Memahami
Pengalaman Religius
Juga ada suatu perbedaan mendasar antara seorang yang beriman kepada Tuhan dengan seorang Kristiani
dalam caranya secara aktif mencari Tuhan dan memahami pengalaman keagamaan.
Suatu contoh.
Beberapa
tahun yang diselenggarakan suatu seminar tentang doa. Wanita yang memimpin
seminar itu adalah seorang pakar dalam metode doa Gereja Timur. Dia
menjelaskan macam-macam metode meditasi dan pada titik tertentu berbagi dengan mengenai kehidupan doanya pribadi. Ia melukiskan bagaimana dia, dengan
menggunakan metode tertentu yang meliputi duduk diam selama dua jam setiap
hari, mengalami pengalaman akan Allah yang sangat menggerakkan hati. Pada waktu
tanya-jawab, kepadanya ditanyakan bagaimana pengalaman akan Allah yang
didapatnya di dalam doa itu jika dibandingkan dengan pengalamannya atas hidup
sehari-hari, pengalamannya berbicara bersama, melakukan pekerjaan, dan makan
bersama keluarga dari hari ke hari. “Tidak bisa dibandingkan,” jawabnya.
“Berkumpul dan makan bersama dengan keluarga saya merupakan (pada umumnya)
pengalaman manusiawi yang baik, tetapi tidak bersifat keagamaan. Hanya insani.
Di dalam meditasi saya mendapatkan pengalaman yang sungguh religius.”
BACA JUGA: KONSEKUENSI INKARNASI 1
Seorang
Kristiani perlu menjadi seorang yang kafir sekaligus cukup bersifat
inkarnatoris untuk membahas jawaban itu. Tanpa harus membahas pentingnya doa
dan meditasi pribadi (yang kebanyakan dari kita harus lebih banyak
melakukannya) yang harus dipertanyakan di sini, jika seseorang adalah orang
Kristiani, adalah perspektif yang lebih bersifat teistik daripada bersifat
inkarnatoris. Allah yang menjadi manusia dengan daging insani ditemukan,
pertama-tama dan terutama, bukan di dalam meditasi dan juga bukan di dalam
biara-biara, walaupun Allah juga berada di sana, tetapi di dalam rumah-rumah
keluarga. Nikos Kazantzakis menyatakan: “Di mana anda menemukan suami dan
isteri, di sanalah anda menemukan Tuhan; di mana ada anak-anak dan rebutan
mainan dan penganan, di mana ada pertengkaran dan perdamaian di antara mereka,
di situlah Tuhan berada juga.”[i]
Allah dalam Inkarnasi lebih bersifat domestik
(di dalam rumah keluarga) ketimbang bersifat monastik (di dalam biara).
“Allah
itu kasih, dan barangsiapa tetap berada dalam kasih, ia tetap berada di dalam
Allah” (1Yoh 4:7-16). Jika Kitab Suci menegaskan ini, kasih yang
dibicarakannya bukan kasih yang terlalu romantis melainkan yang mengalir dalam
kehidupan di suatu keluarga. Allah bukannya “jatuh cinta”, namun keluarga yang
berbagi keberadaan. Allah yang ber-Inkarnasi hidup dalam suatu keluarga, suatu
trinitas, suatu komunitas yang berbagi keberadaan. Maka perkataan Allah adalah
kasih menyatakan bahwa Allah merupakan komunitas, keluarga dan cara keberadaan
bersama, dan siapapun yang ikut berbagi keberadaannya di dalam suatu keluarga
dan komunitas mengalami Allah dan kehidupan yang sesungguhnya dari Allah
mengalir melalui dia, pria maupun wanita.
Jika
ini benar dan memang demikian, maka banyak yang harus berubah dalam cara mengalami
Allah. Jika Tuhan berinkarnasi dalam kehidupan sehari-hari maka kemudian kita
harus mencari Tuhan terutama dalam kehidupan sehari-hari. Namun begitu sering
walaupun kita secara teori sudah tahu tentang ini, secara praktek kita tetap
mencari Tuhan dengan cara yang tidak biasa.
Misalnya:
mengapa kita pergi berziarah ke tempat-tempat suci, bukannya dengan kaki
telanjang duduk dan merasakan kesucian tanah dunia ini? Mengapa kita pergi ke
tempat seperti Lourdes dan Fatima, melihat tempat Perawan Maria yang terberkati
itu menangis, dan tidak melihat air mata pada anggota keluarga yang pada meja
makan kita sendiri, duduk di seberang kita? Kita begitu terkesan membelalak
pada Padre Pio, yang membawa luka-luka Yesus pada tangan dan kakinya, namun
mata kita meram terpejam terhadap luka-luka Kristus pada wajah emosional
orang-orang yang membutuhkan, yang malahan dengan sangat kita hindari? Tidak
ada yang salah dengan berziarah, tempat suci Maria dan Padre Pio, namun bukan
melalui mereka Tuhan mau menyatakan hal yang paling penting bagi kita. Seorang
teman cerita bahwa ia biasa main golf secara berkala dengan seorang Kristiani
Evangelis yang tulus dan penuh semangat, yang selalu berdoa mohon kepada Tuhan
agar memeroleh penglihatan, visiun. Suatu ketika teman itu berkata kepadanya:
“Anda mau melihat penglihatan atau visiun? Besuk bangunlah pagi-pagi dan
lihatlah matahari terbit. Sungguh baik karya Allah itu!”
Itulah
suatu perspektif Kristiani tentang pengalaman keagamaan. Tuhan yang adalah
kasih dan keluarga, yang lahir di suatu palungan, adalah Tuhan yang ditemukan
pertama-tama dalam rumah kita, dalam keluarga kita, di meja makan kita, pada
matahari terbit, dalam kegembiraan kita, dan dalam percakapan kita. Terlibat
dalam aliran kehidupan yang normal, menerima dan memberi, betapapun banyak
salahnya dan penuh derita pada waktu-waktu tertentu dalam hubungan-hubungan,
adalah menghayati aliran hidup Tuhan melalui kita. Spiritualitas Kristiani
bukanlah terutama untuk mengagumi Tuhan atau bahkan untuk meniru Tuhan,
melainkan mengalami Tuhan dan ikut serta dengan ambil bagian dalam pasang
surutnya hubungan sehari-hari dalam aliran hidup Tuhan. Tuhan yang menjadi
daging, menjadi manusia agar dapat dialami oleh indera yang biasa sehari-hari,
sekarang pun masih punya daging dan terutama dapat dialami melalui indera biasa
sehari-hari.
Beberapa tahun yang lalu susatu majalah Kristiani memuat keluhan seorang wanita, yang dengan nada pahit
menjelaskan, mengapa ia tidak percaya kepada Tuhan. Dalam penjelasannya itu ia
tidak pernah menyinggung soal dogma, moral atau wewenang gereja. Baginya, bahwa
Tuhan atau Kristus dapat dipercaya itu bergantung pada sesuatu yang lain, yaitu
wajah-wajah orang Kristiani. Keluhannya seperti berikut:
Tak perlu
datang padaku dan bicara tentang Tuhan, jangan mengetuk pintuku membawa pamflet
agama, jangan pula bertanya padaku apakah aku diselamatkan. Neraka bukan lagi
merupakan ancaman dibanding dengan kenyataan hidupku yang keras dan mengerikan. Api neraka tampaknya lebih menarik daripada dinginnya hidupku yang
menggigit hingga ke tulang. Dan tak usah bicara padaku tentang Gereja. Apa yang
diketahui Gereja tentang rasa putus asa yang kualami – jika Gereja mengurung
diri di balik kaca-kaca berwarna terhadap orang-orang seperti aku? Suatu ketika
aku mencari pengampunan dan persahabatan komunitas dalam dinding-dinding
kalian, tapi aku melihat Tuhanmu yang terpancar pada wajah kalian yang melengos
dari orang-orang sepertiku. Ampunan tak pernah diberikan kepadaku. Kasih yang menyembuhkan
yang kucari-cari disembunyikan rapat-rapat, hanya tersedia bagi kawan-kawan
anda saja. Jadi pergilah dariku dan tak usah omong lagi tentang Tuhan. Aku
sudah melihat Tuhanmu mewujud dalam dirimu dan dia adalah seorang Tuhan yang tak
punya belas kasihan. Selama Tuhanmu tak mau memberikan sentuhan manusiawi yang
hangat padaku, aku akan tetap menjadi orang yang tak percaya.[ii]
Hal terakhir yang dikatakan Yesus
kepada kita adalah supaya kita pergi kepada orang-orang dan bangsa-bangsa dan
mewartakan kehadiran-Nya (Mat 28:29-30). Namun hal itu seharusnya dipahami
dengan tepat secara inkarnatoris, bukan secara teistik. Tantangannya (seperti
yang dengan jelas dikatakan wanita itu) bukanlah menyampaikan aturan-aturan
agama, membuat siaran televisi keagamaan untuk membuat Yesus terkenal, atau
bahkan berusaha membaptis orang menjadi Kristiani. Tugas ini adalah untuk
memancarkan kasih sayang dan cinta dari Tuhan, sebagaimana mewujud dalam Yesus,
dalam wajah dan tindakan kita.
Ketika
nabi-nabi besar bangsa Israel dipanggil, Allah melakukan inisiasi pada mereka
melalui ritual yang menarik. Mereka disuruh secara fisik memakan gulungan yang
berisi Taurat, memakan Kitab Suci mereka (Yeh 3:1-3). Alangkah kuatnya
perlambangan itu! Gagasannya adalah bahwa mereka harus mencerna kata-kata dan
mengubahnya menjadi daging mereka sendiri, supaya orang dapat melihat sabda
Allah dalam suatu tubuh yang hidup daripada tertulis dalam perkamen yang mati.
Tugas menyampaikan Tuhan kepada orang lain bukanlah memberikan Kitab Suci atau
bahan bacaan keagamaan lainnya, melainkan dengan melakukan transubstansiasi
(mengubah substansi) Tuhan, seperti yang kita lakukan pada makanan yang kita
santap. Kita harus mencerna sesuatu dan mengubahnya secara fisik menjadi daging
pada tubuh kita dan menjadi bagian dari diri kita sebagaimana dilihat orang.
Jika hal ini kita lakukan pada sabda Tuhan, maka orang lain tidak perlu membaca
Kitab Suci untuk melihat seperti apa Tuhan itu, tetapi mereka tinggal melihat
wajah dan hidup kita untuk melihat Tuhan.
Jean Paul Sartre, yang filsuf
eksistensialisme ateis itu dari perspektifnya menambahkan suatu pemahaman yang
berharga di sini. Ia menyatakan bahwa manusia menciptakan wajahnya sendiri.
Bagi Sartre, kita lahir tanpa wajah, maksudnya tanpa wajah yang bicara banyak.
Ketika bayi lahir, ada tiga ciri pada wajahnya: wajahnya menunjukkan betapa
sedikitnya aspek individualitas. Kendati ibu-ibu protes, semua bayi tampak sangat serupa satu
sama lain. Kedua, wajah bayi hanya sedikit menunjukkan kepribadian si anak. Jika
memandang wajah bayi, hanya sedikit yang kita dapatkan sebagai petunjuk tentang
karakter macam apa yang dipunyainya dan akan dikembangkannya. Akhirnya, wajah
bayi menunjukkan keindahan yang bersifat genetik. Apakah bayi tampan, cantik
atau tidak bergantung pada gen yang menurun kepadanya.
Memang
seperti itulah bayi yang baru lahir. Namun dengan berlalunya jam, hari dan
tahun dalam hidupnya, keadaan awal ini berubah, dan menurut Sartre perubahan itu
akan mencapai titik kulminasi pada umur empat puluh tahun, ketika akhirnya
seseorang mendapatkan garis-garis yang esensial pada wajahnya. Pada umur empat
puluhlah kita punya wajah. Pada umur itu kita tampak unik, lain dari orang lain
di dunia (sekalipun kita dilahirkan kembar identik), wajah kita bicara banyak
tentang siapa diri kita dan keindahan fisik kita mulai berbaur dengan keindahan
umum kita sehingga apakah kita tampan atau tidak dinilai dari siapa kita, bukan
dari sekedar aspek fisik dasar belaka. Dari umur empat puluh dan selanjutnya,
wajah kita mewujudkan individu kita, karakter dan suatu
keindahan-melebihi-aspek-genetik.
Yang penting dalam hal ini pada akhirnya
adalah apa yang membentuk wajah kita. Hingga umur empat puluh, unsur genetika
pegang peranan paling utama, dan itulah sebabnya hingga umur itu kita dapat
mementingkan diri sendiri dan masih tampak tampan. Namun berangkat dari usia
itu, kita tampak seperti apa yang kita yakini. Jika saya cemas, kikir,
mementingkan diri sendiri, pahit hati, sempit, dan memusat pada diri sendiri,
wajah saya akan menunjukkannya. Sebaliknya, jika saya hangat, murah hati,
rendah hati, dan memerhatikan orang lain, wajah saya juga akan menunjukkan hal
itu. Suatu pikiran yang menakutkan; tidak ada wajah yang menyembunyikan rahasia
sesudah usia empat puluh.
Misi
kita sebagai kaum beriman tepatnya adalah membentuk wajah kita dengan cara yang
tepat. Sabda sudah mulai menjadi daging dan masih harus berlanjut menerima
daging yang oleh Tuhan diubah bukan saja menjadi roti ekaristi, namun yang
lebih penting lagi, adalah menjadi wajah manusia. Yesus mengajar bahwa Kerajaan
Allah bekerja seperti ragi. Kita diminta memersilakan ajaran-Nya membentuk
kita, dari dalam seperti ragi mengubah adonan, seperti musim panas mengubah
pohon. Bagaimana kita mencerna Sabda Tuhan tentu membuat wajah kita secara
fisik pun berbeda (Mrk 13:28). Maka, tugas kita yang pertama di dalam pewartaan
adalah tanpa kata. Kita mengubah substansi Tuhan, supaya menampilkan wajah
manusia pada belas kasih dan kerahiman ilahi. Jarang sekali kita perlu
melakukan pewartaan dengan kata-kata.
Memahami hubungan dengan orang yang kita kasihi sesudah
kematian mereka
Akhirnya juga ada suatu perbedaan
besar antara seseorang yang sekedar bertuhan dan seseorang yang Kristiani dalam
memahami hubungan dan keakraban dengan orang-orang yang dikasihi sesudah mereka
itu meninggal. Baik orang bertuhan maupun orang Kristiani percaya akan
kehidupan setelah kematian dan mereka juga percaya bahwa ada banyak kontak di
antara kita yang masih hidup dan orang-orang yang kita kasihi yang telah
meninggal. Namun, jika orang menerima kenyataan Inkarnasi, Tuhan yang menjadi
manusia, adalah perbedaan spiritual mengenai caranya kontak-kontak itu terjadi.
Bagi
seorang yang bertuhan, pemahamannya akan hal ini sejauh-jauhnya terjadi kontak
secara mistik, antar jiwa, melalui kehadiran imajinatif (kendati nyata) dari
orang yang kita kasihi itu dalam diri kita. Sedangkan orang Kristiani yang
tidak bertentangan dengan paham di atas bergerak lebih jauh lagi. Bagaimana
orang Kristiani tetap berhubungan, mengasihi, berkomunikasi dan melakukan
persekutuan hidup yang nyata dengan orang yang dikasihi sesudah kematian? Bgaimana kita menemukan lagi orang yang kita
kasihi itu setelah berpisah karena kematian? Melalui sabda yang menjadi daging.
Dengan memberikan ungkapan konkret dalam hidup kita pada keutamaan dan kualitas
di mana mereka diinkarnasikan sejauh mungkin.
Hal
itu dijelaskan kepada kita pada kebangkitan Yesus. Pada Minggu Paskah, Maria
dari Magdala pergi ke makam Yesus, hendak mengurapi jasad-Nya dengan
rempah-rempah. Tapi ia menemukan makam itu kosong dan seorang malaikat berkata
kepadanya: “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?” (Luk
24:5). Apakah dia sok tahu? Tidak. Sesungguhnya malaikat itu memberitahu Maria
dari Magdala bahwa makam bukanlah tempat yang sesungguhnya untuk bertemu dengan
orang yang telah meninggal dunia namun kini hidup dengan cara baru. Kita tidak
menemukan orang yang kita kasihi dalam kubur mereka, walaupun mengunjungi makam
itu suatu perbuatan baik. Malaikat yang tidak tampak ada di sana, di kubur dia
yang kita kasihi, dan mengirim kita kembali pada hidup untuk mencari kekasih
kita itu di sana. Di mana kita menemukan mereka? Kita akan menemukan dia yang tak dapat lagi
kita sentuh itu dengan menempatkan diri kita dalam situasi di mana jiwa-jiwa
mereka pernah terkembang dulu. Mereka yang kita kasihi itu hidup di mana mereka
selalu hidup dan di sanalah kita menemukan mereka. Apa artinya? Secara
sederhana, kita menemukan mereka yang telah meninggal itu dengan memasuki
kehidupan, dalam arti kasih dan iman, yang paling khas bagi mereka. Kita
melakukan kontak dengan mereka dan menghubungkan diri kita sendiri dengan
mereka, ketka dalam hidup kita kita memberi bentuk pada kekayaan hidup dan
kasih sayang yang tidak terbatas dengan
cara yang dulu mereka lakukan, ketika kita mencurahkan hidup kita pada
kehidupan yang mereka jalani dulu.
Ayah saya sendiri sudah meninggal lebih dari dua puluh tahun yang
lalu. Kadang-kadang saya mengunjungi makamnya. Dan itu pengalaman yang
baik. Saya merasa mendapatkan suatu dasar di sana, sesuatu yang mengakar
dalam-dalam, yang membantu saya memusatkan perhatian. Namun itu sesungguhnya
bukan kontak yang nyata dengan mereka. Tetapi saya menemukan ayah di antara
orang-orang hidup. Ayah dulu seorang juru penerang (istilah untuk karayawan Departemen Penerangan). Ia memberi banyak penerangan di desa-desa tentang program pemerintah dan dunia pertanian. Saya bertemu dengan ayah jika dalam hidup saya sendiri
saya menghayati apa yang paling khas sehubungan dengan kasih, iman dan
keutamaan yang dulu ia lakukan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Jadi misalnya, ibu saya almarhum adalah wanita yang
sungguh tidak mementingkan diri sendiri, murah hati terhadap kesalahan siapa
pun, dan selalu mau memberi. Jika saya murah hati dan memberikan diri saya
seperti yang dilakukan ibu, saya berjumpa dengan ibu saya. Ia hadir dan hidup
dalam sikap dan tindakan saya itu. Pada saat-saat seperti itu, saya mengalami
dia sama sekali bukan sebagai orang mati. Begitu juga dengan ayah dan ibu saya.
Kualitas yang paling hebat dari ayah adalah integritas moralnya, suatu
ketegaran iman yang unik, suatu pemahaman yang tanpa kompromi, di mana tak ada
tempat sekecil apa pun disediakan untuk melakukan kompromi moral. Pada
saat-saat saya dapat menjadi anaknya dalam hal-hal seperti itu, yaitu ketika
saya dapat mengatasi godaan kecil dan besar dalam hidup saya, ayah saya hadir,
hidup, terhubung dengan saya dalam suatu komunitas hidup dengan saya.
Jika
yang terjadi sebaliknya, nah, itu agak susah. Ketika saya mementingkan diri
sendiri dan tidak mau berkorban, ibu saya terasa tidak ada, jauh; sangat terasa
bagi saya bahwa dia sungguh mati. Begitu juga dengan ayah: Ia sungguh tak ada jika saya tidak bicara atau menulis memberi sesuatu pencerahan. Bila saya melakukan
kompromi moral, walaupun dalam masalah yang kecil, ayah saya tidak hidup bagi
saya. Ia surut menjauh seperti gelombang balik. Tidaklah ada gunanya saya
mengunjungi makam mereka di saat-saat ketika dalam kehidupan yang nyata ini, saya
hidup di antara orang-orang mati. Jika saya berseru kepada mereka dalam doa di
saat-saat seperti itu, satu-satunya jawaban yang saya peroleh dari malaikat
kebangkitan dengan lembut adalah sama seperti yang dikatakan kepada Maria dari
Magdala itu, mengapa kamu mencari dia yang hidup di antara orang-orang mati?
Setiap
orang yang baik memberi bentuk pada kasih sayang dan hidup Tuhan dengan caranya
yang unik. Ketika orang itu mati, kita harus mencari dia di antara orang-orang
hidup. Dengan demikian, jika kita menginginkan kehadiran dia yang kita kasihi,
kita harus mencari dia dalam caranya yang paling khas bagaimana ia mengasihi,
beriman, dan melakukan keutamaan. Jika ibu anda ramah, anda bertemu dengan dia
ketika anda ramah pada orang lain; jika sahabat anda sangat gigih memerjuangkan
keadilan, anda bertemu dengan dia ketika anda terjun memerjuangkan keadilan;
jika bibi anda sangat bersemangat dalam memersiapkan makan bagi keluarga dan
suka bercanda riang, anda kan menemui dia ketika makan bersama keluarga anda
dan bercanda tawa di rumah anda.
Begitulah
caranya orang Kristiani menemukan orang yang dikasihinya yang telah meninggal.
Orang bertuhan mengunjungi makam (orang Kristiani juga mengunjungi makam karena
mereka juga orang bertuhan), namun karena Inkarnasi, karena kita semua adalah
bagian dari sabda yang menjadi daging, sebagai orang Kristiani, kita mencari
kekasih kita yang telah meninggal di luar makam, di antara orang-orang hidup –
di meja makan kita, dalam pub, di tempat kerja, dalam membuat keputusan besar
atau pun kecil dalam hidup sehari-hari.
Inti
Spiritualitas seorang Kristiani
Dalam pendahuluan bukunya tentang
Yesus, John Shea menyampaikan komentar ini:
Ketika suku kata terakhir dari uraian
tentang Yesus telah diucapkan, seorang pria botak, kecil yang sedari tadi diam
saja, berkata, “Tunggu dulu, aku....” Sesudah dua ribu tahun orang masih
berziarah pada Yesus. Mereka membawa ego mereka yang melembung dan codet tahun
lalu, harapan yang liar dan beberapa ketakutan yang tak berdasar, kegembiraan
yang palsu dan hati yang ragu dan memohon agar Yesus merapikannya. Kita hanya
sedikit demi sedikit menyadari kaitan dari janji Yesus, “Aku akan menyertai
kamu hingga sampai di akhir zaman.” Ini bukan hanya berarti bahwa Dia tidak
akan pergi jauh, tetapi juga bahwa kita tidak dapat menolak Dia. Ia terus
menggulirkan hingga terbuka batu penutup kubur di mana kita memakamkan Dia.[iii]
Ketika kita berusaha keras
menyalurkan eros semangat dan hasrat kita, kita dapatkan disiplin spiritual yang memberikan hidup
pada kita, kita perlu membawa ego kita, bilur-bilur kita, harapan kita,
kecemasan kita, kegembiraan dan keraguan kita pada Yesus agar ditata oleh-Nya.
Namun spiritualitas Kristiani adalah lebih dari itu. Energi yang kuat dari
Allah begitu besar menyala dalam diri kita akan membawa kita pada kedewasaan,
kreativitas dan ketenangan, jika kita membentuk hidup kita dan tubuh kita
sesuai dengan cara Yesus membentuk hidup dan tubuh-Nya, ketika kita membantu
Dia melaksanakan Inkarnasi maju lebih jauh lagi. Spiritualitas seperti itu bukanlah suatu hukum, melainkan suatu kehadiran untuk
dirangkul, dilaksanakan dan diwujudkan.
[i] Nikos
Kazantzakis, The Last Temptation of
Christ, Simon & Schuster, 1960.
[ii] Naskah
ini diubah sedikit dari aslinya yang ditulis oleh Marie Livingston Roy, dalam Alive Now, 1975, hal 44.
[iii] John
Sea, The Chalengge of Jesus, Chicago,
Thomas More, 1976. hal 11.