Dari kemarin, Rabu 8 Februari 2023, Sinode Umum Gereja Inggris Anglikan dihadiri Uskup Agung Canterbury Justin Welby mengadakan debat umum tentang LGBT dalam Gereja, dimulai dari soal perkawinan sesama jenis. Suatu kecenderungan teologi tentang Allah tanpa gender sedang diperjuangkan oleh komponen feminis dan LGBT. Namun debat teologi yang sudah dimulai dari tahun 2013 ini masih akan berlangsung lama. Teks Kitab Suci yang tetap sama menjadi acuan utama, sudut pandang penafsiran tradisional bertahan kuat, sudut pandang baru perlu mendapatkan landasan teks yang lebih kuat. Menyadari pergumulan panjang itu Sinode Umum Anglikan lebih membahas aspek-aspek teknis praktis sebelum (jika ada) perubahan ajaran. Meruncing pada soal pemberkatan nikah LGBT. Debat akan berlanjut hari ini, Kamis 9 Februari 2023.
Persoalan apakah pastor dapat melakukan pemberkatan nikah LGBT di gereja telah membuat perpecahan dalam Komunitas Gereja Anglikan di Inggris dan di tempat lain. Perhitungannya, jika pemberkatan nikah di gereja boleh dilakukan pastor, maka akan terjadi skisma besar di tubuh Gereja Inggris Anglikan. Ada banyak gereja afiliasi Anglikan di 165 negara di dunia dengan sekitar 85 juta anggota. Baru belasan negara membolehkan perkawinan sesama jenis, tetapi selebihnya melarang. Terutama 43 komunitas Anglikan Afrika yang konservatif merupakan penentang utama yang melarang perkawinan sesama jenis. Memahami bahwa akan sulit mengubah ajaran yang dipegang erat gereja konservatif para pendukung LGBT dari negara-negara yang membolehkan perkawinan sesama jenis mengusahakan persetujuan teknis praktis upacara perkawinan LGBT.
Pembicaraan berfokus pada aspek perkawinan sipil LGBT yang diakui dan disahkan negara tertentu. Dibahas kemungkinan bahwa pastor Anglikan dapat memberkati perkawinan sipil di gereja, tetapi tidak mencatat perkawinan sipil itu sebagai perkawinan gerejawi, tidak mencantumkannya dalam buku register perkawinan gereja. Untuk itu pun debat pro-kontra sangat sengit mengingat celah kecil yang diizinkan di negara tertentu akan dapat menjadi gerojogan besar tuntutan pihak-pihak di kemudian hari di kalangan komunitas Anglikan yang lebih luas.
Sikap Gereja Katolik belakangan melalui prinsip-prinsip yang dikemukakan Paus Fransiskus sering menjadi acuan. Paus Fransiskus menyatakan bahwa ajaran prinsip Gereja Katolik tentang perkawinan yang sah dan saling melengkapi antara pria dan wanita tetap tidak berubah. LGBT dipandang sebagai kecenderungan seksual yang tidak lazim, dosa, namun bukan kriminal. Paus Fransiskus mengecam hukum sipil negara-negara yang mengkriminalkan LGBT bahkan memberi ancaman hukuman mati. Tampaknya pernyataan Paus ditangkap begini, jika hukum ilahi merupakan pintu tertutup bagi LGBT, mengingat keterpisahan antara Gereja dan negara, maka negara sebagai masyarakat manusia yang menyusun perundang-undangan sipil berdasarkan kemanusian dan hak-hak asasi manusia (khususnya tentang perikatan pribadi-pribadi), punya kemungkinan besar untuk mengadopsi aspirasi rakyat inklusif tanpa diskriminasi.
Kendati dalam aspek teknis sempit saja pergumulan dan debat sangat sengit, sebagian pengusung kepentingan LGBT mengeluh, "apa artinya upacara pemberkatan nikah, tanpa berkat yang sesungguhnya?"
Lihat juga: Konferensi Pers Simpul Perjalanan Afrika Paus Fransiskus (pertanyaan keempat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar