PERSEMBAHAN KORBAN merupakan tindakan upacara ibadat yang dilakukan hampir secara
universal di mana-mana dalam agama-agama kuno. Begitu meratanya persembahan
korban dalam sejarah budaya manusia sehingga teologi Kristen memandangnya
sebagai sesuatu bagian dari hukum alam (mis St Tomas Aquinas, Summa
Theologiae II-II. Q 85., a1). Agama Kitab Suci didominasi oleh praktek korban
dalam banyak dan beragam bentuk. Sepanjang Perjanjian Lama dan Baru korban
merupakan salah satu cara pokok untuk ratifikasi, pembaruan dan perbaikan
ikatan hubungan di antara Tuhan dan manusia.
I. Praktik Persembahan Korban
A. Pada Zaman Bapa
Bangsa
B. Pada Zaman Musa
II. Tujuan Persembahan Korban
A. Persembahan Korban dan Perwakilan
B. Korban dan Perjanjian
C. Korban dan Penyembahan Berhala
III. Penyempurnaan Korban
A. Korban Kristus
B. Korban Umat Kristen
I. Praktik Persembahan Korban
Korban mempunyai bentuk yang berbeda-beda di zaman yang
berlainan sepanjang sejarah Kitab Suci yang panjang berabad-abad. Pembedaan
bagaimana praktiknya dapat dibuat di antara zaman-zaman bapa bangsa, Musa dan
Kristen. Dua fase yang pertama akan dibahas di bawah ini, sedangkan fase yang
ketiga dibahas dalam bagian III nanti.
Seperti yang disaksikan dalam Kitab Kejadian, doa dan
korban menandai bentuk-bentuk ungkapan keagamaan pada zaman para bapa bangsa.
Doa biasanya diperikan dengan idiom “berseru kepada nama Tuhan” (Kej 4:26;
12:8; 21:33; 26:25). Korban digambarkan dalam sejumlah cara. Misalnya
mendirikan mezbah atau altar menandakan adanya ritus upacara persembahan kepada
Tuhan (Kej 12:7-8; 13:18; 22:9; 26:25; 35:7). Obyek korban termasuk hewan
ternak seperti domba dan kambing (Kej 4:4; 22:13), burung-burung (Kej 8:20),
hasil panen ladang (Kej 4:3) hasil pemerasan minyak dan anggur (Kej 28:18;
35:14) dan pada satu-satunya ketika, roti dan anggur (Kej 14:18).
Korban pada
zaman para bapa bangsa merupakan praktik yang tidak diatur. Kitab Kejadian
tidakmemberikan petunjuk bahwa para bapa bangsa mengikuti suatu kalender agama
untuk hari-hari perayaan (walaupun musim-musim pertanian tampaknya memainkan
peran di dalam penetapan waktunya), atau bahwa mereka mengikuti daftar prosedur
ibadat tertentu, atau bahwa mereka merasa harus beribadat di suatu tempat suci
agama tertentu. Soal kapan, bagaimana dan di mana korban akan dipersembahkan
diserahkan kepada keputusan orang yang beribadat. Bukan hanya itu, semua ibadat
korban umum dilakukan oleh kepala keluarga – para bapa bangsa sendiri – bukan
oleh seorang imam profesional atau fungsionaris kultus yang dikhususkan untuk
tugas ini. Agama bapa bangsa dengan demikian merupakan agama keluarga aseli
yang sangat berbeda dari kultus korban yang ditetapkan oleh Musa dan tampak di
sepanjang tulisan Perjanjian Lama.
Praktik korban menjadi sangat formal dan dibakukan pada
zaman Musa. Korban bukan lagi merupakan tanggapan sekehendak hati menurut hukum
alam, melainkan diberi rumusan yang persis dalam Hukum yang diwahyukan Tuhan
kepada Israel. Sebagai bagian dari perjanjian Sinai, praktik kurban begitu
diatur dengan sangat rinci sehingga diuraikan dengan berbagai bentuknya,
bahannya dan prosedurnya. Begitu juga waktu-waktu dan pelayan pelaksana untuk
persembahan korban tidak lagi dipercayakan kepada para bapak dan bapa bangsa
sehubungan dengan kebutuhan masing-masing puak atau keluarga mereka, tetapi
diatur menurut suatu kalender tahunan perayaan agama (Im 23:4-44) dan petugas
pelaksananya diserahkan terbatas pada imam-imam dari garis keturunan Harun dan
anak-anaknya (Kel 40:12-15). Ibadat korban kemudian juga dipusatkan pada tempat
suci tertentu dalam masa ini – mula-mula di Kemah Pertemuan yang didirikan Musa
(Im 17:1-7) dan kemudian di Bait Allah Salomo (Ul 12:1-11).
Obyek
persembahan korban adalah kepala hewan ternak (sapi, domba, kambing) dan
beberapa macam burung (merpati, tekukur) – yaitu hanya hewan-hewan yang
menurut Hukum dinyatakan “bersih” dan diperbolehkan dimakan atau tidak haram
(Im 11:1-47; Ul 14:3-21). Binatang yang tidak bersih, yag terutama meliputi
binatang-binatang liar tidak boleh ditempatkan di altar ibadat. Di antara
persembahan makanan, korban dibuat dari tepung gandum, jelai, minyak dan
anggur, dan tepungnya harus diperciki dengan garam (Im 2:13). Rempah-rempah
seperti dupa wewangian juga dipersembahkan sebagai ungkapan ibadat (Kel
30:7-8).
Kebanyakan
prosedur korban berdasarkan Taurat ditetapkan dalam Im 1-7. Dalam bab-bab itu
uraian dasar diberikan untuk lima macam korban persembahan Israel zaman Kitab
Suci. Semua jenis persembahan korban harus dilakukan di tempat suci utama,
walau masing-masing jenis kurban mempunyai aturan liturgi yang khusus bagi imam
yang melaksanakan, awam yang beribadat dan persembahan yang disampaikan.
1. Korban
Bakaran (Kata Ibrani, ‘ola). Korban api-apian atau yang baunya
membubung naik digariskan dalam Im 1:3-7 dan 6:8-13. Dalam persembahan korban
ini, hewan korban harus ditiriskan dari darahnya, yang dipercikkan di
sisi-sisi altar, isi perutnya dibersihkan dan kemudian diberikan kepada imam
pelaksana. Hewan korban kemudian dipotong-potong menurut bagian-bagiannya dan
diletakkan di atas api perbaraan altar, dan dari situ naik kepada Tuhan dalam
rupa asap dan dupa wewangian. Karena tidak ada bagian dari hewan korban yang
dikembalikan kepada orang yang beribadat, korban bakaran dianggap sebagai
persembahan terbaik – persembahan murni kepada Tuhan. Buahnya adalah pendamaian
dosa (Im 1:4; bdk Ayb 1:5). Korban bakaran bisa saja dipersembahkan menurut
keinginan orang, namun diwajibkan bagi perayaan tahunan Israel dan untuk ibadat
dua-kali sehari di tempat suci (Kel 29:38-42).
2. Korban Sajian (Bahasa Ibrani minha).
Persembahan gandum diuraikan dalam Im 2:1-16 dan 6:14-23. Dalam korban ini,
tepung gandum atau jelai dicampur atau direciki minyak dan diberikan kepada
imam di tempat suci; bisa dalam bentuk bahan saja, untuk dibakar dalam
pembakaran roti, dipanggang atau dimasak dalam wajan. Imam akan mengambil
segenggam dari korban sajian itu dan menaburkannya ke dalam api mezbah untuk
bagian ingat-ingatan, dan yang selebihnya untuk dimakan imam-imam Harun.
Tampaknya korban sajian dikonsepsikan sebagai semacam “upeti” bagi Tuhan, sebab
kata Ibrani yang digunakan untuk korban itu di tempat lain dalam Kitab Suci
digunakan untuk pembayaran upeti rakyat jajahan kepada raja besar (Hak 3:15; 2
Sam 8:2). Bukti menunjukkan bahwa korban sajian tak berdarah bukanlah berdiri
sendiri, melainkan merupakan pelengkap bagi berbagai korban hewan bakaran.
3. Korban
untuk Damai Sejahtera (Bahasa Ibrani ‘selamim). Juga disebut
persembahan korban keselamatan demi persatuan dan kebersamaan keluarga, puak
atau komunitas, yang diuraikan dalam Im 3:1-17 dan 7:11-36. Dalam persembahan
korban ini, hewan korban dibawa ke tempat suci dan dibagi dalam beberapa
bagian: darahnya ditampung dan dipercikkan di sisi-sisi mezbah, gemuk dan
ginjal dibakar di mezbah; dada dan paha kanan diberikan kepada imam-imam untuk
makanan sajian, dan yang selebihnya untuk orang yang beribadat beserta
keluarganya untuk makan bersama. Pada umumnya,
korban damai sejahtera dipandang sebagai perayaan jamuan makan bersama
dengan Tuhan dan dimaksudkan untuk mempererat hubungan. Mungkin korban ini
dimaksudkan juga untuk menguatkan ikatan persahabatan dan perdamaian di antara
Tuhan dan umat, karena nama yang diberikan pada korban ini berkaitan dengan syalom,
artinya damai dan sejahtera. Dari jenis korban ini terdapat
turunannya, yaitu korban syukur (tola), korban spontanitas karena
keinginan bebas (nedaba) dan kurban pelunasan kaul/nadar (neder).
4. Korban
Penghapus Dosa. (Bahasa Ibrani hatta’t). Korban pentahiran/penyucian
yang diuraikan dalam Im 4:1-5:13 dan 6:24-30. Dalam korban ini, hewan korban
ditentukan menurut orang yang membutuhkan pentahiran/penyucian, apakah seorang
imam (mengorbankan lembu), seluruh jemaat (lembu), seorang pejabat (kambing
jantan) atau orang biasa (kambing betina, domba, tekukur atau merpati). Bagian
gemuk dan jantung hewan korban adalah untuk Tuhan dan dipersembahkan melalui
perbaraan mezbah; sebagian daging adalah untuk imam-imam sebagai makanan
sajian; selebihnya dibakar di luar perkemahan. Yang merupakan bagian pokok dari
korban penghapus dosa adalah darah hewan korban yang dianggap sebagai unsur
pembersih/penyucian dan digunakan imam dengan berbagai cara (disiramkan,
dioleskan, dipercikkan). Ritus ini adalah demi pengampunan perorangan (Im
4:20.26.31) walau banyak ahli menyatakan bahwa maksud dasarnya adalah untuk
menghapus noda-noda Israel dan tempat sucinya. Maka, dalam konteks ini, dosa
dipahami bukan sebagai kesalahan moral dan sesal yang menyertainya, tetapi juga
demi pelanggaran agamis atas ketentuan hukum ibadat penyucian yang digariskan
menurut Taurat. Situasi yang membutuhkan penyucian meliputi antara lain
persalinan (Im 12:6), kusta (Im 14:19) dan lelehan tubuh (Im 15:1-33).
5. Korban
Penebus Salah (Bahasa Ibrani ‘asam). Korban silih untuk memulihkan
hubungan yang diuraikan dalam Im 5:14-6:7 dan 7:1-7. Dalam persembahan korban
ini, seekor damba jantan yang mulus tak bercela dibawa ke tempat suci, darahnya
disiramkan di sekeliling mezbah, jantung dan lemaknya dibakar diperbaraan
mezbah, dagingnya diberikan kepada imam pelaksana sebagai makanan suci. Selain
itu, orang yang beribadat mengakukan kesalahannya kepada imam dan membayar
seperlima nilai korban untuk tempat suci. Maksud dari korban penebus salah
adalah meluruskan kekeliruan profanisasi hal-hal kudus serta kekeliruan
ketidakadilan peruntukan hak milik pribadi. Pelanggaran-pelanggaran yang
termasuk di sini juga dosa-dosa yang terlupakan atau yang baru diingat kembali
setelah korban selesai dilakukan.
Di satu pihak, jenis-jenis korban pokok ini, bersama dengan bentuk-bentuk penunjang seperti korban minuman sajian (mis Bil 15:5.10), merupakan korban-korban yang dipersembahkan pada kesempatan tertentu karena tuntutan keadaan dalam kehidupan bangsa. Namun pada umumnya, korban-korban ini diwajibkan sebagai bagian dari acara perayaan-perayaan menurut penanggalan ibadat Israel. Rangkaian korban ada yang disajikan setiap hari di tempat suci, mingguan pada hari Sabat, dan tahunan pada masa-masa perayaan, seperti yang disampaikan dalam Bil 28-29.
II. Tujuan Persembahan Korban
A. Persembahan Korban dan Perwakilan
Korban mempunyai banyak dimensi dan tingkatan
makna di dalam Kitab Suci. Pada umumnya, persembahan korban merupakan tindakan
simbolis. Mereka adalah ritus ibadat yang merupakan ungkapan lahiriah dan umum
dari bakti rohani seseorang kepada Tuhan. Dengan melalui persembahan korban,
manusia mengakui ketergantungan yang sepenuhnya kepada Tuhan dan mengakui kuasa
mutlak Tuhan atas hidupnya. Hubungan di antara orang yang melakukan persembahan
korban dan korban yang ia persembahkan sangat tepat dipahami dengan istilah
“perwakilan”. Artinya, korban yang dipersembahkan pada Tuhan di mesbah dan
dikirimkan ke surga sebagai asap [dan bau] mewakili diri orang yang
mempersembahkannya kepada Tuhan. Ada yang menafsirkan pembedaan antara orang
yang mempersembahkan dan korban yang dipersembahkan sebagai “substitusi”
(pengganti), sehingga hewan yang dikorbankan “menggantikan” atau “menjadi
ganti” dari orang yang melakukan ibadat. Ada semacam kebenaran dalam pengertian
ini, karena sejauh ini imam dan korban selalu dibedakan dalam Perjanjian Lama;
namun pengertian ini merupakan penyusutan sebagaimana teori umum mengenai
simbolisme korban. Yang lebih mungkin adalah teori repesentasi, perwakilan,
yang memandang orang yang beribadat mengorbankan miliknya “atas nama” dirinya
sendiri dan orang lain. Bagaimana pun, sesungguhnya Tuhan tidak menghendaki
daging hewan ataupun makanan lainnya (Mzm 50:12-13); yang dikehendaki Tuhan
adalah hidup dan hati kita dalam bentuk kepatuhan, syukur dan tobat (1 Sam
15:22; Mzm 51:16-17; 107:22). Inilah yang kemudian ditampakkan secara simbolik
dalam persembahan korban di masa Perjanjian Lama.
Pentingnya korban di dalam Kitab Suci sejalan
berdampingan dengan pentingnya tema perjanjian di sepanjang Kitab Suci. Tentu
saja perjanjian sering diratifikasi (disahkan) dan diperbarui dengan ibadat
korban (Mam 50:5). Alasannya sudah cukup jelas. Di satu pihak,
perjanjian-perjanjian di Israel maupun di wilayah Timur Dekat yang lebih luas
merupakan aliansi suci, bukan sekedar transaksi dagang atau politik. Maksudnya,
perjanjian-perjanjian ini dibuat di hadapan Tuhan (atau dewa-dewa) bersama
dengan pihak-pihak dengan menyerukan Tuhan sebagai saksi atas berbagai sumpah
yang diucapkan dan sebagai penjamin atas sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas
pihak yang setia (dalam rupa berkat) dan yang tidak setia (dalam rupa kutuk
atau laknat). Pada tataran tertentu, korban dengan demikian menyucikan atau
merayakan suatu peristiwa di mana komitmen yang semata-mata manusiawi dibuat
dalam nama Tuhan, di hadapan Tuhan, dan mengandalkan Tuhan.
Namun
sifat kesucian peristiwa itu hanya sebagian saja menjelaskan mengapa
persembahan korban memainkan peran pokok dalam upacara-upacara perjanjian. Demi
penjelasan yang lebih lengkap perlu dipikirkan juga simbolisme dari korban
sendiri; karena darah yang dicurahkan di dalam ratifikasi menyimbolkan baik
berkat maupun kutuk yang diserukan atas pihak-pihak dalam perjanjian. Dari segi
yang positif, darah kehidupan yang dilepas dari hewan korban menyimbulkan
hubungan baru yang mengikat pihak-pihak yang terkait bersama-sama. Di Israel
dan seluruh Timur Dekat kuno, perjanjian memperluas hak-hak dan kewajiban “puak
atau kekeluargaan” kepada orang-orang lain yang secara genetik/silsilah tidak
ada kaitannya. Dengan menyembelih hewan korban dan menggunakan darahnya bagi
pihak-pihak yang berjanji, diciptakan suatu hubungan darah yang baru. Maka
sesudahnya, orang-orang yang terlibat dalam perjanjian tidak lagi pikah-pihak
yang terpisah dalam suatu kontrak; mereka sekarang sama-sama menjadi anggota
keluarga yang sah secara hukum dan dalam tataran hubungan seperti
saudara-saudara atau warga satu puak atau sesuku. Namun dari segi yang negatif,
ritus penyembelihan hewan juga menyimbolkan kutuk atau laknat kematian yang
merupakan ancaman sanksi perjanjian atas pihak manapun yang berani melanggar
ketentuan-ketentuannya. Para ahli menyebut bal ini sebagai syarat kutuk-diri
atau laknat-diri. Maksudnya, dalam tindakan menjanjikan kesetiaan satu sama
lain, pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian menempatkan diri di bawah
suatu sanksi kutuk/laknat yang siap dipicukan terhadap pihak manapun yang
terbukti tidak setia. Isi sumpah sanksi ini ditampakkan dalam ritus korban:
jika ada pihak manapun yang berniat melanggar perjanjian maka ia sudah tahu
nasibnya akan menjadi seperti hewan yang disembelih dan dihabiskan di atas
mezbah.
Ratifikasi
perjanjian Sinai dalam Kel 24 menyampaikan suatu contoh yang jelas. Di sini
perjanjian antara Tudan dan Israel dimeteraikan dengan upacara korban di kaki
gunung. Hewan korban disembelih dan darahnya ditampung dalam bejana. Kemudian
dilakukan upacara pemberlakukan perjanjian: separoh dari darah itu dipercikkan
pada orang-orang, yang lain disiramkan di altar, mewakili Tuhan (Kel 24:4-8).
Pertama-tama ini menandakan berkat karena Tuhan menjadi keluarga ilahi dari
bangsa Israel, yang telah dinyatakan sebagai anak sulungNya (Kel 4:22).
Serentak dengan itu, baik Tuhan maupun umat sama-sama menjanjikan kesetiaan
pada perjanjian di bawah bayang-bayang penderitaan sanksi kutuk. Ini
diperlihatkan dengan penyembelihan hewan korban, dan curahan darah yang
digunakan untuk mengikat pihak-pihak yang bersumpah setia.
Sebagai tambahan pada fungsi-fungsi dan tataran
simbolisme ini, korban dalam Hukum Musa menuntut penjelasan khusus mengenai
maksud dan tujuannya. Sebab suatu dimensi makna yang belum dikemukakan pada
masa Keluaran adalah kaitan korban dengan persoalan Penyembahan Berhala.
Analisis isi kisah kelima kitab Musa, Pentateukh (Taurat), menunjukkan bahwa kode hukum
mengenai korban dalam kitab Imamat bukan merupakan bagian dari perjanjian asli
yang dimeteraikan di Gunung Sinai; namun ditambahkan sebagai amandemen atau
perubahan hukum yang sah atas perjanjian Sinai sesudah terjadinya kekejian
Israel dalam melakukan penyembahan berhala anak lembu emas (Kel 32:1-6). Dengan
kata lain, persembahan korban menjadi bagian dari perjanjian Sinai hanya dalam
bentuknya yang telah mengalami pembaruan, setelah bentuk yang asli dilanggar.
Perhatikan jalannya kisah: Ketika Israel bersiap-siap untuk melaksanakan
perjalanan Keluaran mereka dari Mesir, Tuhan memerintahkan kepada bangsa itu
untuk melakukan perayaan korban di Sinai (Kel 5:1-3) yang akan mengesahkan
perjanjian Sinai (Kel 24:4-8). Perhatikan bahwa perintah untuk
menyelenggarakan korban di gunung ini bukan suatu hukum yang permanen
mengenai korban yang diberlakukan bagi Israel sepanjang hayat mereka sebagai
suatu bangsa. Dalam kerangka perjanjian yang asli, yang dinyatakan dalam
Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:1-7) dan Ketentuan Perjanjian (Kel 21-23),
ibadat Israel kurang lebih dipandang sama dengan pola yang dilakukan para Bapa
Bangsa – yaitu dengan mezbah yang terbuat dari bahan-bahan alamiah dan
ditempatkan di berbagai lokasi (Kel 20:24-26), bersama dengan kalender
pesta-pesta sederhana mengikuti irama musim pertanian (Kel 23:14-17). Dalam
ketetapan peraturan ini tidak ada yang menentukan atau menyatakan jenis-jenis
dan tata cara persembahan korban kepada Tuhan. Nabi Yeremia menyadari situasi
asli ini ketika ia membahas persoalan ini berabad-abad kemudian: “Pada waktu
Aku membawa nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir Aku tidak mengatakan atau
memerintahkan kepada mereka sesuatu tentang korban bakaran dan korban
sembelihan” (Yer 7:22. Demikian pula Musa sendiri mengingatkan bangsa itu bahwa
sesudah hukum Sinai yang asli diberikan, Tuhan “tidak menambahkan lagi”
ketetapan-ketetapan (Ul 5:22).
Namun
struktur perjanjian Sinai berubah dramatis sekali sesudah insiden berhala anak
lembu emas. Dibuat beberapa revisi atas ketetapan-ketetapan perjanjian yang
asli, misalnya mengenai status anak-anak sulung Israel (bdk Kel 22:29 dan
34:20). Tetapi yang terutama Hukum diperluas dengan begitu banyak tuntutan dan
ketetapan baru mengenai ibadat. Israel setelah menistakan diri sendiri di
hadapan patung anak lembu emas kini diperintahkan untuk membangun suatu tempat
suci (Kemah Pertemuan), untuk menahbiskan golongan imam-imam profesional untuk
menjadi pengantara hubungan antara Tuhan dan awam anggota suku (Imam-imam dari
puak Harun dibantu oleh kaum Lewi yang bukan imam), untuk mematuhi penanggalan
perayaan ibadat yang rinci berdasarkan suatu siklus tahunan (Im 23:4-44), untuk
memelihara norma-norma kemurnian ritual sebagai suatu kondisi untuk serta dalam
ibadat Israel (Im 11-15) dan untuk mengikuti suatu daftar (kanon) liturgi
korban, sambil memperhatikan dengan baik-baik dan memastikan ketepatan tata
upacara (Im 1-7). Konteks di mana hukum-hukum tambahan diberikan – yaitu
sesudah Israel melanggar tatanan perjanjian Sinai yang asli – menunjuk pada
hubungan langsung dan kausal dengan apa yang mendahului tragedi ini. Dengan
kata lain di dalamnya tersirat bahwa Tuhan tanggap pada kelemahan Israel dalam
hal yang berhubungan dengan berhala dengan memberikan pedoman yang ketat untuk
beribadat kepada Tuhan yang sejati. Dipandang demikian, sistem persembahan
korban Musa, bersama dengan ketetapan ritual yang menyertainya merupakan kuk
koreksi yang dirancang untuk membuat Israel menjauhi penyembahan berhala dan
menata doa-doa, pujian dan permohonan mereka tertuju kepada Tuhan saja.
Berfungsi sebagai pengaman terhadap penyembahan berhala, sistem ibadat ini
memperkuat doktrin Musa mengenai monoteisme. Latar pemikiran bagi korban ini
diakui dalam tradisi Yahudi (mis. Moses Maimonides, Guide for the Perplexed
3.32) dan dengan bagus diiktisarkan dalam suatu tafsir Kristen dari Tomas
Aquinas:
Maka salah satu alasan yang mungkin bisa
diterima sehubungan dengan
upacara-upacara korban itu adalah fakta bahwa orang lalu dijauhkan dari praktek
menyajikan korban pada berhala. Namun juga bahwa aturan-aturan tentang korban
itu memang tidak diberikan kepada bangsa Yahudi sampai sesudah mereka
terperosok dalam penyembahan berhala dengan beribadat kepada patung anak lembu
emas: seolah-olah peraturan korban-korban itu sengaja ditetapkan demikian,
sehingga sesudah bangsa itu siap dengan persembahan korban, agar menyampaikan
persembahan korban itu hanya kepada Tuhan, bukan pada berhala (Summa theologiae, I-II. Q 102 a.3).
Tafsir dasar
yang sama juga disampaikan oleh teolog yang lebih terdahulu seperti Santo
Yustinus Martir (Dial. 19), St Atanasius (Epistula Festivalis.
19.4) dan St Yohanes Krisostomus (Wacana Melawan Orang Kristen yang
Memaksakan Cara Hidup Yahudi 4.6.5). Juga dibahas dalam tulisan-tulisan
gerejawi seperti Konstitusi Para Rasul yang Kudus 4.6.5. dan Didascalia
Apostolorum 26.
Maka dari sudut
sejarah, peraturan korban itu dipandang sebagai “pengalihan arah” menjauhi
penyembahan berhala. Namun pandangan lama tidak terhenti hanya di situ saja.
Korban dalam masa Musa juga dipandang sebagai “penggusuran” berhala sendiri.
Dengan kata lain, hewan yang dijadikan korban oleh orang Israel adalah
binatang-binatang yang dihormati di dalam agama Mesir sebagai gambaran para
dewa atau dewi. Minevis misalnya, dihormati dalam rupa sapi jantan, Apis dalam
rupa anak lembu. Hathor dalam rupa lembu betina, dan Khum dalam rupa domba
jantan. |Menyembelih binatang-binatang itu untuk korban sama saja dengan
memaklumkan perang pada agama Mesir. Semua yang dihormati Mesir dalam kultus
berhala, dianggap dewa palsu oleh Israel, dan ini dilakukan dalam kerangka
ibadat yang sesungguhnya kepada Allah yang benar.
Dasar tafsiran
ini terdapat pada kisah yang kanonis dalam Kitab Suci. Hal itu menyangkut
pertama-tama pandangan pada situasi Israel sebelum Keluaran, dan yang kedua
dengan menelaah dialog antara Musa dan Firaun.
Kitab Keluaran
menggambarkan masa ketika Israel berada
di Mesir sebagai masa penindasan yang menyedihkan dan perbudakan yang
disponsori negara (Kel 1:8-14). Namun tidak ada pernyataan langsung yang
diberikan untuk memberitahu pembaca mengenai kondisi rohani Israel pada masa
pra-Keluaran. Pengertian tentang hal ini baru sampai di kemudian hari dari
tradisi kitab suci. Misalnya, Yosua mengungkapkan pernyataan yang memancing
rasa ingin tahu bahwa leluhurnya di Mesir melayani dewa-dewa asing dari negeri
itu (Yos 24:14). Ini merupakan pernyataan bahwa bangsa Israel, karena tekanan
kuk penguasa Mesir, juga menempatkan diri di bawah kuk dewa-dewa Mesir. Mereka
tidak hanya menjadi budak yang membutuhkan pembebasan, tetapi juga penyembah
berhala yang membutuhkan pembaruan rohani. Hal yang sama juga dilakukan oleh
Nabi Yehezkiel, yang mengungkap fakta bahwa Israel ketika masih dalam
perbudakan itu, tidak mau “menyingkirkan berhala-berhala Mesir” (Yeh 20:7).
Tidaklah mengherankan jika dengan kesaksian-kesaksian dari Kitab Suci seperti
itu, keterikatan Israel pada berhala-berhala Mesir dikemukakan juga dalam
beberapa karya tulisan Yahudi (misalnya Leviticus Rabbah, 22.5) dan
tradisi Kristen (misalnya Eusebius, Demonstation of the Gospel).
Sisi lain dari
krisis ini muncul ketika Musa melakukan tawar menawar dengan Firaun untuk
pembebsan Israel. Sebelum Mesir dipukul dengan tulah-tulah yang akhirnya dapat
melepaskan belenggu Israel, Musa hanya bisa meminta suatu hari libur di mana
bangsanya bisa mempersembahkan korban kepada Tuhan di Sinai (Kel 5:1).
Mengingat asimilasi Israel pada budaya Mesir, ini merupakan kesempatan untuk
kembali pada iman lama mereka pada Tuhan dan menyingkirkan berhala-berhala
Mesir, sekali untuk selamanya. Tetapi sebelumnya Musa juga sudah membayangkan
suatu kesulitan jika Firaun mengizinkan mereka menyampaikan korban di dalam
tanah Mesir. “tidak mungkin kami berbuat demikian, sebab korban yang akan kami
persembahkan kepada Tuhan, Allah kami, adalah kekejian bagi orang Mesir.
Apabila kami mempersembahkan korban yang menjadi kekejian bagi orang Mesir itu,
di depan mata mereka, tidakkah mereka akan melempari kami dengan batu?” (Kel
8:25-26). Alasan yang tidak dikemukakan adalah bahwa Tuhan menyuruh bangsanya
mengorbankan binatang-binatang yang mewakili dewa-dewi Mesir. Seandainya Israel
melakukan hal itu di negeri Mesir sendiri, niscayalah mereka akan menghadapi
kekerasan seluruh bangsa yang disulut amarah mereka atas tindakan yang mereka
anggap sebagai penistaan hal-hal yang suci bagi mereka.
Diakui,
pandangan tafsir ini belum banyak diketahui atau diakui kalangan para ahli
modern. Namun, beberapa teks kuno persis menunjukkan hal ini: bahwa Musa
memahami korban kepada Tuhan menjadi pembinasaan kultus atas berhala-berhala
Mesir. Perhatikan kutipan-kutipan berikut dari tulisan kuno Yahudi yang
memperluas ayat kitab Keluaran yang berkaitan dalam suatu parafrasa:
Lalu Firaun memanggil Musa dan Harun serta berkata:
"Pergilah, persembahkanlah korban kepada Allahmu di negeri ini."
Tetapi Musa berkata: "Tidak mungkin kami berbuat demikian, sebab hewan
yang disembah rakyat Mesirlah yang akan kami persembahkan sebagai korban kepada
Tuhan, Allah kami. Apabila kami mempersembahkan korban hewan yang menjadi sesembahan
orang Mesir di sini, di depan mata mereka, tidakkah mereka akan melempari kami
dengan batu?” (Targum Onqelos pada Kel 8:25-26)
Pernyataan serupa dapat ditemukan dalam teks Kristen kuno
yang memahami korban seperti itu. Sekali lagi, perhatikan kutipan di bawah ini:
Perlu kamu ketahui...bahwa karena Tuhan telah mengambil
keputusan mengenai mereka, yaitu bahwa mereka tidak boleh beribadat kepada anak
lembu, dewa-dewa orang Mesir, yang dijadikanNya makanan bagi mereka dan Ia
justru memerintahkan mereka supaya memberikan sebagai korban hewan yang mereka
takuti di tanah Mesir itu. Sebab Tuhan tidak memerlukan korban dan persembahan.
Tetapi dalam rangka menghentikan orang Yahudi dari praktik memberikan korban
dan sajian itu, supaya mereka tidak beribadat kepada berhala-berhala rakyat
Kanaan setelah mereka nanti memasuki negeri itu dan bergaul dengan rakyat Kanaan,
sebagaimana mereka telah menyembah berhala-berhala Mesir setelah mereka
memasuki Mesir dan bergaul dengan rakyat Mesir. Maka Tuhan melarang dan
menghentikan praktek itu di kalangan orang Yahudi (St Afrahat, Demonstrations 15.6)
Sejarah
mengungkapkan bahwa bahwa para penulis bukan Yahudi dan bukan Kristen pun
melihat antagonisme yang tersirat dalam praktik persembahan korban di Israel
dengan kultus di Mesir. Kutipan pertama di bawah ini berasal dar Manetho,
seorang imam Mesir dari zaman Helenistik, yang karyanya hanya bisa diselamatkan
dalam bentuk fragmen-fragmen (potongan-potongan) saja. Kutipan yang kedua
berasal dari sejarawan Roma yang terkenal, Tacitus. Kedua pemulis itu melihat,
bahwa agama Musa tampaknya sengaja dan secara diametris berlawanan dengan
segala yang berciri Mesir.
Maka ia [Musa] pertama-tama membuat undang-undang bagi
mereka, bahwa mereka tidak boleh menyembah dewa-dewa Mesir dan harus tidak
harus pantang memakan hewan-hewan suci itu, yang sangat mereka hargai, tetapi mereka
binasakan semuanya; bahwa mereka tidak boleh berbaur dengan bangsa lain kecuali
konfederasi mereka sendiri. Setelah ia membuat peraturan hukum itu, dan banyak
lagi aturan-aturan yang terutama bertentangan dengan adat kebiasaan Mesir, ia
memberi perintah supaya mereka menggunakan tenaga mereka yang banyak itu untuk
membangun tembok-tembok kota mereka sendiri
(Manetho, dikutip dalam Yosephus, C.Ap 1.26)
Musa yang mau mengamankan wibawanya atas bangsa itu di masa
depan, memberi mereka suatu ibadat baru, yang bertentangan dengan praktek
orang-orang lain. Hal-hal yang suci bagi kita, tidak suci bagi mereka,
sementara mereka mengijinkan apa-apa yang bagi kita terlarang... Mereka
menyembelih domba jantan, tampaknya untuk menyingkirkan Hammon, dan mereka
mengurbankan lembu, karena orang Mesir mendewakan lembu di Apis (Tacitus, Hist. 5.4).
Pada akhirnya harus diakui bahwa persembahan korban dalam
masa Perjanjian Lama tidak saja mengambil bermacam-macam bentuk dan melakukan
berbagai-bagai fungsi, namun juga mengandung berlapis-lapis perlambangan dan
maknanya. Secara positif praktik dan peraturan itu berfungsi mendekatkan umat
perjanjian kepada Allah, sementara secara negatif menjauhkan mereka dari dosa,
terutama kebobrokan penyembahan berhala.
III. Penyempurnaan Korban
Korban menemukan maknanya yang definitif dan penuh pada
masa Perjanjian Baru. Penyempurnaannya bukan terutama dikaitkan dengan
perbaikan kultus model Musa sendiri, melainkan dalam persembahan hidup Yesus
Kristus sebagai kurban penebusan dunia. Secara luas, pesan Kristen juga
mengajak kaum beriman untuk menghayati pelayanan korban itu dengan meneladan
Tuhan.
Sekilasan, kisah Injil tampaknya menggambarkan
wafat Kristus sedikit lebih dari sekedar pidana mati atas seorang penjahat.
Pengkhotbah dari Nazaret itu berasal dari suku Yehuda yang tidak punya hubungan dengan keimaman. Ia dihukum
mati oleh imam besar Yahudi karena hujat, darahNya ditumpahkan oleh suatu regu
tentara Roma, dan Ia melepaskan nyawaNya di luar tembok-tembok Yerusalem, agak
jauh dari lokasi Bait Allah. Berdasarkan fakta ini adalah sah untuk mempertanyakan
bagaimana penyaliban Yesus bisa ditafsirkan sebagai suatu korban, apalagi
sebagai korban yang paling sempurna. Pertanyaan ini perlu diperhatikan karena
demikianlah pandangan umum atas kematianNya dalam Kekristenan yang paling awal.
Asal-usul pandangan korban itu dapat dilacak dari Yesus
sendiri. Pada malam Ia dikhianati, Yesus sudah lebih dahulu menyatakan
kematianNya yang akan tiba, dan memberitahukan sifat kematianNya itu sebagai
korban. Perhatikan wacanaNya dalam Perjamuan Terakhir. Dalam kata-kata
konsekrasi, ketika mengangkat cawan Ekaristi Ia berkata: “Inilah
darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk
pengampunan dosa” (Mat 26:28). Tentu saja penumpahan darah melukiskan kematian
yang dahsyat, suatu pembantaian dan perampasan nyawa. Namun di telinga orang
Yahudi, kata-kata itu juga menggemakan implikasi korban. Penalaran ini berakar
dalam kisah Keluaran dan dan nubuat-nubuat dalam kitab Yesaya.
Ada dua ungkapan yang berlatar
belakang kitab Keluaran. Yang pertama adalah ungkapan “darah perjanjian”, yang
mencerminkan kata-kata Musa di Gunung Sinai. Pada waktu pengesahan perjanjian
Musa, yang dimeteraikan dengan suatu ibadat korban, digunakanlah kata-kata ini:
“Inilah darah perjanjian yang diadakan Tuhan dengan kamu” (Kel 24:8).
Bagi Yesus, penerapan ungkapan ini pada diriNya sendiri menunjukkan bahwa
penumpahan darahNya akan merupakan suatu upacara korban dan menjadi saat
pengesahan suatu perjanjian yang baru. Yang kedua, karena Kristus berbicara
mengucapkan perkataan ini di dalam acara perjamuan makan Paskah, harus diingat bahwa
penyembelihan domba Paskah yang membentuk inti dari jamuan Seder digambarkan
dalam kitab Keluaran sebagai suatu “korban” (Kel 12:27). Implikasi dari latar
belakang kultis ini [sebagai korban demi perjanjian] untuk pemahaman
baik atas wafat Kristus maupun sakramen Ekaristi yang diantisipasi, lalu tidak
terhindarkan lagi.
Hal
yang sama dapat dikatakan sehubungan dengan pengaruh Yesaya atas perkataan
Yesus. Dengan memandang konsekrasi Ekaristi, beberapa ahli mengenali suatu
rujukan pada Lagu Hamba yang keempat dri Yesaya (Yes 52:13-53:12). Ini
merupakan syair mengenai Mesias yang Menderita, visiun yang mengiris hati
tentang Hamba Tuhan yang terkasih, yang menyerahkan diri pada hinaan dan
penolakan umatNya bahkan sampai mati. Mengapa ini penting? Karena lagu itu
mencapai klimaksnya pada pengorbanan jiwa Hamba itu sebagai korban demi dosa
manusia. Jelas bahwa Yesus mengingat nubuat ini ketika Ia mengucapkan kata-kata
konsekrasi: Ia menyebut darah
kehidupanNya “ditumpahkan” [poured out], sebagaimana sang Hamba
“menyerahkan [poured out] nyawanya ke dalam maut” (Yes 53:12); Ia
memberikan diriNya bagi “banyak” orang, seperti sang hamba yang dikatakan untuk
“membenarkan banyak orang” (Yes 53:11) dan menanggung dosa “banyak” orang (Yes
53:12); dan karena korban itu dihasilkan penghapusan dosa, persis seperti
keseluruhan tugas sang hamba yang menjadikan dirinya “korban penebus salah”
(Yes 53:10).
Mengingat
tradisi Injil mengenai Perjamuan Terakhir itu, tidak heran kalau penyaliban
Kristus lalu ditafsirkan sebagai suatu persembahan korban. Tradisi ini tampak
di dalam Paulus, di mana kenangan akan Yesus yang disalibkan adalah kenangan
akan anak domba Paskah yang disembelih sebagai korban (1 Kor 5:7). Begitu pula
ketaatan Kristus sang Hamba yang hasilnya membuat “banyak orang” lalu
“dibenarkan” (Rm 5:19), adalah seperti yang kita lihat dalam lagu Hamba yang
Menderita (Yes 53:11). Paulus beberapa
kali berusaha melampaui motif-motif tradisional ini dan menggambarkan penyaliban
dengan kata-kata yang beraal dari
ayat-ayat korban dalam Perjanjian Lama, ketika ia berkata: “Kristus Yesus telah
menyerahkan diriNya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi
Allah” (Ef 5:2, mengingat versi Yunani dari Kej 8:20-21 dan Kel 29:18). Rasul
Yohanes juga mengikuti jalur tafsir ini dengan pernyataannya bahwa “darah”
Yesus “menyucikan kita dari segala dosa” (1 Yoh 1:7). Perkataan ini, perlu
diperhatikan, adalah bahasa korban penebus salah, di mana darah korban
dicurahkan untuk penghabusan dosa (bdk 1 Yoh 2:2; 4:10). Ayat-ayat yang lain
yang juga dapat dikutip sebagai kesaksian akan tafsiran wafat Kristus sebagai
korban di masa Perjanjian Baru, misalnya Yoh 1:29; 2 Kor 5:21; 1 Ptr 1:18-19;
Why 5:6-10.
Tak
ada yang lebih luas dari renungan Surat Ibrani sehubungan dengan korban Kristus
ini. Kristologi Surat Ibrani seluruhnya menyoroti pentingnya imamat dan ibadat
melalui korban Kristus ini. Ditunjukkan bahwa Yesus, dengan menyerahkan
hidupNya yang tak kenal dosa pada Bapa, Ia secara definitif menyampaikan korban
yang melampaui segala korban yang lain, dan dengan itu Ia mengesahkan
perjanjian yang baru dan kekal (Ibr 8:6-7; 13:20). Secara khusus persembahan
“tubuh” (Ibr 10:10) dan “darah” (Ibr 9:12) Kristus merelatifkan seluruh sistem korban
menurut Musa. Ini karena korban Kristus sungguh menghasilkan penyucian dosa
yang membersihkan suara hati para penyembah (Inr 9:14; 10:22) dan tidak perlu
diulangi lagi (Ibr 9:25-26; 10:14-18). Maka sifatnya sangat kontras dengan
darah hewan korban, yang tidak mampu membersihkan dosa-dosa (Ibr 10:1-4)
ataupun tidak memurnikan apapun selain aspek jasmaniah dari orang yang
melanggar tata upacara (Ibr 9:9-10.13). Dari sudut yang sangat khusus, Surat
Ibrani melebarkan jangkauan korban Kristus melampaui wafatNya di salib dan
meliputi kenaikanNya ke surga ke dalam tempat suci Surgawi (Ibr 4:14; 9:24).
Tipologi yang mendasari teologi ini adalah liturgi Hari Pendamaian, di mana
darah hewan korban diarak ke dalam Ruang Mahakudus (Ibr 9:6-14; bdk Im
16:1-19). Sejauh tempat suci yang paling dalam dari Kemah Pertemuan adalah
merupakan gambaran tempat suci surgawi di dunia (Ibr 9:24) gagasannya adalah
bahwa Yesus, dengan berperan sebagai imam agung dan korban, telah membawa
darahNya sendiri sekali untuk selamanya ke dalam Ruang Mahakudus Allah di
surga, dan di situ Ia mendapatkan “penebusan kekal” bagi kita (Ibr 9:12).
Tema korban tidak hanya terbatas pada tindakan Kristus di
dalam Perjanjian Baru, tetapi juga diterapkan pada jemaat Kristen juga. Dalam
arti tertentu, hal ini tersirat dalam ajaran Kristus, yang mengajak para
pengikut untuk “memanggul salib” meneladan Dia (Mat 10:38; Mrk 8:34; Luk
14:24). Setelah Ia melukiskan penyaliban diriNya dalam kerangka ibadat dan
korban, selanjutnya hidup para murid Kristen juga mempunyai ciri-ciri ini.
Tema ini
dikembangkan terutama di dalam surat-surat Paulus, yang menggunakan
gambaran-gambaran dan gagasan korban untuk melukiskan pelbagai kegiatan
Kristen. Misalnya, ia mendorong umat beriman agar mempersembahkan “tubuh
sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah” (Rm
12:1). Ini merupakan himbauan pada hal-hal seperti kemurnian, kegigihan,
mati-raga dan tindakan moralitas dan kerohanian injili lainnya yang
mempersembahkan tubuh dan keindahannya pada kehendak Allah. Bentuk korban yang
lain meliputi uang, seperti pemberian yang diterima Paulus dari jemaat Filipi,
yang disebutnya “suatu persembahan yang harum, suatu korban yang disukai dan
yang berkenan kepada Allah” (Flp 4:18). Pekerjaan misioner juga digambarkan
dalam kerangka yang sama, karena Paulus memandang pekerjaannya di antara
bangsa-bangsa lain sebagai sebentuk “pelayanan keimaman” di mana pertobatan
dari dunia dijadikan suatu “persembahan korban” pada Allah (Rm
15:16). Begitu pula khotbahnya digambarkan sebagai meluaskan “harumnya” pesan
Kristus kepada dunia, seperti dupa wewangian yang mengalir dari tempat kudus (2
Kor 2:15). Akhirnya, prospek kemartiran dalam pandangan Paulus adalah prospek
untuk “darah yang dicurahkan pada korban dan ibadat iman” (Flp 2:17; bdk 2 Tim
4:6).
Dorongan
semangat yang sama diberikan lebih kemudian dalam Perjanjian Baru, ketika
pembaca diajak “senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu
ucapan bibir yng memuliakan namaNya” (Ibr 13:15). Ditegaskan bahwa
“korban-korban demikianlah yang berkenan kepada Allah” (Ibr 13:16).
Walaupun
kadang-kadang tidak dikenali, ciri-ciri hidup Kristen yang berkorban juga
tersirat dalam gambaran Gereja sebagai Bait Allah (1 Kor 3:16-17; 2 Kor 6:16;
Ef 2:19-22). Penalarannya adalah bahwa dalam dunia Kitab Suci kuno, Bait Allah
(atau kuil dalam agama lain) bukan sekedar tempat Allah bersemayam (atau dewa
lain), tetapi juga rumah untuk melakukan ibadat korban. Sebagai contoh, Petrus
mengingat hubungan yang dekat antara Bait Allah dan korban yang dilakukan imam
ini ketika ia menyerukan: “Biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup
untuk pembangunan rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan
persembahan rohani, yang karena Yesus Kristus berkenn kepada Allah” (1 Ptr 2:5).
Mendasari tema
ini adalah suatu teologi peran-serta (participation). Sejauh berkaitan dengan ajaran Perjanjian
Baru, Kristus tidak dipandang sebagai korban pengganti (silih) yang tindakanNya
di kayu Salib menghapus perlunya atau kekhasan korban lain yang dipersembahkan
oleh umat Kristen yang beriman. Sebaliknya, kaum beriman oleh Injil diajak
untuk meneladan hidup Kristus sejauh mungkin dengan pertolongan Tuhan. Korban
merupakan bagian utama dalam hal ini. Lain dari korban dalam Perjanjian Lama
yang terdiri dari korban hewan dan makanan sajian yang mewakili orang yang
beribadat di hadapan Allah. Sekarang dengan persembahan korban yang sempurna
oleh Kristus, kepada dunia ditunjukkan makna yang paling luhur dari korban :
suatu persembahan berupa ketaatan kasih yang menyerahkan segenap diri – hati,
pikiran dan tubuh – pada kehendak Allah.