“Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Karena pria dan
wanita sama-sama diciptakan menurut citra Allah, mereka mempunyai martabat yang
sama yang diberikan oleh Allah Pencipta. Wanita mempunyai martabat yang sama
dengan pria kendati secara seksual berbeda dari pria dalam susunan fisik dan
psikologisnya. Wanita dan pria diciptakan dan saling menginginkan (Kej
2:18-24). Di dalam perkawinan, pria dan wanita disatukan menjadi “satu daging”
(kej 2:24). Katekismus menggaris bawahi persamaan martabat wanita dengan
mengaitkannya pada citra ilahi yang ditanamkan baik kepada pria maupun wanita:
Terutama,
fakta bahwa manusia adalah pribadi-pribadi perlu ditekankan: “Manusia bersifat
pribadi; itu berlaku baik untuk pria maupun wanita, karena keduanya diciptakan
menurut citra dan keserupaan dengan Allah pribadi” (Yohanes Paulus II,
Muliereis Dignitatem 6). Kesetaraan martabat mereka sebagai pribadi-pribadi
diwujudkan dalam sifat-sifat yang saling melengkapi baik fisik, psikologis
maupun ontologis, sehingga menghasilkan suatu hubungan harmonis “kesatuan-dua
pribadi”, yang hanya mungkin dipertentangkan oleh dosa dan “struktur-struktur
dosa” yang terdapat dalam kebudayaan (Kongregasi Ajaran Iman, “Surat Kepada
Para Uskup Gereja Katolik tentang Kerjasama Pria dan Wanita dalam Gereja dan di
Dunia, art 8) (KGK 369-373; 2331-2335).
I. WANITA
DALAM PERJANJIAN LAMA
Dunia
Perjanjian Lama untuk sebagian besar adalah dunia laki-laki, patriakal. Kitab
Kejadian menunjukkan betapa wanita tunduk kepada pria sebagai konsekuensi dari Jatuh
dalam Dosa: “engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”
(Kej 3:16). Bahwa wanita dikuasai pria menurut kitab Kejadian adalah disebabkan
oleh dosa, bukan dimaksudkan demikian pada awalnya dalam penciptaan.
Pada umumnya, wanita dalam dunia kuno
berada di bawah pria baik secara sosial maupun hukum. Dalam kebudayaan-kebudayaan
Timur Dekat, ada kesenjangan hak-hak yang meluas kepada setiap aspek hidup di
antara pria dan wanita. Seorang wanita hanya mempunyai sedikit hak dan selalu
berada di bawah kewenangan tertentu dari pria, entah itu ayah dari keluarganya,
saudara lelakinya, atau suaminya. Jika seorang wanita menjadi janda, ia
dialihkan ke dalam perlindungan saudara lelakinya, atau kerabat lelaki
terdekat. Jika ia menjanda sebelum punya anak, ia dikembalikan kepada keluarga
asalinya. Para wanita yang tidak mempunyai anggota keluarga laki-laki jadi
terlantarkan, dan pelacuran atau perbudakan merupakan jalan keluar mereka.
Dalam Hukum Musa, wanita juga mendapat
kedudukan setelah pria, namun mereka mempunyai perlindungan hukum. Seorang
suami diizinkan menceraikan isterinya, tetapi ia tidak boleh kawin lagi dengan
wanita yang sama jika wanita itu menikah lagi setelah diceraikan (Ul 24:1-4). Namun, seorang wanita tidak diperkenankan
mengajukan gugatan cerai, dan seorang wanita yang telah menikah secara hukum
sama dengan hak milik suaminya (Kej 12:12-20; 20:2; Kel 20|:17; Hak 19:24-27).
Di pihak lain, dalam hal hukum keagamaan, wanita mempunyai banyak hak yang sama
dengan pria, sekalipun disisihkan dari jabatan imam.
Sekalipun statusnya lebih rendah, wanita menikmati
kedudukan yang mendatangkan kehormatan besar berkat penghargaan kebudayaan pada
keibuan. Ini merupakan cerminan dari pentingnya suatu keluarga di dalam
masyarakat Ibrani, sekaligus juga merupakan kesetiaan pada ajaran dasar kitab
Kejadian mengenai kerjasama peran pria dan wanita untuk “bertambah-banyak” dan
“memenuhi” bumi (Kej 1:28), serta tugas perutusan khusus wanita untuk menjadi
“penolong” laki-laki (Kej 2:18). Maka tidak mengherankan, kebanyakan rujukan
pada wanita dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan ibu-ibu atau keibuan, dan
status wanita bergantung pada kemampuannya untuk mendatangkan keturunan di
dalam keluarga (Kej 30:20; 1 Sam 1:2-8). Sebaliknya, mandul dianggap sebagai
bencana (Kej 30:1-2; 1 Sam 1:5; 2 Sam 6:20-23) dan sering dianggap sebagai
tanda bahwa Allah tidak berkenan.
Sastra kebijaksanaan menyampaikan
ajaran-ajaran tentang bimbingan menuju suatu hidup yang baik, dan menemukan
seorang isteri yang cocok merupakan salah satu keputusan yang paling penting
bagi seorang pria. Dalam suatu puisi akrostik dalam Ams 31:10-31 dikatakan
bahwa seorang isteri yang baik adalah yang “berbuat baik kepada suaminya dan
tidak akan berbuat jahat” (Ams 31:12; bdk Sir 26:1-18). Seorang isteri niscaya
juga akan lebih dihargai karena cakap, rajin, bijaksana dan pantas disayang
lebih dari sekedar kecantikan atau kemolekannya (Ams 31:30). Kecantikan, keluh
sajak itu, adalah “lancung” dan “sia-sia”. Amsal juga memberi peringatan
mengenai wanita jalang, atau perempuan asing, sebab wanita pezina dapat membawa
orang yang diundangnya pada dunia orang mati (Ams 5:3-5; 6:24-35; 9:13-18).
Ibu dituntut merawat anak-anak di
dalam keluarganya dan mengatur seluruh rumahtangga. Dalam kehidupan sosial,
para wanita ikut serta secara aktif dalam perayaan-perayaan (Hak 21:19-21) dan
perayaan kemenangan (kel 15:20; Hak 11:34; 1 Sam 18:6-7; Mzm 68:25).
Kendati para wanita tidak menonjol,
Perjanjian Lama menceritakan kegiatan banyak wanita yang hebat kecerdasannya,
keberaniannya dan dedikasinya kepada Tuhan. Para pahlawan wanita yang paling
banyak diingat adalah Debora, Ester dan Yudit (Juga: Abigail,
Hagar, Lea, Mikhal, Rahel, Rahab, Ribka, Rizpa dan Rut).
II. WANITA
DALAM PERJANJIAN BARU
Status sosial
dan legal para wanita di dalam Kekaisaran Roma kadang lebih baik dan kadang
lebih buruk dibanding dengan wanita Yahudi. Wanita di Mesir yang dikuasai Roma
misalnya, mempunyai hak dan kesempatan di luar lingkup rumahnya, sedang
wanita-wanita di Yunani pada zaman Romawi dibelit oleh kekangan-kekangan yang
sama dengan kendala-kendala yang dialami wanita Yahudi Palestina. Walaupun iman
Kristen tidak serta merta mengubah status sosial para wanita sepenuhnya, namun
iman Kristen mengakui wanita sebagai pribadi dalam citra ilahi dan merupakan
calon yang setara bagi baptis dan keanggotaan di dalam Gereja Kristus.
Yesus tidak berkeberatan bicara dengan
para wanita, Ia juga tidak mencegah mereka bicara padaNya atau menghormati
diriNya (mat 26:6-13; Mrk 14:3-9). Perjumpaan Yesus dengan wanita Samaria dalam
Yoh 4:4-42 menunjukkan sikap baru yang mengejutkan. Bukan saja karena yang
ditemuiNya adalah seorang wanita; dia seorang wanita Samaria pula; namun Yesus
berbicara dengannya seolah-olah wanita itu muridNya.
Yesus tidak hanya menentang
kendala-kendala tradisional yang ditimpakan pada wanita, namun Ia memandang
wanita sebagai penerima rahmat karunia yang sama setara. Misalnya, Ia tidak
membeda-bedakan ketika melakukan mujizat – penyembuhan mertua Petrus (Mat 8:14;
Mrk 1:29-31; Luk 4:38), anak yairus, wanita yang mengalami pendarahan (Mat 9:18-26;
Mrk 5:21-43; Luk 8:40-56), wanita yang bungkuk punggungnya (Luk 13:10-17) dan
janda Nain dan anaknya (Luk 7:11-17). Ia juga menerima dukungan lebih dari
seorang penyumbang (Luk 8:1-3) dan menjalin hubungan erat dengan para wanita
dari komunitas pengikutNya yang perdana (misalnya Marta dan Maria, Luk
10:38-42). Para wanita pun menunjukkan
keberanian dan bakti dengan berdiri di dekat Dia yang mengalami sengsara maut
(Mat 27:55-56; Mrk 15:40) dan menyiapkan pemakaman tubuhNya sesudah wafat (Mrk
16:1-3; Luk 23:55). Terutama sekali, para wanitalah yang menemukan makamNya
sudah kosong (Mat 28:1-10; Mrk 16:1-8; Luk 24:1-10; Yoh 20:1).
Kesetaraan sepenuhnya dalam pemuridan yang
ditekankan Yesus dalam karyaNya berlanjut terus dalam Gereja Perdana, sebagaimana
kita lihat dalam Kisah Para Rasul (Kis 1:14; 12:12; 16:14-15; 17:4), di mana
para wanita diterima sebagai anggota yang aktif dalam komunitas. Priskila
(bersama suaminya, Akwila) merupakan pemeran serta yang menonjol dalam misi
Paulus (Kis 18:18; Rm 16:3-4; bdk 1 Kor 16:19; 2 Tim 4:19). Kita juga mendengar
sekurangnya tentang seorang diakon wanita, Febe (Rm 16:1-2).
Paulus, seperti Yesus, memandang rahmat
karunia Tuhan bekerja melaksanakan penebusan bukan saja pada pribadi-pribadi
perorangan, tetapi juga pada hubungan-hubungan, khususnya perkawinan.
Pendekatan Paulus membuat suatu hubungan langsung di antara misteri Paskah
dengan hati pasangan-pasangan Kristiani yang, berkat rahmat karunia, mengatasi
dosa dan tidak perlu lagi mengikuti Hukum Musa dalam hal perceraian (bdk Mat
19:3-9).
Bagi Paulus, perkawinan merupakan
pemberian timbal balik, suatu kesempatan untuk melayani daripada dilayani.
Perkawinan merupakan suatu gambaran yang hidup dari hubungan antara Kristus
dengan GerejaNya, dengan kasih perhatian dan penghiburan dari pasangannya.
Di satu tingkat, Paulus meneguhkan
struktur tradisional perkawinan Yahudi dengan tekanan kepada pria sebagai
kepala rumahtangga (Ef 5:22-31; Kol 3:18-25; 1 Kor 11). Di tataran yang lain,
“tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam
Kristus Yesus” (Gal 3:28). Ia berulang kali menekankan peranan wanita di dalam
komunitas Kristen (1 Kor 11:5; 16:19; Rm 16:1.3.7; Flp 4:2-3).
Peranan wanita di dalam keluarga juga
diteguhkan, namun juga dipandang dalam terang pemulihan berkat Salib.
Perkawinan merupakan bagian dari tata-ciptaan: perkawinan itu ada lebih dahulu
daripada Hukum Musa (1 Kor 11:13-15), namun jatuh terpuiruk akibat dosa. Akibat
dari dosa adalah kerusakan total situasi asali antara Adam dan Hawa, dan di
antara hukuman yang dihadapi Hawa adalah sakit bersalin dan tunduk kepada suami
(Kej 3:16; bdk 2 Kor 11:3; 1 tim 2:13). Di dalam iman, perkawinan diubah
melalui Kristus dan ketaatan wanita pada suaminya menjadi sikap sukarela, tidak
lagi disebabkan oleh dosa dan perbudakan (Kol 3:18; Tit 2:5; 1 Ptr 3:1). Paulus
meneguhkan saling ketergantungan dan persamaan antara wanita dan pria dalam 1
Kor 11:11-12: “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki
dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal
dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala
sesuatu berasal dari Allah.”
Perkawinan bagi orang Kristen dipandang dengan mata iman dan di dalam pengakuan atas daya kuasa Kebangkitan. Suami isteri adalah mitra yang setara yang sama-sama berbagi dalam kebebasan dari dosa dan dalam sukacita dan pemberian diri timbal balik perkawinan (bdk LG art 56; Yohanes Paulus II, Mulieris Dignitatem 6-10) (KGK 1601—1642)