Pada 18 April nanti kita akan memeringati 60 tahun lahirnya Ensiklik Pacem in Terris atau Perdamaian di Dunia (18 April 1963) . Konteks situasi sekitar kelahiran Ensiklik itu mirip-mirip dengan keadaan sekarang. Karena sangat baik jika kita pelajari kembali isi dan konteks Ensiklik Pacem In Terris.
Saya menyampaikan kembali teks dokumen Pacem in Terris yang merupakan salah satu bagian integral dari korpus Ajaran Sosial Gereja. Semoga kita dapat menyegarkan relevansi dan prinsip-prinsip ajaran Pacem In Terris pada situasi kita dan dunia sekarang.
Baca juga: PERCIKAN ISYU PACEM IN TERRIS
PAUS YOHANES XXIII
“PACEM IN TERRIS” (PERDAMAIAN DI DUNIA)
TENTANG USAHA MENCAPAI PERDAMAIAN SEMESTA DALAM KEBENARAN, KEADILAN, CINTA KASIH DAN KEBEBASAN
KEPADA SAUDARA-SAUDARA YANG TERHORMAT PARA PATRIARK, USKUP PERDANA, USKUP AGUNG, USKUP DAN ORDINARIS LAINNYA YANG HIDUP DALAM DAMAI DAN PERSEKUTUAN DENGAN TAKHTA APOSTOLIK KEPADA KLERUS DAN UMAT BERIMAN DI SELURUH DUNIA, DAN KEPADA SEMUA ORANG YANG BERIKTIKAD BAIK
Saudara-saudara yang terhormat dan putera-puteri yang terkasih, Salam dan Berkat Apostolik.
PENATAAN ALLAH, KEKACAUAN DUNIA
1. PERDAMAIAN DI DUNIA di sepanjang zaman begitu didambakan dan diusahakan oleh umat manusia. Akan tetapi perdamaian itu tak pernah akan tercapai, tak pernah akan terjamin, kalau tata-dunia yang ditetapkan oleh Allah tidak dipatuhi dengan seksama.
2. Tata-tertib yang mengagumkan meliputi dunia ciptaan yang hidup dan daya-kekuatan alam. Itulah pelajaran jelas yang kita terima dari kemajuan penalitian modern dan penemuan-penemuan teknologi. Dan suatu cirri keagungan manusia ialah kemampuannya menghargai tata-tertib itu, dan menciptakan upaya-upaya untuk mengedalikan daya kekuatan itu demi kepentingannya sendiri.
3. Akan tetapi pertama-tama nyata dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan teknologi ialah bahwa maha-agunglah Allah sendiri, yang menciptakan manuasia dan alam semesta. Sesungguhnya, dari ketiadaan diciptakan_nya segala sesuatu, dan semua dipenuhiNya dengan kepurnaan kebijaksanaan dan kebaikan-Nya sendiri. Maka beginilah penyair mazmur memuji Allah : “ Ya Tuhan, tuhan kami betapa mulialah nama-Mu diseluruh bumi!” Segala sesuatu Kauciptakan dengan bijaksana”. Lagi pula Allah menciptakan manusia “menurut citra dan keserupaan-Nya”: Ia menganugerahinya dengan pengertian dan kebebasan dan menjadikannya penguasa alam makhluk. Semuanya itu diwartakan oleh penyair mazmur. “Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah. Dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau memberinya kuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya Kautaruh di bawah kakinya.
4. Meskipun begitu ada perpecahan antara orang-orang dan bangsa-bangsa; itu jelas sekali bertentangan dengan tat alam semesta yang sempurna. Orang cenderung beranggapan, seolah-olah hubungan-hubungan antar manusia hanya dapat dikendalikan dengan kekuatan.
5. Akan tetapi Sang Pencipta dunia telah mencamkan ke dalam hati sanubari manusia adanya tata-semesta, dan suarahatinya mendesak supaya itu dipertahankannya. Manusia “menunjukkan, bahwa isi hokum Taurat tertulis dalam hati mereka, dan suarahatinya turut bersaksi tentangnya”. Mau apa lagi? Semua makhuk mencerminkan kebijaksanaan Allah yang tiada batasnya. Dan kian jelas kebijaksanaan itu terpantulkan, semakin ciptaan itu lebih tinggi taraf kesempurnaannnya.
6. Akan tetapi sering kejahatan diakibatkan oleh pandangan-pandangan yang sesat. Banyak orang beranggapan seolah-olah hukum-hukum yang mengaturhubungan manusia dan negara sama saja seperti hukum-hukum yang menguasai daya-daya dan unsur-unsur alam semesta yan buta. Tetapi itu tidak benar. Hukum-hukum yang mengatur manusia berlainan sama sekali. Bapa alam semesta telah menerakannya ke dalam kodrat manusia. Oleh karena itulah hukum itu harus dicari di situ, bukan di tempat lain.
7. Hukum-hukum itu dengan jelas memperlihatkan, bagaimana manusia harus berperilaku terhadap sesamanya di masyarakat, dan bagaimana hubungan-hubungan timbak-balik antara warganegara dan para pejabat harus diwujudkan. Hukum-hukum menunjukkan juga, kaidah-kaidah manakah yang harus mengatur hubungan-hubungan antar negara, akhirnya, bagiamanakah seharusnya hubungan natara orang-orang perorangan atau negara-negara di satu pihak, dan segenap masyarakat bangsa-bangsa seluruh dunia di pihak lain. Kepentingan bersama umat manusia menuntut, agar akhirnya didirikannya persekutuan bangsa-bangsa di dunia semesta.
8. Pertama-tama perhatian perlu ditunjukan kepada tata-tertib yang harus tetap berlaku dia nata manusia.
9. Perserikatan mana pun yang di tata dengan baik dan bersifat produktif dalam masyarakat menuntut, agar satu asas dasar ini diterima setiap orang itu pribadi yang sesungguhnya. Artinya, kodratnya dikurniai akalbudi dan kehendak bebas. Oleh karena itulah ia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, yang kesemuanya timbul sebagai konsekuensi langsung kodratnya. Hak-hak serta kewajiban-kewajiban itu bersifat universal dan tidak boleh dilanggar, maka dari itu saa sekali tidak dapat direbut dari manusia. (Paus Pius XII, Amanat radio pada hari Natal 1942; AAS. 35 (1943) hlm. 9-24; Paus Yohanes XXIII, kotbah, tgl 4 Januari 1963: AAS(1963 hal. 89-91))
10. Lagi pula, bila martabat pribadi manusia ditinjau dari wahyu ilahi, penghargaan kita terhadapnya mau tidaj mau meningkat tiada bandingnya. Manusia telah ditebus dengan darah Yesus Kristus. Rahmat menjadikannya putera-puteri dan sahabat-sahabat Allah, serta pewaris-pewaris kemualiaan kekal.
HAK – HAK MANUSIA
11. Akan tetapi yang pertama-tama perlu dibahas ialah hak-hak manusia. Ia berhak hidup. Ia berhak atas keutuhan badannya dan atas upaya-upaya yang diperlukan untuk pengembangan hidup yang sewajarnya, khususnya makanan, pakaian, tempat berteduh, perawatan kesehatan, istirahat dan akhirnya pelayanan-pelayanan sosial yang dibutuhkan. Oleh karena itu ia berhak mendapat pemeliharaan kalau sedang sakit, menderita cacat akibat pekerjaanya, menjadi janda, lanjut usia, terpaksa menganggur, atau bila tanpa kesalahannya sendiri kehilangan nafkahnya. (Bdk. Ensiklik Paus Pius XI “ Divini Redemptoris” : AAS 29 (1937) hal. 78 ; Amanat radio Paus Pius XII, Pentakosta, tg; 1 Juni 1941 ; AAS 33 (1941) hlm. 195 – 205.)
12. Selain itu menurut kodratnya manusia berhak dihargai. Ia berhak atas nama baik, Berhak pula atas kebebasan menyelidiki kebenaran, dan dalam batas-batas tata- susila dan kesejahteraan umum-atas kebebasan untuk berbicara dan menerbitkan karya tulis, lagi pula atas kebebasan untuk menjalankan profesi mana pun yang pilihnya. Ia berhak juga atas informasi yang cermat tentang peristiwa-peristiwa umum.
13. Secara hakiki manusia berhal ikut memanfaatkan buah-buah kebudayaan, karena itu mendapat pendidikan umum yang baik, dan latihan teknis atau kejuruan yang serasi dengan taraf perkembangan pendidikandi negerinya. Lagi pula perlu dirancangkan suatu sistem untuk membuka bagi para warga masyarakat yang berbakat peluang menempuh studi lebih lanjut, supaya di kemudian hari mereka sedapat mungkin menduduki posisi-posisi yang penuh tanggung jawab dalam masyarakat sesuai dengan bakat alami mereka dan ketrampilan yang mereka peroleh. ( Bdk. Paus Pius XII, Amanat Radio pada hari Natal 1942; AAS (19430 Hlm. 9 - 24)
14. Termasuk hak-hak manusia juga dapat beribadat kepada Allah mengikuti dorongan yang tepat suarahatinya sendiri, dan mengakui agamanya secara privat maupun di muka umum. Laktansinus jelas mengajarkan : “inilah persyaratan kelahiran kita sendiri, bahwa kepada Allah yang menciptakan kita lambungkan hormat – pujian yang layak bagiNya; bahwa Ia kita akui sebagai Allah yang Esa, dan kita patuhi. Dari ‘ligatura’ (ikatan) ketakwaan yang mengikat kita dan menambat kita pada Allah itulah dijabarkan istilah ‘religio’” (agama).(“Divinae Institutiones”, jilid IV, bab 28.2 ; PL 6, 535). Oleh karena itu juga Paus Leo XIII menyatakan ; “Kebebasan sejati, yakti yang layak bagi putera-puteri Allah, ialah kebebasan yang paling sungguh menjamin martabat pribadi manusia. Kebebasan itu lebih kuat dari kekerasan atau ketidak-adilan mana pun juga. Itulah kebebasan yang selalu diinginkan oleh Gereja dan yang sangat dicintainya. Itu pulalah kebebasan yang dengan tegas dituntut oleh para rasul. Para pembela iman mempertahankannya melalui karya tulis mereka ; ribuan martir mentakdiskannya dengan darah mereka. (Ensiklik “Libertas Praestantissimum”. Acta Leonis XIII, VIII (1888) hal. 237-238).
15. Manusia berhak juga memilih sendiri corak hidup yang menarik baginya; apakah hendak berkeluarga – dalam membentuk keluarga pria dan wanita mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama atau hendak menempuh hidup sebagai imam atau religius. (Bdk. Paus Pius XII, Amanat Radio pada hari Natal 1942, AAS 35 (1943) hlm. 9-24).
16. Keluarga, yang – berdasarkan pernikahan yang dijalin dengan bebas-bersifat satu dan tak terceraikan, harus dipandang sebagai sel alami dan primer masyarakat manusia. Oleh karena itu kepentingan-kepentigan kelurga hendaklah secara khas diindahkan dalam perkara-perkara sosial dan ekonomi, begitu pula dalam hal iman maupun tat-susila. Sebab semuanya itu berkaitan dengan usaha meneguhkan keluarga dan membantunya dalam menunaikan misinya.
17. Tentu saja pemeliharaan dan pendidikan anak-anak terutama merupakan hak orang tua. (Bdk. Paus Pius XI, Ensiklik “Casti Connubii” : ASS 22 (1930) hlm. 539-592: Paus Pius XII, Amanat radio pada hari Natal 1942 ; AAS 35 (1943) hlm. 9-24.)
18. Di bidang ekonomi jelaslah manusia mempunyai hak bukan hanya untuk beroleh peluang untuk bekerja, melainkan juga untuk boleh mengadakan prakarsa pribadi dalam kerja yang dijalankannya. (Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Pentekosta, tgl 1 Juni 1941 ; AAS 33 (1941) hlm. 201)
19. Kondisi-kondisi kerja manusia tak lain merupakan konsekuensi hak-hak itu. Jangan sampai situasi kerja melemahkan kondisi fisik atau morilnya, atau bertentangan dengan perkembangan sewajarnya kaum remaja menuju kedewasaan. Bagi kaum wanita hendaknya diciptakan kondisi kerja yang selaras dengan kebutuhan-kebutuhan dan tanggungjawab mereka sebagai isteri dan ibu. ( Bdk. Paus Leo XIII, Ensiklik “Rerum Novarum” 43 ; Acta Leonis XIII, XI (1891) hal. 128 – 129)
20. Konsekuensi lain martabat pribadi manusia ialah heknya menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi sesuai dengan tingkatan tanggungjawabnya.(Bdk. Paus Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”, 84 ; ASS 53 (1961) hal 422). Maka buruh hendaknya juga menerima upah yang ditetapkan menurut asas-asas keadilan. Itu perlu ditekankan. Besarnya upah yang diterima oleh buruh, serasi dengan dana-dana yang tersedia, harus mencukupi sehingga memungkinkan dia sekeluarga hidup menurut taraf yang sesuai dengan martabat pribadi manusia. Beginilah Paus Pius XII menguraikannya : “ Kodrat membebani manuisa dengan kerja sebagai kewajibannya: dan selaras dengan itu manusia pada hakikatnya berhak menuntut, agar pekerjaan yang dilakukannyamenghasilkan baginya beserta anak-anaknya rezeki hidup. Itulah keharusan kodrat yang mutlak demi lestarinya hidup manusia. “ (Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Pentekosta, tgl. 1 Juni 1941 ; AAS 33 (1941) hal. 201)
21. Konsekuensilain lagi pada kodrat manusia yakni, bahwa ia berhak atas pemilikan harta secara perorangan, termasuk upaya-upaya produksi. Seperti pernah kami utarakan, “hak itu merupakan upaya cukup efektif untuk menyatakan kepribadian dan melaksanakan tanggungjawab seseorang di tiap bidang, dan unsur kemantapan serta jaminan bagi kehidupan keluarga, begitu pula unsur damai dan kesejahteraan dalam negeri”. (Paus Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra” 112 : AAS 53 (1961) hal 428)
22. Akhirnya pada tempatnyalah mengemukakan, bahwa hak memiliki harta perorangan sekaligus mencakup kewajiban sosial. (Bdk. ibidem, hal 430.)
23. Menurut kodratnya manusia bersifat sosial, maka berha mengadakan pertemuan dan membentuk serikat dengan sesamanya. Mereka berhak menuangkan serikat semacam itu dalam pola organisasi yang mereka pandang efektif untuk mencapai sasaran-sasarannya. Orang berhak juga mempunyai prakarsa sendiri dan bertindak atas tanggung jawab sendiri dalam serikat-serikat itu untuk mencapai hasil-hasil yang mereka inginkan. (Bdk. Paus Leo XIII, ensiklik “Rerum Novarum”, 48 dsl. : Acta Leonis XIII, XI (1891) hlm. 134-142 ; Paus Pius XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, 69-71 : AAS 23 (1931) hlm. 199 – 200 ; Paus Pius XII, Ensiklik “Sertum Laetitiae” : ASS 31 (1939) hlm. 635-644)
24. Seperti kami tekankan dalam Ensiklik “Mater et Magistra”, sangat mendesaklah mendirikan amat banyak kelompok penengah atau serikat semacamnya itu untuk mencapai tujuan-tujuan yang realisasinya tidak terjangkau secara efisien oleh perorangan. Kelompok-kelompok dan serikat-serikat seperti itu harus dianggap mutlak perlu untuk menjalamin kebebasan dan martabat pribadi manusia, sementara kesadaran bertanggungjawab tetap dijaga keutuhnya. ( Bdk. ASS 53 (1961) hlm. 430)
25. Lagi pula tiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan tinggal di kawasan negaranya sendiri. Berdasarkan alasan-alasan yang wajar ia harus diizinkan beremigrasi ke negeri-negeri lain dan tinggal di situ.(Bdk. Paus Pius XII, Amanat raduo pada Hari Raya Natal 1952 : ASS 45 (1953) hlm. 36 – 46.) Kenyataannya sebagai warga masyarakat di negara tertentu tidak menghilangkan keanggotaannya dalam keluarga manusia, atau kewarganegaraannya dalam masyarakat semesta, persekutuan manusiawi yang umum dan meliputi seluruh dunia.
26. Akhirnya, martabat pribadi manusia mencakup haknya berperan serta secara aktif dalam kehidupan umum, dan membawa sumbanganganya sendiri kepada kesejahteraan umum sesama warganegara. Menurut Paus Pius XII, “manusia sebagai manusia bukanlah sasaran atau seolah-olah unsur pasif dalam masyarakat, melainkan pemerannya, dasar dan tujuannnya, oleh karena itu harus dihargai”. (Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada hari Raya Natal 1944 : ASS 37 (1945) hlm. 12)
27. Sebagai manusia ia berhak atas perlindungan hukum terhadap hak-haknya; perlindungan itu harus efektif dan seadil mungkin. Lagi menurut Paus Pius XII: “ Sebagai konsekuensi tata hukum yang dikehendaki oleh Allah, manusia mempunyai hak atas jaminan hukum, yang tidak boleh dirampas dari padanya. Padanya ada lingkup hukum tertentu yang ditetapkan dengan jelas dan harus luput dari serangan sewenang-wenang” ( Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Natal 1942 : ASS 35 (1943) hlm. 21)
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN MANUSIA
28. Hak-hak kodrati yang diuraikan hingga sekarang tidak terceraikan dari sekian banyak kewajiban, yang semuanya berlaku bagi pribadi yang sama. Hak-hak maupun kewajiban-kewajiban itu bertumu pada hukum kodrati, ditopang olehnya, dan karenanya tidak terhapuskan. Seraya memberi hak-hak hukum kodrati menggariskan kewajiban-kewajiban.
29. Begitulah misalnya hak hidup mencakup kewajiban memelihara kehidupan; hak atas mutu hidup yang layak berpadanan dengan kewajiban hidup secara pantas ; hak mencari kebenaran dengan bebas berimbang dengan kewajiban mempertaruhkan diri mencarinya secara makin mendalam dan luas.
30. Sekali itu diakui, kesimpulannya yakni ; dalam masyarakat manusia hak kodrati seseorang menimbulkan pada sesama kewajiban yang sepadan, maksudnya ; kewajiban mengakui dan menghormati hak itu. Tiap hak asasi manusia beroleh kekuatannya mewajibkan sesuatu dari hukum kodrati, yang menjadi sumbernya dan mengikat padanya kewajiban imbanganya. Oleh karena itu menuntut hak-haknya tetapi sekaligus mengabaikan kewajiban-kewajibannya, atau hanya menunaikannya tanggung-tanggung, ibarat membangun rumah dengan tangan yang satu sekaligus membongkarnya dengan tangan yang lain.
31. Karena menurut kodratnya manusia bersifat sosial, orang-orang harus hidup bersama dan saling mengindahkan kepentingan mereka. Dalam masyarakat yang serba teratur masing-masing anggota wajib mengakui dan menunaikan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Akan tetapi konsekuensinya ialah, bahwa masing-masing akan sepenuh hati membawa sumbangannya untuk menciptakan tata tertib masyarakat, yang memungkinkan hak-hak serta kewajiban-kewajiban dipatuhi secara makin seksama dan makin efektif.
32. Misalnya percuma saja mengakui hak manusia atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kalau kita tidak sekuat tenaga berusaha menyediakan baginya upaya-upaya yang secukupnya untuk hidup.
33. Oleh karena itu masyarakat tidak hanya harus serba teratur, melainkan harus menyediakan sumber-sumber yang limpah juga. Supaya itu terlaksana, yang diperlukan bukan hanya bahwa hak-hak maupun kewajiban-kewajiban diakui oleh semua pihak, melainkan juga bahwa semua orang melibatkan diri dan bekerja sama di sekian banyak usaha yang dalam peradaban kita sekarang dimungkinkan, didorong, atau bahkan dituntut.
34. Kecuali martabat pribadi manusia menuntut, agar ia mempunyai kebebasan, dan mampu mengambil keputusan bila ia bertindak. Oleh karena itu dalam pergaulannya dengan sesama memang sudah sewajarnyalah, dan kerja samnya dengan sesama di pelbagai bidang, pertama tama merupakan keputusan pribadinya. Tiap orang hendaknya bertindak atas prakarsa dan keyakinannya sendiri, atas kesadaran kan tanggungjwabnya, bukan karena tekanan terus menerus akibat paksaan dari luar atau karena bujukan-bujukan. Masyarakat yang dipaksa bersatu melalui kekerasan sama sekali tidak manusiawi. Kendala itu sedikit pun tidak mendorong manusia seperti harusnya untuk mencapai kemajuan atau kesempurnaan, melainkan semata-mata merintangi kebiasaannya.
35. Maka supaya masyarakat dapat dianggap serba teratur, kreatif, dan sesuai dengan martabat pribadi manusia, harus didasrkan pada kebenaran. Berkata S.Paulus : “Buanglah dusta dan berkatalah benar seorang, kepada yang lain, karena kita sesama anggota”.19 Itu terlaksana, bila setiao orang dengan jujur mengakui hak-haknya sendiri maupun kewajiban-kewajibannya terhadap sesama. Masyarakat, seperti dilukiskan disini, meminta supaya manusia dibimbing oleh keadilan, menghormati hak-hak sesama danmenjalnkan tugas kewajibannya. Selain itu meminta agar ia dijiwai oleh cinta kasih, sehingga ia merasakan kebutuhan sesama seolah-olah itu kebutuhannnya sendiri dan terdorong untuk berbagi miliknya dengan sesama, serta ikut mengusahakan supaya di dunia ini semua orang sama-sama mewarisi nilai-nilai akalbudi dan kerohanian yang terluhur. Tetapi itu belum cukup. Sebab masyarakat berkembang berdasarkan kebebasan, dengan kata lain, penggunaan upaya-upaya yang selaras dengan martabat masing-masing anggotanya, yang karena berakalbudi sanggup mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya sendiri.
TATA SUSILA
36. Demikianlah, putera-puteri dan saudara-saudara terkasih, masyarakat manusia harus dipandang terutama sebagi kenyataan rohani. Berkat jasa pelayanannya orang-orang yang arif dapat berbagi pengertian mereka tentang kebenaran, menuntut hak-hak dan menunaikan tugas-tugas kewajiban mereka, menerima dorongan dalam aspirasi-aspirasi mereka akan kelayakan rohani, ikut serta menikmati segala sesuatu yang pantas dan menyenangkan dan tiada hentinya menyalurkan kepada sesama. Nilai-nilai rohani itulah, yang berpengaruh membimbing dalam kebudayaan, ekonomi, lembaga-lembaga sosial, gerakan-gerakan dan pola-pola politik, perundang-undanagan, serta semua faktor lainnya, yang berpaku membentuk rukun hidup lahiriah orang-orang serta pengembangannya terus menerus.
37. Tatanan yang berperan utama dalam masyarakat bersifat rohani sama sekali. Dasarnya ialah kebenaran, dan itu harus diwujudkan oleh keadilan. Tatana itu harus dijiwai dan disempurnakan oleh saling cinta kasih antar manusia. Sementara tetap menjaga keutuhan kebebasan, tatana itu harus mengusahakan keseimbangan dalam masyarakat, yang makin bersifat manusiawi.
38. Adapun tata tertib itu – yang asas-asasnya bersifat mutlak dan tidak dapat berubah – bersumber pada Allah yang sejati, bersifat pribadi dan adisemesta. Dialah kebenaran perdana, kebaikan yang mahatinggi, justru karena itulah Ia sumber terdalam bagi masyarakat manusia, - kalau mau dibangun sebagaimana mestinya, menjadi kreatif, dan layak bagi martabat manusia, - untuk menimba daya-daya kehidupan yang sejati. (Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Natal 1942 ; AAS 35 (1943) hal 14). Itulah yang dimaksudkan oleh S. Tomas kalau ia berkata ; “Akalbudi manusialah tolok-ukur untuk menilai kadar kebaikan kehendak manusia; tolok ukur itu bertumpu pada hukum kekal, yakni Budi Ilahi dari hukum abadi dari pada akalbudi manusia”. (“Summa Theol.” Ia-Iiae, q.19, 4; cf. a.9.)
CIRI – CIRI MASYARAKAT MODERN
39. Zaman modern sekarang ini mempunyai tiga ciri :
40. Pertama, ternyata kondisi ekonomi dan sosial kaum pekerja berangsur-angsur mengalami kemajuan. Di masa lampau mereka mulai menuntut hak-hak mereka terutama di bidang ekonomi dan sosial, kemudian menuntut hak-hak politik mereka juga. Akhirnya perhatian mereka tujukan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan masyarakat lebih di bidang sosial. Oleh karena itu dewasa ini kaum pekerja di seluruh dunia dengan lantang menuntut, supaya mereka jangan pernah lagi diperlakukan dengan semena-mena, seolah-olah tidak berakalbudi atau tanpa kebebasan. Mereka mendesak agar diperlakukan secara manusiawi, dan boleh berperan serta di tiap sektor masyarakat, di bidang sosio-ekonomi, dalam pemerintahan, dan dibidang ilmu pengetahuan serta kebudayaan.
41. Kedua, peran kaum wanita sekarang dalam hidup berpolitik dimana-mana menonjol. Barangkali perkembangan itu lebih pesat pada bangsa-bangsa kristiani; tetapi sedang berlangsung secara meluas juga kendati lebih lamban, pada bangsa-bangsa yang mewaris aneka tradisidan hdiup di alam budaya yang berbeda. Kaum wanita kian menyadari martabat hakikit mereka. Mereka sudah tidak puas lagi berperanan pasif semata-mata, atau membiarkan diri dipandang sebagai semacam sarana. Dalam rumah tangga, maupun kehidupan umum mereka menuntut hak-hak maupun kewajiban-kewajiban yang ada pada mereka selaku pribadi.
42. Akhirnya pada zaman modern ini yang kita hadapi suatu pola masyarakat, yang berkembang menurut haluan sosial dan politik yang baru sama sekali. Karena semua bangsa telah meraih kemerdekaan politik, atau setidak-tidaknya sedang memperjuangkannya, tidak lama lagi takkan ada bangsa yang menjajah bangsa lain, dan takkan ada bangsa yang masih tunduk kepada kekuasaan asing.
43. Begitulah di seluruh dunia orang-orang menjadi warga negara yang merdeka, atau tidak lama lagi menikmati kemederkaan itu. Tak satu bangsa pun sekarang mau menerima dominasi bangsa lain. Kompleks rendah-diri yang sudah begitu lama menghinggapi golongan-golongan tertentu karena status ekonomi dan sosial mereka, jenis kelamin atau posisi mereka dalam negara, dan di lain pihak kompleks keunggulan golongan-golongan lain, akan cepat termasuk sejarah masa silam.
44. Sebaliknya sekarang ini sudah meluaslah keyakinan, bahwa semua orang pada hakikatnya sama martabatnya. Maka dari itu, setidak-tidaknya pada taraf doktriner-teoritis, diskriminasi berdasarkan suku sudah tidak disetujui lagi. Semuanya itu sangat relevan bagi pembangunan masyarakat manusia yang berjiwakan asas-asas tersebut diatas ; sebab kesadaran manusia akan hak-haknya niscaya mengantarnya kepada arti wajib memenuhi hak-hak itu,, yang mengungkapkan martabat pribadi manusia. Dan mempunyai hak-hak tertentu berarti juga, bahwa sesama harus mengakui dan mneghormatinya.
45. Bila masyarakat dibangun berdasrkan hak-hak dna kewajiban-kewajiban, manusia secara langsung akang mengungkapkan nilai-nilai rohani dan akal budi, dan takkan merasa sulit memahami arti kebenaran, keadilan, cintakasih dan kebebasan. Lagi pula ia menyadari kenyataan menjadi anggota masyarakat itu. Bukan itu saja! Diilhami oleh prinsip-prinsip itu, ia mencapai pengertian yang lebih mendalam tentang Alllah yang sejati – Allah yang berpribadi, melampaui kodrat manusiawi. Ia mengakui, bahwa hubungannya dengan Allah merupakan dasar yang sesungguhnya bagi hidupnya-hidup batin roh, dan hidupnya dalam persekutuan dengan sesamanya.
II
ASAL MULA KEWENANGAN NEGARA
46. Masyarakat manusia tidak mungkin serba teratur atau sejahtera tanpa kehadiran mereka, yang dengan kewenangan yang sah menurut hukum menjaga kelestarian lembaga-lembagnya, dan menjalankan apapun yang perlu untuk secara aktif mendukung kepentingan-kepentingan para warganya. Para pejabat menerima kewenangan mereka dari Allah, sebab menurut S.Paulus “tiada kekuasaaan yang bukan dari Allah”. (Rm 13:1-6). Dalam komentarnya terhadap nas itu S. Yohanes Krisostomus menulis : “apa yang anda katakan? Benarkan setiap penguasa ditunjuk oleh Allah? Tidak! Bukan itu yang saya maksudkan, - katanya, - sebab yang saya bicarakan sekarang bukan para penguasa perorangan, melainkan kewenangan sendiri. Yang saya pertahankan yakni : adanya kewenangan memerintah – kenyataan bahwa ada yang harus memerintah sedangkan lain-lainnya mematuhinya, dan bahwa tiada sesuatu pun terjadi akibat takdir yang buta, - itu diselenggarakan oleh Kebijaksanaan ilahi”. (Tentang Surat kepada Jemaat di Roma, bab 13 ayat 1-2, Homili XXIII: PG 60,615). Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, dan masyarakat tidak mungkin”bersatu tanpa ada penguasa yang secara efektif menunjukkan arah maupun kesatuan tujuan. Oleh karena itu tiap masyarakat yang beradap harus mempunyai kewenangan yang memerintah, dan kewenangan itu, seperti masyarakat sendiri, bersumber pada kodrat sendiri, maka Penciptanya Allah sendiri”. ( Paus Leo XIII, Ensiklik “Immortale Dei”. : Acta Leonis XIII, V (1885) hal 120.)
47. Akan tetapi jangan dibayangkan, seolah-olah kewenangan tidak mengenal batas. Karena titiktolaknya ialah izin untuk memerintahkan menurut akal sehat, tidak dapat lain kecuali disimpulkan, bahwa kekuatannya mengikat bersumber pada tata susila, yang berasal maupun tujuannya Allah sendiri. Maka menurut Paus Pius XII, “Tata mutlak makhluk- makhluk hidup, dan tujuan manusia sendiri – ciptaan yang otonom, pengemban kewajiban-kewajiban serta hak-hak yang boleh dilanggar, dan asal maupun tujuan masyarakat – berpengaruh langsung atas negara sebagai rukun hidup yang diperlukan dan menyandang kewenangan. Tanpa kewenangan itu negara tiada artinya, tidak hidup lagi …. Akan tetapi akal sehat, dan terutama iman Kristiani, menjelaskan bahwa tata dunia seperti itu mustahil mempunayi asal-mula lain kecuali dalam Allah sendiri, Allah yang berpribadi, Pencipta kita. Maka daripada-Nyalah para pejabat negara menerima martabat mereka, sebab sampai batas tertentu mereka berpartisipasi dalam kewenangan Allah sendiri”. (Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Natal 1944 ; AAS 37 (1945) hlm. 15.)
48. Oleh karena itu, pemerintah yang melulu atau terutama memerintah mekaia ancaman-ancaman danintimidasi atau janji-janji imbalan, tidak merangsang orang-orang secara efektif untuk bekerja demi kepentingan umum. Bahkan seandainya merangsang pun, itu pasti melanggar martabat manusia yang berkehendak bebas dan berakalbudi. Kewenangan itu terutama kekuatan moril. Oleh karena itu para penguasa seharusnya menyapa suarahati setiap orang, menyepa kewajibannya untuk memberi sumbangan sukarela kepada kepentingan umum. Akan tetapi karena pada hakikatnya semua orang sama martabatnya, tidak seorang pun mampu memaksakan ketaatan batin kepada orang lain. Hanya Allah dapat melakukannya, sebab hanya Dialah yang menyelami dan menilai gerak gerik hati yang serba rahasia.
49. Maka dari itu para wakil negara tidak berwenang mengikat orang-orang dalam suarahati, kalau kewenangan mereka tidak terikat pada kewibawaan Allah, dan berpartisipasi padanya. (Bdk. Paus Leo XIII, Ensiklik “Diuturnum Illud” : acta Leonis XIII, II (1881) hal 274)
50. Penerapan prinsip itu juga menjamin martabat para warganegara. Kepatuhan mereka terhadap pejabat pemerintah tidak pernah berupa ketaatan kepada mereka selaku manusia. Kenyataannya, itu tindakan menghormati Allah, Pencipta Penyelenggara semesta alam, yang menetapkan bahwa perilaku orang satu terhadap yang lain diatur sesuai dengan tata dunia yang telah ditetapkan-Nya sendiri. Dan kita manusia tidak merendahkan diri denganmenyatakan sikap hormat yang selayaknya terhadap Allah. Sebaliknya, kita diangkat dan diluhurkan dalam roh, sebab mengabdi Allah itu memerintah. (Bdk. ididem, hlm. 278. Juga Paus Leo XIII, Ensiklik “Immortale Dei” ; Acta Leonis XIII, V (1885) hal 130.)
51. Oleh karena itu kewenangan pemerintah termasuk tuntutan tata susila dan berasal dari Allah. Maka dari utu, hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan yang melanggar tata susila dan karena itu bertentangan dengan kehendak ilahi, tidak dapat mengikat siapa pun dalam suarahati; sebab “kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia:. 28 Memang penetapan hukum-hukum seperti itu merongrong hakikat kewenangan sendiri dan menimbulkan penyalangunaan yang memalukan S. Tomas mengajarkan: “ Mengenai pernyataan yang kedua, dipertahankan bahwa hukum manusia menepati hakikat hukum, sejauh selaras dengan akal sehat, dan bila begitu memang jelas menjabarkan hukum adabi. Sejauh mungkin menyimpang dari akalbudi, juga melanggar keadilan, dan tidak lagi menepati hakikat hukum. Lebih tepat disebut tindakan kekekrasan”. (Kis 5:29)
52. Kenyataan, bahwa kewenangan berasal dari Allah tidak berarti seakan-akan orang-orang yang berkuasa memilih mereka yang bertugas memerintah negara, atau menentukan pola pemerintahan yang mereka kehendaki, serta menentukan tata-laksana dan keterbatan para penguasa dalam mengamalkan kewenangan mereka. Oleh karena itu ajaran tadi sesuai dengan pola pemerintahan mana pun yang bersifat sungguh demokratis.
TUJUAN KEWENANGAN NEGARA
53. Orang-orang, sebagai perorangan maupun anggota kelompok-kelompok penengah, diharapkan memberi sumbangan yang khas bagi kesejahteraan umum. Konsekuensi utamanya : harus menyelaraskan kepentingan-kepentingan mereka sendiri dengan kebutuhan-kebutuhan sesama dan menyumbangkan yang ada pada mereka dan jasa-jasa mereka menurut petunjuk para penguasa, -tentu saja dengan syarat, bahwa keadilan tetap ditegakkan dan para pengusabertindak dalam batas-batas kewenagan mereka. Para pemimpin negara harus menjalankan kewenangan mereka dengan cara yang dari sudut moral tidak tercela, tetapi juga dipertimbangkan secermat mungkin untuk menjamin atau memajukan kesejahteraan negara.
54. Terselenggaranya kepentingan umum merupakansatu-satunya alasan bagi adanya para pejabat. Maka dalam menyelenggarakan kepentingan umum meraka jelas wajib menghormati hakikatnya, dan sekaligus menyesuaikan perundang-undangan untuk menanggapi tuntutan situasi semasa.
55. Diantara unsur-unsur hakiki kepentingan umum pasti dipertimbangkan plbagai ciri yang khas bagi masing-masing golongan rakyat. Akan tetapi hal-hal itu sama sekali tidak merupan keseluruhannya. Sebab, karena kepentingan umum erat sekali berkaitan dengan kodrat manusiawi, tidak pernah dapat terwujudkan sepenuhnya dan selengkapnta, kalau pribadi manusia tidak selalu diperhitungkan. Maka perlu diindahkan sifat dasar kepentingan umum, dan apa saja yang mewujudkannya.
56. Oleh karena itu perlu ditambahkan ; termasuk hakikat kepentingan umum, bahwa masing-masing warga masyarakat berhak mendapat bagiannya-kendati dengan berbagai cara, tergantung dari tugas-tugas, jasa-jasa dan kondisi-kondisinya. Maka tiap pemmerintah harus berusaha memajukan kepentingan umum demi semua warga masyarakat, tanpa mengatasnamakan warga tertentu atau golongan masyarakat mana pun. Paus Leo XIII menekanka : “Pemerintah janganmelayani keuntungan individu siapa pun, atau sekelompok kecil saja ; sebab pemerintah ditetapkan demi kepentingan umum semua anggota masyarakat”. Meskipun begitu, pertimbangan-pertimbangan keadila dan kewajaran ada kalanya menghendaki, supaya para pengusaha lebih mempedulikan para anggota masyarakat yang lebih lemah, karena mereka ini berada di pihak yang merugi kalau harus membela hak-hak mereka sendiri dan menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka yang sewajarnya.
57. Berkenaan dengan semuanya itu kami ingin meminta perhatian para putera-puteri kami terhadap kenyataan, bahwa kepentingan umum menyangkut kebutuhan-kebutuhan manusia seutuhnya, jiwa-raga. Maka para penguasa negara wajib mengerahkan upaya-upaya yang kena sasaran untuk menjamin kepentingan umum itu. Mereka harus mengindahkan skala prioritas nila-nilai, dan berusaha mencapai kesejahteraan rohani maupun jasmani rakyat mereka.
58. Prinsip-prinsip itu dengan jelas dicantumkan dalam Ensiklik kami “Mater et Magistra”, tempat kami menekankan, bahwa kepentingan umum “harus diperhitungan segala kondisi sosial, yang mendukung pengembangan sepenuhnya kepribadian manusia”.
59. Karena manusia terdiri dari badan dan jiwa yang takkan binasa, dalam hidup di dunia ini tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya atau mencapai kebahagiaan sempurna. Oleh karena itu usaha-usaha yang dijalankan untuk mewujudkan kepentingan umum jangan membahayakan keselamatannya yang kekal; malahan harus membantunya memperoleh keselamatan itu.
60. Pada umumnya sekarang diterima, bahwa kepentingan umum palin terjamin. Oleh karena itu kepedulian utama para pejabat pemerintah seharusnya ialah : menjamin supaya hak-hak itu diakui, dihormati, saling diseleraskan, dibela dan dimajukan, dan supaya masing-masing perorangan mampu menunaikan kewajiban-kewajibannya dengan lebih mudah. Sebab “menjamin hak-hak pribadi manusia yang tidak boleh dilanggar dan melancarkan pelaksanaan kewajiban-kewajibannya, ialah tugas utama setiap pejabat pemerintah”.
61. Jadi pemerintah mana pun juga, yang menolak mengakui hak-hak manusiawi atau bertindak berlawanan dengannya, tidak hanya gagal menunaikan tugasnya, melainkan ketetapan-ketetapannya sama sekali kehilangan kekuatannnya untuk mengikat.
NEGARA DAN HAK-HAK MANUSIA
62. Lagi pula, salah satu tugas utama tiap Pemerintah ialah ; mengawasi dan mengatur melalui cara yang sesuai danmemadai hak-hak masing-masing anggota masyarakat. Itu harus dijalankan sedemikian rupa, (1) sehingga pemenuhan hak-hak oleh warga-warga tertentu tidak menghambat warga – warga lainnya untuk memenuhi hak-hak mereka; (2) sehingga orang perorangan dengan mempertahankan hak-haknya sendiri tidak menghalang-halangi sesama dalam menunaikan tugas-tugas mereka; (3) sehingga hak-hak semua orang dijamin secara efektif, dan dipulihkan sepenuhnya kalau sekiranya tidak dilanggar.
63. Selain itu para kelapa negara hendaklah memberi sumbangan positif untuk menciptakan iklim menyeluruh, sehingga tiap orang mampu menjamin hak-haknya dan memenuhi tugas-kewajibanya sendiri, dan melaksanakannya dengan sukarela. Sebab satu hal yang kita pelajari melalui pengalaman pastilah ini ; di sunia modern khususnya, ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat makin merebak luas, bila para pejabat pemerintah gagal mengadakan tindakan dan kewajiban-kewajiban manusiawi sama sekali menjadi tidak efektif.
64. Oleh karena pemerintah wajib sungguh-sungguh memperhatikan dan memikirkan masalah kemajuan social maupun ekonomi, serta pengembangan jasa-pelayaann yang baku mengikuti perluasan system produksi. Jasa pelayanan itu mencakup pembangunan jalan-jalan, dinas angkutan, komunikasi, penyediaan air minum, pembangunan perumahan, pelayanan kesehatan, kemudahan-kemudahan yang luas untuk mengamalkan agama, dan upaya-upaya rekreasi. Pemerintah hendaklah menyediakan kemudaha-kemudahan asuransi, untuk menanggulangi tiap kemungkinan adanya warga masyarakat yang tidak mampu mempertahankan mutu hidup layak, karena tertimpa nasib malang, tau tanggungjawab atas keluarga bertambah sehingga terlampu berat. Pemerintah sangat diharapkan pula menampilkan daya-kemampuan dan efesiensi yang sama untuk menciptakan lapangan-lapangan kerja yang sesuai, serasi dengan kemampuan kaum buruh. Pememrintah wajib menjamin agar para pekerja mendapat upah yang adil dan sewajarnya, dan diperbolehkan ikut bertanggungjawab atas kepentingan-kepentingan perusahan tempat kerja mereka. Pememrintah hendaklah mempermudah pembentukan kelompok-kelompok penengah, sehingga perihidup social rakyat menjadi lebih makmur dan kurang terkekang. Akhirnya, pemerintah wajib menjamin supaya setiap orang mempunyai upaya-upaya dan peluang untuk sedapat mungkin ikut menikmati keuntungan-keuntungan di bidang budaya.
65. Lagi pula kesejahteraan umum meminta, supaya dalam usaha-uasaha mengkoordinakasikan dan melindungi serta mendukung hak-hak para warganegara, para pejabat pemerintah dengan seksama menjaga keseimbangan. Kepedulian yang berlebihan terhadap hak-hak perorangan atau kelompok-kelompok tertentu mungkin sekali mengakibatkan keuntungan-keuntungan utama negara pada dasarnya dimonopoli oleh orang-orang atau kelompok-kelompok itu. Atau lagi, dapat muncul situasi yang sama sekali tidak masuk akal; smenetara para pejabat pemerintah berusaha melindungi hak-hak anggota-anggota masyarakat tertentu, mereka justru menghalang-halangi terwujudnya hak-hak itu sepenuhnya. “Sebab selalu harus dipertahankan prinsip berikut : betapa pun luas dan berjangkauan jauh dampak negara atas ekonomi, pengaruh itu jangan pernah digunakan hingga warga negara perorangan kehilangan kebebasan itu, sementara secara efektif menjamin perlindungan hak-hak asasi pribadi tiap orang”.
66. Prinsip yang sama itu harus diterapkan juga oleh para pejabat pemerintah pada pelbagai usaha mereka melancarkan perwujudan hak-hak dan pelaksanaannya tugas dan kewajiban di tiap sektor kehidupan sosial.
STRUKTUR – STRUKTUR NEGARA
67. Selanjutnya memang tidak mungkin menggariskan pedoman umum tentang pola pemerintahan yang paling sesuai, atau tentang cara-cara yang paling efektif bagi para pejabat pemerintah untuk menjalankan fungsi-fungsi mereka d bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
68. Dalam menentukan : pola manakah yang akan dianut oleh pemerintah dan bagaimanakah itu akan berfungsi, pokok pertimbangan yang cukup penting ialah situasi dan kondisi rakyatnya yang paling menonjol; dan kenyataan-kenyataan itu berlain-lainan di berbagai tempat, pada berbagai masa. Meskipun begitu pada hemat kami sesuai dengan kodrat manusiawi, bahwa hidup bernegara dituangkan dalam pola yang mengejawantahkan pembagian tiga peranan umum, senyawa dengan tiga fungsi untama pemerintahan. Di negara semacam itu disajikan perangkat undang-undang yang seksama, bukan hanya bagi fungsi-fungsi resmi pemerintah, melainkan juga bagi hubungan timbal balik antara rakyat dan para pejabat pemerintah. Jelaslah perangkat hukum itu akan memberi perlindungan yang andal bagi para warganegara, baik dengan menjamin hak-hak mereka maupun dalam penunaian tugas-kewajiban mereka.
69. Akan tetapi, supaya struktur yuridis dan politik itu mampu memperbuahkan keuntungan-keuntungan yang mungkin dicapai, mutlak perlulah para pejabat pemerintah berusaha sekuat tenaga memecahkan soal-soal yang muncul. Dan itu harus menreka jalankan melalui kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah teknis, yang pelaksanaannya tercakup dalam kewenangan mereka, dan yang selaras dengan kondisi aktual negara. Penting sekali juga bahwa, kendati kondisi-kondisi tiada hentinya silih berganti, para penyusun undang-undang tidak pernah mengabaikan hukum moral atau kerangka undang-undang dasar, atau dalam tindakan mereka menyimpang dari tntutan-tuntutan kepentingan umum. Lagi pula, seperti keadilanlah yang harus menjadi prinsip pengarah dalam pemerintahan negara, dan para pelaksana harus mempunyai pengertian mendalam tentang hukum, serta dengan seksama mempertimbangkan segala situasi yang mereka hadapi, begitu pula halnya dalam peradilan: keadilan harus dilaksanakan tanpa memihak siapa pun, dan para hakim harus jujur sepenuhnya, dan tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan pihak-pihak yang berkepentingan. Tata-tertib masyarakat menuntut juga, supaya orang-orang perorangan dan kelompok-kelompok pembantu dalam negara secara efektif dilindungi oleh hukum dalam menyatakan hak-hak mereka serta melaksanakan tugas-kewajiban mereka, dalam hubungan timbal-balik antar mereka sendiri, maupun dengan para pejabat pemerintah.
70. Pantang diragukan, bahwa sistem undang-undang negara yang mematuhi prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, serta sesuai dengan taraf kematangan masyarakat yang nampak pada negara yang bersangkutan, banyak membantu untuk mencapai kesejahteraan umum.
71. Namun pada zaman modern ini kehidupan sosial begitu kompleks, bermacam-ragam dan aktif, sehingga bahkan sistem undang-undang yang ditetapkan dengan amat bijaksana dalam perspektif masa depan pun sering nampak tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan.
72. Lagi pula hubungan-hubungan antar warga negara, antara para warga masyarakat dan kelompok-kelompok penengah di satu pihak dan para pejabat pemerintah di pihak lain, dan antar pejabat pemerintah dalam satu negara, ada kalanya nampak begitu meragukan dan eksplosif, sehingga hubungan-hubungan itu tidak dapat diatur oleh sistem undang-undang mana pun yang keras dan berfungsi cepat. Kalau dalam situasi itu para pejabat hendak melestarikan keutuhan sistem undang-undang negara – dalam sistem itu sendiri maupun dalam penerapannya pada kasus-kasus yang khas, - dan kalau mereka ingin melayani kebutuhan-kebtuhan pokok masyarakat, menyesuaikan hukum-hukum dengan kondisi-kondisi hidup modern, dan mencari pemecahan masalah-masalah yang baru, sungguh pentinglah mereka berpandangan jelas tentang hakekat dan batas-batas bidang kegiatan mereka sendiri menurut hukum. Ketenangan dan keutuhan pribadi mereka, kejelian pandangan dan ketabahan mereka hendaklah sedemikian rupa, sehingga mereka akan segera mengenali apa yang dibutuhkan dalam situasi tertentu, serta bertindak dengan sukarela dan secara efisien.
73. Sudah jelas konsekuensi langsung martabat manusia ialah haknya berperan serta secara aktif dalam pemerintahan, meskipun tingkat partisipasi mereka niscaya tergantung dari taraf perkembangan yang dicapai oleh negara mereka.
74. Selain itu hak berperan serta dalam pemerintahan membuka gelanggang baru yang luas untuk pengabdian. Karena para pejabat pemerintah lebih erat berhubungan dan lebih sering bertukar pandangan denga para warga masyarakat, terciptalah situasi bagi mereka untuk beroleh gambaran lebih jelas tentang kebijakan-kebijakan manakah yang de facto efektif demi kepentingan umum. Dalam suatu sistem yang memungkinkan pergantian para pejabat secara teratur, kewenangan mereka tida menjadi usang atau lemah, melainkan justru mengalami peremajaan semangat, mengikuti perkembangan masyarakat secara berangsur-angsur.
75. Zaman sekarang ini banyaklah indikasi, bahwa sasaran-sasaran dan cita-cita itu menimbulkan pelbagai tuntutan tentang penatan yuridis negara-negara. Pertama: hendaklah dengan jelas dan cermat dirumuskan hak-hak asasi manusia, dan disaturagakan ke dalam Undang-undang Dasar negara.
76. Kedua: hendaknya tiap negara mempunyai Undang-undang yang resmi, dituangkan dalam perumusan yuridis, yang menggariskan pedoman-pedoman yang jelas berkenaan dengan pengangkatan para pejabat pemerintah, antar-hubungan mereka, lingkup kewenangan mereka, dan cara-cara yang diwajibkan untuk menunaikan tugas-pekerjaan mereka.
77. Tutuntan terakhir yakni: hendaklah hubungan-hubungan antara rakyat dan para pejabat pemerintah diuraikan dalam rangka hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Perlu dicantumkan dengan jelas, bahwa fungsi utama pejabat pemerintah ialah mengakui, menghormati, mengkoordinasikan, menjamin dan mendukung hak-hak maupun kewajiban-kewajiban warga masyarakat.
78. Akan tetapi perlu ditolak pandangan, seolah-olah kehendak perorangan atau kelompok merupakan sumber utama dan satu-satunya bagi hak-hak maupun kewajiban-kewajiban anggota masyarakat, dan bagi kekuatan mengikat yang ada pada Konstitusi politik dan kewenangan pemerintah.
79. Aspirasi-aspirasi yang telah disebutkan merupakan indikasi jelas, bahwa orang-orang sekarang ini makin menyadari martabat pribadi mereka, menemukan dorongan untuk berbakti di lingkungan pemerintah, dan menuntut pengakuan konstitusional terhadap hak-hak mereka sendiri yang tidak boleh dilanggar. Tidak puas denga semuanya itu, mereka menuntut juga, supaya dalam pengangkatan para pejabat pemerintah prosedur-prosedur konstitusional dipatuhi; mereka mendesak untu melaksanakan jabatan mereka dalam kerangka konstitusional itu.
HUBUNGAN ANTAR NEGARA
80. Disertai sikap hormat terhadap negara-negara, para pendahulu kami tiap kali mengajarkan – dan kami hendak mengukuhkan ajaran mereka dengan bobot kewibawaan kami – bahwa bangsa-bangsa ialah subyek hak-hak dan kewajiban-kewajiban timbal-balik. Maka hubungan mereka harus diselaraskan juga berdasarkan kaidah-kaidah kebenaran, keadilan, kerja sama sukarela, dan kebebasan. Hukum kodrati yang mengatur hidup dan perilaku orang perorangan harus mengatur hubungan-hubungan timbal-balik antara negara juga.
81. Hal itu denga mudah akan difahami, bila dipertimbangkan bahwa bagi para pemimpin politik mustahil sama sekali mengesampingkan martabat hakiki mereka sementara bertindak atas nama negeri mereka dan demi kepentingannya. Mereka tetap masih terikat pada hukum kodrati, pedoman yang mengatur segala perilaku susila, dan mereka tidak berwenang menyimpang dari perintah-perintahnya yang teringan pun.
82. Ide seolah-olah orang - karena diangkat menjadi pejabat resmi – terpaksa menyisihkan kemanusiaannya sendiri, sama sekali tidak masuk akal. Ia meraih jabatan yang luhur itu karena bakat-bakat dan kecerdasannya yang luar biasa, yang memperolehkan baginya nama harum sebagai wakil yang unggul di bidang politik.
83. Lagi pula kewenangan pemerintah mutlak perlu bagi masyarakat sipil. Kenyataan itu dijabarkan dari tata susila sendiri. Maka kewenangan itu tidak boleh diselewengkan melawan tata susila. Seandainya diselewengkan, justru karena kehilangan seluruh dasar eksistensinya, lansung akan berhenti berada. Allah sendiri memperingatkan kita:”Dengarkanlah, hai para raja, dan hendaklah mengerti; belajarlah, hai para penguasa di ujung-ujung bumi. Condongkanlah telinga, hai kamu yang memerintah orang banyak, dan bermegah karena banyaknya bangsa-bangsamu. Sebab dari Tuhanlah kamu beroleh kekuasaan, dan pemerintahan datang dari Yang Mahatinggi, yang akan memeriksa segala pekerjaanmu serta menyelami rencanamu”[31].
84. Akhirnya perlu diperhatikan juga, bahwa juga dalam mengatur hubungan-hubungan antar negara kewenangan harus dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Itulah dasar utama bagi adanya kewenangan.
85. Adapun salah satu kaidah utama kesejahteraan umum pengakuan terhadap tata susila dan kepatuhan yang andal terhadap perintah-perintahnya. ”Suatu tata-tertib antar negara yang kokoh harus didasarkan pada batukarang hukum susila yang pantang goyah dan tak pernah goncang; hukum itu diwahyukan oleh Sang Pencipta sendiri dalam taa penciptaan, dan tergoreskan dalam hati manusia sehingga tidak terhapuskan .... Kaidah-kaidahnya menjadi rambu-rambu bersinar untuk menuntun kebijakan-kebijakan orang-orang dan bangsa-bangsa. Kaidah-kaidah itu juga terang bagi pemberi peringatan – isyarat-isyarat Penyelenggaraan ilahi – yang harus diindahkan oleh umat manusia, supaya jerih-payah mereka untuk membangun tata dunia baru jangan terempas-empas oleh badai yang membahayakan dan terancam tenggelam”[32].
86. Pokok pertama yang perlu ditegaskan ialah: ikatan timbal-balik antar negara harus berpedoman pada kebenaran. Kebenaran menuntut disingkirkannya tiap kesan diskriminasi kesukuan, karena itu juga pengakuan terhadap asas yang tak boleh dilanggar, yakni: semua negara pada hakikatnya sama martabatnya. Maka masing-masing negara berhak ada, mengembangkan diri dan memiliki upaya-upaya yang dibutuhkan, serta sanggup mengemban tanggung jawab utama atas perkembangannya sendiri. Masing-masing juga mempunyai hak yang sewajarnya atas nama baik dan kehormatan yang semestinya.
87. Pengalaman menunjukkan, bahwa seringkali orang-orang banyak berbeda pengetahuannya, keutamaannya, kecerdasannya dan kekayaannya. Tetapi itu bukan alasan yang sah untuk mendukung sistem, yang membiarkan kelompok yang berada pada posisi keunggulan sewenang-wenang memaksakan kehendaknya atas pihak-pihak lain. Justru sebaliknya, kelompok itu lebih besar peran sertanya dalam tanggung jawab bersama untuk membantu sesama mencapai kesempurnaan melalui usaha-usaha mereka yang terpadu.
88. Begitu pula pada tingkat internasional: barangkali ada bangsa-bangsa yang telah mencapai mutu lebih tinggi dalam perkembangan ilmiah, budaya dan ekonomi. Akan tetapi tiu tidak memberi mereka hak untuk di bidang politik, dengan melanggar keadilan, mendominasi bangsa-bangsa lain. Itu berarti bahwa mereka harus menyumbangkan lebih banyak bagi usaha bersama untuk mencapai kemajuan sosial.
89. Kenyataannya tidak seorang pun pada hakikatnya lebih tinggi martabatnya dari sesamanya; sebab martabat hakiki semua orang sama luhurnya. Oleh karena itu ditinjau dari sudut martabat kodrati sama sekali tidak ada perbedaan antara negara-negara. Masing-masing negara ibarat tubuh, yang beranggotakan manusia. Dan menurut pengalaman bangsa-bangsa dapat sensitif sekali terhadap hal-hal yang bagaimana pun menyentuh martabat dan kehormatan mereka. Itu memang wajar!
90. Kecuali itu kebenaran menuntut sikap jernih, tidak memihak siapa pun, dalam memanfaatkan sekian banyak upaya untuk memajukan dan memeratakan saling pengertian antara bangsa-bangsa, yang tersedia berkat kemajuan ilmu-pengetahuan modern. Itu tidak berarti bahwa orang-orang harus dicegah supaya jangan meminta perhatian khusus terhadap keutamaan-keutamaan cara hidup mereka sendiri; melainkan berarti penolakan radikal terhadap cara-cara menyebarluaskan informasi yang melanggar prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, dan mencemarkan nama baik bangsa lain[33].
91. Selanjutnya hubungan-hubungan antar negara harus diatur menurut keadilan. Untuk itu dibutuhkan baik pengakuan timbal-balik terhadap hak-hak mereka, maupun sekaligus pemenuhan kewajiban-kewajiban mereka masing-masing.
92. Negara-negara berhak untuk ada, mengembangkan diri, dan mempunyai sarana-sarana yang mereka perlukan untuk mencapai tujuan itu. Mereka berhak memainkan peranan yang menentukan dalam proses perkembangan mereka sendiri, dan berhak atas nama baik mereka serta kehormatan yang sewajarnya. Oleh karena itu negara-negara juga wajib menjamin semua hak itu secara efektif, dan menghindari tindakan mana pun yang dapat melanggarnya. Sama seperti orang-orang perorangan tidak boleh mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri, sehingga melanggar hak dan merugikan sesama, begitu pula merupaka kejahatan, bila suatu negara berusaha maju melalui cara-cara, yang melibatkan bangsa-bangsa lain dalam tindakan yang merugikan dan penindasan melawan keadilan. Dalam konteks itu relevanlah pernyataan S. Agustinus: ”Tanpa keadilan kerajaan-kerajaan itu apa selain gerombolan perampok yang berkuasa?”[34]
93. Mungkin dan kadang-kadang memang terjadi konflik kepentingan-kepentingan antara negara-negara, sementara masing-masing mengusahakan perkembangannya sendiri. Bila muncul sengketa-sengketa seperti itu, harus diselesaikan secara sungguh manusiawi, bukan dengan kekerasan bersenjata atau melalui tipu muslihat atau siasat yang licik. Perlu ada penilaian timbal-balik terhadap argumentasi-argumentasi serta perasaan-perasaan pada kedua belah pihak, penyelidikan sitasi secara matang dan obyektif, dan penyelarasan pandangan-pandangan yang bertentangan secara adil.
MASALAH-MASALAH ANTAR NEGARA
94. Suatu contoh khas konflik kepentingan-kepentingan itu terdapat pada arus politik, yang sejak abad kesembilan belas menyebarluas ke seluruh dunia dan makin kuat, yakni: orang-orang yang berlatar belakang etnis yang serupa menghendaki otonomi politik dan persatan menjadi satu bangsa. Karena banyak alasan cita-cita itu tidak selalu dapat diwujudkan; oleh karena itu kelompok-kelompok minoritas sering terpaksa hidup dalam kawasan suatu bangsa yang berasal dari suku-bangsa lain. Situasi itu menimbulkan masalah-masalah yang serius.
95. Jelas sekali setiap usaha mengekang gairah hidup dan perkembangan suku-suku minoritas itu merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap keadilan. Apa lagi kalau usaha-usaha yang jahat itu ditujukan untuk membinasakan mereka.
96. Memang benar, kepentingan-kepentingan terbaik keadilan dilayani oleh para pejabat pemerintah yang berusaha sekuat tenaga meningkatkan kondisi-kondisi manusiawi para anggota kelompok-kelompok minoritas itu, khususnya berkenaan dengan bahasa dan kebudayaan mereka, tradisi-tradisi kuno mereka, dan kegiatan serta usaha-usaha mereka di bidang ekonomi[35].
97. Akan tetapi layak diperhatikan, bahwa kelompok-kelompok menoritas itu, barangkali sebagai reaksi terhadap jerih-pedih dan derita yang dalam situasi sekarang ini terpaksa mereka tanggung, atau terhadap kenyataan-kenyataan historis, sering cenderung untuk terlampau melebih-lebihkan ciri-ciri khas rakyat mereka. Bahkan ciri-ciri itu mereka hargai melebihi nilai-nilai manusiawi yang umum berlaku bagi segenap umat manusia, seolah-olah kepentingan seluruh keluarga manusia harus melayani kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok mereka yang khas. Suatu sikap yang lebih wjaar bagi kelompok semacam itu kirangya ialah: mengakui keuntungan-keuntungan juga, yang diperolehnya dari situasinya sendiri yang khas. Kelompok itu hendaklah menyadari, bahwa penggabungannya yang tetap denan rakyat yang hidup dalam peradaban yang berbeda dengan peradabannya sendiri harus memainkan peranan cukup besar dalam pengembangan bakat-kemampuan dan kerohaniannya sendiri. Lambat laun kelompok itu dapat menyerap dan merasukkan keutamaan-keutamaan yang menandai bangsa lain. Akan tetapi supaya itu terwujudkan kelompok-kelompok minoritas itu harus memasuki semacam perserikatan dengan rakyat di lingkungan hidup mereka, dan belajar ikut menghayati adat-kebiasaan dan ragam hidupnya. Akan tetapi maksud itu tidak pernah akan tercapai, bila mereka menabur benih-benih alienasi, yang hanay dapat menumbuhkan panenan kejahatan, sementara perkembangan politik bangsa-bangsa dipunahkan.
98. Karena hubungan-hubungan antar negara harus diatur menurut prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, negara-negara hendaklah meningkatkan hubungan-hubungan itu dengan menempuh langkah-langkah positif untuk memadukan sumber-sumber daya jasmani maupun rohani mereka. Seringkali itu dapat dicapai melalui segala macam kerja sama; dan sekarang ini kerja sama itu sedang berlangsung di bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan olah raga – denga hasil-hasil yang menguntungkan. Perlu diperhatikan, bahwa pada hakikatnya ada pemerintahan, bukan untuk mengungkung orang-orang di kawasan bangsa mereka sendiri, melainkan terutama untuk melindungi kepentingan umum negara, yang pasti tidak boleh diceraikan dari kepentingan bersama segenap keluarga manusia.
99. Jadi masyarakat sipil dalam mengusahakan kepentingannya sendiri, jangan melanggar keadilan terhadap masyarakat lain, melainkan harus secara terpadu menyusun rencana dan menggalang kekuatan, bila usaha-usaha negara tertentu tidak mampu mencapai tujuan yang diinginkan. Akan tetapi itu hendaklah dijalankan dengan amat bijaksana. Apa yang menguntungkan bagi negara-negara tertentu mungkin saja justru ternyata merugikan dan tidak menguntungkan negara-negara lain.
100. Selain itu kepentingan bersama segenap umat manusia meminta, agar di semua bangsa didorong segala macam pertukaran antara para warga negara dan kelompok-kelompok penengah mereka. Di banyak daerah di dunia terdapat golongan-golongan rakyat yang berasalmula etnis kurang-lebih berlainan. Jangan dibiarkan apa pun mencegah hubungan-hubungan timbal-balik antara mereka. Pencegahan semacam ituakan mencemoohkan semangat zaman sekarang, yang menjalankan sekian banyak usaha untuk meniadakan jarak-jarak yang memisahkan bangsa-bangsa. Jangan pula diabaikan kenyataan bahwa – entah berlatarbelakang etnis yang mana – orang-orang, di samping ciri-ciri khas yang membedakan mereka dari sesama, mempunyai unsur-unsur lain yang amat penting sama seperti semua orang lainnya. Semuanya itu dapat menjadi dasar perkembangan dan realisasi diri mereka secara berangsur-angsur, khususnya berkenaan dengan nilai-nilai rohani. Oleh karena itu mereka berhak dan wajib melangsungkan hidup mereka bersama orang-orang lain dalam masyarakat.
101. Siapa pun menyadari bahwa ada negeri-negeri, yang menampilkan ketidak-seimbangan antara luasnya tanah garapan dan jumlah penduduk; di negeri-negeri lain terdapat ketidak-seimbangan antara kekayaan sumber-sumber daya dan sarana-sarana pertanian yang tersedia. Oleh karena itu perlu sekalilah bangsa-bangsa menjalin kerja sama, dan melancarkan peredaran barang-barang, modal dan tenaga-tenaga kerja[36].
102. Dalam situasi seperti itu kami anjurkan untuk di mana pun mungkin membawa pekerjaan kepada para pekerja, bukan mengantar para pekerja ke gelanggang kerja. Dengan begitu banyak orang akan beroleh peluang untuk meningkatkan sumber-sumber daya mereka, tanpa menghadapi keharusan yang pahit meninggalkan akar kerumahtanggaan mereka, menempatkan diri di lingkungan yang asing, dan membentuk kontak sosial yang baru.
103. Citarasa kasih kebapaan yang mendalam terhadap segenap umat manusia, yang oleh Allah ditanam di hati kami, menyebabkan kami tak mungkin menyaksikan tanpa kesedihan yang menyayat hati penderitaan mereka yagn karena alasan-alasan politik terkucilkan dari tanah air mereka. Sekarang terdapat jumlah besar pengungsi-pengungsi seperti itu, dan banyaklah penderitaan tiada hingganya yang mereka tanggung.
104. Dalam menguraikan perspektif kebebasan berdasarkan keadilan, yang memungkinkan para anggota masyarakat hidup secara layak menurut martabat manusia, inilah bukti jelas yang kami ajukan, bahwa para pemimpin bangsa-bangsa tertentu sangat terlampau mengekang rakyat. Dalam negara-negara seperti itu ada kalanya hak atas kebebgasan sendiri dipertanyakan, bahkan diingkari mentah-mentah. Di situ tampaklah pemutarbalikan semata-mata tata-tertib masyarakat; sebab seluruh alasan dasar bagi adanya pemerintah justru menjamin kepentingan-kepentingan masyarakat. Tugasnya yang utama yakni mengakui bidang kebebasan yang luhur serta melindungi hak-haknya.
105. Karena itu cukup pentinglah meminta perhatian dunia terhadap kenyataan, bahwa para pengungsi itu pribadi-pribadi, dan semua hak-hak mereka selaku pribadi harus diakui. Para pengungsi tidak dapat kehilangan hak-hak itu melulu karena mereka kehilangan kewarganegaraan di negara-negara mereka sendiri.
106. Termasuk hak-hak pribadi manusia hak memasuki negeri, yang diharapkan membuka peluang baginya untuk secara lebih layak mencari nafkah bagi dirinya dan mereka yang tergantung padanya. Maka merupakan kewajiban para pejabat negara menerima para imigran itu, dan – sejauh kepentingan masyarakat mereka sendiri dalam arti yang tepat mengizinkannya – mendukung maksud-maksud mereka yang hendak menjadi anggota masyarakat yang baru.
107. Oleh karena itu kami manfaatkan kesempatan ini untuk secara resmi menyatakan persetujuan serta dukungan kamibagi setiap usaha, berdasarkan asas-asas solidritas manusiawi atau cinta kasih Kristiani, yang dimaksudkan untuk meringankan penderitaan mereka yang terpaksa berpindah dari tanah air mereka ke negeri lain.
108. Lagi pula demi pujian semua orang yang berkehendak baik memang perlu ditonjolkan lembaga-lembaga internasional, yang mencurahkan seluruh tenaganya bagi karya yang sangat penting ini.
PERLOMBAAN SENJATA
109. Di lain pihak kami sedih sekali menyaksikan persediaan senjata yang begitu bertimbun-timbun, yang telah dan tetap masih diproduksi di negeri-negeri yang lebih maju perekonomiannya. Kebijakan itu melibatkan penggelaran luas sumber-sumber keahlian dan materiil, sehingga rakyat negeri-negeri itu terpaksa menanggung beban yang cukup berat, sedangkan negeri-negeri lain tidak mendapat bantuan yang mereka butuhkan untuk perkembangan ekonomi dan sosial mereka.
110. Ada anggapan umum, seolah-olah dalam kondisi modern ini perdamaian tidak mungkin dijamin tanpa didasarkan pada keseimbangan persenjataan, seakan-akan faktor itulah yang kiranya menyebabkan penimbunan senjata. Jadi kalau satu negeri meningkatkan kekuatan militernya, negeri-negeri lain langsung dirangsang oleh semangat bersaing untuk menambah persediaan senjatanya. Dan kalau satu negeri dilengkapi dengan senjata nuklir, negeri-negeri lain merasa dibenarkan memproduksi senjata-senjata itu sendiri, dengan daya penghancur yang sama kuatnya.
111. Oleh karena itu rakyat hidup dalam cengkaman rasa takut terus menerus. Mereka kawatir, jangan-jangan setiap saat badai yang mengancam dapat mengamuk menimpa mereka dengan kedahsyatan yang mengerikan. Dan memang ada cukup alasan untuk merasa gentar, karena memang pasti tak kurang senjata-senjata seperti itu. Memang sulit jug adipercaya ada orang yang berani memikul tanggung jawab untuk memulai pembantaian dan penghancuran yang mengerikan, yang kiranya akan diakibatkan oleh perang. Tetapi pantang disangkal juga, bahwa berkorbannya bencana itu dapat dimulai oleh peristiwa yang kebetulan saja dan oleh keadaan yagn tak terduga. Selain itu, walaupun kekuatan raksasa senjata-senjata modern memang dapat menakut-nakuti, ada alasan merasa takut jangan-jangan percobaan peralatan nuklir untuk tujuan perang, kalau diteruskan, dapat mendatangkan bahaya yang serius bagi pelbagai jenis kehidupan di bumi.
112. Maka dari itu keadilan, akal sehat , dan pengakuan martabat manusia menuntut dengan mendesak, agar perlombaan senjata dihentikan. Persediaan-perserdiaan senjata yang dibangun diberbagai negeri harus dikurangi secara drastis dan bersamaan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Senjata-senjata nuklir harus dilarang. Perlu dicapai persetujuan umum tentang program perlucutan senjata yang cocok, disertai sistem efektif pengawasan timbal-balik. Beramanat Paus Pius XII: ”Bencana perang dunia, disertai kehancuran ekonomi dan sosial, ekses-ekses moril dan perpecahan, bagamana pun juga jangan dibiarkan mencaplok umat manusia untuk ketiga kalinya”.[37]
113. Akan tetapi siapa pun hendaklah menyadari: kalau proses perlucutan senjata itu tidak bersifat radikal dan lengkap serta sungguh menyentuh hati orang-orang, mustahillah menghentikan perlombaan senjata atau mengurangi persenjataan, atau-dan ini yang paling pokok-akhirnya meniadakannya sama seklai. Siapa pun secara jujur harus bekerja sama dalam usaha menghalau rasa takut dan prakiraan mencemaskan tentang kemungkinan perang dari hati orang. Akan tetapi itu menuntut, agar prinsip-prinsip dasar yang di dunia dewasa ini melandasi perdamaian diganti oleh prinsip yang berbeda sama sekali, yakni: kesadaran bahwa damai yang sejati dan tetap bertahan antara bangsa-bagnsa tidak dapat berarti memiliki persediaan senjata yang sama, melainkan hanya sikap saling percaya. Dan kami percaya bahwa itu dapat dicapai; sebab damai sejati merupakan sesuatu yang bukan hanya dikehendaki oleh akal sehat, melainkan dalam dirinya pun merupakan milik yang paling intens diinginkan dan berbuah paling banyak.
114. Berikut inilah sasaran yang terutama dikehendaki oleh akalbudi. Ada-atau setidak-tidaknya harus ada –mufakat umum, bahwa hubungan-hubungan antara negara, seperti juga antara orang-orang, harus diatur bukan melalui kekuatan senjata, melainkan seturut asas-asas akal sehat, yakni: prinsip kebenaran, keadilan dan kerja sama yang mantap dan jujur.
115. Kedua, itulah sasaran, yang pada hemat kami harus diniati secara lebih serius. Sebab siapakah yang tidak mendambakan pembebasan dari ancaman perang, atau tidak menginginkan damai tetap lestari dan dari hari ke hari makin mantap?
116. Akhirnya sasaran itu sarat kemungkinan-kemungkinan untuk hal-hal yang baik. Keuntungan-keuntungannya akan terasa di mana-mana, oleh orang perorangan, keluarga-keluarga, bangsa-bangsa, dan segenap umat manusia. Masih tetap menggemalah peringatan Paus Pius XII: ”Tiada sesuatu pun hilang karena damai; segala sesuatu dapat hilang akibat perang”[38].
117. Oleh karena itu kami memandang kewajiban kami di dunia ini selaku wakil Yesus Kristus-Penyelamat dunia, Pencipta perdamaian-dan sebagai juru bicara kerinduan paling mendalam seluruh keluarga manusia, terdorong oleh cinta kebapaan kami terhadap segenap umat manusia, untuk memohon dan menyerukan kepada bangsa manusia, terutama kepada para penguasa negara-negara, supaya jangan menghemat jerih payah dan daya-upaya untuk menjamin, agar urusan-urusan manusiawi menempuh jalan yang rasional dan pantas.
118. Melalui musyawarah-musyawarah hendaklah tokoh-tokoh yang arif-bijaksana dan berpengaruh besar mempertimbangkan secara serius masalah terwujudnya secara lebih manusiawi penyesuaian hubungan-hubungan antar negara di seluruh dunia. Penyelarasan itu harus didasarkan pada sikap saling percaya, kejujuran dalam perundingan, dan kesetiaan menunaikan kewajiban-kewajiban yang disanggupi. Setiap segi permasalahan harus dikaji, sehingga akhirnya akan muncul pokok persetujuan untuk menggalang perjanjian-perjanjian yang jujur, bertahan lama, dan hasil-hasilnya menguntungkan.
119. Dari pihak kami, tiada hentinay kami akan berdoa, supaya Allah memberkati jerih-payah itu dengan bantuan ilahi-Nya, serta menjadikannya subur.
MEMPERTAHANKAN KEBEBASAN
120. Kemudian hubungan-hubungan antar negara harus berpedoman prinsip kebebasan. Itu berarti bahwa tiada negara berhak melancarkan tindakan apa pun, yang berupa penindasan melanggar keadilan terhadap negara-negara lain, atau campurtangan tanpa alasan dalam urusan-urusan mereka. Sebaliknya, semua harus membantu mengembangkan pada sesama negara kesadaran makin mantap akan kewajiban-kewajiban mereka, semangat berani dan progresif, dan tekad untuk berprakarsa demi kemajuan mereka sendiri di tiap bidang usaha.
121. Semua orang bersatu karena mempunyai asal-usul yang sama dan terikat oleh persaudaraan, ditebus oleh Kristus, dan mempunyai tujuan hidup adikodrati. Mereka dipanggil untuk membentu satu keluarga Kristiani. Maka dalam ensiklik kami ”Mater et Magistra” kami serukan kepada bangsa –bangsa yang lebih kaya, supaya memberi bantuan apa pun kepada negara-negara yang sedang mengalami proses perkembangan ekonomi[39].
122. Kami merasa sangat terhibur dapat memberi kesaksian di sini, bahwa seruan kami diterima di mana-mana, dan kami percaya bahwa pada tahun-tahun mendatang seruan itu bahkan akan diterima lebih luas lagi. Hasil yang kami dambakan yakni: agar negara-negara yang lebih miskin sesegera mungkin meraih taraf perkembangan ekonomi, yang memungkinkan para warga mereka hidup dalam kondisi yang lebih selaras dengan martabat manusiawi mereka.
123. Berkali-kali perlu kami tekankan kewajiban membantu bangsa-bangsa itu melalui cara yang menjamin, bahwa mereka tetap mempertahankan kebebasan mereka sendiri. Mereka harus menyadari bahwa mereka sendirilah yang memainkan peran utama dalam perkembangan ekonomi dan sosial mereka; mereka sendirilah yang harus menanggung beban utamanya.
124. Oleh karena itu memang bijaksanalah amanat Pius Pius XII:”Tata dunia baru berdasrakan prinsip-prinsip moral merupakan baluarti yang paling andal untuk menanggulangi pelanggaran kebebasan, keutuhan dan keamanan bangsa-bangsa lain, entah berapa luas kawasan mereka atau bagaimana kemampuan mereka untuk membela diri. Sebab meskipun hampir tidak dapat dielakkan, AAS 53 (1961) hlm.440-441: bahwa negara-negara yang lebih luas, -mengingat kekuasaan mereka yang lebih besar dan sumber-sumber daya mereka yang lebih luas, -akan menetapkan sendiri norma-norma untuk mengatur persekutuan-persekutuan mereka dengan negara-negara kecil, tetapi negara-negara yang lebih kecil itu tidak dapat diingkari hak mereka, demi kepentingan umum, atas kebebasan politik, dan untuk mengenakan posisi netral dalam konflik-konflik antara bangsa. Tidak satu negara pun boleh disangkal haknya itu, sebab merupakan tuntutan hukum kodrati sendiri maupun hukum internasional. Negara-negara yang lebih kecil itu berhak pula menjamin perkembangan ekonomi mereka sendiri. Hanya melalui jaminan efektif hak-hak itulah negara-negara yang lebih kecil mampu dengan cara yang lebih serasi memajukan kepentingan umum segenap umat manusia, begitu pula kesejahteraan materiil, dan kemajuan rakyat mereka di bidang budaya dan rohani”[40].
125. Oleh karena itu negara-negara yang kaya, sementara menyelenggarakan pelbagai bentuk bantuan bagi negara-negara yang lebih miskin, harus mempunyai sikap hormat yang setinggi-tingginya terhadap ciri-ciri nasional dan lembaga-lembaga sipil mereka yang merupakan warisan tradisi. Negara-negara yang kaya itu juga harus menolak setiap kebijakan dominasi. Kalau itu dapat tercapai, ”suatu sumbangan berhargadiberikan untuk membentuk masyarakat dunia; di situ tiap bangsa menyadari hak-hak maupun keawajiban-kewajibannya, dan dapat bekerja atas dasar yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kesejahteraan semesta”[41].
126. Sekarang ini makin mantaplah keyakinan, bahwa perdebatan mana pun yang muncul antara bangsa-bangsa harus diselesaikan melalui perundingan dan persetujuan, dan bukan dengan mengangkat senjata.
127. Kami akui, bahwa keyakinan itu terutama tumbuh karena kekuatan penghancur senjata-senjata modern yang mengerikan. Keinsyafan itu timbul karena rasa takut akan konsekuensi-konsekuensi penggunaannya yang dahsyat dan mengakibatkan bencana. Jadi zaman sekarang ini, yang membanggakan kekuatan atom, sudah tidak masuk akal lagi mempertahankan bahwa perang itu upaya yang cocok untuk memulihkan pelanggaran keadilan.
128. Kendati begitu, sayang sekali, sering ternyata bahwa hukum rasa takut merajalela di antara bangsa-bangsa dan mendorong mereka untuk membelanjakan dana-dana luar biasa besarnya untuk pembelian senjata. Mereka tidak bermaksud menyerang, itu yang dikatakan-dan tiada alasan untuk tidak mempercayai mereka,-melainkan untuk menakut-nakuti pihak lain supaya jangan menyerang.
129. Meskipun begitu kami penuh harapan, bahwa dengan menjalin hubungan timbal-balik dan melalui kebijakan musyawarah bangsa-bangsa akan makin menyadari ikatan-ikatan alamiah yang menghimpun mereka sebagia umat manusia. Harapan kami pula, agar bangsa-bangsa makin menyadarai salah satu kewajiban amat pokok yang berakar dari kodrat kita bersama, yakni: bukan rasa takut, melainkan cintakasihlah, yang harus memberi warna dasar kepada hubungan-hubungan antara orang-orang perorangan maupun antar bangsa. Terutama merupakan ciri cintakasihlah: menghimpun orang-orang melalui segala upaya, sehingga mereka dengan tulus bersatu dalam ikatan-ikatan lahir maupun batin. Itulah persatuan yang dapat menjadi sumber berkat yang tak terhingga.
IV
KERJASAMA DEMI KESEJAHTERAAN SEMESTA
130. Kemajuan akhir-akhir ini di bidang ilmu-pengetahuan dan teknologi berpengaruh cukup mendalam atas perihidup manusia. Kemajuan itu mendorong umat manusia di seluruh dunia untuk menggalang kerjasama dan menjalin perserikatan satu dengan dyang lain justru saat sekarang ini, yang ditandai oleh perkembangan sepesat itu dalam hal sumber daya materiil, perjalanan antar negeri, dan informasi teknis. Akibatnya ialah: pertumbuhan luar biasa hubungan-hubungan antar perorangan, antara keluarga-keluarga dan antara perserikatan-perserikatan penengah yang termasuk pelbagai bangsa, begitu pula antara pemerintah-pemerintah pelbagai negara. Makin besar jugalah ketergantungan timbal-balik antar negara di bidang ekonomi. Ekonomi-ekonomi nasional tahap demi tahap menjadi begitu saling tergantung, sehingga sedang lahirlah semacam perekonomian dunia berdasarkan integrasi serentak perekonomian negara-negara. Akhirnya kemajuan sosial, tata-tertib, keamanan dan perdamaian tiap negeri mau tak mau berkaitan dengan kemajuan sosial, tata-tertib, keamanan dan perdamaian tiap negeri lain.
131. Maka jelaslah bahwa tidak satu negara pun mampu dengan layak mengusahakan kepentingan-kepentingannya sendiri terisolasi dari negara-negara lain. Dalam situasi itu tiada negara dapat mengembangkan diri sebagaimana mestinya. Kesejahteraan dan kemajuan negara mana pun sebagian merupakan konsekuensi, dan sebagian penyebab kesejahteraan dan kemajuan semua negara lainnya.
132. Tiada zaman akan pernah berhasil menghancurkan kesatuan keluarga manusia, sebab terdiri dari anggota-anggota yang semuanya sederajat berdasrakan martabat kodrati mereka. Maka selalu akan ada kebutuhan mutlak berdasarkan hakekat manusia sendiri, untuk secara memadai memajukan kesejahteraan umum universal; dengan kata lain: kesejahteraan segenap umat manusia.
133. Di masa lampau para pemimpin negara agaknya mampu mengadakan usaha-usaha yang memadai demi kesejahteraan umat manusia melalui saluran-saluran diplomatik yang lazim, atau melalui pertemuan-pertemuan dan musyawarah-musyawarah, kontrak-kontrak serta persetujuan-persetujuan tingkat tertinggi; artinya: dengan memanfaatkan upaya-upaya dan sarana-sarana yang diisyaratkan oleh hukum kodrati, hukum bangsa-bangsa, atau hukum internasional.
134. Akan tetapi pada zaman sekarang hubungan-hubungan timbal-balik antar negara telah mengalami perubahan yang berjangkauan jauh. Di satu pihak kesejahteraan umum universal memunculkan masalah-masalah yang amat sangat berat, kompleks dan mendesak, -khususnya berkenaan dengan usaha melestarikan keamanan dan perdamaian seluruh dunia. Di lain pihak para pemimpin bangsa-bangsa, yang semuannya berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, dalam banyak hal mengalami kegagalan dalam usaha-usaha mereka mewujudkan cita-cita itu, entah betapa sering mereka mengadakan persidangan dan menjalankan usaha-usaha untuk menemukan upaya-upaya keadilan yang lebih efisien. Dan semuannya itu bukannya menyangkut ketulusan atau jerih-payah mereka. Soalnya ialah melulu, bahwa kewenangan mereka masih kurang berpengaruh.
135. Jadi mau tak mau keesimpulannya yakni: bentuk dan struktur kehidupan politik di dunia modern, dan pengaruh pemerintah di semua bangsa di dunia tidak memadai menghadapi tugas memajukan kesejahteraan umum semua bangsa.
136. Nah, kalau dengan seksama dipertimbangkan makna inti kesejahteraan umum di satu pihak, dan hakikat maupun fungsi pemerintah di pihak lain, mau tak mau nampaklah adanya kaitan batin antara keduanya.Pemerintah, sebagai upaya untuk memajukan kesejahteraan umum dalam masyarakat sipil, termasuk tuntutan tata susila. Akan tetapi tata susila pun menghendaki agar pemerintah efektif juga dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu lembaga-lembaga sipil yang bernaung pada pemerintah menjadi berdaya-guna dan mengusahakan tujuan-tujuannya, serta dibekali dengan suatu struktur dan efisiensi; struktur dan efisiensi itu menjadi lembaga-lembaga itu mampu mewujudkan kesejahteraan umum melalui cara-cara dan upaya-upaya yang memadai untuk menanggapi kondisi-kondisi historis yang silih-berganti.
137. Dewasa ini kesejahteraan seluruh umat manusia menghadapkannya kepada masalah-masalah yang berdimensi sedunia. Maka soal-soal itu juga tidak dapat dipecahkan selain oleh kewenangan semesta, yang mempunyai kekuasaan, organisasi dan upaya-upaya yang jangkauannya meliputi soal-soal itu, dan lingkup kegiatannya mencakup seluruh dunia. Oleh karena itu tata susila sendiri meminta, supaya didirikan suatu bentuk umum kewenangan semesta seperti itu.
138. Akan tetapi kewenangan semesta yang berkuasa di seluruh dunia dan dilengkapi upaya-upaya yang memadai untuk mencapai kesejahteraan segenap bangsa manusia tidak dapat dipaksakan dengan kekuasaan. Kewenangan itu harus ditetapkan atas kesepakatan semua bangsa. Supaya usaha-usahanya efektif, harus berfungsi dengan jujur,sama sekali tidak memihak siapa pun, dan penuh dedikasi terhadap kesejahteraan segala bangsa. Seandainya kewenangan semesta seperti itu dipaksakan oleh bangsa-bangsa yang lebih berkuasa, niscaya akan menimbulkan berbagai kekawatiran, jangan-jangan diperalat untuk melayani kepentingan-kepentingan sekelompok kecil atau memihak satu bangsa tertentu. Kalau begitu pengaruh dan daya-guna kegiatannya akan dirongrong. Sebab sungguhpun bangsa-bangsa cukup banyak berbeda kemajuan materiil dan kekuatan militernya, mereka sangat peka mengenai kesamaan derajat mereka menurut hukum dan keunggulan corak hidup mereka sendiri. Oleh karena itu tepat jugalah, kalau mereka enggan mematuhi kewenangan yang dipaksakan dengan kekuasaan, didirikan tanpa peran serta mereka, atau tidak diterima atas kerelaan mereka sendiri.
139. Kesejahteraan umum negara-negara tidak dapat ditentukan tanpa mengindahkan pribadi manusia. Itu berlaku juga bagi kesejahteraan semua negara bersama. Maka dari itu kewenangan umum atas masyarakat dunia pun harus secara khas memperjuangkan pengakuan, sikap hormat, jaminan dan dukungan terhadap hak-hak pribadi manusia. Kalau perlu itu dapat dicapai melalui tindakan langsaung, atau dengan menciptakan di seluruh dunia kondisi-kondisi, yang memungkinkan para pemimpin negara tidak melaksanakan fungsi-fungsi khas mereka dengan lebih mudah.
140. Prinsip subsidiaritas, yang mengatur hubungan-hubungan antara pemerintah dan warga masyarakat, keluarga-keluarga serta serikat-serikat penengah di dalam satu negara, harus diterapkan juga pada hubungan-hubungan antara kewenangan semesta masyarakat dunia dan pemerintah negara masing-masing. Fungsi khusus kewenangan semesta itu seharusnya ialah: mengevaluasi dan menyelesaikan masalah-masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya, yang berdampak atas kesejahteraan semua bangsa. Karena sifatnya sangat gawat, meluas dan mendesak, persoalan-persoalan itu selayaknya dipandang terlampau sulit bagi para pemimpin negara-negara untuk dipecahkan dengan agak berhasil.
141. Akan tetapi tidak termasuk tugas kewenangan semesta itu membatasi lingkup kegiatan pemerintah negara-negara, atau mengklaim fungsi mana pun yang ada pada pemerintah itu. Sebaliknya, pada hakekatnya tujuannya ialah; menciptakan kondisi-kondisi sedunia, yang membantu pemerintah masing-masing bangsa, para warganegaranya dan kelompok-kelompok penengah, menunaikan kewajiban-kewajiban mereka, melaksanakan tugas-tugas mereka, dan menuntut hak-hak mereka dengan cara yang lebih terjamin[42].
PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
142. Seperti diketahui, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan pada tgl.26 Juni 1945. Berturut-turut bergabung padanya organisasi-organisasi yang lebih kecil, yang para anggotanya diangkat olehpemerintah pelbagai bangsa dan diserahi fungsi-fungsi internasional yang penting sekali di bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa bertujuan khas melestarikan dan memantapkan perdamaian antar bangsa, dan mendorong serta mendampingi hubungan-hubungan bersahabat antara mereka, berdasarkan asas-asas kesamaan derajat, saling menghormati, dan kerja sama secara luas di tiap bidang usaha manusiawi.
143. Suatu bukti jelas, bahwa pandangan organisasi itu berjangkauan jauh, disajikan oleh Pernyataan Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang dikeluarkan oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tgl.10 Desember 1948. Praktara Pernyatan itu menekankan, bahwa pengakuan setulusnya dan kepatuhan sepenuhnya terhadap semua hak maupun kebebasan, yang digariskan dalam pErnyataan, merupakan tujuan yang harus diperjuangkan oleh semua masyarakat dan semua bangsa.
144. Tentu disadari juga, bahwa beberapa pokok Pernyataan tidak sepenuhnya disetujui oleh pihak-pihak tertentu; dan memang ada alasannya. Akan tetapi pada hemat kami dokumen itu layak dipandang sebagai suatu langkah dalam arah yang benar, pendekatan menuju berdirinya tatanan yuridis dan politik bagi masyarakat dunia. Piagam itu pengakuan resmi terhadap martabat pribadi tiap manusia; pernyataan tentang hak setiap orang untuk secara bebas mencari kebenaran, menganut prinsip-prinsip moral, melakukan kewajiban-kewajiban berdasarkan keadilan, dan menghayati hidup manusiawi sepenuhnya. Pernyataan juga mengakui hak-hak lain yang berkaitan dengan semuanya itu.
145. Oleh karena itu sungguh kamiharapkan, agar Perserikatan Bangsa-Bangsa mampu secara berangsur-angsur menyesuaikan tata-susunan dan metode-metode kerjanya dengan besar serta luhurnya kewajiban-kewajibannya. Semoga tidak lama lagi tiap orang dapat menemukan pada organisasi ini jaminan efektif bagi hak-hak pribadinya; hak-hak, yang langsung merupakan penjabaran martabatnya sebagai manusia, dan karena itu bersifat universal, tak boleh dilanggar atau dirampas dari padanya. Dan itu sekarang makin banyak dikehendaki, karena orang-orang secara kian aktif berperan serta dalam kehidupan umum bangsa mereka sendiri, dan dengan begitu menampakkan perhatian lebih besar terhadap kepentingan-kepentingan semua bangsa. Mereka makin menyadari diri sebagai anggota-anggota yang hidup dalam seluruh keluarga manusia.
V
KOMITMEN KRISTIANI TERHADAP KEMAJUAN MANUSIAWI
146. Sekali lagi kami anjurkan kepada putera-puteri kami, supaya berpartisipasi aktif dalam kehidupan umum, dan bekerja sama demi kepentingan segenap umat manusia, begitu pula demi negara mereka sendiri. Bagi mereka mutlak perlulah berusaha, dalam terang iman Kristiani dan berpedoman pada cintaksih, menjamin supaya tiap lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya atau politik, jangan menghalang-halangi melainkan justru mempermudah penyempurnaan diri manusia dalam tata kodrati maupun adikodrati.
147. Namun untuk meresapkan dalam peradaban cita-cita yang sejati dan prinsip-prinsip Kristiani, tidak cukuplah bagi putera-puteri kami disinari cahaya surgawi iman dan dijiwai dengan antusiasme untuk cita-cita itu. Mereka perlu melibatkan diri juga dalam karya lembaga-lembaga itu, dan berusaha mempengaruhinya secara efektif dari dalam.
148. Akan tetapi dalam kebudayaan dan peradaban seperti kita alami sekarang, yang menonjol karena pengetahuan ilmiah serta penemuan-penemuan teknologinya, jelaslah tak seorang pun dapat memasuki kehidupan umum tanpa memiliki kompetensi ilmiah, kemampuan teknis, dan ketrampilan praktis dalam profesinya sendiri.
149. Kendati demikian itu pun harus dipandang tidak memadai untuk menyelaraskan hubungan-hubungan dalam hidup sehari-hari dengan mutu hidup yang lebih manusiawi, karena itu seharusnya didasarkan pada kebenaran, diatur oleh keadilan, didorong oleh kasih terhadap sesama, dan berpegang teguh pada penghayatan kebebasan.
150. Supaya kebijakan-kebijakan itu sungguh operasional, pertama-tama harus diusahakan sebaik mungkin, supaya pelbagai kegiatan duniawi dilaksanakan selaras dengan hukum-hukum yang mengatur semua dan setiapkegtiatan itu, dalam kepatuhan terhadap prinsip-prinsip sesuai dengan hakikat masing-masing kegiatan. Kedua, tindakan-tindakan hendaklah menaati perintah-perintah tata susila. Itu berarti, bahwa perilaku manusia harus mencerminkan kesadaran, bahwa ia sedang mengamalkan hak pribadi atau menunaikan tugas pribadi. Akalbudi masih mempunyai tuntutan lain. Mematuhi maksud-maksud Penyelenggaraan ilahi dan perintah-perintah Allah tentang keselamatan, dan seraya menaati bisikan suara hati, orang dalam kegiatan duniawinya harus berperilaku sedemikian rupa, sehingga mencapai integrasi yang mendalam antara nilai-nilai rohani yang utama dan nilai-nilai ilmu-pengetahuan, teknologi dan profesi-profesi.
151. Sekarang ini di negara-negara bertradisi Kristiani lembaga-lembaga sipil menyingkapkan tingkat tinggi kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, dan mempunyai mekanisme yang canggih sekali untuk mencapai setiap macam sasaran. Meskipun begitu selayaknya diakui, bahwa lembaga-lembaga itu sering hanya dangkal-dangkal saja terpengaruh oleh kaidah-kaidah dan semangat Kristiani.
152. Dapat ditanyakan: mengapa begitu? Sebab mereka yang di masa lampau dan sekarang pun masih berjasa besar bagi terwujudnya lembaga-lembaga itu mengaku beragama Kristiani, dan setidak-tidaknya sebagian-hidup menurut kaidah-kaidah Injil. Pada hemat kami sebabnya karena ada kesenjangan tertentu antara iman dan praktek hidup. Pada mereka kesatuan batin dan rohani harus dipulihkan, sehingga iman menjadi terang dan cintakasih kekuatan yang menggerakkan segala tindakan mereka.
153. Pada hemat kami pula alasan lain, mengapa sering sekali terjadi pemisahan antara iman dan praktek hidup pada orang-orang Kristiani, ialah: pendidikan dalam ajaran maupun tata susila Kristiani tidak memenuhi syarat. Di banyak tempat besarnya energi yang diperuntukkan bagi studi di bidang-bidang keduniaan terlampau sering di luar proporsi dibandingkan dengan usaha mempelajari agama. Pendidikan ilmiah mencapai mutu tinggi sekali, sedangkan pendidikan agama pada umumnya tidak melampaui tahap elementer. Oleh karena itu cukup pentinglah, bahwa pendidikan generasi muda bersifat lengkap dan kontinu, dan diberikan sedemikian rupa, sehingga penghayatan keutamaan-keutamaan moril dan pemeliharaan nilai-nilai keagamaan sepadan dengan pengetahuan ilmiah dan perkembangan teknologi yang tetap berkelanjutan. Angkatan muda harus dibina juga untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka yang khas dengan cara yang sungguh mengena[43].
154. Berkenaan dengan itu pada hemat kami seyogyanyalah mengutarakan, betapa sulit memahami dengan jelas hubungan antara tuntutan-tuntutan obyektif keadilan dan situasi-situasi konkret; maksudnya: betapa sulit menggariskan dengan tepat seberapa jauh dan dalam bentuk manakah prinsip-prinsip ajaran dan pedoman-pedoman harus diterapkan dalam keadaan masyarakat yang tertentu.
155. Penentuan tingkat-tingkat maupun bentuk-bentuk penerapan itu makin sulit lagi pada zaman sekarang ini, yang dilanda oleh demam kegiatan. Padahal justru sekarang inilah kita masing-masing dituntut membawa sumbangan kita sendiri kepada kesejahteraan semua orang. Dari hari ke hari kita merasa perlu makin menyelaraskan kenyataan hidup sosial dengan tuntutan-tuntutan keadilan. Oleh karena itu tiada alasan bagi putera-puteri kami untuk mengira, bahwa mereka dapat mengendurkan jerih-payah mereka, dan merasa puas dengan apa yang telah mereka capai.
156. Apa yang sampai sekarang telah tercapai belum memadai dibandingkan dengan yang masih perlu dijalankan. Siapa pun harus menyadarinya. Tiap hari menawarkan peluang usaha yang lebih penting, lebih kena sasaran, dan masih perlu ditangani-industri, serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi kejuruan, asuransi, lembaga-lembaga budaya, hukum, politik, kemudahan-kemudahan untuk pelayanan kesehatan dan untuk rekreasi, dan kegiatan-kegiatan lain sebagainya. Zaman kita sekarang membutuhkan semuanya itu. Sekarang ini orang-orang, sesudah menemukan atom dan menerobos memasuki ruang angkasa, sedang menjajagi peluang-peluang lain, yang mengantar kepada cakrawala yang hampir tiada batasnya.
RANGKA KERJASAMA KRISTIANI
157. Prinsip-prinsip yang kami paparkan dalam dokumen ini bersumber pada alam kodrati sendiri. Kebanyakan prinsip itu dijabarkan dari permenungan tentang hak-hak kodrati manusia. Maka pelaksanaan asas-asas itu seringkali mencakup kerjasama yang luas antara umat Katolik dan umat Kristen yang tercerai dari Takhta Apostolik ini. Bahkan menyangkut kerjasama umat Katolik juga dengan mereka yang barangkali tidak menganut agama Kristiani, tetapi pemikirannya serba sehat, dan secara alami memiliki keutuhan moril. ”Dalam situasi seperti itu mereka tentu saja harus membawakan diri sebagai umat Katolik, dan jangan berbuat apa pun yang melecehkan agama maupun tata susila. Akan tetapi sekaligus harus membuktikan, bahwa mereka dijiwai oleh semangat pengertian dan tak kenal pamrih, bersedia bekerjasama setulus hati untuk mencapai sasaran-sasaran yang lebih baik, atau yang mengantar kepada kebaikan”[44]
158. Selalu dapat dibenarkan sepenuhnya pembedaan antara kesesatan sendiri dan manusia yang sesat-juga kalau ia sesat mengenai kebenaran, atau tersesat karena kurang pengetahuan, dalam hal agama atau norma-norma etika tertinggi. Orang yang jatuh ke dalam kesesatan tidak berhenti menjadi manusia. Tidak pernah ia kehilangan martabat pribadinya; dan itu selalu harus diindahkan. Selain itu pada kodrat manusia sendiri terdapat kemampuan yang takkan pernah hilang untuk menerobos palang-perintang kesesatan dan mencari jalan menuju kebenaran. Dalam penyelenggaraan-Nya yang agung Allah selalu siaga dengan bantuan-Nya. Barangkali hari ini manusia tidak beriman dan membelok ke dalam kesesatan; esok mungkin saja ia disinari oleh cahaya Allah, dan merangkul kebenaran. Orang-orang katolik, yang untuk beroleh suatu keuntungan lahiriah bekerja sama dengan kaum tak beriman, atau dengan mereka yang karena sesat tidak beriman sepenuhnya akan Kristus, mungkin saja membuka kesempatan atau bahkan memberi dorongan bagi mereka untuk bertobat kepada kebenaran.
159. Lagi pula sungguh wajar mengadakan pembedaan yang jelas antara suatufilsafah palsu tentang hakikat, asalmula dan tujuan manusia serta dunia, dan usaha-usaha di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik, juga bila usaha-usaha itu bersumber pada filsafah itu dan diilhami olehnya. Memang benar, rumusan filsafah tidak berubah sekali telah dituangkan dalam peristilahan yang cermat; akan tetapi usaha-usaha jelas tidak dapat menghindari terpengaruh samapai batas tertentu oleh kondisi-kondisi yang berubah, yang menjadi gelanggang pelaksanaannya. Selain itu, siapa dapat menyangkal kemungkinan adanya unsur-unsur yang baik dan layak dianjurkan dalam usaha-usaha itu? Unsur-unsur yang memang selaras dengan kaidah-kaidah akal sehat, serta mengungkapkan aspirasi-aspirasi manusia yang benar?
160. Oleh karena itu mungkin kadang-kadang ada pertemuan –pertemuan yang diselenggarakan untuk suatu tujuan praktis-meskipun sampai saat itu dianggap mubazir belaka-tetapi kenyataannya sekarang membuahkan hasil, atau setidak-tidaknya membuka prospek akan berhasil. Akan tetapi apakah saat untuk kerjasama semacam itu sudah atau belum tiba, begitu pula cara dan tingkatan kerjasam itu untuk mencapai keuntungan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik-semuanya itu termasuk hal-hal yang perlu diputuskan dengan bijaksana; dan kearifan itu ratu segala keutamaan, yang mengatur hidup manusia sebagai perorangan maupun dalam masyarakat. Sejauh menyangkut umat Katolik, keputusan terutama ada pada mereka, yang berperan sebagai pemimpin dalam kehidupan masyarakat, dan di bidang-bidang yang khas itu. Akan tetapi mereka harus bertindak menurut asas-asas hukum kodrati, dan mematuhi Ajaran Sosial Gereja serta petunjuk-petunjuk pemimpin gerejawi. Sebab tak boleh dilupakan, bahwa Gereja berhak dan wajib bukan hanya mengamankan ajarannya tentang iman dan kesusilaan, melainkan juga menyelenggarakan kewenangannya atas putera-puterinya dengan bercampur-tangan dalam urusan-urusan duniawi mereka, bila perlu diadakan penilaian tentang penerapan praktis ajarannya itu[45].
KADAR TANTANGAN-TANTANGAN
161. Memang ada pribadi-pribadi berjiwa besar, yang berkobar hasrat mereka untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan menyeluruh, bila menghadapi situasi-situasi yang menampilkan, bahwa keadilan nyaris tidak diperhatikan, atau tuntutan-tuntutannya diabaikan sama sekali. Masalah mereka tangani dengan begitu gegabah, sehingga orang mengira mereka hendak memulai suatu revolusi politik.
162. Mereka itu ingin kami peringatkan: termasuk hukum kodrat bahwa segala sesuatu bertumbuh tahap demi tahap. Kalau dibutuhkan perbaikan pada lembaga-lembaga manusiawi, usaha harus dijalankan perlahan-lahan dan secara terencana dari dalam. Paus Pius XII menguraikannya begini: ”Keselamatan dan keadilan tidak meminta supaya suatu sistem yang usang dibongkar saja, melainkan terwujudkan melalui kebijakan pengembangan yang terencana dengan seksama. Sikap gegabah tidak pernah membangun; melainkan selalu menghancurkan segalanya. Sikap itu mengobarkan nafsu-nafsu, tetapi tidak pernah meredakannya. Lagi pula hanya menaburkan benih-benih kebencian dan kehancuran saja. Yang dihasilkannya bukan pendamaian pihak-pihak yang bersengketa. Karena sikap gegabah orang-orang dan partai-partai politik terpaksa harus dengan banyak jerih-payah mengulangi pekerjaan masa silam, membangun di atas puing-puing yang ditinggalkan oleh kekacauan[46].
163. Oleh karena itu di antara kewajiban-kewajiban sangat serius yang ada pada mereka yang berprinsip luhur, yang perlu kami sebutkan, yakni tugas menjalin hubungan-hubungan baru dalam masyarakat, di bawah naungan serta bimbingan kebenaran, keadilan, cintakasih dan kebebasan-hubungan-hubungan antara orang-orang perorangan, antara warga-warga masyarakat itu dan negara mereka, antara negara-negara, akhirnya antara orang-orang, keluarga-keluarga, serikat-serikat pengengah dan negara-negara di satu pihak, dan masyarakat dunia di pihak lain. Pasti tiada seorang pun yang tidak memandangnya sebagai tugas yang luhur sekali, sebab tugas itu mampu menciptakan damai yang sejati selaras dengan tata-tertib yang diciptakan oleh Allah.
164. Mengingat besarnya kebutuhan, jumlah mereka yang memikul tanggung jawab itu jauh terlampau kecil. Tetapi sudah selayaknya mereka mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat; dan pantas juga mereka kami hormati dengan pujian kami yang resmi. Kami serukan kepada mereka, supaya bertabah dalam cita-cita mereka, yang merupakan jasa-sumbangan luar biasa bagi umat manusia. Serta –merta kami terdorong untuk berharap, supaya lebih banyak lagi, khususnya di kalangan umat Kristiani, yang bergabung dengan usaha mereka, karena dijiwai oleh cintakasih serta kesadaran akan kewajiban mereka. Siapa pun yang mengikuti Kristus harus menjadi terang yang membara di dunia, suatu inti cintakasih, ragi di tengah seluruh massa. Itu akan terlaksana serasi dengan kadar persatuan rohaninya dengan Allah.
MENCARI DAMAI YANG SEJATI
165. Tidak pernah dunia akan menjadi kediaman damai, selama damai belum menetap di hati semua dan setiap orang, selama tiap orang belum memelihara dalam dirinya tata-tertib yang oleh Allah dikehendaki supaya dilestarikan. Itulah sebabnya mengapa S.Agustinus bertanya: ”Benarkah budimu menginginkan kekuatan untuk menguasai nafsu-nafsumu? Biarlah budi tunduk kepada kekuasaan yang lebih agung, lalu akan menguasai segala-sesuatu di bawahnya. Dan damai akan tinggal padamu-damai yang sejati, mantap, tertata dengan baik. Apakah tata-tertib itu? Allah berdaulat atas budi; budi berdaulat atas badan. Tidak ada yang dapat lebih tertib”[47]
166. Yang kami perhatikan di sini ialah soal-soal, yang dewasa ini menimbulkan kegelisahan yang memuncak; masalah-masalah yang erat sekali berkaitan dengan kemajuan masyarakat. Pantang diragukan, ajaran yang kami sajikan diilhami oleh kerinduan yang kami rasakan mendalam sekali. Kami tahu kerinduan itu dirasakan juga oleh semua orang yang beriktikad baik, yakni: semoga dunia menikmati damai yang lestari.
167. Kami, yang kendati tidak layak, mewakili Dia yang oleh nabi diwartakan sebagai ”Raja damai”[48], memandang sebagai kewajiban: membaktikan segala pemikiran dan usaha serta daya-kemampuan kami untuk memajukan kesejahteraan umum segenap umat manusia. Namun damai tinggal istilah yang hampa, selama belum bertumpu pada tata-tertib, yang –terdorong oleh harapan kami-pada garis besarnya kami uraikan dalam Ensiklik ini. Tata-tertib itu didasarkan pada kebenaran, dibangun atas keadilan, dipelihara dan dijiwai oleh cintakasih, dan diselenggarakan dalam naungan kebebasan.
168. Begitu agung, begitu luhurlah tujuan itu, sehingga sumber daya manusiawi melulu, kendati diilhami oleh iktikad baik yang paling teruji pun, tidak dapat berharap akan mencapainya. Allah sendiri perlu datang membantu manusia dengan pertolongan-Nya dari surga, supaya masyarakat sedekat mungkin menyerupai Kerajaan Allah.
169. Oleh karena itu tata keselamatan sendiri meminta, agar selama masa kudus ini kita sepenuh hati memohon kepada Dia, yang karena penderitaan-Nya yang pahit dan wafat-Nya membasuh bersih dosa-dosa manusia, sumber perselisihan, penderitaan dan ketidak-adilan; kepada Dia, yagn menumpahkan darah-Nya untuk mendamaikan umat manusia dengan Bapa di surga, serta menganugerahkan kurnia-kurnia damai. ”Sebab Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak .....Ia datang dan memberikan damai sejahtera kepada kamu yang ’jauh’ dan damai sejahtera kepada merek ayang ’dekat’[49].
170. Liturgi hari-hari ini pun menggemakan amanat yang sama:”Tuhan kita Yesus Kristus sesudah kebangkitan-Nya berdiri di tengah para murid-Nya dan bersabda: Damai sertamu, alleluia. Para murid bergembira ketika melihat Tuhan”[50]. Jadi Kristuslah, yang membawa damai bagi kita, Kristus yang mengurniakannya kepada kita:”Damai Kutinggalkan kepada kamu; damai-Ku Kuberikan kepada kamu: bukan seperti dunia memberikannya itu Kuberikan kepada kamu”[51].
171. Mak marilah kita penuh semangat memohon damai, yang oleh Penebus kita dikurniakan kepada kita. Semoga Ia menghalau dari jiwa-jiwa apa pun yang membahayakan damai. Semoga Ia mengubah semua orang menjadi saksi-saksi kebenaran, keadilan dan cintakasih persaudaraan. Semoga dengan terang-Nya Ia menyinari akalbudi para penguasa, sehingga lebih dari sekedar mengusahakan kesejahteraan materiil yang selayaknya bagi rakyat, mereka juga menjamin baginya kurnia luhur kedamaian. Akhirnya semoga Kristus mengobarkan keinginan semua orang untuk mendobrak palang-perintang yang menceraikan mereka, untuk meneguhkan ikatan-ikatan cintakasih timbal-balik, untuk belajar saling memahami, dan mengampuni siapa pun yang bersalah kepada mereka. Semoga berkat kekuasaan dan dorongan-Nya semua bangsa saling menampung dalam hati sebagai saudara-saudari, dan semoga damai yang mereka dambakan bertumbuh subur selamanya, dan selamanya meraja di antara mereka.
172. Demikianlah saudara-saudara terkasih, dengan keinginan sepenuh hati, supaya turunlah damai atas kawanan yang dipercayakan kepada penggembalaan anda, demi kesejahteraan khas merek ayang paling jelata dan paling membutuhkan bantuan serta pembelaan, penuh kasih dalam Tuhan kami sampaikan kepada anda, para imam diosesan maupun religius, para religius pria maupun wanita, segenap umat beriman dan khususnya mereka yang sepenuh hati mematuhi anjuran-anjuran kami ini, berkat apostolik kami. Dan bagi semua orang yang beriktikad baik, dan kami sapa juga melalui Ensiklik ini, kami mohonkan dari Allah kesehatan dan kesejahteraan.
173. Diterbitkan di Roma, di basilika S.Petrus, pada hari Kamis Putih, tgl.11 April 1963, tahun kelima masa kepausan kami.
PAUS YOHANES XXIII.
==========
[31] Keb 6: 1-3
[32] Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Natal 1941: AAS 34 (1942) hlm. 16
[33] Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Natal 1940: AAS 33 (1941) hlm. 5-14
[34] “De Civitate Dei”, kitab IV bab 4: PL 41, 115; bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Natal 1939: AAS 32 (1940) hlm 5-13
[35] Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Natal 1941: AAS 34 (1942) hlm. 10-21
[36] Bdk. Paus Pius XIII, Ensiklik “Mater et Magistra”, 153-155: AAS 53 (1961) hlm. 439
[37] Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Natal 1941: AAS 34 (1942) hlm. 17; Paus Benediktus XV, Anjuran kepada para pemimpin negara-negara yang sedang berperang, tgl.1 Agustus 1917: AAS 9 (1917)hlm.418.
[38] Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada tgl.24 Agustus 1939: AAS 31 (1939)hlm. 334.
[39] AAS 53 (1961) hlm.440-441.
[40] Bdk. Paus Pius XII, Amanat radio pada Hari Raya Natal 1941: AAS 34 (1942) hlm. 16-17.
[41] Paus Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”, 174: AAS 53 (1961) hlm.443.
[42] Bdk. Paus Pius XII, Amanat kepada Anggota-anggota Muda Aksi Katolik Italia, Roma, tgl.12 September 1948:AAS 40 (1948) hlm.412.
[43] Bdk. Paus Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”, 226-228: AAS 53 (1961) hlm.454.
[44] “Mater et Magistra”, 239: AAS 53 (1961) hlm.456.
[45] Ibidem, hlm.456; bdk. Paus Leo XIII, Ensiklik “Immortale Dei”: Acta Leonis XIII, V (1885) hlm. 128; Paus Pius XI, Ensiklik “Ubi Arcano”: AAS 14 (1922) hlm.698: Paus Pius XII, Amanat kepad aSerikat Himpunan-Himpunan Internasional Wanita Katolik, Roma tgl.11 September 1947:AAS 39 (1947) hlm.486.
[46] Bdk. Paus Pius XII, Amanat kepada kaum buruh Italia, Roma, pada Hari Raya Pentekosta, tgl.13 Juni 1943: AAS 35 (1943) hlm.175.
[47] Miscellanea Augustiniana....S.Agustinus, “Sermones post Maurinos Reperti”, Roma 1930, hlm. 633.
[48] Yes 9:5.
[49] Ef 2:14-17.
[50] Responsorium pada Ibadat Bacaan, hari VI dalam Oktaf Paska.
[51] Yoh 14:27.
====