Injil [Bahasa Indonesia ini merupakan serapan dari bahasa Yunani, eu-angelion, yang berarti kabar baik atau kabar gembira]. (Bahasa Anglo Saxon menerjemahkannya dengan god-spell, yang kemudian menjadi gospel). Nama yang pada umumnya diberikan kepada empat kitab yang ditulis dengan ilham ilahi tentang hidup, wafat dan kebangkitan Tuhan Kita Yesus Kristus di dalam Kitab Suci. Secara lebih luas “Injil Kerajaan” (Mat 4:23; Mrk 1:15; Luk 4:43; 8:1; 16:16), kabar baik tentang keselamatan bagi sluruh umat manusia melalui Yesus; atau yang paling luas, seluruh wahyu keselamatan oleh Kristus (bdk Mat 9:35; 24:14; Mrk 1:14; 13:10; 16:15; Kis 5:42; 11:20; 14:7; 20:24; Rm 1:9; 10:16; 15:20; 1 Kor 15:1; 2 Kor 4:3). Paulus menyampaikan suatu rumusan yang bermanfaat:
Dari Paulus, hamba Kristus
Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil
Allah. Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya dengan perantaraan
nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang menurut daging
diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh
kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang
berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita. Dengan perantaraan-Nya kami menerima kasih
karunia dan jabatan rasul untuk menuntun semua bangsa, supaya mereka percaya
dan taat kepada nama-Nya. Kamu juga termasuk di antara mereka, kamu yang telah
dipanggil menjadi milik Kristus. (Rm 1:1-6).
Pengarahan dan ajaran yang jelas mengenai pemahaman Katolik atas Injil-injil disampaikan
oleh dua dokumen penting: Konstitusi Dogmatik tentang “Wahyu Ilahi”, Dei Verbum, dari Konsili Vatikan II; dan
dokumen Komisi Kitab Suci Kepausan, Sancta
Mater Ecclesia, “Tentang Kesejarahan Injil-injil”.
I.
ASAL MULA
Paham
Perjanjian Baru tentang Injil dilacak untuk sebagian dari tulisan nabi-nabi
Perjanjian Lama, khususnya nubuat Yesaya tentang kabar baik keselamatan bagi
Sion (Yes 40:9; 41:27; 52:7; 61:1). Yes 61:1 menyatakan bahwa “kabar baik” itu
adalah “menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat
orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang
tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara”. Paham
tradisional dari kata Yunani eu-angelion
adalah “menyampaikan kabar baik” yang diterapkan untuk orang yang membawa
berita, khususnya berita kemenangan. Pada abad pertama Masehi kata eu-angelion dimengerti orang Roma
sehubungan dengan “kabar baik” mengenai kelahiran seorang anak pewaris kaisar
atau kenaikan tahta seorang kaisar baru. Bahwa Lukas menggunakan kata itu dalam
arti kata yang terakhir jelas dalam pemberitahuan tentang kelahiran Yohanes
Pembaptis (Luk 1:19) dan Yesus (Luk 2:10). Demikian pulalah Yohanes Pembaptis
mewartakan Kabar Gembira (Luk 3:19), seperti Yesus (Mat 4:23; Mrk 1:35-39;
Luk 4:43-45).
II.
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN
Seperti
yang kita lihat, pewartaan Injil dalam Perjanjian Baru tidak berkenaan dengan
keempat Injil yang kita miliki sekarang dalam bentuk tertulis. Sebailknya, eu-angelion berhubungan dengan Kabar
Baik Kerajaan. Perbedaan ini membentuk elemen pokok di dalam memahami tempat
keempat Injil tertulis di dalam proses pelaksanaan pewartaan Kabar Baik.
Sejauh tidak ada catatan tertulis yang
resmi dan autentik mengenai Kabar Baik itu, pengertian Perjanjian Baru tentang
“Injil” hanya mengandung satu makna. Jelas, paham tentang Injil sebagai wujud
pewartaan Kerajaan Allah dan keselamatan yang dilaksanakan Yesus Kristus tidak
berubah bahkan setelah para penginjil menuliskan Injil-injil [Matius, Markus,
Lukas, Yohanes]. Bagaimanapun, hanya ada satu Injil, dan tampilnya keempat
catatan mengenai Injil itu tidak menggambarkan empat Injil yang berbeda-beda,
melainkan empat gaya penceritaan pribadi atas Injil yang sama. Namun justru
pada awal sekali, kata “Injil” dicantumkan pada karya tertulis. Ini sudah
tampak dalam tulisan Santo Yustinus yang pertama Apology (46), ketika ia menulis “Kenangan Para Rasul yang disebut Euangelia”, dengan jelas menunjuk
bukan pada suatu pewartaan Injil,
melainkan pada keempat kitab Injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes] (KGK 2763(?)).
Sebelum munculnya Injil-injil tertulis
yang diilhamkan [Matius, Markus, Lukas, Yohanes], sudah ada tradisi lisan yang
menjadi dasar dari Injil-injil tertulis itu (DV 7-10.18; Sancta Mater Ecclesia II, “Penjabaran Pesan Injil”) (KGK 76-79). Dei Verbum menyatakan:
Sesudah kenaikan Tuhan para
Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan
oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh
karena di didik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh
kebenaran. Adapun cara penilulis suci mengarang keempat Injil dan memilih
berbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau
tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan
dengan memperhatikan keadaan Gereja-gereja; akhirnya dengan tetap
mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu
menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus. Sebab mereka
menulis, entah berdasarkan ingatan dan kenangan mereka sendiri, entah
berdasarkan kesaksian mereka “yang dari semula menjadi saksi mata dan pelayan
sabda”, dengan maksud supaya kita mengenal “kebenaran” kata-kata yang diajarkan
kepada kita (lih. Luk 1:2-4). (DV 19)
Sancta Mater Ecclesia mengingatkan para penafsir Kitab Suci agar memperhatikan ketiga
tahapan dalam tradisi, “melalui mana hidup dan ajaran Yesus diturunkan kepada
kita”. Yang pertama adalah ajaran-ajaran Kristus, dan ketika Ia memberikan
ajaranNya secara lisan, Ia “menggunakan
bentuk-bentuk gagasan dan ungkapan yang lazim pada zaman itu” dan ”menyesuaikan
Diri kepada jalan pikiran pendengarNya sedemikian sehingga ajaranNya dapat
menimbulkan kesan yang sangat kuat dalam benak mereka dan mudah diingat oleh
para muridNya”.
Yang kedua, adalah ajaran para rasul,
yaitu kesaksian yang disampaikan para rasul tentang Yesus dan pewartaan wafat
dan kebangkitanNya. Di dalam menyampaikan cerita tentang hidup Yesus dan
menyampaikan kata-katanya, para rasul menggunakan perkataan dan frasa yang
disesuaikan sebaik-baiknya dengan khalayak mereka, termasuk bentuk-bentuk
percakapan seperti “rumusan pengajaran, penyampaian kisah, pernyataan saksi
mata, kidung, doksologi, doa, dan gaya sastra yang umum terdapat dalam Kitab
Suci dan percakapan pada waktu itu.”
Yang Ketiga, keempat penginjil yang
menuliskan ajaran para rasul, dengan menggunakan metode-metode yang terbaik
bagi para pembaca khusus mereka dan yang terutama bagi seluruh gereja:
Dari berbagai unsur yang ada
pada mereka, mereka menyampaikan sebagian, membuat ikhtisar dari yang lain, dan
juga mengembangkan yang lain lagi sesuai dengan kebutuhan berbagai jemaat.
Mereka menggunakan setiap cara yang mungkin untuk menjamin pembaca mereka
mendapatkan kebenaran dari segala yang diajarkan kepada mereka. Dari bahan yang
tersedia para Penginjil memilah hal-hal yang paling cocok bagi maksud khusus
dan kondisi pembaca tertentu. Dan mereka mengisahkan peristiwa-peristiwa itu
dengan cara yang paling memuaskan maksud mereka dan situasi khusus khalayak
mereka. (Sancta Mater Ecclesia II)
Berdasarkan
ketiga pola tradisi ini, kita dapat mengetahui bagaimana dan mengapa ada
perbedaan-perbedaan di antara keempat Injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes].
Perbedaan yang tampak itu adalah berhubungan dengan maksud dari para Penginjil.
Tugas kita selaku pembaca adalah memahami semua faktor yang relevan yang
terkait dengan asal mula dan penulisan Injil-injil [Matius, Markus, Lukas,
Yohanes] dengan memerhatikan maksud para Penginjil. Harus kita ingat bahwa
ajaran Yesus tidak hanya disimpan dan disampaikan supaya diingat saja; ajaran
itu diajarkan: “Maka penafsir, dengan memeriksa kesaksian para Penginjil
berulang kali niscaya akan dapat menjelaskan dengan lebih baik nilai teologis
yang tak terperikan dari Injil-injil serta pentingnya dan perlunya penafsiran
Gereja.” (Sancta Mater Ecclesia,II)
(KGK 109-119).
III.
INJIL-INJIL YANG NON-KANONIK
Selain
dari keempat Injil yang diilhami [Matius, Markus, Lukas, Yohanes], ada banyak
injil-injil apokrip yang ditemukan tersebar di abad-abad pertama Gereja (bdk
Luk 1:1-4). Injil-injil yang tidak kanonik ini menyolok karena gaya sastranya
yang sering falmboyan, mengandung ajaran yang sungguh berbeda entah yang sangat
Yahudi entah Gnostis hingga bersifat bidat dan kontras dengan ajaran autentik
dari keempat Injil [kanonik]; mereka juga berasal dari masa yang berbeda, dari
abad pertama hingga abad keempat. Keempat Injil kanonik [Matius, Markus, Lukas,
Yohanes] diakui sejak awal berasal dari para rasul; sementara itu banyak
injil-injil apokrip “menyatakan diri” dikarang oleh rasul-rasul, tetapi
pernyataan itu ditolak Gereja awal. Para ahli modern memastikan asal-usul yang
tidak jelas dari kebanyakan dokumen ini. Di antara injil-injil apokrip itu yang
banyak dikenal adalah:
Injil Ebion Basiliades
Injil Menurut Orang-orang
Mesir
Injil Hawa
Injil Menurut Orang-orang
Ibrani
Injil Marcion
Injil Mattia
Injil Nikodemus (Kisah
Pilatus)
Injil Petrus
Injil Filipus
Injil Teleiseos
Injil Tomas
Injil Kedua Belas Rasul
Injil Valentinus
Injil Yudas
Proto-injil Yakobus