Perkawinan adalah kesatuan laki-laki dan perempuan yang diberkati Tuhan dari awal mula (Kej 2:23-24). Di Israel, perkawinan dilindungi dan diatur dengan Hukum (Kel 20:14.17; Im 20:10 dst). Perkawinan menurut Perjanjian Lama adalah suatu lembaga kodrati dan sah namun bukan suatu sakramen. Sebagai lembaga kodrati, kesatuan suami-isteri itu merupakan ikatan kesepakatan untuk memberi dan menerima hak satu sama lain untuk mempererat kasih mereka bersama dan mempunyai keturunan. Kristus mengangkat perkawinan menjadi sakramen sehingga suami-isteri menjadi tanda dan ikut serta dalam misteri ikatan kasih yang menghidupkan antara Kristus dan GerejaNya. Kisah Kitab Suci tentang perkawinan dimulai dari Tuhan yang menciptakan laki-laki dan perempuan dan menyatukan mereka, dan berakhir dengan kisah dalam kitab Wahyu tentang pesta jamuan nikah dari Gereja dan Anak Domba, dari Kristus dan GerejaNya (bdk Kej 1:26-27; 2:18-25; Why 19:7) (KGK 1602-1620).
I. Perkawinan Dalam Perjanjian
Lama
A. Tuhan Menciptakan Perkawinan
B. Kemerosotan dari Situasi Ideal
yang Primordial
C. Poligami
D. Perkawinan Dengan Bangsa Lain
E. Bagaimana Perkawinan Disiapkan
F. Hukum Melawan Perzinahan
G. Bagaimana Perkawinan Dirayakan
H. Perkawinan Menurut Hukum Levirat
I. Perkawinan
Sebagai Perjanjian
II. Perkawinan Dalam Perjanjian
Baru
A. Yesus Memulihkan Perkawinan yang
Ideal
B. Soal “Kecuali Karena Zinah”
C. Perkawinan Dalam Surat-surat
Paulus
D. Jamuan Pesta Nikah Anak Domba
I. Perkawinan Dalam Perjanjian Lama
A. Tuhan Menciptakan Perkawinan
Tuhan tidak ingin manusia sendirian
saja (Kej 2:18) dan karena itu menciptakan darinya seorang “penolong yang
sepadan” , yang adalah “daging dari dagingnya” (Kej 2:19-25), sehingga “seorang
laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Tuhan dengan demikian adalah
pengarang yang sesungguhnya dari perkawinan (bdk GS art 48) dan mengaturnya
dengan hukum-hukum yang sesuai dengan kodrat. Kendati perbedaan-perbedaan dalam
berbagai budaya dan dalam sejarh, perkawinan tidak semata-mata merupakan
pranata manusiawi belaka. Kesatuan pria dan wanita dipandang baik oleh Sang
Pencipta dan Tuhan memberkati pria dan wanita dan memberikan tugas khusus pada
mereka: supaya beranak cucu dan bertambah banyak dan menguasai dan memelihara
alam ciptaan (Kej 1:28.31).
Dari
awal mula, perkawinan dirancang sebagai kesatuan monogamis dari satu laki-laki
dan satu perempuan. Ikatan kesatuan mereka berdua, bersama dengan anak
keturunan mereka, merupakan dasar bagi tatanan yang baik dan stabilitas
masyarakat.
Kesatuan pria dan wanita dalam satu
daging dimaksudkan untuk selamanya dan tak terceraikan. Tetapi pranata
perkawinan menderita kerusakan karena konsekuensi Kejatuhan dalam dosa. Egoisme
dan kecurigaan merenggangkan hubungan di antara laki-laki dan wanita (Kej
3:12.16-19). Maka Hukum Musa memperbolehkan perceraian dan kawin lagi dalam
beberapa kesempatan sebagai kelonggaran atas kekerasan hati bangsa Israel (Ul
24:1-4). Namun bukan seperti itu norma awalnya (Mat 19:8), dan di kemudian hari
Kristus menyatakan bahwa “apa yang sudah disatukan Tuhan, jangan dicerikan oleh
manusia” (Mat 19:6; bdk 1 Kor 7:10-11). Poligami tidak dianjurkan (Im 18:18; Ul
17:17) dan hukum yang berusaha melindungi perkawinan ada banyak sekali (Kel
20|:17; 21:5; Im 18:6-20, 20:10; 21:13-14; Bil 5:11-31; Ul 5:21; 22:13-20).
Namun, norma monogami dengan segera
dilanggar dan poligami sudah tampak dari zaman yang sangat kuno. Keturunan
Kain, Lamekh, adalah bigamis pertama yang muncul dalam Kitab Suci: ia
mengambil Ada dan Zila menjadi isterinya (Kej 4:19-24). Abraham menikah
dengan Sara namun mempunyai anak dari hamba Sara, Hagar, dengan persetujuan
Sara (Kej 16:1-2; 25:6). Begitu pula Yakub menikahi kakak-adik Lea dan
Rahel (Kej 29:15-30) dan kemudian punya anak-anak dari hamba-hamba mereka
masing-masing, Bila dan Zilpa (Kej 30:1-8.9-13). Esau mempunyai tiga
isteri (Kej 26:34; 28:9; 36:2-3). Gideon menjadi ayah dari tujuhpuluh
anak dari isteri-isteri dan selir-selirnya (Hak 8:30-31).
Poligami
diakui dalam Hukum Musa (Kel 21:10; Im 18:18), dan hukum Deuteronomis (dari
kitab Ulangan) mengandaikan poligami dan berusaha mengatasi persaingan yang
mungkin timbul di antara para isteri dan keturunan (Ul 21:15-17).
Pada
masa kerajaan di Israel poligami yang berlebih-lebihan menjadi kebiasaan di
antara para bangsawan dan raja-raja (2 Sam 3:2-5; 1 Raj 11:3). Saul
mempunyai beberapa isteri dan selir (2 Sam 12:8). Daud disebutkan
mempuyai tujuh isteri yang diketahui namanya (1 Sam 25:42-44; 2 Sam 3:2-5) dan
beberapa yang tidak dikenal (2 Sam 5:13). Salomo mempunyai tujuh ratus
isteri dan tiga ratus selir (1 Raj 3:1; 11:3; Kid 6:8). Rehabeam
mempunyai delapan belas isteri dan enam puluh selir (2 Taw 11:21).
Tantangan
rumahtangga yang timbul atas poligami terbukti dari perselisihan interen di
dalam keluarga-keluarga poligamis, terutama kecemburuan Sara terhadap kesuburan
Hagar (Kej 16:4-6) dan irihati Rahel terhadap Lea (Kej 30:1); pembinasaan
ketujuhpuluh anak Gideon yang dilakukan Abimelekh, anak Gideon dari
seorang selir (Hak 9:1-50); berbagai intrik istana dalam masa pemerintahan Daud
(2 Sam 13; 1 Raj 1-2) dan Salomo (1 Raj 11).
D. Perkawinan Dengan Bangsa Lain
Ul 7:3 melarang kawin campur dengan
orang-orang suku Kanaan; akibatnya hal itu juga menyebabkan tidak diminatinya
perkawinan dengan bangsa-bangsa lain pada umumnya, walau selalu terjadi
kekecualian dalam sejarah Israel. Selanjutnya kitab Ulangan mengizinkan seorang
tentara mengambil isteri di antara para wanita tawanan perang (Ul 21:10-14) dan
beberapa ahli menyatakan bahwa juga diberikan izin (dalam Ul 23:7.8) untuk
menikah dengan suku Edom dan bangsa Mesir setelah generasi ketiga (namun
perkawinan dengan suku Amalek dilarang secara permanen, Ul 25:17-19). Di antara
tujuh ratus isteri dan tiga ratus selirnya, Salomo menikahi seorang wanita
Mesir puteri seorang Firaun, dan juga menikahi wanita-wanita Edom, Moab, Het
dan Sidon (1 Raj 11:1-3).
Pada
masa Ezra dan Nehemia menikahi wanita bangsa asing dilarang (Ezr 9-10; Neh
13:23-30). Poligami merosot pada masa sesudah Pembuangan.
Perkawinan dalam zaman Perjanjian Lama
biasanya diatur oleh keluarga-keluarga pihak mempelai laki-laki dan perempuan.
Berbagai budaya lain di Timur Dekat kuno melakukan hal yang serupa. Tata-aturan
perkawinan yang pertama kalinya tercatat dalam Perjanjian Lama adalah yang
diatur Hagar untuk Ismael (Kej 21:21). Kebanyakan pasangan menikah pada usaha
yang sangat muda, dengan pihak wanita menikah pada awal usia belasannya.
Mungkin saja perkawinan itu didasarkan pada cinta (Kej 29:20) seperti yang
diperlihatkan dalam perjodohan Daud dengan Mikhal (1 Sam 18:20.27). Kontrak di
antara keluarga-keluarga diselesaikan dan dimeteraikan dengan pembayaran suatu
mas kawin atau “tebusan pertunangan”. Jumlahnya tidak tentu, namun suatu
perkiraan kasar bisa dibuat berdasarkan Ul 22:28-29, yang menetapkan denda bagi
seorang laki-laki yang merusak keperawanan seorang wanita muda: “Apabila
seseorang bertemu dengan seorang gadis, yang masih perawan dan belum
bertunangan, memaksa gadis itu tidur dengan dia, dan keduanya kedapatan -- maka
haruslah laki-laki yang sudah tidur dengan gadis itu memberikan lima puluh
syikal perak kepada ayah gadis itu, dan gadis itu haruslah menjadi isterinya,
sebab laki-laki itu telah memperkosa dia; selama hidupnya tidak boleh laki-laki
itu menyuruh dia pergi.” Mungkin dapat disimpulkan bahwa mas kawin biasanya
kurang lebih sejumlah itu walaupun jumlahnya yang pasti dirundingkan (bdk Kej 24:53;
34:12; Kel 22:16; 1 Sam 18:25). Mas kawin juga bisa dibayar melalui kerja
bakti, seperti yang terjadi di antara Yakub dan Laban (Kej 29:18-20.27-30).
Besarnya pembayaran mas kawin tidak mengurangi martabat isteri menjadi setaraf
selir atau budak (bdk Kel 21:7-11); juga ada perbedaan yang jelas di antara
isteri dan selir, sekalipun keduanya (dalam kasus Salomo) jumlahnya begitu
banyak hingga sungguh sangat berlebihan.
Hukum Musa membuat kodifikasi peraturan
hukum yang melawan ketidak setiaan pasangan yang sudah menikah, dan bahkan
pasangan-pasangan yang sudah dituangkan namun belum tinggal bersama sebagai
suami-isteri. Tunangan diatur dalam peraturan hukum khusus yang diuraikan dalam
Ul 22:23-27. Hukum ini mengandaikan tunangan sudah menikah secara hukum,
sehingga terjadinya hubungan seksual dengan wanita yang sudah bertunangan oleh
lelaki yang bukan tunangannya dianggap zinah dan diancam dengan hukuman mati
dengan dilempari batu (Ul 22:23-24). Melalui perluasan pengertian ini, hubungan
seksual di antara pasangan yang bertunangan, walaupun tidak dianjurkan sebelum
mereka tinggal serumah, tidak dianggap zinah karena mereka sudah diikat oleh
persetujuan bersama. Jika seorang wanita yang sudah terikat pertunangan
diperkosa di luar kota – ia tidak dihukum; hanya yang laki-laki yang dihukum
mati. Tetapi jika wanita yang bertunangan tidur dengan seorang laki-laki di
dalam kota dan ia tidak berteriak minta tolong, maka ia dianggap bersalah dan
keduanya dapat dihukum mati (Ul 22:23-27).
Perzinahan
dilarang dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:14; Ul 5:18) dan kemudian nanti
oleh hukum berikutnya dari Pentateukh (Im 18:20; Ul 22:22), walau di abad-abad
berikutnya hukuman mati tidak diterapkan, kadang-kadang karena kendala politik
(Yoh 18:31).
Upacara perkawinan di Israel kuno tidak
diketahui dengan pasti, namun beberapa detilnya bisa digambarkan. Untuk
menunjukkan maksudnya hendak menikah dengan seorang wanita, seorang lelaki
meletakkan sesuatu dari pakaiannya atas wanita itu (Rut 3:9; Yeh 16:18).
Sesudah suatu lamaran resmi (Kej 24:63-67) dan biasanya sesudah suatu masa
pertunangan, dilakukan suatu arak-arakan perkawinan, di mana mempelai laki-laki
menjemput mempelai perempuan, yang menunggunya dengan berdandan mengenakan baju
yang terbaik dan mengenakan selubung (Kid 3:11; 4:11; 6:7; Mzm 45:15; Yes
61:10; 1 Mak 9:37; Mat 9:15). Pesta berikutnya bisa berlangsung sepekan penuh
(Kej 29:27; Hak 14:12) atau malah dua pekan (Tob 8:20; 10:7). Perkawinan
dilengkapkan dengan hubungan seksual pada malam perkawinan (Kej 29:21-23; Tob
8:1-8).
Perkawinan di antara kerabat dekat
dilarang (Im 18:6-18) walaupun hukum perkawinan Levirat (dari bahasa
Latin levir, artinya “ipar”) menganjurkan seorang saudara mengawini
janda mendiang saudaranyanya untuk memberikan keturunan dan melanjutkan namanya
(Ul 25:5-10). Jika tidak ada saudara kandung yang masih hidup maka kerabat yang
terdekat dapat memikul tanggungjawab ini (Rut 3;12; 4:4-10).
Im
18:6 dan 20:21 melarang hubungan seks dengan ipar wanita. Kelihatannya ini
kontradiktif dengan hukum perkawinan levirat, namun kitab Ulangan
mengandaikan situasi (prasyarat) di mana suami dari ipar wanita itu mati tanpa
meninggalkan anak laki-laki pewaris; hanya jika demikianlah maka seorang
saudara dapat menikahi janda saudaranya. Pertanyaan orang Saduki kepada Yesus
mengenai wanita tanpa anak yang menikah berturut-turut dengan enam orang
saudara dari mendiang suaminya (Mat 22:23-33; Mrk 12:18-23; Luk 20:27-33) tidak
serta merta membuktikan kelangsungan praktek hukum perkawinan levirat di
masa Perjanjian Baru. Pertanyaan itu
hanya bersifat ujian kecerdasan belaka.
Bagi para nabi,
perkawinan yang sebenarnya juga merupakan suatu perjanjian di Israel (Mal
2:14), perkawinan juga merupakan kiasan hubungan perjanjian antara Tuhan dan
umat pilihanNya. Dalam hubungan itu, Tuhan
sebagai mempelai pria dan Israel sebagai mempelai wanita, tersirat di dalam Pentateukh,
khususnya di mana Tuhan digambarkan “cemburu” (Kel 20:5; 34:14; Bil 5:14.30).
Apa yang tersirat dalam Pentateukh selanjutnya diungkapkan secara eksplisit
oleh para nabi. Hos 2 dan 3 misalnya, menekankan kasih dan kesetiaan Tuhan
pengantin ilahi, dan kesabaranNya yang tak terbatas menghadapi penyelewengan
isterinya, Israel. Gambaran serupa digunakan dalam tulisan nabi-nabi lainnya
(Yes 54:3; 62:5; Yer 2:2; 3:20; Yeh 16:8-14).
A. Yesus Memulihkan Perkawinan yang
Ideal
Dalam perjamuan nikah di Kana, Yesus
melakukan tanda ajaibNya (mujizat) yang pertama atas permintaan ibuNya (Yoh
2:1-11). Kehadiran Yesus di dalam pesta nikah itu menyiratkan penghargaanNya
pada pranata perkawinan dan dari situ membangun dasar ajaran selanjutnya.
Tafsir tradisional menyatakan bahwa Yesus menguduskan perkawinan dengan hadir
dalam pesta nikah di Kana, dan memberikan berkatNya pada perayaan pesta itu
(berupa anggur yang baik).
Yesus
memulihkan makna asli perkawinan seperti yang dikehendaki oleh Sang Pencipta
dalam Kej 2:18-25. Ia menentang zinah melalui ajaranNya dalam Khotbah di Bukit
(Mat 5:27-28) dan di tempat lain Ia berbicara tentang kewajiban anak-anak
menghormati orangtua (Mat 19:16-22; Mrk 10:17-22; Luk 18:18-23). Yang terutama,
Ia menebus perkawinan dari situasi dosa yang merusaknya selama berabad-abad,
khususnya sehubungan dengan perceraian (Mat 19:8). Ia menyatakan sifat ikatan
perkawinan yang tak terceraikan: “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:6; bdk Mat 5:32; Mrk 10:9; Luk 16:18).
Cita-cita
monogami sepanjang hayat bukanlah beban yang mustahil. Sebaliknya, itu
merupakan salah satu aspek pemuridan yang bisa dilakukan dengan mengikuti
Kristus, yang datang untuk memulihkan tata ciptaan yang asali (Mat 11:29-30;
19:11). Dengan hidup dalam Kristus dan dibantu oleh rahmatNya, suatu pasangan
yang menikah dapat hidup setia pada ciptaan baru (Ef 5:21-33) (KGK 1615-1616).
Dalam Mat 19:9 Yesus berkata kepada
orang Farisi: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan
isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa
yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (Mat 5:32; teks
dalam Mrk 10:11 dan Luk 16:18 tidak mengandung kekecualian). Apakah ini berarti
bahwa Yesus mengizinkan perceraian dalam situasi tertentu?
Pertama
kita perlu memahami latar belakang ajaran Yahudi tentang perceraian. Sebab ada
banyak sekali kontroversi di kalangan Yahudi mengenai dasar-dasar yang sah bagi
perceraian yang dibolehkan dalam Ul 24:1-4. Perbantahan berkisar di seputar
pernyataan yang kabur mengenai “yang tidak senonoh” (Ul 24:1). Aliran rabi
Hilel menyatakan bahwa seorang laki-laki boleh menceraikan sisterinya untuk
alasan apapun [bahasa Ibrani : ‘erwath dabar] yang bisa dibayangkan.
Tetapi aliran Syamai membatasi dasar yang sah bagi perceraian hanya karena
penyelewengan dari perkawinan dalm arti zinah. Kemudian Yesus ternyata tidak
hanya tak mau berpihak dalam perbantahan ini tetapi Ia lebih jauh lagi
menganggap soal itu tidak relevan dan sudah kuno. Maksudnya, pertama-tama ia
membatalkan aturan Musa yang membolehkan perceraian (Ul 24:14), dengan
menyatakan bahwa perceraian hanyalah kelonggaran sementara yang diberikan demi
kekerasan hati Israel (Mat 19:8).
Kedua,
kita perlu memeriksa kata-kata Yesus sendiri, karena jika Yesus membatalkan hak
untuk bercerai dan menikah lagi, maka tafsiran atas perkataanNya dalam Mat 19:9
harus sesuai dengan maksud itu. Kata-kata yang diterjemahkan dengan “kecuali
karena zinah” (bahasa Yunani porneia) merujuk pada “perilaku seksual
yang menyimpang” secara umum. Dalam konteks yang berbeda hal itu bisa berarti percabulan
(1 Kor 5:1), perzinahan (Sir 23:23) bahkan hubungan sekerabat atau
incest (1 Kor 5:1). Dengan demikian tafsir Kristen memahami “klausul
kekecualian” dalam Mat 5:32 dan 19:9 itu secara berbeda:
1.
Dalam kalangan patristik diyakini bahwa Yesus membolehkan perceraian jika salah
satu pasangan berzinah, tetapi pasangan yang bercerai tidak diperbolehkan
menikah lagi selama yang satu masih hidup. Dengan kata lain, ada kekecualian
untuk bercerai, tetapi tidak ada kekecualian dalam hal larangan menikah lagi
bagi mereka yang telah bercerai.
2.
Dalam pemikiran Santo Agustinus, klausul kekecualian itu sebenarnya semata-mata
penegasan sesuatu yang sudah dalu-warsa. Perkataan “kecuali karena zinah”
ditafsirkan “lepas sama sekali dari hukum perceraian dalam kitab Ulangan dan
perbantahan kaum Farisi mengenai maknanya”. Menurut tafsir ini Yesus mengabaikan
soal itu karena dianggap sudah daluwarsa dan tidak relevan dengan ajaranNya
sendiri.
3.
Para ahli modern umumnya lebih suka menafsirkan Yesus dengan cara lain. Karena
istilah pokok “tidak senonoh” bisa berarti ikatan incest (sedarah), dikatakan
bahwa Yesus membolehkan bahkan mengharuskan perkawinan yang melanggar hukum itu
diakhiri – yaitu ikatan di antara orang-orang yang hubungan kekerabatannya
terlalu dekat (untuk tingkatan-tingkatan semenda atau sedarah yang dimaksudkan,
lihat Im 18:6-18). Dalam situasi ini, baik laki-laki maupun wanita bebas untuk
mendapatkan pasangan baru karena pada hakekatnya mereka tidak pernah
sungguh-sungguh menikah.
Maka,
tidak peduli apakah suatu perceraian yang sah ataukah semata-mata hanya
pembatalan suatu hubungan yang cacat dari awalnya, yang jelas dalam Perjanjian
Baru tidak ada dasar yang menyatakan bahwa Yesus membolehkan pasangan yang
telah menikah bercerai dan kawin lagi. (KGK 1638-1640, 1644-1645, 2367; bdk KHK
1141-1155).
Nasehat pastoral Paulus mengenai
perkawinan, selibat dan keadaan menjanda/duda tampak terpusat dalam 1 Kor
7:1-40. Paulus jelas-jelas menganggap keperawanan merupakan status hidup yang
lebih unggul daripada perkawinan (mis 1 Kor 7:32-35), tetapi perkawinan adalah
wajar dan merupakan suatu penawar bagi sikap melawan moral (1 Kor 7:2-5; bdk 1
Tes 4:3-8). Status menikah adalah penyerahan diri timbal balik antara suami dan
isteri (1 Kor 7:3-4). Paulus mengemukakan lagi ajaran Kristus mengenai
perceraian, dengan menegaskan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan sepanjang
hayat yang hanya bisa diceraikan oleh kematian (1 Kor 7:10-11.39; bdk Rm 7:2-3)
(KGK 2364, 2382). Ia juga membahas perbedaan agama (yaitu perkawinan antara
seorang yang dibaptis Kristen dan orang yang beragama lain, 1 Kor 7:12), yang
dikenal sebagai Privilese Paulus, dengan mana dalam keadaan tertentu seorang
Kristen dapat dibebaskan dari suatu perkawinan dengan seorang yang buan Kristen
(1 Kor 7:15).
Teologi
perkawinan Kristen dari Paulus terutama dikemukakan dalam Ef 5:22-23. Ia
mengembangkan tema teologis dari Perjanjian Lama yang mengaitkan perkawinan
dengan perjanjian antara Israel dan Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, tema ini
diubah menjadi citra Gereja dan Kristus sebagai mempelai perempuan dan laki-laki.
“Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri
kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana
Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef
5:24-25). Mengingatkan ajaran kitab Kejadian bahwa keduanya menjadi satu
daging, Paulus menambahkan “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah
hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:32) (KGK 1616).
Gereja sebagai mempelai wanita juga
ditemukan pada puncak kitab Wahyu. Jamuan pesta nikah Anak Domba tampak
merupakan penggenapan yang tertinggi dari perjanjian kekal yang telah
dipersiapkan dalam sejarah dengan perjanjian di antara Tuhan dan Israel.
Gereja, “yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk
suaminya” (Why 21:2) diantar kepada suaminya dalam “perkawinan Anak Domba” (Why
19:7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar