Suatu permintaan mengharapkan penjelasan tentang aliran fundamentalisme yang sering menyerang Gereja Katolik. Pada dasarnya tulisan berikut ini saya angkat dari dari paparan Karl Keating (Catholicism and Fundamentalism, Ignatius Press, SF, 1988) dan saya sampaikan dalam dua angsuran. Ini yang pertama mengenai asal-usul Fundamentalisme.
Ada beberapa hal yang mungkin sedikit menyulitkan jika
bicara tentang Fundamentalisme Kristen dan perlu catatan awal. Yang disebut
fundamentalisme kristen sebenarnya hanya setitik saja dari Protestantisme. Fundamentalisme
kristen secara populer adalah salah satu sayap dari aliran Evangelis. Mereka
itu baik-baik saja. Banyak fundamentalis yang terkenal berjuang berdampingan
bersama dengan umat Katolik dalam kegiatan sosial politik dan tidak pernah
menggunakan kata-kata yang menyakitkan terhadap umat Katolik. Tetapi yang menjadi fokus percakapan kita
adalah aliran fundamentalisme kristen
yang secara aktif melakukan kegiatan anti-Katolik dengan mengusung pokok-pokok
masalah tertentu. Dan karena fundamentalisme ini membentuk suatu sub-bagian
dalam Protestantisme keseluruhan, maka fundamentalisme yang aktif anti-katolik bisa
rancu tak terpisahkan dari fundamentalisme kristen secara keseluruhan. Di sini
Fundamentalisme kita batasi pada kelompok yang menyebut diri fundamentalis dan
bersikap anti-katolik.
Sejarah Fundamentalisme Kristen berawal di Amerika dan dapat
dibagi dalam tiga babak utama. Awalnya
merupakan suatu aliran dalam protestantisme Amerika abad kesembilan belas yang
hendak membedakan diri dari protestan liberal modern yang dipengaruhi pemikiran
sekular, dan mau bertahan pada ajaran Injil saja. Yang pertama berlangsung satu
generasi dari tahun 1890-an hingga Pengadilan Scopes tahun 1925. Di bawah
dorongan separatis dan dipengaruhi oleh milenialisme dan dispensasionalisme
(keterangan tentang milenialisme dan dispensasionalisme nanti akan disampaikan
dalam tulisan ini), fundamentalisme
merebak dari evangelisme, walaupun tidak sepenuhnya, dan karena itu
fundamentalisme dianggap sebagai salah satu sayap dari evangelisme. Dalam babak
yang kedua, setelah mengalami apa yang oleh banyak orang dipandang sebagai
kekalahan telak di Dayton, Tennessee, walaupun selanjutnya kabur keluar dari
fokus pandangan namun fundamentalisme tak pernah sungguh-sungguh lenyap dan tak
pernah benar-benar kehilangan landasan. Akhirnya, fundamentalisme mendapat
perhatian lagi satu generasi yang lalu, dan sejak itu mendapatkan pertumbuhan
yang luar biasa.
Tanpa
memperhatikan sekte-sekte setengah Kristen seperti Mormon dan Saksi Yehova,
fundamentalisme mengalami pertumbuhan yang sangat besar dalam persentase
dibanding dengan aliran kekristenan manapun. Mereka yang bergabung dengan
fundamentalisme meliputi orang-orang kristiani yang tidak pernah menggereja
maupun drop-out dari denominasi gereja lain. Yang mengherankan adalah bahwa
sebagian besar pengikut mereka berasal dari Gereja Katolik. Gereja Katolik di
Amerika meliputi seperempat penduduk, sehingga orang dapat memperkirakan
seperempat pendukung fundamentalisme dulunya adalah umat Katolik. Memang ada
sedikit harapan yang cukup beralasan, bahwa bahkan sebagian kecil dari mereka
acuh tak acuh sikapnya karena sebagian sudah pernah punya ikatan dengan suatu
gereja, sedangkan mereka yang dulunya tidak menggereja lebih bebas karena lebih
terbatas ikatannya. Namun dalam banyak himpunan fundamentalis, sepertiga,
separoh atau bahkan mayoritas pernah punya hubungan dengan Katolik Roma. Memang ada variasi di wilayah yang satu dengan wilayah lainnya.
Gereja-gereja
fundamentalis di Amerika sebelah selatan menyatakan bahwa di sana hanya sedikit
saja pengikut yang dulunya Katolik, karena di kawasan itu memang hanya ada
sedikit saja penduduk Katolik. Namun di Amerika bagian Timur-Laut dan
Barat-Tengah, di mana jumlah orang Katolik banyak sekali, orang bisa
mendapatkan mantan umat Katolik merupakan mayoritas dalam beberapa himpunan
fundamentalis. Di Amerika bagian Barat Daya dengan populasi Hispanik yang
tinggi, seluruh anggota himpunan fundamentalis adalah mantan umat Katolik. Satu
dari setiap enam orang Hispanik di kawasan ini sekarang menjadi fundamentalis.
Perkembangan eksodus besar ini terjadi sangat cepat, mengingat dua puluh tahun
yang lalu tak ada seorang Hispanik pun yang fundamentalis.
Walaupun
fundamentalisme dewasa ini terutama berawal dari Amerika dan merupakan gerakan di dalam atau yang
searah dengan aliran Evangelis dan relatif agak baru, namun banyak dari
pemimpinnya menyatakan bahwa fundamentalisme sudah lama timbul, kendati tersembunyi,
bahkan dikatakan sejak zaman Kristus sendiri. Sekurangnya banyak orang, baik di
dalam maupun di luar kalangan fundamentalis, mengira bahwa mereka itu agama
Reformasi yang murni. Kesan ini dikuatkan oleh para profesional-anti-Katolik
yang bicara dan menulis seperti para tokoh Reformasi yang mereka kagumi. Mereka
menggeluti Institusi dari Calvin, dan karya-karya Luther, menggunakan kosa-kata
abad keenam-belas. Tulisan lawan-lawan mereka sebut “surat-surat jerami”
(begitulah Luther menyebut Surat Santo Yakobus). Dengan seenaknya mereka menebar
tuduhan “Anti-Kristus” seolah-olah mereka itu wasit penjaga garis. Apa saja
yang tidak mereka sukai mereka cap ”menghujat”, sekalipun persoalannya tidak
ada hubungannya dengan hujatan. Dan apa yang mereka suarakan dari mimbar-mimbar
mereka melahirkan peniru-peniru klise.
Hubungan
antara fundamentalisme dengan Reformasi sebenarnya kabur tidaklah sejelas yang
dipikirkan mereka yang non-fundamentalis atau pun yang diharapkan oleh kaum
fundamentalis sendiri. Hubungan langsung yang bersifat historis bukan hanya
kabur, tetapi juga nyaris tidak ada. Pada tiga dasawarsa yang lalu
fundamentalisme mendapat banyak sorotan media, dan khayalak menyadari maraknya gerakan
itu kembali, tetapi banyak juga yang mengira bahwa fundamentalisme sudah ada
selama berabad-abad dan baru sekarang menjadi terkenal. Keliru!
Memang,
ada orang-orang yang sejak lama menjadi pengikut Calvin, dan fundamentalisme
bukanlah apa-apa jika tidak Calvinistis. Namun sampai beberapa waktu yang lalu
fundamentalisme yang kita tahu bukanlah gerakan yang terpisah dari
Protestantisme, sementara istilah fundamentalisme sendiri belum dikenal.
Orang-orang yang sekarang disebut fundamentalis itu dulunya adalah jemaat
Gereja Baptis atau Gereja Presbitarian atau apa saja; mereka tidak menganggap
diri mereka berasal dari suatu faksi di dalam Protestantisme, suatu faksi yang
mengatasi garis-garis denominasi gereja. Dalam dasawarsa terakhir abad
kesembilanbelas barulah muncul masalah-masalah yang membuat mereka memisahkan
diri dari aliran-aliran utama Protestantisme, hingga sampai sekarang pun,
keturunan mereka masih tetap jemaat Gereja Baptis, atau Gereja Presbitarian
atau apa saja, merekalah fundamentalis yang pertama, meskipun mereka malu
dengan istilah itu dan menggunakan istilah lain yang tidak banyak
disalah-gunakan oleh media sekular.
Masalah
yang mula-mula membedakan fundamentalisme jadi lain dari Protestantisme adalah
Injil Sosial, suatu kecenderungan sekular dan liberal di dalam Protestantisme; teori
evolusi Darwin yang dianggap menggugat
keandalan Kitab Suci, dan aliran kritik tingkat tinggi atas Kitab Suci yang
berasal dari Jerman. Para pemikir baru berusaha memadukan sekularisme dengan
Kristianitas, yang akhirnya menanggalkan Kristianitas, juga pemikiran-pemikiran
yang konservatif. Menanggapi kecenderungan inilah para pemimpin awal
fundamentalis bersatu di sekitar beberapa prinsip dasar, namun barulah ketika
suatu seri buku dua-belas jilid berjudul “The Fundamentals” diterbitkan, dari situlah gerakan itu
mendapatkan namanya.
Unsur-unsur
dasar fundamentalisme dirumuskan tepatnya hampir seabad yang lalu di Seminari
Teologi Princeton, Princeton, New Jersey, oleh Benjamin B. Warfield, Charles
Hodge dan rekan-rekannya. Hasilnya
dikenal sebagai teologi Princeton dan menarik bagi Protestan konservatif yang
sedang prihatin dengan gerakan Injil Sosial.
Antara
1909 dan 1915 Milton dan Lyman Stewart bersaudara dengan kekayaan yang berasal
dari minyak bumi menerbitkan “The Fundamentals”, yang terdiri dari dua belas
jilid. Kata pendahuluan dari buku-buku itu menjelaskan tujuannya: “Pada tahun
1909 Tuhan menggerakkan dua orang awam Kristiani untuk menyisihkan sejumlah
besar dana (USD 300.000) untuk menerbitkan dua belas buku yang mengutarakan fundamen-fundamen (fundamentals) dari iman Kristiani, yang dikirimkan kepada
para pelayan Injil, para misionaris, para penilik Sekolah Minggu, dan
orang-orang lain yang sibuk dengan karya Kristiani yang giat di seluruh dunia
yang berbahasa Inggris”. Tiga juta eksemplar buku disebarkan. Setiap jilidnya
memuat tujuh atau delapan karangan. Selain kajian yang sengit atas soal-soal
ajaran, terdapat pula serangan terhadap kritik alkitabiah modern, kecaman
terhadap teori-teori ilmiah, kesaksian pribadi, komentar-komentar atas karya
misioner dan evangelisasi, dan catatan-catatan tentang bidaah. Kategori
terakhir meliputi karangan-karangan tentang “Katolisisme: Apakah itu
Kristiani?” dan “Roma, Lawan Bangsa”.
Tercatat
enampuluh empat penulis di dalam buku seri itu, termasuk sarjana-sarjana
seperti C.I. Scofield, penyusun Scofield Reference Bible; W.J. Eerdman dan
puteranya, Charles; H.C.G. Moule, Uskup Anglikan di Durham; James M. Gray,
pemimpin pada Moody Bible Institute; dan Warfield sendiri. Mereka meliputi para pendeta Gereja Presbitarian,
para penginjil Gereja Methodist, para redaktur majalah keagamaan, para
profesor, bahkan ahli tentang Mesir (Egyptologist). Seperti yang dikatakan oleh Edward Dobson,
rekan pastor pada Gereja Baptis Thomas Road dari Jerry Falwell, “Mereka itu
pastilah bukan kaum fanatik yang anti-intelektual, pawang-ular, dukun dan ahli
tenung.”
Dari fundamen-fundamen
yang terdapat di dalam seri buku itu, walau orang berbeda-beda tentang jumlahnya,
sebagian menghitung ada empat belas pokok. Sebagian komentator sepakat
sekurang-kurangnya dengan kelima hal ini: (1) inspirasi dan tidak bisa
kelirunya Kitab Suci; (2) keAllahan Kristus, termasuk kelahiranNya dari seorang
Perawan; (3) kematian Yesus sebagai silih tebusan atas dosa manusia; (4)
kebangkitanNya dari mati; dan (5) kedatanganNya yang Kedua-kalinya. Dobson
menulis, “Walaupun ada yang menambahkan daftar ini, misalnya dengan persoalan
surga dan neraka, memenangkan jiwa-jiwa, pribadi Setan, dan Gereja lokal, namun
ciri ajaran fundamentalisme tetap memusat di sekitar kelima fundamen itu.”
Buku-buku
itu menarik perhatian banyak orang yang tidak senang pada pandangan-pandangan
yang dinyatakan di dalamnya. Pada 22 Mei 1922, Harry Emerson Fosdick yang
adalah seorang teolog liberal, mengucapkan khotbah dengan judul: “Bisakah Kaum
Fundamentalis Menang?” Ia menggunakan judul buku seri itu untuk menyebutkan
orang-orang yang dilawannya, dan sejak itu label Fundamentalis digunakan. Namun
bukan dia yang memunculkan istilah Fundamentalis itu. Kehormatan sebagai
pengguna pertama istilah itu jatuh pada Curtis Lee Law, yang dalam suatu kolom
editorial pada koran Watchman-Examiner New York pada tanggal 1 Juli 1920
merumuskan kaum “fundamentalis” sebagai “mereka-mereka yang bermaksud
memperjuangkan fundamen-fundamen itu”. Karya-karya baku tentang fundamentalisme
termasuk James Barr, Fundamentalism (Philadelphia,
Westminster, 1977), Gabriel Hebert, Fundamentalism
and the Church (Philadelphia, Westminster, 1957); George Mardsden, ed. Evangelicalism and Modern America (Grand
Rapids: Eerdmans, 1984); Jerry Falwell, The
Fundamentalist Phenomenon (New York: Doubleday, 1981); Ernest R. Sandeen, The Roots of Fundamentalism (Chicago:
University of Chicago Press, 1970).
Setidaknya
demikian itulah menjelaskan bagaimana nama itu lalu eksis. Gerakannya sendiri
membingungkan asal-usulnya. Tidak ada pendirinya, dan tidak ada suatu peristiwa
yang dianggap sebagai saat kelahirannya. Para penulis fundamentalis – terutama
mereka yang menentang Gereja Katolik – menyatakan bahwa fundamentalisme
semata-mata kelanjutan dari aliran asli Kristiani, yang ada sampai tiga abad
setelah Kristus, lalu tenggelam di bawah permukaan selama dua belas abad,
muncul kembali bersama dengan gelombang Reformasi, mendapat kekuatan dari
berbagai sumber, bolak-balik berpengaruh namun semakin kurang nampak. Menurut
para partisannya, fundamentalisme adalah apa yang tersisa dari seluruh dunia
kekristenan (jika masih layak menyandang
nama kristen) yang jatuh dalam penyelewengan dari prinsip.
Kisah
yang sebenarnya dari fundamentalisme lebih gamblang. Gerakan itu terutama
adalah suatu fenomena Amerika yang dipengaruhi oleh Evangelisme Inggris, dan
kemudian sulit dilacak keberadaannya lebih jauh dari Zaman Kebangunan Raya
(Great Awakening) 1720-an, yang pada ujung akhirnya sekitar dua dasawarsa
kemudian, mungkin sepertiga dari penduduk dewasa di daerah-daerah koloni masuk
menjadi pemeluk agama. Zaman Kebangunan Raya dapat dikatakan membuat banyak
orang Amerika jadi sadar agama, dan maraknya penyebaran rasa keagamaan
merupakan lahan yang subur bagi apa yang disebut fundamentalisme itu.
Kebanyakan
para pengamat menganggap abad kesembilanbelas sebagai permulaan dari
fundamentalisme. Abad itu menjadi saksi pecah belahnya Protestantisme Amerika,
dimulai dari satu kelompok yang tidak puas memisahkan diri dari denominasinya,
diikuti oleh yang lain. Misalnya, sisa-sisa Metodis pada tahun 1866
menyelenggarakan perayaan 100 tahun didirikannya Gereja Metodis Amerika, yang
memuncak pada Kamp Pertemuan Holiness di Vineland, New Jersey setahun kemudian,
dan memuncak lagi dengan terjadinya skisma perpecahan, ketika Gereja-gereja
Holiness memisahkan diri dari Gereja
Metodis, yang dulunya juga merupakan pecahan dari Anglikan.
Abad
kesembilan belas menyaksikan munculnya paham milenialisme dan paham
dispensasionalisme, keyakinan-keyakinan yang berdekatan. Milenialisme merujuk
pada pemerintahan Kristus di dunia
seribu hari (lihat Wahyu 5) dan biasanya disertai dengan kecenderungan
menafsirkan nubuat yang dikaitkan dengan masa kini dan peristiwa-peristiwa
historis yang besar dari masa belakangan, Perang Dingin dan status Israel. Ada
banyak sekali ragam di dalam aliran milenialisme ini, tidak ada garis partai
dalam hal itu di antara kaum fundamentalis. Ada sedikit kesepakatan saja
tentang kapan terjadinya Kedatangan Kedua Kristus – apakah sebelum atau sesudah
tiap ribuan tahun (milenium)? – dan lebih kecil lagi kesepakatan tentang
bagaimana caranya memahami apa yang diketahui orang sebagai ramalan masa depan
jangka pendek. Seabad yang lalu, milenialisme terutama sangat dikenal karena
begitu seringnya unsur-unsur mereka jabarkan penuh persisi, namun kemudian ternyata
keliru, menyangkut perkiraan saat-saat akhir dunia (hari kiamat). Sekarang kaum
milenialis lebih hati-hati.
Dispensasionalisme
merupakan suatu teori yang dikembangkan oleh John Nelson Darby (1800-1882),
pendiri dari Plymouth Brethern (Persaudaraan Plymouth). Darby membagi sejarah
menjadi beberapa dispensasi atau era, di mana Allah tinggal dengan cara yang
berbeda dengan umat yang berbeda pula. Dispensasionalis membedakan antara
Israel dan Gereja – yang satu adalah Umat Allah duniawi, yang lain adalah Umat
Allah surgawi. Kata-kata yang khas dari gerakan mereka adalah “Pembagian Sabda
Kebenaran”. Ini merujuk pada penentuan mana bagian dari Kitab Suci yang untuk
Israel dan mana yang untuk Gereja.
Era
sekarang ini dianggap “zaman Bangsa-bangsa Lain”, di mana Israel menderita
menunggu pemenuhan nubuat alkitabiah. Nubuat-nubuat ini akan dipenuhi dimulai
dari “Saat Kegirangan” ketika “para orang kudus” diangkat ke surga hidup-hidup.
“Saat Kegirangan” ini mendahului “Pengadilan”, yang menyucikan dunia
mengantisipasi pemerintahan Kristus. Tulisan-tulisan Darby mempengaruhi C.I.
Scofield, dan dewasa ini banyak fundamentalis memperoleh ajaran
dispensasionalisme dari The Scofield Reference Bible.
Baik
tokoh-tokoh milenialisme maupun dispensasionalisme tidak terlibat dalam
pertengkaran antara Katolik dan fundamentalis, walaupun banyak dari yang
terakhir, bersama dengan para Evangelis justru sibuk dengan soal itu,
sebagaimana dibuktikan dengan popularitas buku-buku seperti karya Hal Lindsey “Late
Great Planet Earth”. Keluhan-keluhan
mengenai Katolisisme jarang merujuk kepada kekhususan ajaran fundamentalis
ataupun Evangelis; fokusnya selalu tertuju pada kekhususan ajaran Katolik.
Sebaliknya, pihak Katolik tidak begitu berminat dengan milenialisme, walaupun
pemikiran semacam itu mengganggu para leluhur pada abad ketujuh, bahkan dispensasionalisme sama sekali tidak
membuatnya bergeming.