Sudah sejak zaman Gereja Purba terdapat kebiasaan untuk
menghimpun kanon-kanon suci dalam satu kesatuan, supaya lebih mudah diketahui,
dipergunakan dan ditepati, khususnya oleh pelayan-pelayan rohani, karena,
seperti telah diperingatkan oleh Paus Celestinus dalam suratnya kepada para
Uskup di Apulia dan Kalabria, "janganlah ada seorang pun dari para imamnya
tidak mengetahui kanon-kanonnya" (21 Juli 429. Bdk. Jaffé n. 371; Mansi,
IV, kol. 469). Senada dengan kata-kata itu, Konsili Toledo IV (633), setelah
disiplin Gereja dipulih-kan kembali di wilayah orang-orang Visigoth yang
dibebaskan dari arianisme, menetapkan: "para imam hendaknya mengetahui
Kitab Suci dan kanon-kanon" sebab "ketidaktahuan, ibu dari segala
kesesatan, harus dihindarkan terutama dari para imam Allah" (kan. 25:
Mansi, X, kol. 627).
Memang, selama sepuluh abad pertama berkembanglah
himpunan-himpunan undang-undang gerejawi yang hampir tak terbilang banyaknya.
Sebagian besar dihimpun atas prakarsa pribadi, dan di dalamnya terdapat
terutama norma-norma yang dikeluarkan oleh Konsili-konsili dan para Paus dan
kutipan-kutipan lain yang diambil dari sumber-sumber yang kurang penting. Pada
pertengahan abad XII kumpulan himpunan-himpunan dan norma-norma yang tak
terbilang banyaknya itu, yang tak jarang saling bertentangan satu sama lain,
disusun kembali oleh seorang rahib bernama Gratianus, sekali lagi atas prakarsa
pribadi, menjadi sebuah kumpulan terpadu dari Undang-undang dan
himpunan-himpunan. Concordia ini, yang kemudian disebut Decretum Gratiani,
merupakan bagian pertama kumpulan undang-undang Gereja yang, mencontoh Corpus
Iuris Civilis dari Kaisar Justinianus, disebut Corpus Iuris Canonici. Corpus
Iuris Canonici itu berisikan undang-undang yang dikeluarkan oleh otoritas
tertinggi para Paus, dengan bantuan para ahli hukum yang disebut glossatores,
selama hampir dua abad lamanya. Himpunan hukum itu, selain memuat Decretum
Gratiani yang berisikan norma-norma sebelumnya, memuat juga Liber Extra dari
Gregorius IX, Liber Sextus dari Bonifasius VIII, Clementinae yaitu himpunan
dari Paus Klemens V yang diundangkan oleh Yohanes XXII, ditambah lagi dengan
Extravagantes dari Paus ini juga serta Extravagantes Communes yaitu Decretales
dari berbagai Paus yang belum pernah dikumpulkan dalam satu himpunan otentik.
Hukum gerejawi yang termuat dalam himpunan ini merupakan hukum klasik Gereja
Katolik dan biasanya juga disebut dengan nama itu.
Himpunan hukum Gereja Latin itu dalam salah satu cara mirip
dengan Syntagma Canonum atau Corpus Canonum Orientale dari Gereja Yunani.
Undang-undang berikutnya, terutama yang pada masa reformasi
katolik dibuat oleh Konsili Trente dan kemudian dikeluarkan oleh berbagai
Dikasteri Kuria Roma, tak pernah dikumpulkan menjadi satu himpunan; itulah
sebabnya maka perundang-undangan yang tersebar di luar Corpus Iuris Canonici
lambat laun menjadi "tumpukan Undang-undang yang luar biasa besarnya, yang
bertumpang-tindih satu sama lainnya". Di sana bukan hanya terjadi
ketidakteraturan, melainkan juga ketidakpastian, ditambah lagi ketidakgunaan
dan kekosongan Undang-undang, yang makin hari makin membawa disiplin Gereja ke
dalam bahaya dan krisis yang besar.
Karena itulah maka sudah sejak masa persiapan Konsili
Vatikan I diminta oleh banyak Uskup agar dipersiapkan himpunan Undang-undang
baru dan tunggal untuk melaksanakan reksa terhadap umat Allah dengan lebih
pasti dan aman. Karena karya itu tidak dapat diselesaikan melalui kegiatan
Konsili, kemudian Takhta Apostolik mempertimbangkan suatu tatanan hukum baru
tetapi hanya mengenai hal-hal yang mendesak yang berhubungan dengan disiplin
Takhta Apostolik itu sendiri. Akhirnya Paus Pius X, yang baru saja diangkat
menjadi Paus, mengambil-alih urusan itu; karena beliau berminat me-ngumpulkan
dan memperbaharui semua hukum gerejawi, memerintah-kan agar karya itu, dibawah
pimpinan Kardinal Petrus Gasparri, akhirnya diselesaikan.
Dalam karya yang begitu besar dan berat yang harus
dilaksa-nakan itu, pertama-tama harus diselesaikan masalah bentuk intern dan
bentuk ekstern dari himpunan yang baru itu. Dengan ditinggalkannya cara
pengumpulan yang mengharuskan membawa kembali setiap Un-dang-undang kepada teks
aslinya yang panjang, dianggap baik memilih cara modern dalam kodifikasi,
sehingga teks-teks yang berisikan dan menguraikan suatu perintah disusun
kembali ke dalam bentuk yang baru dan lebih pendek; adapun seluruh materi
disusun dalam lima buku, mengikuti sistem perundangan romawi, yaitu menge-nai
orang, barang dan perbuatan-perbuatan. Pekerjaan itu diselesaikan dalam
duabelas tahun, dengan kerjasama dari para ahli, para konsultor dan para Uskup
dari seluruh Gereja. Ciri Kitab Hukum Baru ini secara jelas dinyatakan dalam
pengantar kanon 6: "Kitab Hukum ini pada umumnya memper-tahankan disiplin
yang berlaku sampai sekarang, walaupun membawa-serta perubahan-perubahan yang
baik". Jadi, tidak bermaksud membuat hukum baru, melainkan terutama
mengatur hukum yang berlaku sampai waktu itu dengan metode baru. Setelah Paus
Pius X wafat, kumpulan hukum universal, eksklusif dan otentik itu diundangkan
oleh penggantinya, Benediktus XV, pada tanggal 27 Mei 1917, dan mendapat
kekuatan hukum sejak tanggal 19 Mei 1918.
Hukum universal dari Kitab Hukum Pius-Benediktus itu
disahkan dengan kesepakatan semua orang, dan di zaman kita telah membantu
mengembangkan tugas penggembalaan secara efisien sung-guh-sungguh di seluruh
Gereja yang sementara itu mengalami perkem-bangan baru. Tetapi, baik
keadaan-keadaan ekstern Gereja di dunia masa kini, yang dalam beberapa tahun
telah mengalami perubahan keadaan dengan begitu cepat dan perubahan
adat-istiadat secara hebat, maupun perubahan-perubahan intern yang melaju dari
persekutuan gerejawi, maka perlu dan bahkan mendesak serta dituntut revisi baru
atas hukum kanonik. Tanda-tanda zaman ini telah ditangkap dengan jelas oleh Paus
Yohanes XXIII, yang ketika mengumumkan untuk pertama kalinya Sinode Roma dan
Konsili Vatikan II pada tanggal 25 Januari 1959, sekaligus menyatakan bahwa
peristiwa-peristiwa itu juga merupakan persiapan untuk melakukan pembaharuan
Kitab Hukum yang sangat diharapkan.
Pada kenyataannya, walaupun Komisi Pembaharuan Kitab Hukum
Kanonik telah dibentuk pada tanggal 28 Maret 1963, ketika Konsili Ekumenis
telah dimulai, dibawah pimpinan Kardinal Petrus Ciriaci dan sekretarisnya RD.
Yakobus Violardo, para Kardinal anggota Komisi dalam sidangnya tanggal 12
November tahun itu juga, sependapat dengan Ketua bahwa pekerjaan yang
sebenarnya dan khusus untuk mengadakan pembaharuan harus ditunda, dan hanya
dapat dimulai setelah Konsili selesai. Sebab pembaharuan harus dilakukan sesuai
dengan anjuran-anjuran dan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Konsili itu
sendiri. Sementara itu, pada tanggal 17 April 1964 Bapa Suci Paulus VI
pengganti Paus Yohanes XXIII menambahkan tujuh puluh orang konsultor pada
Komisi. Kemudian dia mengangkat Kardinal- kardinal lain menjadi anggota Komisi
dan memanggil para konsultor dari seluruh dunia untuk menyumbangkan tenaga
mereka dalam menyelesaikan tugas itu. Pada tanggal 24 Februari 1965 Paus
menunjuk RP. Raimundus Bidagor SJ sebagai Sekretaris baru Komisi, karena RD.
Yakobus Violardo diangkat menjadi Sekretaris Konggregasi untuk urusan disiplin
Sakramen-sakramen, dan pada tanggal 17 November tahun yang sama RD. Wilhelmus
Onclin diangkat sebagai Sekretaris Pembantu pada Komisi. Kardinal Ciriaci
meninggal dunia, maka pada tanggal 21 Februari 1967 Uskup Agung Pericles
Felici, yang sebelum-nya menjadi Sekretaris Jenderal Konsili Vatikan II,
diangkat sebagai pejabat Ketua baru. Ia pada tanggal 26 Juni tahun yang sama
diangkat menjadi anggota Kolegium Suci para Kardinal dan kemudian memangku
jabatan sebagai Ketua Komisi. Disamping itu, karena RP. Raimundus Bidagor, yang
pada tanggal 1 November 1973 berusia delapan puluh tahun meletakkan jabatannya
sebagai sekretaris, maka pada tanggal 12 Februari 1975 Yang Mulia Mgr. Rosalius
Castillo Lara SDB, Uskup Tituler Precausa dan Uskup Koajutor Trujillo di
Venezuela, diangkat sebagai Sekretaris baru Komisi, dan pada tanggal 17 Mei
1982 ia diangkat menjadi Pejabat Ketua Komisi, karena Kardinal Pericles Felici
telah meninggal dunia secara tak terduga.
Menjelang berakhirnya Konsili Vatikan II, dengan dihadiri
Paus Paulus VI, tanggal 20 November 1965 diadakan sidang meriah. Pada Sidang
itu hadir para Kardinal Anggota, para Sekretaris, para Konsultor dan
petugas-petugas Sekretariat yang waktu itu dibentuk. Sidang bermaksud membuka
secara resmi karya pembaharuan Kitab Hukum Kanonik. Dalam amanat Paus boleh
dikatakan telah dilontarkan dasar- dasar seluruh pekerjaan, dan khususnya
diingatkan bahwa Hukum Kanonik yang mengalir dari kodrat Gereja sendiri,
akarnya terletak pada kuasa yurisdiksi yang diserahkan Kristus kepada Gereja,
dan bahwa tujuan harus diletakkan dalam reksa jiwa untuk mencapai keselamatan
abadi; selain itu diterangkan hakikat hukum Gereja, dibuktikan pentingnya hukum
Gereja melawan keberatan-keberatan yang lebih umum, disinggung sejarah
perkembangan hukum dan himpunan-himpunan hukum, tetapi terutama dijelaskan
kepentingan mendesak dari revisi yang baru, agar disiplin Gereja secara tepat
disesuaikan dengan keadaan yang telah berubah.
Tambahan pula Paus menunjukkan kepada Komisi dua unsur yang
harus menuntun seluruh pekerjaan. Pertama, bahwa masalahnya bukan hanya
mengenai susunan baru undang-undang, seperti yang terjadi dalam menggarap Kitab
Hukum Pius-Benediktus, melainkan juga dan terutama pembaharuan norma-norma yang
harus disesuaikan dengan suasana pemikiran baru dan kebutuhan-kebutuhan baru,
meskipun hukum lama harus memberikan dasarnya. Kedua, dalam karya pembaharuan
ini harus diperhatikan dengan cermat semua Dekret dan Akta Konsili Vatikan II,
karena di dalamnya terdapat garis-garis khusus untuk pembaharuan legislatif,
baik karena kenyataan bahwa telah dikeluarkan norma-norma yang secara langsung
menyangkut lembaga-lembaga baru dan disiplin gerejawi, maupun karena kekayaan
ajaran Konsili itu, yang telah banyak membantu kehidupan pastoral, juga dalam
perundangan kanonik harus mempunyai kesimpulan dan pelengkapnya yang perlu.
Dengan banyak amanat, perintah dan nasihat, juga pada
tahun-tahun berikutnya, dua unsur tersebut diingatkan kembali kepada para
anggota Komisi oleh Paus yang tak henti-hentinya lebih mengarahkan dan dengan
tekun mengikuti seluruh pekerjaan.
Agar subkomisi-subkomisi atau kelompok-kelompok studi dapat
menangani pekerjaan itu secara organis, perlulah bahwa sebelum-nya dibahas dan
disetujui beberapa prinsip yang menentukan arah yang harus diikuti dalam
seluruh karya pembaharuan Kitab Hukum. Kelompok inti para konsultor
mempersiapkan sebuah teks dokumen yang atas perintah Paus telah diserahkan
kepada Sidang Umum Sinode para Uskup pada bulan Oktober 1967, untuk dipelajari.
Prinsip-prinsip berikut telah disetujui dengan hampir suara bulat:
1) Dalam pembaharuan hukum, sifat yuridis Kitab Hukum baru
harus dipertahankan seutuhnya. Demikianlah tuntutan kodrat sosial Gereja itu
sendiri. Jadi, Kitab Hukum harus menyajikan norma-norma agar umat beriman
kristiani dalam kehidupan kristiani dapat mengambil bagian dalam harta-kekayaan
yang disediakan oleh Gereja, yang menghantar mereka kepada keselamatan abadi.
Karena itu, demi tujuan itu Kitab Hukum harus merumuskan dan melindungi hak-hak
dan kewajiban-kewajiban setiap umat beriman terhadap orang lain dan terhadap
persekutuan gerejawi, sejauh menyangkut kebaktian kepada Allah dan keselamatan
jiwa-jiwa.
2) Antara tata-lahir dan tata-batin, yang khas bagi Gereja
dan telah berlangsung selama berabad-abad, hendaknya terdapat koordinasi
sedemikian sehingga dihindarkan benturan antar keduanya.
3) Untuk memajukan reksa pastoral atas jiwa-jiwa secara
maksimal, di dalam hukum baru, disamping keutamaan keadilan, hendaknya juga
diperhatikan cintakasih, pengekangan diri, kemanusiaan, keugaharian; dengan
semua itu diusahakanlah kesamaan tidak hanya dalam penerapan Undang-undang oleh
pihak para gembala jiwa-jiwa, melainkan di dalam perundangan sendiri, dan
karena itu hendaknya norma-norma yang terlalu kaku ditinggalkan, bahkan lebih
baik dialihkan kepada anjuran-anjuran dan nasihat-nasihat, di mana tidak perlu
melaksanakan undang-undang secara ketat demi kesejahteraan umum dan disiplin
gerejawi umumnya.
4) Supaya Pembuat undang-undang Tertinggi dan para Uskup
dalam reksa pastoral bekerjasama secara terpadu dan tugas para gembala tampil
dengan cara yang lebih positif, kewenangan-kewenangan untuk memberikan
dispensasi dari undang-undang umum, yang sampai sekarang ini masih bersifat
luar-biasa, hendaknya dijadikan biasa, dan direservasi bagi Kuasa Tertinggi
Gereja universal atau otoritas tinggi lainnya hanya hal-hal yang menuntut
pengecualian demi kesejahteraan umum.
5) Hendaknya betul-betul diperhatikan prinsip yang muncul
dari prinsip sebelumnya dan disebut prinsip subsidiaritas untuk lebih
diterapkan dalam Gereja, karena jabatan para uskup, yang dikaitkan dengan
kekuasaan, adalah dari hukum ilahi. Asalkan dijaga kesatuan legislatif dan
hukum universal serta umum, dengan prinsip itu dipertahankan pula kewajaran dan
perlunya mengusahakan apa yang baik terutama bagi masing-masing lembaga, lewat
hak-hak khusus dan otonomi yang sehat dari kuasa eksekutif partikular yang
diberikan kepada mereka. Jadi, dengan berpangkal pada prinsip itu, hendaknya
Kitab Hukum yang baru menyerahkan hal-hal yang tidak penting bagi kesatuan
disiplin Gereja universal kepada hukum-hukum partikular atau kuasa eksekutif
sedemikian, sehingga terlak-sanalah apa yang disebut "desentralisasi"
yang sehat, seraya menjauhkan bahaya perpecahan atau terbentuknya Gereja-gereja
nasional.
6) Karena kesamaan azasi semua orang beriman kristiani dan
perbe-daan jabatan serta tugas berakar pada susunan hirarkis Gereja itu
sendiri, maka baiklah bahwa hak-hak semua orang dirumuskan secara tepat dan
dilindungi. Hal ini akan berakibat bahwa pelaksa-naan kekuasaan lebih jelas
nampak sebagai pelayanan, pengguna-annya lebih diteguhkan, dan penyalahgunaan
dijauhkan.
7) Agar hal-hal itu dipraktekkan dengan baik, perlulah bahwa
diberi-kan perhatian khusus bagi penataan prosedur yang menyangkut perlindungan
hak-hak perorangan. Jadi, dalam memperbaharui hukum hendaknya diperhatikan
hal-hal yang sangat diinginkan, yaitu rekursus administratif dan pelayanan
keadilan. Untuk mencapai hal itu, perlulah bahwa secara jelas dibedakan
berbagai tugas kuasa gerejawi, yaitu tugas legislatif, administratif dan
yudikatif, dan bahwa dengan tepat dirumuskan oleh organ mana masing-masing
tugas harus dilaksanakan.
8) Dengan suatu cara haruslah prinsip mempertahankan sifat
teritorial dalam melaksanakan pemerintahan gerejawi diperiksa kembali; sebab
alasan-alasan kerasulan masa kini rupanya menganjurkan kesatuan-kesatuan
yurisdiksi personal. Maka di dalam hukum baru yang harus dibuat hendaknya
ditetapkan prinsip, yang menentukan penggembalaan bagian dari umat Allah
berdasarkan wilayah sebagai peraturan umum; namun tak sesuatu pun menghalangi
untuk, di mana dianggap perlu, menentukan alasan-alasan lain,
sekurang-kurangnya bersama dengan alasan-alasan teritorial, menjadi kriteria
dalam menata penggembalaan jemaat beriman.
9) Mengenai hukum pidana, yang dibutuhkan Gereja sebagai
masya-rakat lahiriah, kelihatan dan berdaulat, hendaknya hukuman-hukum-an pada
umumnya bersifat ferendae sententiae, dan hendaknya dija-tuhkan dan dihapuskan
hanya dalam tata-lahir. Hukuman-hukuman yang bersifat latae sententiae
hendaknya dibatasi pada beberapa kasus saja, dijatuhkan hanya atas delik-delik
yang sangat berat.
10) Akhirnya, seperti diakui semua orang secara unanim,
susunan sis-tematis yang baru dari Kitab Hukum yang dituntut oleh pembaha-ruan,
memang sejak semula dapat dibayangkan, namun tidak dapat digariskan secara
tepat dan belum dapat diputuskan. Susunan itu hanya dapat dicapai setelah
bagian masing-masing diperiksa secukupnya, bahkan hanya setelah hampir seluruh
karya itu selesai.
Dari prinsip-prinsip yang harus mengarahkan jalannya pembaharuan
Kitab Hukum itu, nampak jelas perlunya menerapkan di sana-sini ajaran tentang
Gereja yang telah diuraikan oleh Konsili Vatikan II, karena ajaran itu
menyatakan agar tidak hanya diperhatikan segi-segi lahiriah dan sosial Tubuh
Mistik Kristus, melainkan juga dan terutama hidup batinnya.
Memang dalam kenyataannya para konsultor dalam mengerjakan
teks Kitab Hukum yang baru telah dibimbing oleh prinsip-prinsip itu.
Sementara itu dengan surat tanggal 15 Januari 1966 yang
dikirimkan oleh Yang Mulia Kardinal Ketua Komisi kepada para Ketua Konferensi
para Uskup, para Uskup di seluruh dunia katolik diminta untuk mengajukan
pandangan-pandangan dan nasihat-nasihat mereka mengenai hukum yang harus dibuat
itu sendiri dan juga mengenai cara yang harus ditempuh untuk mengadakan
hubungan secara tepat antara Konferensi para Uskup dan Komisi untuk mendapatkan
kerjasama yang maksimal dalam hal itu demi kesejahteraan Gereja. Selain itu
diminta pula supaya kepada Sekretariat Komisi dikirim daftar nama para ahli
hukum kanonik, yang menurut penilaian para Uskup di wilayah masing-masing
menonjol dalam ajaran, dengan menyebutkan keahlian mereka yang khusus sehingga
dari mereka dapat dipilih dan diangkat para konsultor dan rekan kerja. Memang,
sejak awal mula dan kemudian selama berlangsungnya pekerjaan, disamping para
anggota Yang Mulia, telah dipilih para konsultor Komisi yang terdiri dari para
Uskup, imam, religius, awam, yang ahli dalam ilmu hukum, teologi, reksa
pastoral jiwa serta hukum sipil, dari seluruh dunia kristiani, untuk
menyumbang-kan tenaga mereka dalam mempersiapkan Kitab Hukum yang baru. Untuk
seluruh waktu kerja, orang-orang yang telah menyumbangkan tenaga bagi Komisi sebagai
anggota, konsultor dan rekan kerja lainnya adalah 105 Kardinal, 77 Uskup agung
dan Uskup, 73 imam diosesan, 47 imam religius, 3 religius perempuan, 12 awam,
berasal dari lima benua atau dari 31 negara.
Sebelum sidang terakhir Konsili Vatikan II, pada tanggal 6
Mei 1965, para konsultor Komisi telah dipanggil untuk suatu sidang privat. Pada
kesempatan itu, dengan persetujuan Bapa Suci, Ketua Komisi mengajukan tiga
pertanyaan pokok untuk dipelajari, yaitu haruskah disusun satu atau dua Kitab
Hukum, yakni untuk Gereja Latin dan Gereja Timur; tata-kerja manakah yang harus
diikuti dalam merumus-kannya, atau bagaimanakah Komisi dan organ-organnya harus
menerus-kan pekerjaan; akhirnya, bagaimanakah pekerjaan dapat dibagikan secara
tepat kepada berbagai Subkomisi yang akan bekerja serentak? Atas
pertanyaan-pertanyaan itu disusun jawaban-jawaban oleh tiga kelompok yang
dibentuk untuk itu, kemudian disampaikan kepada semua anggota.
Para Yang Mulia anggota Komisi pada tanggal 25 November 1965
mengadakan sidangnya yang kedua untuk membicarakan pertanyaanpertanyaan di atas.
Mereka diminta untuk menjawab beberapa keraguan dalam soal tersebut.
Mengenai susunan sistematik Kitab Hukum baru, berdasarkan keinginan
kelompok inti para konsultor yang bersidang dari tanggal 3 sampai tanggal 7
April 1967, telah disusun suatu prinsip yang harus disodorkan kepada Sinode
para Uskup. Sesudah sidang Sinode, dianggap berfaedahlah untuk membentuk suatu
kelompok khusus para konsultor pada bulan November 1967, yang bertugas
mempelajari susunan sistematik tersebut. Dalam sidang kelompok yang diadakan
pada awal bulan April 1968, semua setuju untuk tidak memasukkan ke dalam Kitab
Hukum baru undang-undang khas liturgi, norma-norma penggelaran Beato dan Santo,
demikian pula norma-norma mengenai hubungan Gereja ke luar. Semua juga setuju
bahwa dalam bagian tentang Umat Allah ditetapkan status pribadi semua orang
beriman kristiani dan dengan tegas dibahas kuasa-kuasa dan
kewenangan-kewenangan yang menyangkut pelaksanaan berbagai jabatan dan
tugas-tugas. Akhirnya semua juga sependapat bahwa struktur Buku-Buku Kitab
Hukum Pius-Benediktus tak dapat dipertahankan lagi secara utuh dalam Kitab
Hukum yang baru.
Dalam sidang ketiga para Yang Mulia anggota Komisi pada
tanggal 28 Mei 1968, para Bapa Kardinal menyetujui isi pokok susunan sementara,
sehingga kelompok-kelompok studi yang telah ditentukan sebelumnya itu disusun
kembali dalam tatanan baru, yakni: "Susunan sistematik Kitab Hukum",
"Norma-norma umum", "Hirarki suci", "Tarekat-tarekat
kesempurnaan", "Awam", "Pribadi fisik dan pribadi moral
pada umumnya", "Perkawinan", "Sakramen-sakramen, kecuali
perkawinan", "Magisterium gerejawi", "Hukum harta benda
Gereja”, "Hukum acara", "Hukum pidana".
Bahan yang dipelajari kelompok "Orang-perorangan dan
Badan Hukum" (demikianlah kemudian hari disebut) dimasukkan ke dalam Buku
"Norma-norma Umum". Pun pula dianggap berfaedah membentuk kelompok
"Tempat dan waktu suci serta ibadat ilahi". Demi lebih luasnya
wewenang diubahlah nama kelompok-kelompok lainnya: kelompok "Kaum awam"
mengambil nama "Hak-hak serta perserikatan-perserikatan umat beriman dan
kaum awam"; kelompok "Para religius" disebut
"Tarekat-tarekat kesempurnaan" dan akhirnya disebut
"Tarekat-tarekat hidup-bakti dengan pengikraran nasihat-nasihat injili”.
Mengenai metode yang digunakan dalam karya pembaharuan
selama lebih kurang enam belas tahun, secara singkat harus disebut bagian-bagian
yang pokok: para konsultor tiap-tiap kelompok dengan semangat pengurbanan yang
sangat besar telah menunjukkan kerja yang gemilang, dengan hanya memperhatikan
kesejahteraan Gereja, baik dalam mempersiapkan secara tertulis
pandangan-pandangan mengenai bagian-bagian rancangan, maupun dalam pembahasan
selama sidang-sidang yang lama, yang pada waktu-waktu tertentu diadakan di
Roma, juga dalam pemeriksaan catatan-catatan, pandangan-pandangan dan
pendapat-pendapat mengenai rancangan itu yang sampai pada Komisi. Cara kerjanya
ialah sebagai berikut: delapan sampai empatbelas konsultor membentuk satu
kelompok studi, dan diserahi satu pokok bahasan yang harus dipelajari
bersandarkan pada hukum dari Kitab yang masih berlaku. Masing-masing, setelah
meneliti masalahnya, secara tertulis menyampaikan pendapatnya kepada
Sekretariat Komisi, dan salinannya diberikan kepada pelapor, dan bila waktunya
cukup diberikan juga kepada semua anggota kelompok. Dalam rapat-rapat kerja
yang diadakan di Roma menurut jadwal kerja, berkumpullah para konsultor
kelompok dan setelah penyajian pelapor, semua masalah dan pendapat dipertimbangkan,
sampai teks kanon-kanon, juga per bagian, ditetapkan dengan pemungutan suara
dan dirumuskan kembali menjadi rancangan. Dalam sidang, pelapor dibantu oleh
seorang petugas yang bertindak sebagai penulis.
Jumlah sidang untuk setiap kelompok, banyak sedikitnya tergantung
pada bahan-bahan konkret, dan pekerjaan-pekerjaan itu berlangsung
bertahun-tahun.
Diadakan pula sidang-sidang kelompok gabungan, khususnya
pada tahun-tahun berikutnya, dengan maksud agar pokok-pokok persoalan yang
secara langsung menyangkut beberapa kelompok dan perlu diputuskan dengan
perundingan bersama, dibahas oleh beberapa konsultor dari berbagai kelompok.
Selesai pengolahan beberapa rancangan yang dikerjakan oleh
kelom-pok-kelompok studi, kemudian dimintakan petunjuk-petunjuk konkret dari
Pembuat Hukum Tertinggi sehubungan dengan langkah berikut yang harus diikuti
dalam kerja; menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan ketika itu, langkah
berikutnya adalah:
Rancangan-rancangan (schema), bersama dengan laporan
penjelasan, dikirim kepada Paus yang memutuskan apakah masih harus
dikonsultasikan. Setelah diperoleh izin tersebut, rancangan-rancangan yang
telah dicetak dikirimkan untuk diperiksa oleh seluruh episkopat dan organ-organ
konsultasi lainnya (yaitu Dikasteri Kuria Roma, Universitas-universitas dan
Fakultas-fakultas gerejawi, dan Persatuan Pemimpin-pemimpin Tertinggi Tarekat),
agar organ-organ tersebut, dalam waktu yang telah ditentukan secara arif –
tidak kurang dari enam bulan – berusaha menyatakan pendapat mereka. Sekaligus
rancangan-rancangan tadi juga dikirimkan kepada Yang Mulia Anggota Komisi,
supaya sejak tahap pekerjaan ini mereka mengadakan pengamatan entah secara umum
atau secara khusus.
Inilah urutan pengiriman rancangan untuk dikonsultasikan:
tahun 1972, rancangan "Prosedur Administratif”; tahun 1973,
"Sanksi-sanksi dalam Gereja"; tahun 1975,
"Sakramen-sakramen"; tahun 1976, "Prosedur perlindungan hak-hak
atau hukum acara"; tahun 1977, "Ta-rekat-tarekat hidup-bakti dengan pengikraran
nasihat-nasihat injili"; "Norma-norma umum"; "Umat
Allah"; "Tugas Gereja Mengajar"; "Tempat dan waktu suci
serta ibadat ilahi"; "Hukum harta benda Gereja".
Tak dapat diragukan lagi bahwa Kitab Hukum Kanonik yang
diperbaharui tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa kerjasama yang tak
ternilai dan terus-menerus, yang diberikan kepada Komisi oleh para Uskup dan
Konferensi para Uskup berupa catatan-catatan yang begitu banyak dan sangat
penting, terutama yang bersifat pastoral. Sebab para Uskup telah membuat banyak
catatan secara tertulis: entah secara umum, yakni mengenai rancangan-rancangan
sebagai keseluruh an, entah secara khusus, yakni mengenai masing-masing kanon.
Selain itu, sangat berguna juga catatan-catatan yang
dikirimkan oleh Kongregasi-kongregasi Suci, Pengadilan dan Lembaga-lembaga
Kuria Roma lainnya, yang berdasarkan pengalaman mereka sendiri sekitar
pemerintahan pusat Gereja. Demikian juga usul-usul yang bersifat ilmiah dan
teknis, serta saran-saran yang diajukan oleh Universitas-universitas dan
Fakultas-fakultas gerejawi yang mencerminkan berbagai aliran dan cara berpikir
yang berbeda-beda.
Mempelajari, meneliti dan membicarakan secara kolegial semua
catatan umum dan khusus yang dikirimkan kepada Komisi, sungguh membawa-serta
pekerjaan yang berbobot dan amat besar. Hal ini berlangsung selama tujuh tahun.
Sekretariat Komisi dengan amat teliti mengusahakan agar semua catatan, dan
usul-usul dan saran-saran disusun secara teratur dan terpadu; setelah
dikirimkan kepada para konsultor untuk diselidiki dengan seksama, bahan-bahan
itu kemudian dibicarakan dalam sidang-sidang kerja kolegial yang harus diadakan
oleh sepuluh kelompok studi.
Tak ada satu catatan pun yang tidak dipertimbangkan dengan
perhatian dan kecermatan yang sangat besar. Hal ini juga berlaku bagi
catatan-catatan yang bertentangan satu sama lain (hal yang tidak jarang
terjadi); tidak hanya diperhatikan bobot sosiologisnya (yaitu jumlah
organ-organ konsultasi dan pribadi-pribadi yang mengusulkannya), melainkan
terutama nilai doktrinal dan pastoralnya, serta keselarasannya dengan ajaran
dan norma-norma pelaksanaan Konsili Vatikan II dan tugas mengajar Paus;
demikian pula sejauh secara khusus menyangkut masalah teknis dan ilmiah, perlu
diperhatikan keselarasan dengan sistematika yuridis kanonik. Bahkan setiap kali
muncul keraguan atau menemui soal-soal yang amat khusus, sekali lagi dimohon
pendapat para Yang Mulia anggota Komisi yang berkumpul dalam sidang pleno.
Tetapi dalam kasus-kasus lain, dengan memperhatikan bahan yang dibahas, juga
dikonsultasikan kepada Kongregasi untuk Ajaran Iman dan Dikasteri Kuria Roma
lainnya. Akhirnya atas permintaan atau saran dari para Uskup serta organ-organ
konsultasi lainnya diterima banyak koreksi dan perubahan dalam kanon-kanon
rancangan sebelumnya, sehingga beberapa rancangan sama sekali diperbaharui atau
diperbaiki.
Setelah semua rancangan ditinjau kembali, Sekretariat Komisi
dan para konsultor mencurahkan tenaga untuk pekerjaan berat berikutnya. Sebab
mengenai koordinasi intern semua rancangan yang harus diperhatikan, keseragaman
istilah harus dijaga, terutama yang berhubungan dengan segi teknis-yuridis,
kanon-kanon harus dirumuskan dalam rumusan lebih singkat dan baik, dan akhirnya
susunan sistematik harus ditetapkan secara definitif, sehingga semua dan masing-masing
rancangan yang disiapkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda bersatu padu
menjadi satu Kitab Hukum yang terpadu dalam semua bagian.
Susunan sistematik baru yang seolah-olah muncul secara
spontan sementara pekerjaan pelan-pelan menjadi matang, berdasar pada dua
prinsip; yang pertama mengenai kesetiaan kepada prinsip-prinsip umum yang telah
ditetapkan oleh kelompok pusat, dan yang lain adalah kegunaan praktis, agar
Kitab Hukum yang baru tidak hanya dapat dimengerti dan digunakan dengan mudah oleh
para ahli, melainkan juga oleh para gembala, bahkan juga oleh semua kaum
beriman kristiani.
Maka Kitab Hukum baru terdiri dari tujuh buah buku yang
berjudul: "Norma-norma umum", "Umat Allah", "Tugas
Gereja Mengajar", "Tugas Gereja Menguduskan", "Harta-benda
Gereja", "Sanksi-sanksi dalam Gereja", "Hukum Acara".
Meskipun dari perbedaan-perbedaan rubrik pada masing-masing buku Kitab Hukum
Kanonik lama dan baru telah nampak jelas dari perbedaan antara kedua sistem,
namun pembaharuan susunan sistematik akan tampak lebih jelas lagi dari bagian,
seksi, judul, dan artikel. Malahan dapat dipastikan bahwa susunan baru tidak
hanya lebih cocok dalam hal bahan dan sifat khas hukum kanonik, bila
dibandingkan dengan susunan yang lama, melainkan, dan ini yang lebih penting,
lebih sesuai dengan eklesiologi Konsili Vatikan II dan prinsip yang muncul dari
padanya yang telah diajukan sejak awal pembaharuan.
Pada tanggal 29 Juni 1980, pada pesta Rasul Petrus dan
Paulus, rancangan seluruh Kitab Hukum yang telah dicetak dipersembahkan kepada
Paus. Beliau memerintahkan agar rancangan itu dikirimkan kepada masing-masing
Kardinal Anggota Komisi untuk diperiksa dan diputuskan secara definitif. Agar
semakin memperjelas partisipasi seluruh Gereja pada tahap terakhir
pekerjaan-pekerjaan itu, Paus memutuskan agar ditambahkan pada Komisi
anggota-anggota lain, yaitu para Kardinal dan Uskup yang dipilih dari seluruh
Gereja - atas usul Konferensi para Uskup atau Dewan-dewan atau Gabungan
Konferensi para Uskup - sehingga Komisi bertambah jumlah anggotanya, menjadi 74
orang. Pada awal tahun 1981 mereka sudah mengirimkan banyak catatan, yang
kemudian diperiksa dengan teliti, dipelajari dengan cermat, dan dibicarakan
secara kolegial oleh Sekretariat Komisi dengan bantuan para konsultor yang
memiliki keahlian khusus atas bahan-bahan yang dibicarakan. Perpaduan semua
catatan bersama dengan jawaban-jawaban dari Sekretariat dan dari para
konsultor, pada bulan Agustus 1981 diserahkan kepada para Anggota Komisi.
Atas perintah Paus, dari tanggal 20 sampai 28 Oktober 1981
diadakan Sidang Pleno di Aula Sinode para Uskup, untuk memper-timbangkan
seluruh naskah Kitab Hukum yang baru dan mengadakan pemungutan suara secara
definitif. Dalam sidang itu diadakan pembahasan terutama mengenai enam soal
yang dianggap berbobot dan penting, tetapi juga mengenai soal-soal lain yang
diajukan oleh sekurang-kurangnya sepuluh Bapa. Pada akhir Sidang Pleno diajukan
pertanyaan: Apakah para Bapa menyetujui bahwa setelah rancangan Kitab Hukum
Kanonik diteliti dalam sidang pleno, diadakan perbaikan-perbaikan, dan
dimasukkan hal-hal yang mendapat suara terbanyak dalam sidang itu, serta
setelah diperhatikan catatan-catatan lain dan dipoles gaya bahasa dan bahasa
latinnya (semua tugas itu diserahkan kepada Ketua dan Sekretaris), maka
rancangan dianggap layak untuk dipersembahkan selekas mungkin kepada Paus,
supaya dapat dikeluar-kan sebagai Kitab Hukum dengan cara dan pada saat yang
berkenan kepada Beliau?" Para Bapa dengan suara bulat menjawab: Ya!
Demikianlah naskah Kitab Hukum seutuhnya disusun dan
disetujui, ditambah dengan rancangan kanon-kanon dari Undang-undang Dasar
Gereja yang karena materinya perlu dimasukkan ke dalam Kitab Hukum, dan juga
setelah dipoles bahasa Latinnya, akhirnya dicetak kembali dan pada tanggal 22
April 1982 diserahkan kepada Paus agar dapat maju ke tahap pengundangan.
Adapun Paus, secara pribadi dan dengan bantuan beberapa ahli
dan setelah mendengarkan pendapat Pejabat Ketua Komisi Kepausan untuk
pembaharuan Kitab Hukum Kanonik, memeriksa rancangan terbaru itu dan setelah
mempertimbangkan semuanya dengan matang, memutuskan bahwa Kitab Hukum yang baru
akan diundangkan pada tanggal 25 Januari 1983, yaitu pada hari ulang tahun
pengumuman pertama pembaharuan Kitab Hukum, yang dilakukan oleh Paus Yohanes XXIII.
Jadi, Komisi Kepausan yang dibentuk untuk karya itu, setelah
selama kurang lebih duapuluh tahun, dengan rasa bahagia berhasil me-nyelesaikan
tugas berat yang dipercayakan kepadanya. Kini tersedialah bagi para gembala dan
kaum beriman kristiani hukum Gereja yang terbaru, yang sederhana, jelas,
harmonis dan sesuai dengan ilmu hukum; selebihnya, tidak bertentangan dengan
cinta kasih, kewajaran, kemanu-siaan, dan diresapi sepenuhnya oleh semangat
kristiani sejati, berusaha menjawab sifat ekstern dan intern yang diberikan
oleh Tuhan kepada Gereja, dan sekaligus bermaksud menjawab situasi dan
kebutuhan Gereja di dunia zaman sekarang ini. Jika karena perubahan-perubahan
yang amat cepat dari masyarakat zaman sekarang ini, beberapa hal sudah menjadi
kurang tepat waktu hukum ini disusun dan kemudian membutuhkan pembaharuan lagi,
Gereja mempunyai tenaga-tenaga melimpah sehingga, tak ubahnya seperti pada
abad-abad yang lampau, Gereja siap untuk sekali lagi mengadakan pembaharuan
atas undang-undang hidupnya. Tetapi sekarang orang tak dapat menyangkal adanya
undang-undang: para Gembala memiliki norma-norma yang pasti untuk mengarahkan
kegiatan pelayanan suci mereka secara tepat; dengan Kitab Hukum itu diberikan
kesempatan kepada setiap orang untuk mengenal hak-hak dan kewajiban
masing-masing, dan ditutup jalan untuk bertindak sewenang-wenang;
penyalahgunaan yang mungkin timbul dalam disiplin gerejawi karena tidak adanya
Undang-undang, dengan lebih mudah dapat dilenyapkan dan dicegah; semua karya
kerasulan, lembaga-lembaga dan prakarsa-prakarsa memang mempu-nyai dasar untuk
maju dan berkembang, sehingga ketertiban yang sehat dalam tatanan yuridis
memang perlu agar persekutuan gerejawi menjadi kuat, bertumbuh dan berkembang.
Semoga Allah yang Mahabaik membuat hal itu dengan Perantaraan Santa Perawan
Maria, Bunda Gereja, dan suaminya Santo Yusuf, Pelindung Gereja, serta Santo
Petrus dan Paulus.
Dipetik dari bagian Pendahuluan Kitab Hukum Kanonik 1983
edisi terjemahan Bahasa Indonesia, 2005.