang murni hatinya, sebab mereka akan melihat Allah.” Apa yang menjadikan hati kita murni? Itu bukanlah semata-mata dosa, moral yang cacat, atau niat buruk. Narsisisme, pragmatisme dan kegalauan yang berlebihan dapat mengeruhkan kesadaran kita dan dapat menghambat kita melihat Tuhan di dalam kesadaran kita sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar