Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Septuaginta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Septuaginta. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Januari 2023

SEPTUAGINTA

 


Septuaginta  

Bhs Latin, artinya “tujuh-puluh”. Terjemahan yang paling kuno dan penting dari Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani. Dilakukan antara abad ketiga hingga abad pertama SebM. Para ahli Kitab Suci menyebut hasil terjemahan itu Septuaginta atau LXX (huruf Romawi untuk tujuh puluh), sebab ada tujuh puluh penterjemah yang melaksanakan pekerjaan itu.

 I. ISI

Septuaginta terutama merupakan suatu kumpulan teks Kitab Suci. Seluruh kitab dalam Kitab Suci Ibrani ada di sana (dari kitab Kejadian sampai kitab Maleakhi); juga kitab-kitab deuterokanonik yang diterima sebagai Kitab Suci oleh Katolik dan Ortodoks (Tobit, Yudit, Kebijaksanaan, Sirakh, Barukh, 1-2 Mak, serta tambahan Ester dan Daniel); serta beberapa kitab yang dianggap kanonik hanya oleh gereja-gereja Ortodoks Timur (1 Esdras/Ezra, 3 dan 4 Makabe,  yang di dalam beberapa edisi Kitab Suci Ortodoks dijadikan Lampiran Tambahan).

 

II. ASAL-USUL

Asal-usul Septuaginta merupakan persoalan sejarah yang sulit. Tradisi Yahudi dan Kristen berdasarkan suatu karya dari abad kedua SM yang disebut Surat Ariestas percaya bahwa raja Mesir Ptolemeus II Filadelfia meminta dibuatkan salinan Kitab Suci Yahudi untuk disimpan di perpustakaannya yang terkenal di Aleksandria (sekitar tahun 250 SebM). Karena tidak mengerti bahasa Ibrani, raja itu mendatangkan tujuh puluh dua ahli dari Palestina  ke Aleksandria untuk membuat terjemahan dari Taurat Ibrani di suatu pulau lepas pantai yang disebut Pharos. Sesudah terjemahan diselesaikan. Orang Aleksandria menerima hasilnya dengan semangat. Cerita tradisi tentang terjemahan ini masih tersimpan dalam bentuk aslinya (menurut Yosephus), walaupun ada yang menambahkan unsur mujizat (misalnya Philo meyatakan bahwa para penerjemah itu bekerja sendiri-sendiri tetapi semua menghasilkan terjemahan yang persis sama), sedang yang lain memperbaiki detilnya (misalnya Talmud Babilonia menyatakan bahwa karya itu dikerjakan oleh tujuh puluh penerjemah, bukan tujuh puluh dua).

      Banyak ahli menolak kesejarahan tradisi ini, walau yang lain menerima pokok ceritanya yang dianggap bisa dipercaya. Teori alternatif melacak adanya kebutuhan akan terjemahan Yunani, bukan dari raja Ptolemeus dari Mesir yang ingin tahu, melainkan dari masyarakat Yahudi sendiri. Sebab di masa Yunani dan Romawi ada banyak sekali pemukiman Yahudi di kawasan-kawasan Laut Tengah menggunakan bahasa Yunani sehari-hari, dan pengetahuan tentang bahasa Ibrani klasik terus menerus merosot, sehingga timbul kebutuhan mendapatkan edisi Kitab Suci Yahudi dalam bahasa sehari-hari untuk berkhotbah dan mengajar di sinagoga-sinagoga diaspora. Ini tentu benar, dan boleh jadi merupakan suatu faktor yang mendorong penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani, tanpa mengurangi makna tradisi lama lainnya. Dari berbagai sudut, tetap ada ketidakpastian, dan para ahli kiranya masih akan terus memperdebatkan asal-usul Septuaginta ini hingga beberapa masa yang akan datang.

 

III. PENERIMAAN

Bukti menunjukkan bahwa Septuaginta Yunani diterima dengan hangat dan dihormati dalam kalangan masyarakat Yahudi abad pertama SebM dan M. Namun  tidak jelas, apakah terjemahan itu juga mendapat penghargaan yang sama di Palestina, dan bagaimanapun kita tahu bahwa beberapa ahli Yahudi menemukan berbagai kesalahan di dalamnya. Sesungguhnya, ketidakpuasan atas terjemahan Septuaginta menyebabkan adanya usaha untuk membuat terjemahan baru teks Ibrani oleh beberapa ahli Yahudi seperti Akwila dan Teodosianus dari abad kedua M. Upaya ini menimbulkan ketegangan di antara orang Yahudi dan umat Kristen sehubungan dengan tafsir atas teks-teks yang menyangkut Mesias sebagaimana yang disampaikan dalam Septuaginta. Teks Kitab Suci Ibrani sendiri semakin menjadi normatif baku sekitar masa itu, sehingga terjemahan baru dari Perjanjian Lama diperlukan agar semakin mencerminkan tek Kitab Suci yang diterima sebagai autoritatif oleh kalangan agama Yahudi Rabinik.

      Umat Kristen perdana menerima Septuaginta sebagai Perjanjian Lama mereka. Ini sudah tentu merupakan keputusan praktis karena hanya gereja-gereja di Palestina saja yang dapat menggunakan Perjanjian Lama berbahasa Ibrani. Di luar ini, penghargaan pada Septuaginta di kalangan Yahudi diaspora membuat tindakan para rasul yang mengandalkan Septuaginta ketika menjelaskan Kitab Suci di dalam karya misi mereka menjadi wajar-wajar saja. Bahwa rasul-rasul dan pengajar Kristen menggunakan Septuaginta jelas sekali : sebagian besar kutipan Perjanjian Lama yang terdapat dalam Perjanjian Baru jelas diambil langsung dari Septuaginta. Sedikit saja kutipan yang diangkat para penulis Perjanjian Baru merupakan usaha terjemahan mereka atas Teks Ibrani.

      Pengaruh Septuaginta tetap kuat pada abad-abad pertama Kekristenan. Secara rutin Septuaginta digunakan para Bapa bangsa dan dalam Konsili-konsili awal. Banyak teolog zaman bapa gereja yakin bahwa Septuaginta diterjemahkan dengan bimbingan Roh Kudus dan karena itu melampaui Kitab Suci Ibrani sendiri sebagai edisi yang berwibawa sebagai Perjanjian Lama bagi Umat Kristen (mis St Agustinus, Civitate Dei, [Kota Tuhan], 18.43). Bagaimanapun hanya beberapa saja ahli kuno seperti Origenes dan Santo Hieronimus yang berkemampuan untuk secara langsung menangani teks Ibrani secara langsung. Gereja-gereja Ortodoks Timur meyakini ilham ilahi dan autoritas kanonik dari Septuaginta hingga sekarang.

 


IV. DI MASA SEKARANG

Para ahli masih terus menyelidiki dan melakukan penilaian atas Septuaginta berdasarkan beberapa alasan:

      1. Septuaginta mungkin memuat – setidaknya di beberapa tempat – suatu bentuk Perjanjian Lama yang lebih aseli ketimbang yang ada pada Kitab Suci Ibrani baku (misalnya Teks Masora atau MT). Ini bukan saja karena terjemahan Yunani itu dibuat sebelum zaman Kristen, jauh lebih awal daripada manuskrip Ibrani yang paling luas, tetapi juga karena teks Kitab Suci yang ditemukan di antara Gulungan Laut Mati kadang-kadang lebih cocok pilihan katanya dengan Septuaginta ketimbang dengan Teks Masora. Maka Septuaginta merupakan saksi yang penting untuk rekonstruksi teks Perjanjian Lama, walau kegunaannya bervariasi dari kitab yang satu ke kitab yang lain, dan para ahli masih terus mendiskusikan pentingnya Septuaginta bagi [metode telaah] kritik teks.

      2. Sejauh setiap terjemahan dalam derajat tertentu membutuhkan tafsir, Septuaginta memberikan gambaran atas pengertian Yahudi mengenai Kitab Suci di abad pertama SebM. Di beberapa tempat diungkapkan perbedaan sudut pandang Agama Yahudi Helenistik dengan sudut pandang Agama Yahudi Palestina.

      3. Dengan demikian telaah atas Septuaginta merupakan bagian dari penelitian Perjanjian Baru. Penggunaan Septuaginta oleh para penulis Injil dan para rasul membutuhkan penyelidikan untuk memahami wawasan penafsiran dan teknik mereka. Sama pentingnya karena kosa-kata teologis Perjanjian Baru sangat bergantung pada bahasa Septuaginta. Yang paling menyolok adalah contoh-contoh mengenai kata-kata Yunani, yang dikenal dan digunakan pada masa klasik, lalu mendapatkan lapisan makna baru yang lain yang berasal dari [dialog dengan] kata Ibrani yang diterjemahkan. Untuk semua ini dan berbagai alasan lainnya Septuaginta masih tetap merupakan suatu monumen yang secara historis dan teologis sangat penting di zaman modern ini.