Daftar Blog Saya

Senin, 31 Oktober 2022

PERKAWINAN DALAM KITAB SUCI

 


Perkawinan adalah kesatuan laki-laki dan perempuan yang diberkati Tuhan dari awal mula (Kej 2:23-24). Di Israel, perkawinan dilindungi dan diatur dengan Hukum (Kel 20:14.17; Im 20:10 dst). Perkawinan menurut Perjanjian Lama adalah suatu lembaga kodrati dan sah namun bukan suatu sakramen. Sebagai lembaga kodrati, kesatuan suami-isteri itu merupakan ikatan kesepakatan untuk memberi dan menerima hak satu sama lain untuk mempererat kasih mereka bersama dan mempunyai keturunan. Kristus mengangkat perkawinan menjadi sakramen sehingga suami-isteri menjadi tanda dan ikut serta dalam misteri ikatan kasih yang menghidupkan antara Kristus dan GerejaNya. Kisah Kitab Suci tentang perkawinan dimulai dari Tuhan yang menciptakan laki-laki dan perempuan dan menyatukan mereka, dan berakhir dengan kisah dalam kitab Wahyu tentang pesta jamuan nikah dari Gereja dan Anak Domba, dari Kristus dan GerejaNya (bdk Kej 1:26-27; 2:18-25; Why 19:7) (KGK 1602-1620).

 

I. Perkawinan Dalam Perjanjian Lama

A. Tuhan Menciptakan Perkawinan

B. Kemerosotan dari Situasi Ideal yang Primordial

C. Poligami

D. Perkawinan Dengan Bangsa Lain

E. Bagaimana Perkawinan Disiapkan

F. Hukum Melawan Perzinahan

G. Bagaimana Perkawinan Dirayakan

H. Perkawinan Menurut Hukum Levirat

I. Perkawinan Sebagai Perjanjian

II. Perkawinan Dalam Perjanjian Baru

A. Yesus Memulihkan Perkawinan yang Ideal

B. Soal “Kecuali Karena Zinah”

C. Perkawinan Dalam Surat-surat Paulus

D. Jamuan Pesta Nikah Anak Domba

 

I. Perkawinan Dalam Perjanjian Lama

A. Tuhan Menciptakan Perkawinan

Tuhan tidak ingin manusia sendirian saja (Kej 2:18) dan karena itu menciptakan darinya seorang “penolong yang sepadan” , yang adalah “daging dari dagingnya” (Kej 2:19-25), sehingga “seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, keduanya menjadi satu daging” (Kej 2:24). Tuhan dengan demikian adalah pengarang yang sesungguhnya dari perkawinan (bdk GS art 48) dan mengaturnya dengan hukum-hukum yang sesuai dengan kodrat. Kendati perbedaan-perbedaan dalam berbagai budaya dan dalam sejarh, perkawinan tidak semata-mata merupakan pranata manusiawi belaka. Kesatuan pria dan wanita dipandang baik oleh Sang Pencipta dan Tuhan memberkati pria dan wanita dan memberikan tugas khusus pada mereka: supaya beranak cucu dan bertambah banyak dan menguasai dan memelihara alam ciptaan (Kej 1:28.31).

      Dari awal mula, perkawinan dirancang sebagai kesatuan monogamis dari satu laki-laki dan satu perempuan. Ikatan kesatuan mereka berdua, bersama dengan anak keturunan mereka, merupakan dasar bagi tatanan yang baik dan stabilitas masyarakat.

 B. Kemerosotan dari Situasi Ideal yang Primordial

Kesatuan pria dan wanita dalam satu daging dimaksudkan untuk selamanya dan tak terceraikan. Tetapi pranata perkawinan menderita kerusakan karena konsekuensi Kejatuhan dalam dosa. Egoisme dan kecurigaan merenggangkan hubungan di antara laki-laki dan wanita (Kej 3:12.16-19). Maka Hukum Musa memperbolehkan perceraian dan kawin lagi dalam beberapa kesempatan sebagai kelonggaran atas kekerasan hati bangsa Israel (Ul 24:1-4). Namun bukan seperti itu norma awalnya (Mat 19:8), dan di kemudian hari Kristus menyatakan bahwa “apa yang sudah disatukan Tuhan, jangan dicerikan oleh manusia” (Mat 19:6; bdk 1 Kor 7:10-11). Poligami tidak dianjurkan (Im 18:18; Ul 17:17) dan hukum yang berusaha melindungi perkawinan ada banyak sekali (Kel 20|:17; 21:5; Im 18:6-20, 20:10; 21:13-14; Bil 5:11-31; Ul 5:21; 22:13-20).

 C. Poligami

Namun, norma monogami dengan segera dilanggar dan poligami sudah tampak dari zaman yang sangat kuno. Keturunan Kain, Lamekh, adalah bigamis pertama yang muncul dalam Kitab Suci: ia mengambil Ada dan Zila menjadi isterinya (Kej 4:19-24). Abraham menikah dengan Sara namun mempunyai anak dari hamba Sara, Hagar, dengan persetujuan Sara (Kej 16:1-2; 25:6). Begitu pula Yakub menikahi kakak-adik Lea dan Rahel (Kej 29:15-30) dan kemudian punya anak-anak dari hamba-hamba mereka masing-masing, Bila dan Zilpa (Kej 30:1-8.9-13). Esau mempunyai tiga isteri (Kej 26:34; 28:9; 36:2-3). Gideon menjadi ayah dari tujuhpuluh anak dari isteri-isteri dan selir-selirnya (Hak 8:30-31).

      Poligami diakui dalam Hukum Musa (Kel 21:10; Im 18:18), dan hukum Deuteronomis (dari kitab Ulangan) mengandaikan poligami dan berusaha mengatasi persaingan yang mungkin timbul di antara para isteri dan keturunan (Ul 21:15-17).

      Pada masa kerajaan di Israel poligami yang berlebih-lebihan menjadi kebiasaan di antara para bangsawan dan raja-raja (2 Sam 3:2-5; 1 Raj 11:3). Saul mempunyai beberapa isteri dan selir (2 Sam 12:8). Daud disebutkan mempuyai tujuh isteri yang diketahui namanya (1 Sam 25:42-44; 2 Sam 3:2-5) dan beberapa yang tidak dikenal (2 Sam 5:13). Salomo mempunyai tujuh ratus isteri dan tiga ratus selir (1 Raj 3:1; 11:3; Kid 6:8). Rehabeam mempunyai delapan belas isteri dan enam puluh selir (2 Taw 11:21).

      Tantangan rumahtangga yang timbul atas poligami terbukti dari perselisihan interen di dalam keluarga-keluarga poligamis, terutama kecemburuan Sara terhadap kesuburan Hagar (Kej 16:4-6) dan irihati Rahel terhadap Lea (Kej 30:1); pembinasaan ketujuhpuluh anak Gideon yang dilakukan Abimelekh, anak Gideon dari seorang selir (Hak 9:1-50); berbagai intrik istana dalam masa pemerintahan Daud (2 Sam 13; 1 Raj 1-2) dan Salomo (1 Raj 11).



 D. Perkawinan Dengan Bangsa Lain

Ul 7:3 melarang kawin campur dengan orang-orang suku Kanaan; akibatnya hal itu juga menyebabkan tidak diminatinya perkawinan dengan bangsa-bangsa lain pada umumnya, walau selalu terjadi kekecualian dalam sejarah Israel. Selanjutnya kitab Ulangan mengizinkan seorang tentara mengambil isteri di antara para wanita tawanan perang (Ul 21:10-14) dan beberapa ahli menyatakan bahwa juga diberikan izin (dalam Ul 23:7.8) untuk menikah dengan suku Edom dan bangsa Mesir setelah generasi ketiga (namun perkawinan dengan suku Amalek dilarang secara permanen, Ul 25:17-19). Di antara tujuh ratus isteri dan tiga ratus selirnya, Salomo menikahi seorang wanita Mesir puteri seorang Firaun, dan juga menikahi wanita-wanita Edom, Moab, Het dan Sidon (1 Raj 11:1-3).

      Pada masa Ezra dan Nehemia menikahi wanita bangsa asing dilarang (Ezr 9-10; Neh 13:23-30). Poligami merosot pada masa sesudah Pembuangan.

 E. Bagaimana Perkawinan Disiapkan

Perkawinan dalam zaman Perjanjian Lama biasanya diatur oleh keluarga-keluarga pihak mempelai laki-laki dan perempuan. Berbagai budaya lain di Timur Dekat kuno melakukan hal yang serupa. Tata-aturan perkawinan yang pertama kalinya tercatat dalam Perjanjian Lama adalah yang diatur Hagar untuk Ismael (Kej 21:21). Kebanyakan pasangan menikah pada usaha yang sangat muda, dengan pihak wanita menikah pada awal usia belasannya. Mungkin saja perkawinan itu didasarkan pada cinta (Kej 29:20) seperti yang diperlihatkan dalam perjodohan Daud dengan Mikhal (1 Sam 18:20.27). Kontrak di antara keluarga-keluarga diselesaikan dan dimeteraikan dengan pembayaran suatu mas kawin atau “tebusan pertunangan”. Jumlahnya tidak tentu, namun suatu perkiraan kasar bisa dibuat berdasarkan Ul 22:28-29, yang menetapkan denda bagi seorang laki-laki yang merusak keperawanan seorang wanita muda: “Apabila seseorang bertemu dengan seorang gadis, yang masih perawan dan belum bertunangan, memaksa gadis itu tidur dengan dia, dan keduanya kedapatan -- maka haruslah laki-laki yang sudah tidur dengan gadis itu memberikan lima puluh syikal perak kepada ayah gadis itu, dan gadis itu haruslah menjadi isterinya, sebab laki-laki itu telah memperkosa dia; selama hidupnya tidak boleh laki-laki itu menyuruh dia pergi.” Mungkin dapat disimpulkan bahwa mas kawin biasanya kurang lebih sejumlah itu walaupun jumlahnya yang pasti dirundingkan (bdk Kej 24:53; 34:12; Kel 22:16; 1 Sam 18:25). Mas kawin juga bisa dibayar melalui kerja bakti, seperti yang terjadi di antara Yakub dan Laban (Kej 29:18-20.27-30). Besarnya pembayaran mas kawin tidak mengurangi martabat isteri menjadi setaraf selir atau budak (bdk Kel 21:7-11); juga ada perbedaan yang jelas di antara isteri dan selir, sekalipun keduanya (dalam kasus Salomo) jumlahnya begitu banyak hingga sungguh sangat berlebihan.

 F. Hukum Melawan Perzinahan

Hukum Musa membuat kodifikasi peraturan hukum yang melawan ketidak setiaan pasangan yang sudah menikah, dan bahkan pasangan-pasangan yang sudah dituangkan namun belum tinggal bersama sebagai suami-isteri. Tunangan diatur dalam peraturan hukum khusus yang diuraikan dalam Ul 22:23-27. Hukum ini mengandaikan tunangan sudah menikah secara hukum, sehingga terjadinya hubungan seksual dengan wanita yang sudah bertunangan oleh lelaki yang bukan tunangannya dianggap zinah dan diancam dengan hukuman mati dengan dilempari batu (Ul 22:23-24). Melalui perluasan pengertian ini, hubungan seksual di antara pasangan yang bertunangan, walaupun tidak dianjurkan sebelum mereka tinggal serumah, tidak dianggap zinah karena mereka sudah diikat oleh persetujuan bersama. Jika seorang wanita yang sudah terikat pertunangan diperkosa di luar kota – ia tidak dihukum; hanya yang laki-laki yang dihukum mati. Tetapi jika wanita yang bertunangan tidur dengan seorang laki-laki di dalam kota dan ia tidak berteriak minta tolong, maka ia dianggap bersalah dan keduanya dapat dihukum mati (Ul 22:23-27).

      Perzinahan dilarang dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:14; Ul 5:18) dan kemudian nanti oleh hukum berikutnya dari Pentateukh (Im 18:20; Ul 22:22), walau di abad-abad berikutnya hukuman mati tidak diterapkan, kadang-kadang karena kendala politik (Yoh 18:31).

 G. Bagaimana Perkawinan Dirayakan

Upacara perkawinan di Israel kuno tidak diketahui dengan pasti, namun beberapa detilnya bisa digambarkan. Untuk menunjukkan maksudnya hendak menikah dengan seorang wanita, seorang lelaki meletakkan sesuatu dari pakaiannya atas wanita itu (Rut 3:9; Yeh 16:18). Sesudah suatu lamaran resmi (Kej 24:63-67) dan biasanya sesudah suatu masa pertunangan, dilakukan suatu arak-arakan perkawinan, di mana mempelai laki-laki menjemput mempelai perempuan, yang menunggunya dengan berdandan mengenakan baju yang terbaik dan mengenakan selubung (Kid 3:11; 4:11; 6:7; Mzm 45:15; Yes 61:10; 1 Mak 9:37; Mat 9:15). Pesta berikutnya bisa berlangsung sepekan penuh (Kej 29:27; Hak 14:12) atau malah dua pekan (Tob 8:20; 10:7). Perkawinan dilengkapkan dengan hubungan seksual pada malam perkawinan (Kej 29:21-23; Tob 8:1-8).

 H. Perkawinan Menurut Hukum Levirat

Perkawinan di antara kerabat dekat dilarang (Im 18:6-18) walaupun hukum perkawinan Levirat (dari bahasa Latin levir, artinya “ipar”) menganjurkan seorang saudara mengawini janda mendiang saudaranyanya untuk memberikan keturunan dan melanjutkan namanya (Ul 25:5-10). Jika tidak ada saudara kandung yang masih hidup maka kerabat yang terdekat dapat memikul tanggungjawab ini (Rut 3;12; 4:4-10).

      Im 18:6 dan 20:21 melarang hubungan seks dengan ipar wanita. Kelihatannya ini kontradiktif dengan hukum perkawinan levirat, namun kitab Ulangan mengandaikan situasi (prasyarat) di mana suami dari ipar wanita itu mati tanpa meninggalkan anak laki-laki pewaris; hanya jika demikianlah maka seorang saudara dapat menikahi janda saudaranya. Pertanyaan orang Saduki kepada Yesus mengenai wanita tanpa anak yang menikah berturut-turut dengan enam orang saudara dari mendiang suaminya (Mat 22:23-33; Mrk 12:18-23; Luk 20:27-33) tidak serta merta membuktikan kelangsungan praktek hukum perkawinan levirat di masa Perjanjian Baru.  Pertanyaan itu hanya bersifat ujian kecerdasan belaka.

 I. Perkawinan Sebagai Perjanjian

Bagi para nabi, perkawinan yang sebenarnya juga merupakan suatu perjanjian di Israel (Mal 2:14), perkawinan juga merupakan kiasan hubungan perjanjian antara Tuhan dan umat pilihanNya. Dalam hubungan itu, Tuhan sebagai mempelai pria dan Israel sebagai mempelai wanita, tersirat di dalam Pentateukh, khususnya di mana Tuhan digambarkan “cemburu” (Kel 20:5; 34:14; Bil 5:14.30). Apa yang tersirat dalam Pentateukh selanjutnya diungkapkan secara eksplisit oleh para nabi. Hos 2 dan 3 misalnya, menekankan kasih dan kesetiaan Tuhan pengantin ilahi, dan kesabaranNya yang tak terbatas menghadapi penyelewengan isterinya, Israel. Gambaran serupa digunakan dalam tulisan nabi-nabi lainnya (Yes 54:3; 62:5; Yer 2:2; 3:20; Yeh 16:8-14).

 II. Perkawinan Dalam Perjanjian Baru

A. Yesus Memulihkan Perkawinan yang Ideal

Dalam perjamuan nikah di Kana, Yesus melakukan tanda ajaibNya (mujizat) yang pertama atas permintaan ibuNya (Yoh 2:1-11). Kehadiran Yesus di dalam pesta nikah itu menyiratkan penghargaanNya pada pranata perkawinan dan dari situ membangun dasar ajaran selanjutnya. Tafsir tradisional menyatakan bahwa Yesus menguduskan perkawinan dengan hadir dalam pesta nikah di Kana, dan memberikan berkatNya pada perayaan pesta itu (berupa anggur yang baik).

      Yesus memulihkan makna asli perkawinan seperti yang dikehendaki oleh Sang Pencipta dalam Kej 2:18-25. Ia menentang zinah melalui ajaranNya dalam Khotbah di Bukit (Mat 5:27-28) dan di tempat lain Ia berbicara tentang kewajiban anak-anak menghormati orangtua (Mat 19:16-22; Mrk 10:17-22; Luk 18:18-23). Yang terutama, Ia menebus perkawinan dari situasi dosa yang merusaknya selama berabad-abad, khususnya sehubungan dengan perceraian (Mat 19:8). Ia menyatakan sifat ikatan perkawinan yang tak terceraikan: “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:6; bdk Mat 5:32; Mrk 10:9; Luk 16:18).

      Cita-cita monogami sepanjang hayat bukanlah beban yang mustahil. Sebaliknya, itu merupakan salah satu aspek pemuridan yang bisa dilakukan dengan mengikuti Kristus, yang datang untuk memulihkan tata ciptaan yang asali (Mat 11:29-30; 19:11). Dengan hidup dalam Kristus dan dibantu oleh rahmatNya, suatu pasangan yang menikah dapat hidup setia pada ciptaan baru (Ef 5:21-33) (KGK 1615-1616).



 B. Soal “Kecuali Karena zinah”

Dalam Mat 19:9 Yesus berkata kepada orang Farisi: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah” (Mat 5:32; teks dalam Mrk 10:11 dan Luk 16:18 tidak mengandung kekecualian). Apakah ini berarti bahwa Yesus mengizinkan perceraian dalam situasi tertentu?

      Pertama kita perlu memahami latar belakang ajaran Yahudi tentang perceraian. Sebab ada banyak sekali kontroversi di kalangan Yahudi mengenai dasar-dasar yang sah bagi perceraian yang dibolehkan dalam Ul 24:1-4. Perbantahan berkisar di seputar pernyataan yang kabur mengenai “yang tidak senonoh” (Ul 24:1). Aliran rabi Hilel menyatakan bahwa seorang laki-laki boleh menceraikan sisterinya untuk alasan apapun [bahasa Ibrani : ‘erwath dabar] yang bisa dibayangkan. Tetapi aliran Syamai membatasi dasar yang sah bagi perceraian hanya karena penyelewengan dari perkawinan dalm arti zinah. Kemudian Yesus ternyata tidak hanya tak mau berpihak dalam perbantahan ini tetapi Ia lebih jauh lagi menganggap soal itu tidak relevan dan sudah kuno. Maksudnya, pertama-tama ia membatalkan aturan Musa yang membolehkan perceraian (Ul 24:14), dengan menyatakan bahwa perceraian hanyalah kelonggaran sementara yang diberikan demi kekerasan hati Israel (Mat 19:8).

      Kedua, kita perlu memeriksa kata-kata Yesus sendiri, karena jika Yesus membatalkan hak untuk bercerai dan menikah lagi, maka tafsiran atas perkataanNya dalam Mat 19:9 harus sesuai dengan maksud itu. Kata-kata yang diterjemahkan dengan “kecuali karena zinah” (bahasa Yunani porneia) merujuk pada “perilaku seksual yang menyimpang” secara umum. Dalam konteks yang berbeda hal itu bisa berarti percabulan (1 Kor 5:1), perzinahan (Sir 23:23) bahkan hubungan sekerabat atau incest (1 Kor 5:1). Dengan demikian tafsir Kristen memahami “klausul kekecualian” dalam Mat 5:32 dan 19:9 itu secara berbeda:

      1. Dalam kalangan patristik diyakini bahwa Yesus membolehkan perceraian jika salah satu pasangan berzinah, tetapi pasangan yang bercerai tidak diperbolehkan menikah lagi selama yang satu masih hidup. Dengan kata lain, ada kekecualian untuk bercerai, tetapi tidak ada kekecualian dalam hal larangan menikah lagi bagi mereka yang telah bercerai.

      2. Dalam pemikiran Santo Agustinus, klausul kekecualian itu sebenarnya semata-mata penegasan sesuatu yang sudah dalu-warsa. Perkataan “kecuali karena zinah” ditafsirkan “lepas sama sekali dari hukum perceraian dalam kitab Ulangan dan perbantahan kaum Farisi mengenai maknanya”. Menurut tafsir ini Yesus mengabaikan soal itu karena dianggap sudah daluwarsa dan tidak relevan dengan ajaranNya sendiri.

      3. Para ahli modern umumnya lebih suka menafsirkan Yesus dengan cara lain. Karena istilah pokok “tidak senonoh” bisa berarti ikatan incest (sedarah), dikatakan bahwa Yesus membolehkan bahkan mengharuskan perkawinan yang melanggar hukum itu diakhiri – yaitu ikatan di antara orang-orang yang hubungan kekerabatannya terlalu dekat (untuk tingkatan-tingkatan semenda atau sedarah yang dimaksudkan, lihat Im 18:6-18). Dalam situasi ini, baik laki-laki maupun wanita bebas untuk mendapatkan pasangan baru karena pada hakekatnya mereka tidak pernah sungguh-sungguh menikah.

      Maka, tidak peduli apakah suatu perceraian yang sah ataukah semata-mata hanya pembatalan suatu hubungan yang cacat dari awalnya, yang jelas dalam Perjanjian Baru tidak ada dasar yang menyatakan bahwa Yesus membolehkan pasangan yang telah menikah bercerai dan kawin lagi. (KGK 1638-1640, 1644-1645, 2367; bdk KHK 1141-1155).

 C. Perkawinan Dalam Surat-surat Paulus

Nasehat pastoral Paulus mengenai perkawinan, selibat dan keadaan menjanda/duda tampak terpusat dalam 1 Kor 7:1-40. Paulus jelas-jelas menganggap keperawanan merupakan status hidup yang lebih unggul daripada perkawinan (mis 1 Kor 7:32-35), tetapi perkawinan adalah wajar dan merupakan suatu penawar bagi sikap melawan moral (1 Kor 7:2-5; bdk 1 Tes 4:3-8). Status menikah adalah penyerahan diri timbal balik antara suami dan isteri (1 Kor 7:3-4). Paulus mengemukakan lagi ajaran Kristus mengenai perceraian, dengan menegaskan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan sepanjang hayat yang hanya bisa diceraikan oleh kematian (1 Kor 7:10-11.39; bdk Rm 7:2-3) (KGK 2364, 2382). Ia juga membahas perbedaan agama (yaitu perkawinan antara seorang yang dibaptis Kristen dan orang yang beragama lain, 1 Kor 7:12), yang dikenal sebagai Privilese Paulus, dengan mana dalam keadaan tertentu seorang Kristen dapat dibebaskan dari suatu perkawinan dengan seorang yang buan Kristen (1 Kor 7:15).

      Teologi perkawinan Kristen dari Paulus terutama dikemukakan dalam Ef 5:22-23. Ia mengembangkan tema teologis dari Perjanjian Lama yang mengaitkan perkawinan dengan perjanjian antara Israel dan Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, tema ini diubah menjadi citra Gereja dan Kristus sebagai mempelai perempuan dan laki-laki. “Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef 5:24-25). Mengingatkan ajaran kitab Kejadian bahwa keduanya menjadi satu daging, Paulus menambahkan “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef 5:32) (KGK 1616).

 D. Jamuan Pesta Nikah Anak Domba

Gereja sebagai mempelai wanita juga ditemukan pada puncak kitab Wahyu. Jamuan pesta nikah Anak Domba tampak merupakan penggenapan yang tertinggi dari perjanjian kekal yang telah dipersiapkan dalam sejarah dengan perjanjian di antara Tuhan dan Israel. Gereja, “yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya” (Why 21:2) diantar kepada suaminya dalam “perkawinan Anak Domba” (Why 19:7).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar