Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Paroki St Gabriel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Paroki St Gabriel. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2022

MENGUNJUNGI PAROKI PALING UTARA DI INDONESIA TENGAH 2

Saya mengunjungi Pulau Sebatik 9-10 Desember 2022.

Konon, pada tanggal 16 Desember 2014 delapan tahun yang lalu, dalam rangkau membangun Tol Laut di Indonesia, Presiden Jokowi mengunjungi wilayah perbatasan Republik Indonesia di Pulau Sebatik. Di pulau terluar ini, Presiden mengunjungi beberapa lokasi seperti "Patok 3" di Desa Aju Kuning dan Menara "Patok Nol" di Desa Pancang, di mana terdapat pos Angkatan Laut, yang dapat memantau langsung wilayah Malaysia, yakni Tawau.




Pulau Sebatik merupakan daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, meliputi wilayah administratif lima Kecamatan Sebatik, kecamatan yang paling timur dari kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara.  Pulau ini secara umum beriklim panas dengan suhu udara rata-rata 27,8 °C, suhu terendah 22,9 °C pada bulan Agustus dan tertinggi 33,0 °C pada bulan April. Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar yang menjadi prioritas utama pembangunan karena berbatasan langsung dengan negara tetangga. Program utama di Pulau Sebatik antara lain adalah pembangunan sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan pariwisata serta peningkatan hukum dan pengawasan keamanan.

Pulau Sebatik terdiri dari 5 Kecamatan dan 19 Desa yang siap menjadi DOB (Daerah Otonomi Baru). Kecamatan Sebatik terdiri dari Desa Padaidi, Desa Sungai Manurung, Desa Tanjung Karang dan Desa Balansiku. Kecamatan Sebatik Barat terdiri dari Desa Setabu, Desa Binalawan, Desa Liang Bunyu dan Desa Bambangan. Kecamatan Sebatik Tengah terdiri dari Desa Sungai Limau, Desa Maspul, Desa Bukit Harapan dan Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Utara terdiri dari Desa Seberang, Desa Lapri dan Desa Pancang, sedangkan Kecamatan Sebatik Timur terdiri dari Desa Tanjung Harapan, Desa Sungai Nyamuk, Desa Bukit Aru Indah dan Desa Tanjung Aru.

Pulau Sebatik terbagi dua. Belahan utara seluas 187,23 km²merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia, sedangkan belahan selatan dengan luas 246,61 km²masuk ke wilayah Indonesia di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Dari luas ini 375, 52 hektare di antaranya merupakan kawasan konservasi.

    
                 Sungai perbatasan Indonesia-Malaysia






Ada enam komunitas katolik di Sebatik Indonesia dengan kapel masing-masing, seperti di Sei Nyamuk, Liang Bunyu, Bambangan dll, namun secara administratif dipusatkan di Kapel Stasi Sebatik Santo Petrus, Kampung Lourdes, Sebatik Tengah. Hingga sekarang, Sebatik masih menjadi stasi dari Paroki dari Paroki St Gabriel, Nunukan, di pulau seberang, yang merupakan paroki paling utara di Kalimantan Utara dan Keuskupan Tanjung Selor. 



Jumlah penduduk di Kabupaten Nunukan
 pada 2020 tercatat 199,100 dan pada 2021bertambah jadi 203,200 jiwa. Di antara mereka yang beragama katolik pada 2019 meliputi 6,04% pada 2020 meningkat jadi 8,35% dan pada 2021 menyusut sedikit jadi 8,27%.

Pada 10/12 saya mendapat WA dari Mgr Harjosusanto MSF agar menghubungi Romo Paroki St Gabriel Nunukan, Rm Antonio Razzoli OFMConv. Saya memang ingin mendapat gambaran lebih lengkap tentang Paroki Nunukan sebagai paroki perbatasan paling utara di Kalimantan. Kami meninggalkan Sei Nyamuk dan melakukan perjalanan menyusur Jalan Lintas Tengah Sebatik ke pantai barat menuju Pelabuhan Bambangan. Dari sana kemudian menggunakan speedboat kecil 4 penumpang menyeberang ke Pulau Nunukan. Penyeberangan Selat Sebatik memerlukan waktu 20 menit.



Sayang sekali, saya berselisih jalan dengan Pastor Antonius Razzoli OFMConv. Beliau pergi menyeberang ke Sebatik melayani sakramen pengakuan dosa komunitas Bambangan, Liang Bunyu dan kemudian Stasi Santo Petrus Sebatik, sementara saya mengunjungi Gereja Paroki St Gabriel, Nunukan.



Paroki St Gabriel Nunukan berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Nunukan yang luasnya 13 841,90 km2 bersama dengan Paroki Sekikilan dan Paroki Mansalong, Ketiga Paroki berada dalam koordinasi Dekenat Utara Keuskupan Tanjung Selor.





Paroki St Gabriel didirikan pada 1984, sebelumnya merupakan stasi dari Paroki Maria Imakulata, Tarakan. Karena gereja lama di Jl Patimura tidak mampu lagi menampung umat beribadah di Hari Minggu, maka gereja baru di Jalan Pongtiku dibangun pada 2013 dengan biaya total Rp 3 milyar, dengan kontribusi umat setempat sebesar Rp 0,5 milyar, selebihnya bantuan donatur dan Pemerintah Daerah (APBD Kabupaten dan Provinsi). Prasasti pendirian gereja ditandatangani Uskup Tg Selor waktu itu, Mgr Harjosusanto MSF dan Bupati Nunukan, Basri. Saya tenggelam dalam kekaguman ketika mengunjungi gereja St Gabriel Nunukan, yang dibangun di bukit, dengan dinding dari batu, menjulang tinggi. Batu yang diambil dari kali dan disusun di atas bukit hingga menjulang tinggi membentuk benteng iman seolah membisikkan sesuatu tentang tekat umat setempat yang sebagian besar petani. Umat paroki St Gabriel terdiri dari imigran NTT, Suku Dayak, Jawa, dan Tionghoa.

Reksa pastoral umat sekarang dipercayakan kepada OFMConv. Sebelumnya dipercayakan kepada OMI dan SVD. Kehadiran SVD diperlukan karena sebagian umat adalah imigran dari NTT yang bekerja di perbatasan Malaysia tetapi kemudian entah diusir karena habisnya masa laku paspor atau karena memilih sendiri bergeser ke wilayah perbatasan Indonesia dan menetap dan beranak cucu. 

Kehadiran OMI di Kalimantan pada umumnya diawali dengan terusirnya OMI Perancis dari negeri-negeri Vietnam-Laos-Kampuchea pasca perang yang berhaluan komunis pada 1975, mereka mencari daerah misi baru dan diterima di Kalimantan, mulai dari Sintang, Samarinda dan Tanjung Selor. Perkembangan umat Keuskupan Tanjung Selor selanjutnya memerlukan pergiliran corak pastoral untuk keanekaan kekayaan spiritual yang antara lain dipenuhi oleh OFMConv.

Di pastoran Nunukan saya tidak sempat berjumpa dengan Pastor Rekan yang jaga gawang, tetapi berjumpa dengan Ketua Dewan Pastoral Paroki, Bpk Arsen, yang kebetulan suka menulis tentang sejarah gerejanya, dan menjadi pemenang kedua lomba menulis fitur paroki yang diselenggarakan Komsos-KWI tahun lalu.

Keuskupan Tanjung Selor sedang bekerja menyemangati dan menganimasi para penulis sejarah paroki-paroki setempat, dan beberapa hari sebelumnya mengirim utusan ke paroki St Gabriel Nunukan. Saya berharap mendapatkan kiriman sebagian bahan yang berhasil mereka kumpulkan dari paroki-paroki. Setidaknya dengan demikian misi saya "membuat koneksitas emosional historis" telah terlaksana di sini.

Saya menemukan kuliner lokal sop kepala ikan palumara di resto Bamboe Koening, setelah turun dari Gereja St Gabriel. Emosi saya tergetar pula oleh biji dan bubuk kopi yang berasal dari Dampit, Malang, Jawa-Timur, di situ. Konon sebelum pandemi, warung kopi Bamboe Koening sangat digemari karena kopi Dampit. Ternyata pemiliknya, Pak Adi, berasal dari Malang juga. Saya sempat menikmati kopi Dampit yang disajikan dengan pola Vietnam-drip di situ sebelum melanjutkan perjalanan ke pelabuhan speedboat Liem Hie Djung, Nunukan.

Saya kehabisan tiket untuk speedboat reguler Nunukan-Tarakan pkl 14.00 berkapasitas 50 penumpang, tetapi bersyukur karena ada speedboat tambahan yang diberangkatkan pkl 15.00. Di masa tunggu, saya bersyukur berkenalan dengan seorang nakhoda dan pemilik Speedboat dari Lombok, dan seorang anak muda dari Buleleng Bali, menjadi teman mengobrol yang seru. Saya meninggalkan Nunukan dengan speedboat berkapasitas 20 penumpang menjelang bertiupnya angin barat yang akan menyulitkan navigasi namun dengan cerdas dan tangkas dapat diatasi secara mulus oleh nakhoda muda kami yang jago balap, sehingga jarak Nunukan Tarakan yang lazimnya ditempuh tiga jam dapat dipotong jadi dua jam setengah. Bahkan ketika mendekati ujung utara Pulau Tarakan speedboat kami dapat mendahului speedboat reguler yang bermuatan penuh dan berangkat satu jam lebih dulu dan terlihat harus berjalan zig-zag akibat angin barat.


[Bersambung].