Karena memerlukan, beberapa pihak meminta saya memposting bagian lampiran dari Vademecum Penanganan Perkara Pelecehan Seksualterhadap anak-anak oleh Klerikus. Maka bagian lampiran ini saya dahulukan atas permintaan, menyela serial runtut dari postingan ketiga. Kelanjutan postingan ketiga akan saya sampaikan dalam postingan kelima.
Postingan keempat ini aslinya dipetik dari VADEMECUM PENANGANAN PERKARA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK-ANAK OLEH KLERIKUS, Kongregasi Ajaran Iman, Roma 16 Juli 2020, yang diterjemahkan RD Yohanes Driyanto. Diterbitkan Dokpen KWI. Pada tahun 2021 KAI menerbitkan Vademecum versi 2.0. Beberapa perubahan di dalamnya terutama perubahan besar KHK Kan 1336 saya cantumkan dalam postingan ini dengan huruf merah. Karena mendesak sebagian belum sempat saya terjemahkan. Jelas perubahan/sisipan terjemahan dengan huruf merah ini menjadi tanggungjawab saya, namun mohon dipertimbangkan dengan teliti.
RINGKASAN TABULASI UNTUK PERKARA TINDAK PIDANA YANG DIRESERVASI
[1] Art. 8 SST - § 1. Tindak kejahatan untuk tindak pidana
yang direservasi bagi KAI berhenti dengan daluwarsa 20 tahun.
§ 2. Daluwarsa berjalan sesuai dengan norma kan. 1362 § 2
KHK dan kan. 1152 § 3 KKGKT. Tetapi dalam tindak pidana yang disebut dalam art.
6 § 1 no. 1, daluwarsa mulai dihitung dari hari saat anak mencapai usia 18
tahun.
§ 3 The Congregation for the
Doctrine of the Faith has the right to derogate from prescription for all
individual cases of reserved delicts, even if they regard delicts committed
prior to the coming into force of the present Norms.
[2] Art. 24 SST - §1. Dalam perkara yang berkenaan dengan
tindak pidana yang disebut dalam art. 4 § 1, Tribunal tidak dapat mengungkapkan
nama pelapor kepada terdakwa atau pelindungnya (patronus) kecuali pelapor
dengan tegas telah menyetujuinya. § 2. Tribunal yang sama harus sungguh-sungguh
memperhatikan pentingnya mengenai kredibilitas pelapor. § 3. Namun demikian,
harus selalu ditaati bahwa setiap bahaya pelanggaran rahasia sakramental harus
dihindari sama sekali.
[2] Art. 4 § 2 SST - In the
cases concerning the delicts mentioned in § 1, it is not permitted for anyone
to indicate the name of the accuser or the penitent either to the accused or to
his or her patron, unless the one making the accusation or the penitent has
expressly consented; the question of the credibility of the accuser is to be
considered attentively; and any danger of violating the sacramental seal is to
be altogether avoided, taking care, however, that the right of defence of the
accused remains intact.
[3] Art. 8 SST - § 2. Tribunal tertinggi juga mengadili
tindak pidana lain yang terdakwanya didakwa oleh Promotor Iustitiae, dengan
alasan hubungan dengan orang atau keterlibatan dalam kejahatan.
[3] Art. 9 § 2 SST - This Supreme
Tribunal, only in conjunction with the delicts reserved to it, also judges
other delicts for which a defendant is accused by reason of connection of
person and of complicity in a delict.
[4] Kanon 1428 KHK – § 1. Hakim atau ketua Tribunal Kolegial
dapat menunjuk seorang auditor, yang dipilih dari hakim-hakim tribunal atau
dari orang-orang yang disetujui uskup untuk tugas itu, untuk melakukan
instruksi perkara. § 2. Uskup dapat menyetujui untuk tugas auditor seorang
klerikus atau awam yang unggul dalam moral, kearifan, dan ajaran. Kan. 1093
KKGKT – § 1. Seorang hakim atau ketua tribunal kolegial dapat menunjuk seorang
auditor untuk melakukan instruksi perkara. Auditor itu dipilih dari antara
hakim tribunal atau orang beriman kristiani yang diizinkan untuk tugas itu oleh
uskup eparkial. § 2. Uskup eparkial dapat menyetujui untuk tugas auditor
anggota umat beriman kristiani yang unggul dalam moral, kearifan, dan ajaran.
[5] Kanon 1722 KHK – Untuk menghindari skandal, untuk
melindungi kebebasan para saksi, dan mengamankan jalannya keadilan, ordinaris,
sesudah mendengarkan promotor iustitiae … dapat memberhentikan terdakwa dari
pelayanan suci atau dari beberapa jabatan dan tugas gerejawi, dapat
memerintahkan atau melarang dia tinggal di suatu tempat atau wilayah tertentu,
atau juga melarang dia mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi Mahakudus
secara publik … Kan. 1473 KKGKT – Untuk menghindari skandal, melindungi
kebebasan para saksi, dan melindungi jalannya keadilan, hierarki, setelah
mendengarkan promotor iustitiae dan memerintahkan terdakwa, pada tahap atau
tingkat apa pun dari peradilan pidana dapat melarang terdakwa melaksanakan
tahbisan suci, jabatan, pelayanan, atau suatu tugas lain, dapat memerintahkan
atau melarang dia tinggal di suatu tempat atau wilayah, atau bahkan melarang
penerimaan publik Ekaristi ilahi …
[6] Kanon 1339 KHK – § 1: Orang yang berada dalam kesempatan
terdekat untuk melakukan kejahatan, atau yang setelah dilakukan penyelidikan
layak dicurigai telah melakukan tindak-pidana, dapat diberi peringatan oleh
Ordinaris, secara pribadi atau lewat orang lain. §2. Ordinaris juga dapat
menegur orang yang tingkah-lakunya menimbulkan skandal atau gangguan berat
tatanan, dengan cara yang sesuai dengan kekhasan pribadi dan keadaan
peristiwanya. §3. Mengenai adanya peringatan dan teguran haruslah selalu nyata
sekurang-kurangnya dari suatu dokumen, yang hendaknya disimpan dalam arsip
rahasia kuria.
Kanon 1340 § 1 KHK: Penitensi, yang dapat diwajibkan dalam
tata-lahir, ialah suatu perbuatan keagamaan, kesalehan, atau amal-kasih yang
harus dilaksanakan. Kanon 1427 KKGKT – § 1: Dengan tetap mengindahkan hukum
partikular, teguran umum harus dilakukan di depan notarius atau dua saksi atau
lewat surat, tetapi dalam cara yang sedemikian sehingga penerimaan dan tujuan
surat ditetapkan dalam dokumen. § 2. Harus diperhatikan bahwa teguran umum itu
sendiri tidak menyebabkan rasa malu yang lebih besar pada orang yang melakukan
tindak pidana daripada yang sewajarnya.
[7] Article 26 SST – It is the right
of the Congregation for the Doctrine of the Faith, in whatever stage and grade
of the unfolding of the proceedings, to present directly the most grave cases
mentioned above in artt. 2-6 to the decision of the Supreme Pontiff with regard
to dismissal or deposition from the clerical state, together with dispensation
from the law of celibacy, when it is manifestly evident that the delict has been
committed, after having given the guilty party the possibility of defending
himself.
[8] Kan. 1483 KHK – Kuasa hukum dan pengacara haruslah orang
dewasa dan memiliki nama baik; selain itu pengacara harus katolik, kecuali
Uskup diosesan mengizinkan lain, dan bergelar doktor dalam hukum kanonik, atau
kalau tidak mungkin sekurang-kurangnya sungguh ahli serta disetujui oleh Uskup
itu juga.
[9] Analog dengan kan. 1527 KHK – § 1. Bukti macam apa pun,
yang kiranya perlu untuk memeriksa perkara dan licit, dapat diajukan.
[10] Analog dengan kan. 1572 KHK – Dalam menilai
kesaksian-kesaksian, jika perlu setelah meminta surat-surat kesaksian, hakim
harus mempertimbangkan berikut ini: 1) bagaimana keadaan pribadi serta
kejujurannya; 2) apakah ia memberi kesaksian dari pengetahuan sendiri, terutama
karena telah melihat dan telah mendengar sendiri, atau itu perkiraannya saja,
dari berita atau mendengar dari orang lain; 3) apakah saksi konstan dan
konsisten, apakah berubah-ubah, tidak pasti atau tidak menentu; 4) apakah ada
saksi-saksi lain atas kesaksiannya, ataukah diperkuat oleh unsur-unsur pembuktian
lain atau tidak.
[11] Kanon 1336 KHK – § 1. Hukuman-hukuman silih, yang dapat
secara tetap atau untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, mengena
pada orang yang melakukan tindak-pidana, di samping lain-lain yang mungkin akan
ditetapkan oleh undang-undang no.2-5, ialah sebagai berikut:
§2. Suatu perintah 1* untuk
tinggal di tempat atau wilayah tertentu, 2* membayar
denda atau sejumlah uang untuk kepentingan Gereja, sesuai pedoman yang
ditetapkan Konferensi Uskup.
§ 3. Suatu larangan:
1° tinggal di tempat atau wilayah
tertentu;
2° melakukan, di mana saja atau di
dalam atau di luar tempat atau wilayah tertentu, semua atau beberapa jabatan, tugas,
pelayanan atau fungsi, atau hanya beberapa pekerjaan yang terkait pada jabatan
atau tugas;
3° melaksanakan semua atau beberapa tindakan
dari kuasa tahbisan;
4° melaksanakan semua atau beberapa
tindakan dari kuasa kepemimpinan;
5° menggunakan setiap hak atau privilegi
atau memakai lambang atau sebutan;
6° pemberian suara aktif maupun pasif
dalam pemilihan kanoni atau keikutsertaan menggunakan hak pilih dalam dewan eklesial
atau kolese;
7° mengenakan busana eklesiastikal atau
religious.
§ 4. Perlucutan:
1° dari semua jabatan, tugas, pelayanan
atau fungsi, atau hanya fungsi tertentu terkait jabatan atau tugas;
2° dari mendengarkan pengakuan atau memberikan
khotbah;
3° dari delegasi kuasa kepemimpinan;
4° dari beberapa hak atau privilegi atau
lambang atau sebutan;
5° dari semua balas jasagerejawi atau
sebagian darinya menurut pedoman yang ditetapkan Konferensi Uskup, tanpa
mengurangi ketentuan kan. 1350 § 1.
§ 5. Pemecatan dari status klerus.
[12] Kanon 1337 KHK –
§ 1. Larangan untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu dapat mengena pada
baik klerikus maupun religius; tetapi perintah untuk tinggal, dapat mengena
pada klerikus sekular dan, dalam batas-batas konstitusi, dapat mengena pada
religius. §2. Untuk memerintahkan tinggal di tempat atau wilayah tertentu,
perlu ada persetujuan Ordinaris wilayah itu, kecuali mengenai rumah yang
diperuntukkan bagi klerikus luar keuskupan yang harus melakukan penitensi atau
harus menjalani pemulihan.
Kanon 1338 KHK – § 1. Pencabutan dan larangan yang disebut
dalam kan. 1336 §1, no. 2 dan 3, tidak pernah mengena pada kuasa, jabatan,
tugas, hak, privilegi, fakultas, kemurahan, gelar, tanda penghargaan, yang
tidak berada dibawah kekuasaan Superior yang menjatuhkan hukuman. §2. Tidak
dapat dilakukan pencabutan kuasa tahbisan, melainkan hanyalah larangan untuk
melaksanakan kuasa itu atau beberapa tindakan dari kuasa itu; demikian pula
tidak dapat dicabut gelar-gelar akademis. §3. Mengenai larangan-larangan yang
ditunjuk dalam kan. 1336 §1, no. 3 haruslah ditepati norma yang diberikan
mengenai censura dalam kan. 1335. § 4. Only those
expiatory penalties enumerated as prohibitions in can. 1336 § 3, or others that
may perhaps be established by a law or precept, may be latae sententiae
penalties. § 5. The prohibitions mentioned in can. 1336 § 3 are never under
pain of nullity.
[13] Kan. 54 KHK – § 1. Dekret untuk kasus demi kasus yang
penerapannya dipercayakan kepada seorang pelaksana, mempunyai efek sejak
pelaksanaannya; kalau tidak, sejak diberitahukan kepada orangnya oleh otoritas
yang mengeluarkannya. §2. Supaya pelaksanaan dekret untuk kasus demi kasus
dapat ditandaskan, haruslah diberitahukan dengan dokumen yang legitim sesuai
dengan norma hukum. Kan. 55 KHK – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 37 dan
51, apabila ada alasan sangat berat menghalangi diserahkannya teks tertulis
dari dekret itu, dekret dianggap sudah diberitahukan kalau dibacakan kepada
orang yang dituju di hadapan notarius atau dua saksi; tentang peristiwa itu
dibuat berita acara yang harus ditandatangani oleh semua yang hadir. Kan. 56
KHK – Dekret dianggap diberitahukan kalau orang yang bersangkutan telah
dipanggil semestinya untuk menerima atau mendengar dekret itu, tanpa alasan
wajar tidak datang atau menolak menandatanganinya.
[14] Kanon 1429 KKGKT – § 1. Larangan untuk tinggal di
tempat atau wilayah tertentu hanya dapat mengena pada klerikus dan religius
atau anggota serikat dengan kehidupan bersama seperti religius; perintah untuk
tinggal di suatu tempat atau wilayah tertentu mengena hanya pada klerikus yang
tercatat dalam eparkia, dengan tetap mengindahkan hukum Lembaga Hidup Bakti. §
2. Dalam memberi perintah untuk tinggal di suatu tempat atau wilayah tertentu,
dibutuhkan persetujuan hierarki setempat, kecuali hal ini berkenaan dengan
rumah dari Lembaga Hidup Bakti berhukum kepausan atau patriarkhal, yang dalam
hal ini membutuhkan persetujuan pemimpin yang berwenang, atau mengenai rumah
yang dimaksudkan untuk perbaikan dan pembinaan kembali klerikus dari beberapa
eparkia.
[15] Kan. 1430 KKGKT – § 1. Pencabutan hukuman hanya dapat
mengena pada kuasa, jabatan, pelayanan, tugas, hak, privilegi, kewenangan
(facultas), kemurahan, gelar, lencana, yang tunduk pada kuasa otoritas yang
menetapkan hukuman, atau hierarki yang memulai peradilan pidana atau yang
mengenakannya lewat dekret; hal yang sama berlaku untuk pemindahan kepada
jabatan lain yang merupakan hukuman. § 2. Tidak mungkin dilakukan pencabutan
kuasa tahbisan suci, tetapi hanya larangan melaksanakan semua atau beberapa
tindakan tahbisan sesuai dengan norma umum; tidak mungkin juga dilakukan
pencabutan gelar-gelar akademis.
[16] Kan. 1737 § 2 KHK – Rekursus harus diajukan dalam batas
waktu peremptoir limabelas hari-guna, yang … dihitung menurut norma kan. 1735.
[17] Art. 27 SST – Rekursus melawan tindakan administratif
kasus demi kasus yang telah disampaikan dengan dekret atau disetujui oleh KAI
dalam perkara tindak pidana yang direservasi, mungkin diajukan. Rekursus itu
harus diajukan dalam waktu (peremptoir) 60 hari kanonik kepada Sidang Biasa
Kongregasi (yaitu Feria IV) yang akan mengadili manfaatnya dan legitimitas
dekret itu. Rekursus berikutnya seperti disebut dalam art. 123 Kontitusi
Apostolik Pastor Bonus dihapuskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar