Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Iman dan Akal Budi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Iman dan Akal Budi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 November 2022

POKOK-POKOK KATEKESE IMAN KITA 3 MANUSIA JALAN PENGETAHUAN

 Bambang Kussriyanto




Mengenangkan dinamika sikap manusia dalam hubungan dengan Allah, di dalam ensiklik Fides et Ratio (Iman dan Akal Budi, 1998)  Paus Yohanes Paulus II menulis: “Baik di Timur maupun Barat kita dapat menemukan jejak perjalanan manusia selama berabad-abad untuk menemukan dan merangkul kebenaran yang semakin dalam. Perjalanan ini memaparkan dalam cakrawala kesadaran diri, bahwa semakin manusia mengenal realitas dan dunia, semakin mereka mengenal diri sendiri dalam keunikannya, persoalan makna segala sesuatu dan keberadaan dirinya semakin dirasakan mendesak pula. Tinjauan sekilas atas sejarah kuno dengan jelas menunjukkan betapa di berbagai bagian dunia yang berbeda dengan budaya mereka, muncul pertanyaan-pertanyaan dasar yang sama: Siapa aku? Dari mana asalku dan ke mana aku pergi? Mengapa ada kejahatan? Ada apa sesudah hidup ini berakhir? Semua pertanyaan ini kita dapatkan pada tulisan-tulisan suci, dalam puisi dan drama tragedi, juga dalam tulisan-tulisan filsafat. Pertanyaan-pertanyaan itu timbul dari sumber yang sama yang mencari makna dan bergolak di hati manusia. Sesungguhnya jawaban atas pertanyaan itu menentukan ke mana arah tujuan hidup orang....” (FeR, 1-2)

            Tetap tersedia jalan-jalan untuk mengenal Allah. “Karena manusia diciptakan menurut citra Allah dan dipanggil untuk mengenal dan mencintai Allah, ia menemukan ‘jalan-jalan’ tertentu dalam pencariannya agar mencapai pengenalan akan Allah” (KGK 31).

            Yohanes Paulus II selanjutnya menyatakan: “Terdorong oleh hasrat menemukan kebenaran terdalam mengenai keberadaannya, manusia berusaha menemukan unsur-unsur pengetahuan universal yang memampukan mereka memahami diri sendiri dengan lebih baik dan memajukan perwujudan dirinya. Unsur-unsur dasar ini berasal dari rasa pesona yang timbul dalam diri mereka ketika merenungkan alam semesta: manusia mendapatkan diri sebagai bagian dari dunia, dalam suatu tata hubungan dengan orang-orang lain sesama mereka, berbagi situasi yang sama. Dari situlah kemudian dimulai perjalanan yang mengantar mereka kepada penemuan-penemuan ambang-batas baru pengetahuan.

            ....kemampuan berpikir yang khas pada akal-budi manusia menghasilkan cara berpikir yang hebat, dan pada gilirannya, melalui kesimpulan-kesimpulan yang logis dan kesatuan organik dari isinya, dihasilkanlah pengetahuan yang sistematik. Di dalam konteks budaya dan zaman yang berbeda, proses ini membuahkan berbagai sistem pemikiran yang asli” (FeR 4).

            Dalam pandangan Paus Yohanes Paulus II, berbagai sistem pemikiran memajukan berbagai bidang pengetahuan dan memacu perkembangan kebudayaan. Antropologi, logika, sains, sejarah, ilmu bahasa dan sebagainya. “Namun seharusnya hasil-hasil positif yang dicapai tidak mengaburkan fakta bahwa akal-budi, dalam tujuan sepihaknya untuk mencari jati diri manusia, rupanya telah melupakan bahwa pria dan wanita selalu dipanggil untuk mengarahkan langkah mereka pada kebenaran yang melampaui mereka. Terlepas dari kebenaran transenden itu, manusia terkungkung dalam kriteria pragmatik yang didasarkan pada data eksperimental, dalam keyakinan yang salah bahwa teknologi bisa melakukan segalanya. Karena itulah maka akal budi bukan lagi menyuarakan kerinduan manusia kepada kebenaran yang ilahi, namun terpuruk oleh beban berat pengetahuan-pengetahuan pragmatik itu dan lambat laun tidak mampu mengangkat pandangannya lebih tinggi, dan tidak berani menatap kebenaran mengenai keberadaannya” (FeR 5).

            Demi bentuk pengetahuan yang lebih dalam, Paus Yohanes Paulus II mengingatkan perlunya kerendahan hati  yang diperlihatkan praktek Umat Allah. “Jika akal budi mau jujur, maka tentulah ia menghormati dasar-dasar tertentu. Yang pertama adalah bahwa akal budi harus menyadari bahwa pengetahuan manusia adalah suatu ziarah perjalanan yang tak pernah berhenti; yang kedua bahwa jalan pengetahuan itu bukanlah untuk menyombongkan  diri bahwa semuanya adalah hasil perjuangan pribadi; yang ketiga adalah bahwa pengetahuan itu berasal dari sikap “takut akan Allah” yang bersumber dari pengakuan akal budi pada kuasa dan kasih penyelanggaraan ilahi yang mengatasi segala sesuatu” (FeR 18).

            Jika dasar-dasar itu ditinggalkan, manusia terjerumus dalam apa yang di dalam Kitab Suci disebut “kebodohan” dan menjadi ancaman bagi hidup manusia. Orang bodoh mengira sudah mengetahui banyak hal, tetapi sesungguhnya ia tidak dapat mengarahkan pandangannya pada hal-hal yang sungguh penting. Maka ia tidak bisa mengatur pikirannya sendiri dan tidak bisa menempatkan diri dengan sikap yang tepat pada dirinya sendiri dn pada dunia sekelilingnya (Ams 1:7). Maka jika ia berkata “Tidak ada Allah” (bdk Mzm 14:1) dengan sangat jelas ia memerlihatkan betapa kurang pengetahuannya, dan betapa jauh ia dari kebenaran yang penuh dari segala sesuatu, sehubungan dengan asal dan tujuannya.

            Pada hal seharusnya, di dalam berpikir mengenai segala sesuatu itu, manusia dapat sampai kepada Allah. “Sebab orang dapat mengenal Sang Pencipta dengan membanding-bandingkan kebesaran dan keindahan ciptaan-ciptaan-Nya” (Keb 13:5). Inilah Wahyu ilahi tahap pertama, di mana “kitab alam kodrati” jika dibaca dengan tepat oleh akal budi manusia dapat membawa mereka kepada pengetahuan akan Allah. Jika manusia dengan kecerdasannya gagal mengakui Allah sebagai Pencipta segala sesuatu, hal itu bukanlah karena mereka kekurangan sarana, tetapi karena kehendak bebas dan dosa-dosa menghalangi mereka” (FeR 19).

            Maka bagaimana pun juga jalan pertama menuju pengenalan akan Allah adalah dunia. Allah tidak dicari sama sekali terpisah dari dunia, melainkan pada dan di dunia. “Dari gerak dan perkembangan, dari kontingensi, dari peraturan dan keindahan dunia, manusia dapat mengenal Allah sebagai sumber dan tujuan alam semesta” (KGK 32). Santo Paulus menegaskan mengenai mereka yang tidak mengenal Allah: "Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak tampak daripada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat tampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih" (Rm 1:19-20). Dan Santo Agustinus berkata: "Tanyakanlah keindahan bumi, tanyakanlah keindahan samudera, tanyakanlah keindahan udara yang menyebar luas, tanyakanlah keindahan langit .... tanyakanlah semua benda. Semuanya akan menjawab kepadamu: Lihatlah, betapa indahnya kami. Keindahan mereka adalah satu pengakuan [confessio]. Siapakah yang menciptakan benda-benda yang berubah, kalau bukan Dia yang Indah  yang tidak dapat berubah" (Serm. 241,2).

            Ditinjau secara demikian, daya kemampuan dan nilai akal budi janganlah dibesarkan lebih dari yang sewajarnya. Hasil penalaran memang bisa benar, tetapi hasil-hasil ini hanya akan mendapatkan maknanya yang sejati jika ditempatkan pada horison yang lebih luas dari iman: “Langkah manusia ditetapkan oleh Allah, tetapi bagaimanakah manusia mengerti jalan hidupnya?” (Ams 20:24)

            Manusia mencapai kebenaran dengan akal budi karena, diterangi oleh iman, mereka menemukan makna yang lebih dalam dari segala sesuatu dan yang terutama dari keberadaan mereka sendiri [bdk. FeR 20].



            Manusia juga dapat mencapai pengetahuan akan Allah melalui pergaulan dengan sesamanya. Maka manusia (dan masyarakat manusia) menjadi jalan pengetahuan akan Allah. “Dengan keterbukaannya kepada kebenaran dan keindahan, dengan pengertiannya akan kebaikan moral, dengan kebebasannya dan dengan suara hati nuraninya, dengan kerinduannya akan ketidakterbatasan dan akan kebahagiaan, manusia bertanya-tanya tentang adanya Allah. Dalam semuanya itu ia menemukan tanda-tanda adanya jiwa rohani padanya. ‘Karena benih keabadian yang ia bawa dalam dirinya tidak dapat dijelaskan hanya dengan asal dalam materi saja’ (GS 18,1), maka jiwanya hanya dapat mempunyai Tuhan sebagai sumber (KGK 33).

 

Manusia Sebagai Jalan Pengetahuan

Manusia dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dan kemudian melalui kegiatannya memasuki masyarakat. Sejak lahir mereka mengikuti tradisi bahasa dan budaya yang mengenalkan berbagai kebenaran yang dipercaya nyaris secara naluri. Ketika semakin dewasa, kebenaran-kebenaran tertentu diragukan, ditimbang secara kritis, dipikirkan dan dirumuskan kembali. Namun ada lebih banyak kebenaran yang diterima begitu saja dan dipercaya sebagai benar daripada yang mengalami verifikasi. Ini berarti bahwa manusia yang mencari kebenaran, hidup berdasarkan kepercayaan (FeR 31).

            “Kita mempercayakan diri pada pengetahuan yang diterima orang lain. Lalu ada tegangan. Di satu pihak, pengetahuan yang didapat karena percaya bisa dirasakan  sebagai pengetahuan yang tidak sempurna dan perlu disempurnakan dengan mengumpulkan bukti-bukti, di pihak lain, kepercayaan sering lebih kaya daripada sekedar bukti, sebab di dalam kepercayaan itu tersangkut hubungan antar manusia yang menjadi ajang bekerjanya kemampuan orang untuk mengetahui dan juga kemampuan yang lebih dalam untuk percaya kepada orang lain dalam suatu hubungan yang akrab dan bertahan lama. Perlu ditekankan bahwa kebenaran yang dicari dalam hubungan antar pribadi ini bukan pertema-tama kebenaran empiris dan filosofis, melainkan kebenaran mengenai pribadi, yang timbul dari penyingkapan diri. Dan dalam dinamika pemberian diri yang penuh kepercayaan inilah seseorang menemukan kepastian dan keamanan” (FeR 32).

            Secara berangsur-angsur kita menyusun konsep-konsep masalah. Pada hakekatnya manusia mencari kebenaran. Pencarian ini bukan hanya untuk mencapai kebenaran yang bersifat sebagian, empiris dan ilmiah; juga tidak sekedar untuk mendasari tindakan pribadi di dalam pengambilan keputusan. Mereka mencari kebenaran terdalam yang dapat menjelaskan makna hidup. Suatu pencarian yang hanya akan mencapai tujuannya jika telah mencapai kebenaran mutlak. “Syukurlah karena kemampuan berpikir yang ada padanya, manusia dapat menjumpai dan mengakui kebenaran terakhir itu. Kebenaran seperti itu – yang sangat menentukan dan penting bagi hidup – dicapai bukan hanya melalui akal budi, tetapi juga dengan memercayai apa yang telah dicapai pihak lain yang dapat menjamin autentisitas dan kepastian dari kebenaran itu. Maka tak pelak, kemampuan untuk memercayakan diri satu sama lain dan keputusan untuk bertindak demikian merupakan tindakan manusia yang signifikan dan ekspresif” (FeR 33).

            Tak boleh dilupakan bahwa beroperasinya akal budi perlu ditopang oleh dialog yang diwarnai kepercayaan dan persahabatan yang tulus. Diperlukan suatu institusi, suatu komunitas dengan iklim tertentu di mana dialog dapat dilancarkan tanpa takut. Suasana prasangka dan curiga akan sangat merugikan pencarian kebenaran dan dapat mematikan dinamika pemikiran.



            Katekismus selanjutnya menyatakan [KGK 34] bahwa baik: Dunia dan manusia memberi kesaksian bahwa mereka dalam dirinya sendiri tidak memiliki sebab mereka yang pertama serta tujuan mereka yang terakhir... Melalui "jalan-jalan" yang berbeda manusia dapat sampai kepada pengertian bahwa ada satu realitas, yang adalah sebab pertama dan tujuan akhir dari segala-galanya, dan realitas ini ‘dinamakan Allah oleh semua orang’ (Tomas Aqu., STh. 1,2,3).

            Namun telah dikatakan di depan, konsep-konsep pengertian bisa keliru disusun. Hal itu disebabkan karena keterbatasan bahasa manusia dalam menggambarkan Allah yang tidak terbatas. Bahkan konsep tentang Allah pun bisa keliru. Maka perlu sekali untuk tanpa henti memurnikan bahasa kita tentang Dia dari segala gambaran keterbatasan dan ketidaksempurnaan, dengan kesadaran bahwa kita tak akan pernah dapat memaparkan sepenuhnya misteri Allah yang tiada terbatas. Seorang penulis menyampaikan kritik: “Allah dialami dan dirujuk sebagai suatu agama, suatu gereja, suatu filsafat moral, suatu pedoman bagi keutamaan pribadi, suatu tuntutan akan keadilan, atau sebagai suatu nostalgia akan situasi yang benar. Bagi kebanyakan dari kita, kepercayaan kepada Allah adalah seperti berikut ini: Tuhan adalah agama, dan agama merupakan suatu cara hidup – pergi ke gereja, mendapat bimbingan dari Kitab Suci; melakukan seks di dalam rangka perkawinan monogami; tidak berdusta, berbohong atau mengumpat; prinsip demokrasi; estetika (cita rasa seni) yang benar; ramah dan bersikap baik satu sama lain.

            Maka bagi kebanyakan dari kita, Allah lebih merupakan suatu prinsip moral dan intelektual dari pada sebagai seorang pribadi, dan komitmen kita kepada prinsip ini berjalan mengikuti tangga nada mulai dari semangat yang kuat, di mana orang bersedia mati untuk suatu tujuan, lalu melemah loyo sampai pada suatu perasaan nostalgia yang samar-samar, di mana Allah dan agama mendapatkan tipe status kedudukan dan nilai kepentingan yang kurang lebih simbolis saja, sama seperti yang diberikan kepada Ratu Inggris, yaitu sekedar sebagai jangkar simbolis bagai cara hidup tertentu namun nyaris tidak penting dalam jalannya kehidupan sehari-hari. Ini tidak sungguh-sungguh buruk, tetapi  menunjukkan bukti bahwa tak seorang pun sungguh-sungguh peduli pada Tuhan. Kita tertarik pada soal-soal keutamaan, keadilan, cara hidup yang tepat, atau mungkin di dalam membangun komunitas yang beribadat, yang bersedia saling membantu, dan memerjuangkan keadilan, namun pada ujung-ujungnya ada begitu banyak bukti yang menunjukkan bahwa filfasat moral, naluri manusia dan kepentingan pribadi tampil lebih penting di dalam motivasi semua kegiatan ini daripada kasih dan rasa syukur yang memancar dari hubungan pribadi dengan Tuhan yang hidup” (Ronald Rolheiser, The Shattered Lantern)

            Sesungguhnya: “Daya kemampuan manusia me-mungkinkan-nya untuk mengenal Allah sebagai pribadi. Tetapi supaya manusia dapat masuk ke dalam hubungan yang mesra dengan Allah, maka Allah berkenan menyatakan diri kepada manusia dan memberikan rahmat kepadanya supaya dengan kepercayaan dapat menerima wahyu ini” (KGK 35).

[BERSAMBUNG] 


Jumat, 23 September 2022

Kebenaran

 



Wawancara Guillaume Goubert dari La Croix, dengan Timothy Radcliffe OP, Jendral Ordo Dominikan (1992-2001) 

 “Veritas”: Apa artinya moto yang membuatmu tertarik kepada Ordo Dominikan itu? Apa kebenaran ini?

 Kupikir yang pertama-tama kita harus memahami mengapa gagasan kebenaran ini begitu mencurigakan bagi banyak orang. Memang bisa tampak dingin, intelektual dan bahkan sombong : “Kami menguasai kebenaran.” Manusia di dalam abad yang baru saja lalu dibingungkan oleh ideologi-ideologi yang menyatakan menguasai kebenaran: Komunisme, Nazisme, Saintisme, dan sekarang, konsumerisme. Maka kita tidak terkejut jika orang curiga pada siapa saja yang menyatakan memiliki kebenaran. Dalam konteks ini, adalah lebih penting bagi kita untuk mempunyai jenis keyakinan yang tepat di dalam pernyataan akan kebenaran.

            Tapi maksudnya apa? Pada waktu Kapitel Jendral OP di Caleruega tahun 1995, kami tinggal tiga minggu di tempat kelahiran Dominikus, di suatu dataran berdebu di sebelah utara Castile. Aku tak tahu apakah bisa tahan lama di tengah-tengah ranah antah berantah seperti itu. Tetapi aku jatuh cinta pada tempat itu. Lebih tepatnya, aku jatuh cinta dengan cahaya yang menerangi apa saja, kejernihannya, sinarnya yang kuat. Aku percaya bahwa cahaya inilah yang khas Dominikus, kemampuannya untuk melihat dengan jelas, untuk mengakui keberadaan seseorang sebagai manusia, kebaikan mereka, penderitaan mereka. Kebenaran ini mungkin, pertama-tama, adalah suatu cahaya yang mengungkapkan keindahan dan kebaikan dunia dari Allah, dan juga kesengsaraan dan penderitaannya.

            Karena itu ada kaitan yang sangat erat di antara kebenaran dengan kasih. Ini mungkin aneh, karena kita biasanya memikirkan kasih sebagai perasaan yang hangat dan tidak ada hubungannya dengan pikiran. Tetapi mengasihi pribadi lain meliputi usaha memahami siapa dia sebagaimana adanya. Bertumbuh dalam kasih menuntut usaha untuk memahami mereka, melihat dengan mata mereka, meresap dalam kemanusiaan mereka; dan bertumbuh di dalam pemahaman mengalirkan kasih. Orang-orang yang sezaman dengan kita cenderung menganggap pengetahuan itu dingin, sikap ambil jarak secara impersonal, mengamati dari jarak tertentu. Kitab Suci mengajarkan sebaliknya: kata “kenal” berarti berarti suatu hubungan yang intim. Maka pengenalan, pengetahuan, mensyaratkan keintiman, keakraban. Kasih membantuku mengenal kebenaran, dan kebenaran membantuku dalam mengasihi.

            Kebenaran juga membuka komunikasi di antara orang-orang yang terpisahkan. Ketika aku tidak sepakat dengan seseorang, kita dapat mengatasi perbedaan kita dengan melihat kebenaran yang lebih besar yang merangkul kebenaranku yang kecil dan kebenaran orang lain. Mencari kebenaran berarti bahwa kita jangan sampai terkungkung selamanya dalam kegagalan kita untuk mendapatkan kesepakatan, dalam salah pengertian kita bersama. Percaya bahwa kita bisa sampai pada kebenaran, kebenaran yang obyektif, mengandung janji rekonsiliasi, untuk sampai pada suatu kejernihan persepsi di mana kita dapat mengakui dan memahami apa yang benar bagi pihak lain. Tidak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran, seperti yang didapatkan di Afrika Selatan. Ambillah Balkan sebagai contoh, konflik berabad-abad antara Serbia dan Croatia. Damai macam apa yang bisa didapat di sana jika mereka tidak mencapai lebih dulu kebenaran yang sama, semacam persepsi yang sama-sama dimiliki atas sejarah mereka, di mana penderitaan semua orang mendapatkan pengakuan obyektif.

            Menegaskan kemungkinan untuk mencapai kebenaran juga mengamini martabat manusia. Kita diciptakan bagi kebenaran, kita mencari kebenaran itu secara naluri, sekalipun kita menyangkal bahwa kebenaran itu dapat dicapai. Ikan membutuhkan air, tanaman membutuhkan tanah, begitu pula kita memerlukan kebenaran. Aku percaya bahwa para pengkhotbah punya kecenderungan untuk meremehkan aspirasi umum menuju kebenaran ini, meremehkan persepsi mereka yang mendengarkan khotbah kita. Secara naluri mereka tahu betul apakah kita ini berbicara dengan benar atau hanya memberondongkan kata-kata.

 Tapi apa kebenaran ini? Bagaimana setidaknya kamu, kurang lebih,  merumuskannya?

 Setelah semua yang dikatakan dan dilaksanakan, pada akhirnya, keberanan yang akan dia kita semua lapar adalah Tuhan sendiri, yang telah menciptakan segala sesuatu dan yang menjadi tujuan akhir segala sesuatu. Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus, hati kita akan selalu resah gelisah sebelum kita beristirahat di dalam Tuhan. Tuhan mengungkapkan diriNya kepada kita dalam pribadi Yesus Kristus. Setelah membuat pernyataan itu, kita perlu juga mendapatkan pada kadar tertentu kerendahan hati berhadapan dengan kebenaran yang tetap melampaui daya pemahaman kita. Kebenaran ini memang diungkapkan, namun juga melampaui kita. Kita tidak dapat menguasainya, ataupun memiliki kebenaran itu. Tomas Aquinas menyatakan – dan ini merupakan inti dari teologinya – “Tuhan itu apa, tak dapat kita mengatakannya.” Kata-kata tidak dapat meliput Tuhan, kata-kata hanya mengantar kita mendekati tepian hadirat misteriNya. Kita dapat mengatakan hal-hal yang bear tentang Allah. Misalnya aku bisa berkata bahwa Tuhan itu baik, bahwa Tuhan itu esa, bahwa |Kristus telah bangkit dari mati... tetapi kita tidak dapat mengetahui sepenuhnya apa maksud semuanya itu. Aku tidak tahu apa artinya Tuhan menjadi Tuhan. Inilah paradoks spiritualitas Dominikan, suatu tegangan yang kudapatkan sangat menarik : kami menyatakan persahabatan dengan Tuhan, tetapi sahabat ini adalah Dia yang melampaui segala kata.

Namun, bukankah itu maksud dari magisterium, tugas mengajar Gereja, yaitu menyatakan kebenaran, mengatakan siapa yang bidat siapa yang bukan?

Kuulangi lagi: menyatakan bahwa Tuhan itu melampaui segala pengertian kita tidak berarti bahwa setiap pernyataan kebenaran adalah mustahil. Jika seseorang berkata bahwa Yesus itu tidak ada, bahwa Ia tidak bangkit dari mati, aku yakin bahwa orang itu keliru; aku bisa menyampaikan pernyataan-pernyataan yang benar, tetapi aku tidak dapat menguraikannya secara tuntas. Bidat tepatnya berawal ketika seseorang menyatakan mengetahui seluruh kebenaran. Bidat sebenarnya adalah usaha untuk memasukkan Tuhan ke dalam suatu peti, menyusutkan Tuhan di dalam jangkauan pengertianku yang kecil. Dogma sebaliknya, berusaha melonggarkan cengkeraman posesif kita yang tak seberapa ini, sehingga kebenaran dapat menyatakan dirinya sendiri lebih penuh; seperti dikatakan Agustinus, “Tuhan selalu lebih”. Dogma mendorongku maju di dalam ziarah menuju kebenaran itu. Aku sadar bahwa penggunaan kata “dogmatik” sekarang ini diartikan berkebalikan dari ini. Tetapi itu karena kesalahpahaman.

Bisakah kamu menempatkan pernyataan seperti “Yesus ada” dan ”Yesus bangkit dari mati” pada tataran yang sama? Dalam pengertian manusiawi, derajat kepastiannya tentulah tidak sama.

Bahwa Yesus ada merupakan fakta historis, dalam pengertian yang sama dengan keberadaan Yulius Caesar. Kita tahu apa yang bisa dinyatakan sebagai bukti akan hal itu. Ketika aku menyatakan bahwa Yesus bangkit dari mati, tidaklah sesederhana itu. Kebangkitan merupakan suatu misteri yang artinya tidak sepenuh-penuhnya kupahami. Bisa saja kunyatakan bahwa ada jejak sejarah dari misteri ini: makam kosong. Jika tubuh Yesus ada di makam, pernyataanku tentu tidak benar. Maka kebangkitan meninggalkan fakta historis, sekalipun kebangkitan sendiri tak bisa direduksi menjadi fakta historis. Orang mungkin tergoda untuk menganggap kebangkitan sebagai fakta historis seperti kelahiran Yesus, karena kita mempunyai pandangan yang sempit mengenai maknanya secara ragawi. Banyak di antara ajaran-ajaran Katolik menyangkut hal-hal ragawi: bayi di palungan, Ekaristi adalah pemberian tubuh, kebangkitan tubuh Kristus, kebangkitan badan kita sendiri. Aku yakin banyak kerancuan mengenai ajaran Katolik berasal dari kecenderungan kita untuk menganggap tubuh manusia sebagai sekantung daging dan tulang. Tapi tubuh jauh lebih dari itu. Tubuh adalah kehadiranku bagi orang lain; bertubuh adalah caraku berkomunio dengan orang lain. Serentak dengan itu bertubuh membawa berbagai macam keterbatasan: jika aku berada di ruang sebelah, aku tak bisa di sini bersamamu; jika seseorang mati, aku tak bisa bicara dengannya. Kebangkitan badan jauh lebih daripada sekedar jenazah yang hidup kembali. Kebangkitan adalah peralihan rupa kehadiran Kristus bagi kita, menembus semua batas yang kita alami secara ragawi. Mungkin salah satu cara untuk memikirkan kebangkitan itu adalah memandangnya sebagai perubahan Kristus menjadi komunio murni. Maka kebenaran mengenai kebangkitan dalam arti tertentu adalah kebenaran historis, tetapi lebih dari sekedar historis saja.

Apakah hanya umat Kristen saja yang memercayai kebenaran tentang Tuhan dan manusia?

Dalam Surat kepada jemaan Efesus, salah satu kata favorit Paulus adalah pleroma. Kata Yunani yang indah itu berrti “kepenuhan”, atau sepenuh-penuhnya. Paulus menyatakan bahwa Allah sepenuhnya mewahyukan diri dalam Kristus. Aku percaya itu. Tetapi kita baru dalam tahap mulai memahami kebenaran yang sepenuhnya itu. Wahyu itu terwujud dalam Kristus, ya, tetapi itu tidak berarti bahwa kita berhasil memahaminya secara lengkap. Hal itu akan kita lakukan dan kita akan selalu dalam proses melakukannya. Hal itu hanya akan terlaksana jika diri kita sudah diubah, dan kita semakin menjadi seperti-Kristus. Mengetahui, mengenal, mengandaikan proses “menjadi”.

            Misalnya, Gereja kita sebagian besar bersifat barat. Kita adalah produk sejarah tertentu. Untuk sebagian besar, iman kita ditentukan sambil menanggapi bidat  tertentu. Kita harus melakukan dialog dengan budaya dan agaman lain supaya dapat bergerak melampaui batas-batas identitas Eropa dan menjadi katolik sepenuhnya. Katolik berarti umum. Tapi kita tak akan pernah bisa menjadi cukup dalam kekatolikan itu.

            Kita adalah warga Katolik Roma, dan aku menyukai ketegangan dari dua kata itu. Kita disebut Roma karena kita merupakan suatu komunitas khusus dengan tempat tersendiri dalam sejarah: kita adalah orang-orang yang mempunyai sejarah ini. Dan itu oke-oke saja : Yesus sendiri dilahirkan di tempat tertentu, pada waktu tertentu, dalam kebudayaan tertentu. Tetapi Ia sekaligus juga katolik, dan inilah sebabnya kita didorong untuk melampaui batas-batas identitas kita saat ini. Ini indahnya sejarah Gereja; ketika Gereja meninggalkan Yerusalem dan pindah ke dunia Roma, peristiwa itu merupakan suatu tranformasi yang sulit kita bayangkan, sama seperti ketika Gereja melewati batas-batas Kekaisaran Roma dan merangkul kaum barbar. Setiap tahap merupakan kematian kecil bagi identitas yang lama dan yang lebih terbatas; dan merupakan suatu kelahiran baru. Kita harus melanjutkan ziarah ini menuju kebenaran yang tidak dapat sepenuhnya kita pahami. Oleh sebab itu kita menaruh perhatian pada agama lain; bukan karena mereka mungkin bisa membantu kita dalam ziarah kita menuju kebenaran Kristus. Seorang yang beragama Buddha mungkin mempunyai sesuatu yang mengajarku tentang bagaimana caranya mengatasi tuntutan ego-ku. Seorang Muslim meungkin bisa menunjukkan kepadaku tentang kemutlakan Tuhan.

Mari kita kembali pada masalah magisterium sebentar. Organ-organ Tahta Suci sekarang mempunyai kecenderungan yang semakin besar dalam menggunakan ungkapan “kebenaran definitif” untuk menyatakan pokok ajaran, yang tidak selalu merupajan ajaran yang sangat penting. Apakah nosi “kebenaran definitif” itu selaras dengan uraianmu tentang  suatu kebenaran yang masih harus diketemukan?

Kebenran tertentu jelas “definitif”. Pekerjaan teologi yang tiada pernah berhenti dalam hal eksplorasi tidak selalu berarti bahwa tidak ada hal yang sudah pasti. Misalnya, Gereja menyatakan bahwa Yesus sungguh Allah sungguh manusia. Gereja tidak bisa meralat pernyataan ini dan berkata, ”Oh maaf ya, Yesus bukan Allah.” Tetapi teologi harus terus melakukan ekplorasi atas “kebenaran definitif”, kebenaran yang sudah pasti itu. Kebenaran-kebenaran itu tetap pro-vokatif, artinya, bahwa kebenaran-kebenaran itu terus memanggil kita agar semakin mendalami misteri itu. Kita terus mencari apa artinya mengatakan bahwa Yesus sungguh Allah sungguh manusia. Pencarian itu akan berlangsung terus sampai kita bertemu muka dengan muka dengan Tuhan – dan mungkin bahkan hingga sesudahnya! Seorang teolog menyatakan bahwa seluruh ajaran gereja adalah kabar baik, tetapi kita harus menemukan alasannya mengapa dikatakan begitu. Tugas pengkhotbah adalah menampakkan dimensi yang membebaskan dari suatu pernyataan ajaran, karena jika ajaran itu ada di dalam Injil maka pasti membebaskan!

Pokok persoalan kebenaran tak pelak lagi membawa kita pada pertanyaan mengenai hubungan antara iman dan akal budi. Bisakah celah yang menganga di antara keduanya dijembatani?

Jembatan itu sungguh vital baik bagi iman maupun bagi akal budi. Itu sebabnya Ensiklik Paus Yohanes Paulus II penting sekali.[i] Jika kita berkata Ya kepada Tuhan, kita berangkat melakukan perjalanan di suatu arah di mana akal budi membantu kita maju ke arah suatu kilasan misteri. Maka aku sungguh percaya bahwa iman memerlukan akal budi. Tetapi begitu pula sebaliknya, akal budi membutuhkan iman, jika tidak akal budi akan kekurangan dasar.

            Itu bisa dikatakan dengan cara lain: dengan inkarnasi Putera, Allah merangkul semua yang manusiawi, seluruh aspek kita – cita rasa kita akan keindahan, kemampuan kita untuk mengasihi, juga kemampuan kita untuk berpikir. Jika Kristus menjadi manusia, maka dengan cara tertentu, daya nalar kita dikuduskan oleh Tuhan. Kita harus memanfaatkannya. Abad kesembilan belas ditandai oleh konflik yang tegas di antara para ilmuwan dan teolog; di antara mikroskop dan Kitab Suci. Para  ilmuwan mendapatkan penjelasan ilmiah baru mengenai keadaan dunia tampak bertentangan dengan Kitab Suci. Ini suatu pertarungan yang tidak ada gunanya, dan buahnya adalah pemahaman Kitab suci yang keliru dan harafiah, dan syukur pada Tuhan karena itu semua sudah selesai. Aku tak tahu apakah ada teolog yang memandang ilmu pengetahuan sebagai ancaman bagi iman. Dan kebanyakan ilmuwan juga belajar rendah hati. Mereka tahu bahwa karya mereka juga didasarkan atas semacam pengakuan iman, berdasarkan perkiraan-perkiraan yang tidak dapat mereka buktikan.

 

 Diterjemahkan Bambang Kussriyanto dari: Timothy Radcliffe OP Je Vous Apelle Amis © 1999 La Croix/Les Editions Du Cerf


 



[i] Ensiklik Fides et Ratio. Diterbitkan pada bulan Oktober 1998