Digitalisasi membawa era baru dalam melakukan aktivitas
keuangan seperti investasi dan pendanaan. Akses masyarakat
terhadap aktivitas tersebut menjadi lebih mudah dan berbiaya
murah, dengan kehadiran platform penyedia jasa keuangan online.
Jumlah pengguna platform investasi dan pinjaman online terus
mengalami peningkatan. Per Desember 2021, jumlah SID investor
retail di Indonesia mencapai 7.489.337 investor pasar modal atau
naik 92,99% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, jumlah
akumulasi rekening lender pinjaman online mencapai 809.494
rekening atau naik 13% dari tahun sebelumnya, dan jumlah
akumulasi rekening borrower mencapai 73,25 juta rekening atau
naik 68% dari tahun sebelumnya.
Namun sayangnya, peningkatan jumlah pengguna platform
investasi maupun pinjaman online sejalan dengan peningkatan
pengaduan yang tercatat pada Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI). Sepanjang tahun 2021, YLKI mencatat sebanyak
535 pengaduan, 49,6% merupakan pengaduan terkait jasa
keuangan. Proporsi ini naik dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar
33,5% pada tahun 2019. Pengaduan konsumen terkait jasa
keuangan menjadi paling banyak dibanding bidang jasa lainnya.
Terlebih lagi, YLKI juga menyebutkan bahwa proporsi tersebut
konsisten selama lima tahun terakhir. Sebanyak 82% pengaduan
terkait jasa keuangan berasal dari konsumen pinjaman online ilegal.
Selain itu, kasus investasi bodong juga masih menjamur di
Indonesia. Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
menyampaikan bahwa praktik investasi bodong telah merugikan
masyarakat Indonesia hingga Rp117,4 triliun dalam kurun waktu
sepuluh tahun terakhir.
Masih rendahnya tingkat literasi keuangan di Indonesia menjadi
salah satu penyebab fenomena-fenomena tersebut. Hasil Survei
Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK
pada tahun 2019 menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan dan
inklusi keuangan masing-masing mencapai 38,03% dan 76,19%.
Angka ini memang lebih baik dari survei yang dilakukan
sebelumnya pada tahun 2016, yang mana tingkat literasi keuangan
dan inklusi keuangan masing-masing mencapai 29,7% dan 67,8%.
Meskipun demikian, apabila dibandingkan dengan negara di Asia
Tenggara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand, tingkat
inklusi keuangan di Indonesia masih di bawah negara-negara
tersebut. Singapura memiliki tingkat inklusi keuangan sebesar 98%,
sementara dan Thailand dan Malaysia masing-masing memiliki
tingkat literasi keuangan sebesar 85% dan 82%.
Sehubungan dengan pemaparan di atas, Universitas Sanata
Dharma sebagai instansi pendidikan yang peduli terhadap
pendidikan dan perekonomian di Indonesia, merencanakan
kegiatan webinar secara daring dengan tema “Literasi Keuangan:
Investasi Bodong dan Pinjaman Online Ilegal”.
BI dalam kerjasama dengan pihak-pihak terkait dalam tahun 2022 meluncurkan program Literasi Keuangan, mengusung tema “Sustain Habit in Investing, Invest in Sustainable Instruments” atau “Berkelanjutan dalam Berinvestasi dan Berinvestasi pada Produk Keuangan yang Berkelanjutan”. Pemilihan tema tersebut dilandaskan pada semangat untuk mendorong masyarakat khususnya generasi muda untuk secara kontinyu berinvestasi di pasar modal, sehingga investasi dapat menjadi sebuah kebiasaan yang bermanfaat bagi diri dan bagi negeri yakni untuk mendukung pembiayaan pembangunan Indonesia.