Bambang Kussriyanto
Temuan pelecehan seksual oleh klerus di dalam Gereja
mendapat perhatian besar bukan hanya dalam sisi kehidupan pastoral, tetapi juga
struktural institusional di sektor terjadinya pelecehan itu dan dalam bidang hukum.
Diperlukan pembaruan hukum. Sebab di satu pihak hukum yang tersedia kurang
mampu melindungi anak-anak dan orang dewasa yang rentan dalam Gereja, di pihak
lain tidak cukup memberi sanksi yang adil terhadap para predator. Perlu waktu
hampir sepuluh tahun untuk mengolah pembaruan
Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang berkaitan dengan pidana itu sehingga ketika
kemudian pada bulan Juni 2021 Buku VI KHK rampung diperbarui Paus Fransiskus, sambutan
yang diperoleh sangat penuh harapan. Pembaruan itu sungguh menunjukkan kepekaan
yang lebih besar atas masalah pelecehan seksual anak-anak dan orangdewasa yang
rentan.
Jika kita susun kembali kronologi usaha-usaha Gereja secara
garis besar kita lihat tonggak historisnya, terbitnya MP Sacramentorum Sanctitationis Tutela (disingkat SST) tahun 2001 (St Yohanes Paulus II). Penelitian
(2001) dan Konferensi Ilmiah Internasional Vatikan Antar Disiplin tentang
Kejahatan Seksual (2004) yang mendorong perbaikan dan edisi baru MP Sacramentorum Sanctitationis Tutela SST (2010).
Terbitnya MP Vos Estis Lux Mundi disingkat
VELM (2019), dan kemudian pembaruan Buku VI Kitab Hukum Kanonik (2021).
Vademecum atau Pedoman Penanganan Perkara Pelecehan Seksual
Oleh Klerus dari Kongregasi Ajaran Iman (KAI) terbit pada Juli 2020. Namun
setelah berbegai pertemuan di bulan November 2021 untuk penerimaan perbaikan
Buku VI KHK, Vademecum itu diperbaiki dengan terbitnya Versi 2.0 pada 5 Juni
2022 dengan memerhatikan perubahan norma-norma dalam KHK Buku VI pada 2021 oleh
Paus Fransiskus.
Teks di bawah ini masih mengikuti Vademecum Versi 1.0 Juli 2020. Penulis sedang memelajari Vademecum Versi 2.0 dan perbedaan disisipkan dengan warna huruf merah (BKs)
III. Bagaimana penyelidikan awal berlangsung?
32. Penyelidikan awal berlangsung sesuai dengan kriteria dan
prosedur yang ditetapkan dalam kan. 1717 KHK atau kan. 1468 KKGKT dan yang dikutip
di bawah ini.
a/ Apa itu penyelidikan awal?
33. Harus selalu diingat bahwa penyelidikan awal bukanlah
pengadilan atau tidak juga berusaha mendapatkan kepastian moral apakah
peristiwa yang disangkakan terjadi. Penyelidikan itu berfungsi untuk a/. mengumpulkan
data yang berguna untuk pemeriksaan lebih rinci mengenai notitia de delicto;
dan b/. menentukan kemungkinan kebenaran laporan, yakni, menentukan bahwa yang
disebut fumus delicti, yaitu dasar yang cukup, baik dalam hukum (in iure)
maupun dalam kenyataan (in facto) untuk menilai suatu tuduhan memiliki
keserupaan/kemiripan dengan kebenaran.
34. Karena itu, sebagaimana ditunjukkan oleh kanon yang dikutip dalam no. 32, penyelidikan awal hendaknya mengumpulkan informasi rinci tentang notitia de delicto berkenaan dengan fakta-fakta, keadaan, dan imputabilitas (pengenaan tanggung jawab atas kejahatan kepada seseorang). Pada tahap ini tidak perlu mengumpulkan unsur-unsur lengkap suatu bukti (contohnya, kesaksian, pendapat ahli), karena hal itu akan menjadi tugas merekonstruksi, sejauh mungkin, fakta-fakta yang mendasari suatu dakwaan, jumlah dan waktu tindak kejahatan, keadaan sekitar tempat kejahatan terjadi, dan rincian umum tentang terduga korban, bersama dengan penilaian awal kerugian fisik, psikologis, dan moral yang ditimbulkan. Perhatian perlu diberikan untuk menentukan kemungkinan hubungannya dengan forum internal sakramental (namun dalam hal ini, harus diperhatikan art. 24 SST[2] dalam versi 2.0 4 § 2 SST [2])). Di sini, tindak pidana lain apapun yang didakwakan kepada terdakwa (bdk. art. 8 § 2 SST[3] dalam versi 2.0 art 9 § 2 SST [3]) dapat ditambahkan, termasuk indikasi apa pun dari kenyataan problematik yang muncul dari profil biografinya. Dapat berguna mengumpulkan kesaksian dan dokumen, apa saja dan dari mana saja (termasuk hasil penyelidikan atau pengadilan yang dilaksanakan otoritas sipil), yang mungkin sesungguhnya berguna untuk memperkuat dan mengesahkan kemungkinan kebenaran dari dakwaan. Hal yang sama dapat dilakukan pada tahap ini untuk menunjukkan faktor-faktor yang mungkin membebaskan, meringankan atau mem-beratkan sebagaimana diatur hukum. Dapat juga membantu, untuk mengumpulkan pada saat ini kesaksian-kesaksian yang dapat dipercaya berkenaan dengan pelapor dan terduga korban. Dalam lampiran Vademecum ini, disertakan bagan skematis data yang berguna yang perlu dikumpulkan dan harus ada di tangan orang yang melaksanakan penyelidikan awal (bdk. no. 69).
35. Apabila, sewaktu penyelidikan awal berjalan diketahui
notitia de delicto yang lain, hal ini harus dilihat sebagai bagian dari
penyelidikan awal itu juga.
36. Seperti telah disebutkan di atas, perolehan hasil dari
penyelidikan sipil (atau seluruh peradilan di depan Pengadilan Negara) dapat
membuat penyelidikan awal secara kanonik tidak perlu. Namun demikian, perhatian
yang cukup harus diberikan oleh mereka yang harus melaksanakan penyelidikan
awal untuk memeriksa penyelidikan sipil, karena kriteria yang dipakai dalam
penyelidikan sipil (berkenaan dengan misalnya, batas daluwarsa, jenis
(tipologi) kejahatan, usia korban, dll) dapat berbeda secara signifikan dengan
norma hukum kanonik. Juga dalam keadaan demikian, bila ada keraguan, sebaiknya
berkonsultasi kepada KAI.
37. Dapat juga penyelidikan tidak perlu dalam perkara
kejahatan yang terkenal buruk dan tidak dapat disangkal (mengingat, contohnya,
perolehan berkas perkara pengadilan sipil atau pengakuan dari pihak klerikus).
b/ Tindakan yuridis apa yang harus dilaksanakan untuk
memulai penyelidikan awal?
38. Apabila Ordinaris atau Hierarki yang berwenang menilainya tepat untuk merekrut seorang lain yang cocok untuk melaksanakan penyelidikan (bdk. no. 21), ia harus memilihnya dengan meng-gunakan kriteria yang ditunjukkan oleh kan. 1428 § 1-2 KHK atau 1093 KKGKT.[4]
39. Dalam
menunjuk orang yang melaksanakan penyelidikan, dan dengan memperhatikan kerja-sama
yang dapat ditawarkan oleh awam sesuai dengan kan. 228 KHK dan 408 KKGKT (bdk.
art. 13 VELM), Ordinaris atau Hierarki hendaknya ingat bahwa sesuai kan. 1717 §
3 KHK dan 1468 § 3 KKGKT, jika kemudian proses pidana yudisial dimulai, orang
yang sama tidak dapat bertindak sebagai hakimnya dalam proses itu. Praktik yang
sehat menyarankan bahwa kriteria yang sama digunakan dalam mengangkat Delegatus
dan Asesor dalam hal proses ekstrayudisial.
40. Sesuai dengan kan. 1719 KHK dan 1470 KKGKT, Ordinaris
atau Hierarki harus mengeluarkan dekret yang memulai penyelidikan awal, yang di
dalamnya ia menunjuk orang untuk melakukan penyelidikan, dan menunjukkan dalam
teks itu bahwa ia memiliki kuasa yang disebutkan dalam kan. 1717 § 3 KHK atau
1468 § 3 KKGKT.
41. Meskipun tidak secara tegas diatur oleh hukum,
dianjurkan mengangkat notarius seorang imam (bdk. kan. 483 § 2 KHK dan kan. 253
§ 2 KKGKT, di mana kriteria lain ditunjukkan untuk pillihan itu), untuk
membantu orang yang melakukan penyelidikan awal dengan tujuan menjamin
kepercayaan publik atas dokumen yang telah disusun (bdk. kan. 1437 § 2 KHK dan
1101 § 2 KKGKT).
42. Namun demikian, harus diperhatikan bahwa, karena semua
ini bukan dokumen suatu proses perkara, kehadiran notarius tidak diperlukan
untuk keabsahannya.
43. Dalam tahap penyelidikan awal penunjukan Promotor
Iustitiae tidak perlu.
c/ Dokumen-dokumen pelengkap apa yang dapat atau harus
dikerjakan sewaktu penyelidikan awal?
44. Kan. 1717 § 2 KHK dan 1468 § 2 KKGKT, dan art 4 § 2 dan
5 § 2 VELM berbicara mengenai perlindungan nama baik orang-orang yang terlibat
(terdakwa, terduga korban, saksi-saksi), sehingga laporan tidak akan
menimbulkan prasangka, balas-dendam, atau diskriminasi terhadap mereka. Karena
itu, orang yang melaksana-kan penyelidikan awal harus sungguh-sungguh
berhati-hati untuk mengambil setiap pencegahan yang mungkin untuk tujuan ini,
karena hak atas nama baik adalah salah satu hak umat beriman yang dijamin oleh
kan. 220 KHK dan 23 KKGKT. Namun demikian, harus diperhatikan bahwa kanon-kanon
tersebut melindungi hak itu dari pelanggaran yang tidak legitim. Dengan begitu,
apabila kebaikan umum terancam, penyampaian informasi tentang adanya dakwaan
tidak lagi merupakan pelanggaran akan nama baik. Lebih dari itu, orang-orang
yang terlibat harus diberitahu bahwa apabila terjadi penyitaan pengadilan dan
perintah penyerahan berkas perkara penyelidikan kepada pihak otoritas sipil,
tidak mungkin lagi bagi Gereja untuk menjamin kerahasiaan (konfidensialitas)
pernyataan dan pendokumentasian yang diperoleh dari penyelidik-an secara
kanonik.
45. Dalam tiap kejadian, khususnya di mana pernyataan publik
harus dilakukan, kehati-hatian besar harus dijalankan dalam memberikan
informasi mengenai fakta. Pernyataan harus singkat dan ringkas, dengan
menghindari pengumuman yang ramai, menahan diri sepenuhnya dari penilaian dini
mengenai bersalah atau tidaknya orang yang disangka (karena hal ini akan
ditetapkan hanya oleh proses pidana yang akan terjadi berikutnya yang bertujuan
membuktikan dasar dakwaan), dan menghormati setiap keinginan akan privasi yang
diungkapkan oleh korban-korban yang diduga. 46. Sebagaimana dinyatakan di atas,
karena dalam tahap ini kemungkinan bersalah orang yang disangka baru akan
ditetapkan, kehati-hatian sepenuhnya harus dijaga untuk menghindari – dalam
pernyataan umum atau komunikasi pribadi– tiap penegasan yang dilakukan atas
nama Gereja, Lembaga atau Serikat, atau atas nama sendiri, yang dapat merupakan
antisipasi penilaian atas dasar fakta-fakta.
47. Harus juga diperhatikan bahwa laporan, proses, dan
keputusan terkait dengan tindak pidana yang disebut dalam art. 6 SST tunduk
pada rahasia jabatan. Hal ini tidak menghalangi orang-orang yang melaporkan –
khususnya bila mereka juga bermaksud memberitahu otoritas sipil – untuk membuat
publik tindakan mereka. Selain itu, karena tidak semua bentuk notitia de
delicto merupakan laporan resmi, ada kemungkinan untuk menilai apakah orang
terikat oleh kerahasiaan itu atau tidak dengan selalu ingat untuk menghormati
nama baik orang lain yang disebut dalam no. 44.
48. Di sini juga, perhatian harus diberikan pada apakah
Ordinaris atau Hierarki berkewajiban untuk memberitahukan kepada otoritas sipil
mengenai notitia de delicto yang diterimanya dan dimulainya penyelidikan awal.
Dua prinsip harus diterapkan: a/. hormat pada undang-undang Negara (bdk. art.
19 VELM); dan b/. hormat pada kehendak terduga korban asalkan hal ini tidak
bertentangan dengan perundangan sipil. Terduga korban hendak-nya didukung –
seperti yang akan dinyatakan di bawah (no. 56) – untuk menjalankan kewajiban
dan haknya berhadapan (vis-à-vis) dengan otoritas Negara, dengan berhati-hati
menjaga berkas dokumen dukungan ini dan menghindari setiap bentuk disuasi
(penghalangan) yang berkenaan dengan terduga korban. Kesepakatan yang berkenaan
dengan itu (konkordat, persetujuan, protokol saling pengertian) yang ditetapkan
Takhta Suci dengan pemerintah nasional harus selalu dan dalam setiap hal
ditaati.
49. Ketika hukum Negara menuntut Ordinaris atau Hierarki
untuk melaporkan notitia de delicto, ia harus melakukannya, sekalipun
diperkirakan bahwa atas dasar hukum negara tak ada tindakan yang akan diambil
(misalnya, dalam perkara-perkara di mana daluwarsanya telah lewat atau definisi
kejahatan mungkin berbeda-beda.
50. Sewaktu-waktu otoritas yudisial sipil mengeluarkan suatu
perintah eksekutif legitim yang menuntut penyerahan dokumen mengenai perkara
atau perintah penyitaan pengadilan atas dokumen itu, Ordinaris atau Hierarki
harus bekerja-sama dengan otoritas sipil. Apabila legitimasi permintaan atau
penyitaan itu diragukan, Ordinaris atau Hierarki dapat berkonsultasi kepada
ahli hukum mengenai sarana bantuan yang memungkinkan untuk rekursus. Dalam tiap
perkara dianjurkan memberitahukan hal itu segera kepada Wakil Paus.
51. Dalam perkara-perkara di mana perlu mendengarkan
anak-anak atau orang-orang yang disamakan dengannya, norma sipil Negara
hendaknya diikuti, demikian juga metode yang cocok dengan usia atau keadaan
mereka, misalnya, dengan mengizinkan anak itu didampingi oleh seorang dewasa yang
terpercaya dan menghindari tiap kontak langsung dengan orang yang didakwa.
52. Selama proses penyelidikan, tugas yang sangat sensitif
yang jatuh pada Ordinaris atau Hierarki adalah memutuskan apakah dan kapan
memberitahukan kepada orang yang didakwa.
53. Dalam hal ini tidak ada kriteria yang seragam atau
ketentuan yang jelas dalam hukum. Perlu dilakukan penilaian tentang semua hal
yang berkaitan: selain untuk perlindungan terhadap nama baik orang yang
terlibat, perhatian juga harus diberikan, misalnya, pada risiko yang
membahayakan penyelidikan awal atau menimbulkan skandal bagi umat beriman, dan
manfaat mengumpulkan terlebih dulu semua bukti yang mungkin berguna atau perlu.
54. Apabila perlu dibuat keputusan untuk menanyai orang yang
disangka, karena tahap penyelidikan ini belum merupakan proses pengadilan,
bukanlah kewajiban untuk menunjuk seorang pengacara resmi baginya. Tetapi,
apabila ia menganggap berguna, ia dapat dibantu seorang pelindung (patronus)
yang merupakan pilihannya. Sumpah tidak dapat dikenakan pada orang yang
disangka (bdk. ex analogia, kan. 1728 § 2 KHK dan 1471 § 2 KKGKT).
55. Otoritas gerejawi harus menjamin bahwa terduga korban
dan keluarganya diperlakukan dengan bermartabat dan hormat dan harus menawarkan
kepada mereka penerimaan, didengarkan sepenuhnya dan pendampingan, juga melalui
pelayanan khusus, serta bantuan spiritual, medis dan psikologis sebagaimana
dituntut dalam perkara khusus (bdk. art. 5 VELM). Hal yang sama dapat dilakukan
kepada tersangka. Tetapi, harus dihindari memberi kesan ingin mendahului hasil
dari proses pengadilan.
56. Mutlak perlu dalam tahap ini dihindari tindakan apa pun
yang dapat ditafsirkan oleh terduga korban sebagai halangan untuk menjalankan
hak-hak sipilnya berhadapan (vis-à-vis) dengan otoritas sipil.
57. Di mana ada struktur-struktur negara atau gerejawi
tentang informasi dan dukungan untuk terduga korban, atau nasihat bagi otoritas
gerejawi, perlu juga mengacu pada struktur-struktur itu. Maksud dari struktur
ini murni hanya untuk memberikan nasihat, petunjuk, dan bantuan; analisisnya
bukanlah keputusan prosedural kanonik sama sekali.
58. Untuk melindungi nama baik orang-orang yang terlibat dan melindungi kebaikan umum, juga menghindari faktor-faktor lain (misalnya, tersebarnya skandal, risiko penyembunyian bukti di masa datang, adanya ancaman atau tindakan lain yang dimaksudkan untuk menghalangi terduga korban menggunakan hak-haknya, perlindungan terhadap korban-korban lain yang mungkin) sesuai dengan art. 19 SST (dalam versi 2.0 art. 10 § 2 SST), Ordinaris atau Hierarki memiliki hak dari permulaan penyelidikan awal untuk mengambil tindakan pencegahan seperti tercantum dalam kan. 1722 KHK dan 1473 KKGKT.[5]
59. Tindakan-tindakan pencegahan yang ditemukan dalam
kanon-kanon itu merupakan daftar taxatif, yaitu untuk sekali waktu dapat dipilih
satu atau lebih dari yang ada di situ.
60. Hal ini tidak menghalangi Ordinaris atau Hierarki
mengenakan tindakan disipliner lain yang ada dalam kuasanya, tetapi itu tak
dapat diartikan secara ketat sebagai “tindakan-tindakan pencegahan.”
Petikan dari: Kongregasi Ajaran Iman, VADEMECUM PENANGANAN
PERKARA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK-ANAK OLEH KLERIKUS, Roma, 16 Juli 2020.
Penerjemah : R.D. Yohanes Driyanto. ©Dokpen KWI.
Lanjutan proses penyelidikan awal akan dilanjut dalam
artikel ke III.