Daftar Blog Saya

Senin, 10 Oktober 2022

PENANGANAN PERKARA PELECEHAN SEKSUAL OLEH KLERIKUS IV

 

Karena memerlukan, beberapa pihak meminta saya memposting bagian lampiran dari Vademecum Penanganan Perkara Pelecehan Seksualterhadap anak-anak oleh Klerikus. Maka bagian lampiran ini saya dahulukan atas permintaan, menyela serial runtut dari postingan ketiga. Kelanjutan postingan ketiga akan saya sampaikan dalam postingan kelima.

Postingan keempat ini aslinya dipetik dari VADEMECUM PENANGANAN PERKARA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK-ANAK OLEH KLERIKUS, Kongregasi Ajaran Iman, Roma 16 Juli 2020, yang diterjemahkan RD Yohanes Driyanto. Diterbitkan Dokpen KWI. Pada tahun 2021 KAI menerbitkan Vademecum versi 2.0. Beberapa perubahan di dalamnya terutama perubahan besar KHK Kan 1336 saya cantumkan dalam postingan ini dengan huruf merah. Karena mendesak sebagian belum sempat saya terjemahkan. Jelas perubahan/sisipan terjemahan dengan huruf merah ini menjadi tanggungjawab saya, namun mohon dipertimbangkan dengan teliti.

RINGKASAN TABULASI UNTUK PERKARA TINDAK PIDANA YANG DIRESERVASI

[1] Art.  8 SST - § 1. Tindak kejahatan untuk tindak pidana yang direservasi bagi KAI berhenti dengan daluwarsa 20 tahun.

§ 2. Daluwarsa berjalan sesuai dengan norma kan. 1362 § 2 KHK dan kan. 1152 § 3 KKGKT. Tetapi dalam tindak pidana yang disebut dalam art. 6 § 1 no. 1, daluwarsa mulai dihitung dari hari saat anak mencapai usia 18 tahun.

§ 3 The Congregation for the Doctrine of the Faith has the right to derogate from prescription for all individual cases of reserved delicts, even if they regard delicts committed prior to the coming into force of the present Norms.

[2] Art. 24 SST - §1. Dalam perkara yang berkenaan dengan tindak pidana yang disebut dalam art. 4 § 1, Tribunal tidak dapat mengungkapkan nama pelapor kepada terdakwa atau pelindungnya (patronus) kecuali pelapor dengan tegas telah menyetujuinya. § 2. Tribunal yang sama harus sungguh-sungguh memperhatikan pentingnya mengenai kredibilitas pelapor. § 3. Namun demikian, harus selalu ditaati bahwa setiap bahaya pelanggaran rahasia sakramental harus dihindari sama sekali.

[2] Art. 4 § 2 SST - In the cases concerning the delicts mentioned in § 1, it is not permitted for anyone to indicate the name of the accuser or the penitent either to the accused or to his or her patron, unless the one making the accusation or the penitent has expressly consented; the question of the credibility of the accuser is to be considered attentively; and any danger of violating the sacramental seal is to be altogether avoided, taking care, however, that the right of defence of the accused remains intact.

[3] Art. 8 SST - § 2. Tribunal tertinggi juga mengadili tindak pidana lain yang terdakwanya didakwa oleh Promotor Iustitiae, dengan alasan hubungan dengan orang atau keterlibatan dalam kejahatan.

[3] Art. 9 § 2 SST - This Supreme Tribunal, only in conjunction with the delicts reserved to it, also judges other delicts for which a defendant is accused by reason of connection of person and of complicity in a delict.

[4] Kanon 1428 KHK – § 1. Hakim atau ketua Tribunal Kolegial dapat menunjuk seorang auditor, yang dipilih dari hakim-hakim tribunal atau dari orang-orang yang disetujui uskup untuk tugas itu, untuk melakukan instruksi perkara. § 2. Uskup dapat menyetujui untuk tugas auditor seorang klerikus atau awam yang unggul dalam moral, kearifan, dan ajaran. Kan. 1093 KKGKT – § 1. Seorang hakim atau ketua tribunal kolegial dapat menunjuk seorang auditor untuk melakukan instruksi perkara. Auditor itu dipilih dari antara hakim tribunal atau orang beriman kristiani yang diizinkan untuk tugas itu oleh uskup eparkial. § 2. Uskup eparkial dapat menyetujui untuk tugas auditor anggota umat beriman kristiani yang unggul dalam moral, kearifan, dan ajaran.

[5] Kanon 1722 KHK – Untuk menghindari skandal, untuk melindungi kebebasan para saksi, dan mengamankan jalannya keadilan, ordinaris, sesudah mendengarkan promotor iustitiae … dapat memberhentikan terdakwa dari pelayanan suci atau dari beberapa jabatan dan tugas gerejawi, dapat memerintahkan atau melarang dia tinggal di suatu tempat atau wilayah tertentu, atau juga melarang dia mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi Mahakudus secara publik … Kan. 1473 KKGKT – Untuk menghindari skandal, melindungi kebebasan para saksi, dan melindungi jalannya keadilan, hierarki, setelah mendengarkan promotor iustitiae dan memerintahkan terdakwa, pada tahap atau tingkat apa pun dari peradilan pidana dapat melarang terdakwa melaksanakan tahbisan suci, jabatan, pelayanan, atau suatu tugas lain, dapat memerintahkan atau melarang dia tinggal di suatu tempat atau wilayah, atau bahkan melarang penerimaan publik Ekaristi ilahi …

[6] Kanon 1339 KHK – § 1: Orang yang berada dalam kesempatan terdekat untuk melakukan kejahatan, atau yang setelah dilakukan penyelidikan layak dicurigai telah melakukan tindak-pidana, dapat diberi peringatan oleh Ordinaris, secara pribadi atau lewat orang lain. §2. Ordinaris juga dapat menegur orang yang tingkah-lakunya menimbulkan skandal atau gangguan berat tatanan, dengan cara yang sesuai dengan kekhasan pribadi dan keadaan peristiwanya. §3. Mengenai adanya peringatan dan teguran haruslah selalu nyata sekurang-kurangnya dari suatu dokumen, yang hendaknya disimpan dalam arsip rahasia kuria.

Kanon 1340 § 1 KHK: Penitensi, yang dapat diwajibkan dalam tata-lahir, ialah suatu perbuatan keagamaan, kesalehan, atau amal-kasih yang harus dilaksanakan. Kanon 1427 KKGKT – § 1: Dengan tetap mengindahkan hukum partikular, teguran umum harus dilakukan di depan notarius atau dua saksi atau lewat surat, tetapi dalam cara yang sedemikian sehingga penerimaan dan tujuan surat ditetapkan dalam dokumen. § 2. Harus diperhatikan bahwa teguran umum itu sendiri tidak menyebabkan rasa malu yang lebih besar pada orang yang melakukan tindak pidana daripada yang sewajarnya.

[7] Article 26 SST – It is the right of the Congregation for the Doctrine of the Faith, in whatever stage and grade of the unfolding of the proceedings, to present directly the most grave cases mentioned above in artt. 2-6 to the decision of the Supreme Pontiff with regard to dismissal or deposition from the clerical state, together with dispensation from the law of celibacy, when it is manifestly evident that the delict has been committed, after having given the guilty party the possibility of defending himself.

[8] Kan. 1483 KHK – Kuasa hukum dan pengacara haruslah orang dewasa dan memiliki nama baik; selain itu pengacara harus katolik, kecuali Uskup diosesan mengizinkan lain, dan bergelar doktor dalam hukum kanonik, atau kalau tidak mungkin sekurang-kurangnya sungguh ahli serta disetujui oleh Uskup itu juga.

[9] Analog dengan kan. 1527 KHK – § 1. Bukti macam apa pun, yang kiranya perlu untuk memeriksa perkara dan licit, dapat diajukan.

[10] Analog dengan kan. 1572 KHK – Dalam menilai kesaksian-kesaksian, jika perlu setelah meminta surat-surat kesaksian, hakim harus mempertimbangkan berikut ini: 1) bagaimana keadaan pribadi serta kejujurannya; 2) apakah ia memberi kesaksian dari pengetahuan sendiri, terutama karena telah melihat dan telah mendengar sendiri, atau itu perkiraannya saja, dari berita atau mendengar dari orang lain; 3) apakah saksi konstan dan konsisten, apakah berubah-ubah, tidak pasti atau tidak menentu; 4) apakah ada saksi-saksi lain atas kesaksiannya, ataukah diperkuat oleh unsur-unsur pembuktian lain atau tidak.

[11] Kanon 1336 KHK – § 1. Hukuman-hukuman silih, yang dapat secara tetap atau untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, mengena pada orang yang melakukan tindak-pidana, di samping lain-lain yang mungkin akan ditetapkan oleh undang-undang no.2-5, ialah sebagai berikut:

§2. Suatu perintah 1* untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu, 2* membayar denda atau sejumlah uang untuk kepentingan Gereja, sesuai pedoman yang ditetapkan Konferensi Uskup.

§ 3. Suatu larangan:

1° tinggal di tempat atau wilayah tertentu;

2° melakukan, di mana saja atau di dalam atau di luar tempat atau wilayah tertentu, semua atau beberapa jabatan, tugas, pelayanan atau fungsi, atau hanya beberapa pekerjaan yang terkait pada jabatan atau tugas;

3° melaksanakan semua atau beberapa tindakan dari kuasa tahbisan;

4° melaksanakan semua atau beberapa tindakan dari kuasa kepemimpinan;

5° menggunakan setiap hak atau privilegi atau memakai lambang atau sebutan;

6° pemberian suara aktif maupun pasif dalam pemilihan kanoni atau keikutsertaan menggunakan hak pilih dalam dewan eklesial atau kolese;

7° mengenakan busana eklesiastikal atau religious.

§ 4. Perlucutan:

1° dari semua jabatan, tugas, pelayanan atau fungsi, atau hanya fungsi tertentu terkait jabatan atau tugas;

2° dari mendengarkan pengakuan atau memberikan khotbah;

3° dari delegasi kuasa kepemimpinan;

4° dari beberapa hak atau privilegi atau lambang atau sebutan;

5° dari semua balas jasagerejawi atau sebagian darinya menurut pedoman yang ditetapkan Konferensi Uskup, tanpa mengurangi ketentuan kan. 1350 § 1.

§ 5. Pemecatan dari status klerus.

 [12] Kanon 1337 KHK – § 1. Larangan untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu dapat mengena pada baik klerikus maupun religius; tetapi perintah untuk tinggal, dapat mengena pada klerikus sekular dan, dalam batas-batas konstitusi, dapat mengena pada religius. §2. Untuk memerintahkan tinggal di tempat atau wilayah tertentu, perlu ada persetujuan Ordinaris wilayah itu, kecuali mengenai rumah yang diperuntukkan bagi klerikus luar keuskupan yang harus melakukan penitensi atau harus menjalani pemulihan.

Kanon 1338 KHK – § 1. Pencabutan dan larangan yang disebut dalam kan. 1336 §1, no. 2 dan 3, tidak pernah mengena pada kuasa, jabatan, tugas, hak, privilegi, fakultas, kemurahan, gelar, tanda penghargaan, yang tidak berada dibawah kekuasaan Superior yang menjatuhkan hukuman. §2. Tidak dapat dilakukan pencabutan kuasa tahbisan, melainkan hanyalah larangan untuk melaksanakan kuasa itu atau beberapa tindakan dari kuasa itu; demikian pula tidak dapat dicabut gelar-gelar akademis. §3. Mengenai larangan-larangan yang ditunjuk dalam kan. 1336 §1, no. 3 haruslah ditepati norma yang diberikan mengenai censura dalam kan. 1335. § 4. Only those expiatory penalties enumerated as prohibitions in can. 1336 § 3, or others that may perhaps be established by a law or precept, may be latae sententiae penalties. § 5. The prohibitions mentioned in can. 1336 § 3 are never under pain of nullity.

[13] Kan. 54 KHK – § 1. Dekret untuk kasus demi kasus yang penerapannya dipercayakan kepada seorang pelaksana, mempunyai efek sejak pelaksanaannya; kalau tidak, sejak diberitahukan kepada orangnya oleh otoritas yang mengeluarkannya. §2. Supaya pelaksanaan dekret untuk kasus demi kasus dapat ditandaskan, haruslah diberitahukan dengan dokumen yang legitim sesuai dengan norma hukum. Kan. 55 KHK – Dengan tetap berlaku ketentuan kan. 37 dan 51, apabila ada alasan sangat berat menghalangi diserahkannya teks tertulis dari dekret itu, dekret dianggap sudah diberitahukan kalau dibacakan kepada orang yang dituju di hadapan notarius atau dua saksi; tentang peristiwa itu dibuat berita acara yang harus ditandatangani oleh semua yang hadir. Kan. 56 KHK – Dekret dianggap diberitahukan kalau orang yang bersangkutan telah dipanggil semestinya untuk menerima atau mendengar dekret itu, tanpa alasan wajar tidak datang atau menolak menandatanganinya.

[14] Kanon 1429 KKGKT – § 1. Larangan untuk tinggal di tempat atau wilayah tertentu hanya dapat mengena pada klerikus dan religius atau anggota serikat dengan kehidupan bersama seperti religius; perintah untuk tinggal di suatu tempat atau wilayah tertentu mengena hanya pada klerikus yang tercatat dalam eparkia, dengan tetap mengindahkan hukum Lembaga Hidup Bakti. § 2. Dalam memberi perintah untuk tinggal di suatu tempat atau wilayah tertentu, dibutuhkan persetujuan hierarki setempat, kecuali hal ini berkenaan dengan rumah dari Lembaga Hidup Bakti berhukum kepausan atau patriarkhal, yang dalam hal ini membutuhkan persetujuan pemimpin yang berwenang, atau mengenai rumah yang dimaksudkan untuk perbaikan dan pembinaan kembali klerikus dari beberapa eparkia.

[15] Kan. 1430 KKGKT – § 1. Pencabutan hukuman hanya dapat mengena pada kuasa, jabatan, pelayanan, tugas, hak, privilegi, kewenangan (facultas), kemurahan, gelar, lencana, yang tunduk pada kuasa otoritas yang menetapkan hukuman, atau hierarki yang memulai peradilan pidana atau yang mengenakannya lewat dekret; hal yang sama berlaku untuk pemindahan kepada jabatan lain yang merupakan hukuman. § 2. Tidak mungkin dilakukan pencabutan kuasa tahbisan suci, tetapi hanya larangan melaksanakan semua atau beberapa tindakan tahbisan sesuai dengan norma umum; tidak mungkin juga dilakukan pencabutan gelar-gelar akademis.

[16] Kan. 1737 § 2 KHK – Rekursus harus diajukan dalam batas waktu peremptoir limabelas hari-guna, yang … dihitung menurut norma kan. 1735.

[17] Art. 27 SST – Rekursus melawan tindakan administratif kasus demi kasus yang telah disampaikan dengan dekret atau disetujui oleh KAI dalam perkara tindak pidana yang direservasi, mungkin diajukan. Rekursus itu harus diajukan dalam waktu (peremptoir) 60 hari kanonik kepada Sidang Biasa Kongregasi (yaitu Feria IV) yang akan mengadili manfaatnya dan legitimitas dekret itu. Rekursus berikutnya seperti disebut dalam art. 123 Kontitusi Apostolik Pastor Bonus dihapuskan.

[17] Article 24 SST – § 1. Against singular administrative acts of the Congregation for the Doctrine of the Faith in cases of reserved delicts, the Promoter of Justice of the Dicastery and the accused have the right to present recourse within the peremptory term of sixty useful days to the same Congregation, which judges the merits and legitimacy of the recourse, excluding any further recourse whatsoever as described in art. 123 of the Apostolic Constitution Pastor bonus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar