Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Para Imam menjadi guru teladan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Para Imam menjadi guru teladan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Januari 2023

Menghayati Tindakan Liturgi Sepenuhnya

 



Pada Jumat 20 Januari 2023 para peserta dan pengajar kursus “Menghayati Tindakan Liturgi Sepenuhnya”, yang diselenggarakan Dikasteri Ibadat Suci dan Disiplin Sakramen Vatikan, mengadakan audiensi dengan Paus Fransiskus di Ruang Konsisteri Istana Kepausan, Vatikan. Berikut sambutan Paus Fransiskus:

“Kursus ini, yang akan segera berakhir, sesuai dengan petunjuk Surat Apostolik Desiderio Desirevi tentang pembinaan liturgi. Memang, penyelenggaraan liturgi membutuhkan persiapan dan komitmen. Kami para uskup, dalam pelayanan kami, sangat menyadari hal ini, karena kami membutuhkan kerja sama dari mereka yang mempersiapkan liturgi dan membantu kami memenuhi mandat kami untuk memimpin doa umat kudus. Pelayanan Anda pada liturgi membutuhkan, selain pengetahuan liturgi yang mendalam, juga pengertian pastoral. Karena itu saya senang melihat bahwa sekali lagi Anda memperbarui komitmen Anda untuk mempelajari liturgi. Seperti dikatakan Santo Paulus VI – liturgi adalah “sumber utama tindakan ilahi di mana kehidupan Allah dikomunikasikan kepada kita, sebagai sekolah pertama jiwa kita” (Alokusio untuk penutupan sesi II Konsili Vatikan II, 4 Desember 1963). Maka liturgi tidak pernah sepenuhnya dikuasai, tidak dipelajari sebagai gagasan, keahlian teknis, keterampilan manusia. Melainkan seni utama Gereja, yang membentuk dan mencirikannya.

Saya ingin mempercayakan kepada Anda beberapa poin refleksi untuk pelayanan Anda ini, yang ditempatkan dalam konteks implementasi reformasi liturgi.

Hari ini kita tidak lagi berbicara tentang "pembawa acara", orang yang mengatur "upacara sakral"; sebaliknya buku-buku liturgi merujuk pada pemimpin perayaan. Dan guru yang mengajar Anda liturgi membimbing Anda untuk menemukan misteri Paskah Kristus; pada saat yang sama ia harus mengatur segalanya agar liturgi bersinar dengan khidmat, sederhana dan tertib (lihat Caeremoniale Episcoporum, 34). Pelayanan memimpin liturgi adalah diakonia: dia bekerja sama dengan uskup dalam pelayanan komunitas. Itu sebabnya mengapa setiap uskup menunjuk seorang guru liturgi yang bertindak dengan bijaksana, giat, tidak menempatkan ritus di atas apa yang diungkapkannya, tetapi membantu komunitas memahami makna dan semangatnya, menekankan dengan tindakannya bahwa pusat liturgi adalah Kristus yang disalibkan dan bangkit.

Khususnya di katedral, penanggung jawab perayaan uskup mengoordinasikan, sebagai rekan sekerja  Uskup, semua orang yang menjalankan pelayanan tindakan liturgi, sehingga mendorong partisipasi dari umat Allah. Konsili Vatikan II mengingatkan: kita harus selalu memperhatikan kebaikan komunitas, reksa pastoral umat beriman (bdk. ibid., 34), untuk memimpin umat kepada Kristus dan Kristus kepada umat. Itu adalah tujuan utama, yang juga harus diutamakan saat Anda mempersiapkan dan memimpin perayaan. Jika kita mengabaikan ini, kita akan menyajikan ritual yang indah, tetapi tanpa kekuatan, tanpa rasa, tanpa makna karena tidak menyentuh hati dan keadaan umat Allah. Dan ini terjadi ketika pemimpin liturgi de facto bukan uskup, imam , tetapi adalah pembawa acara, dan ketika kepemimpinan liturgi ini beralih kepada pembawa acara, semuanya berakhir. Pemimpin liturgi adalah orang yang memimpin, bukan pembawa acara. Sesungguhnya, semakin tersembunyi pembawa acara, semakin baik.  Semakin berkurang penampilan pembawa acaea, semakin baik. Tapi Anda mengoordinasikan segalanya. Kristuslah yang membuat hati bergetar, perjumpaan dengan Dialah yang menarik semangat. "Suatu perayaan liturgi yang tidak menyampaikan Injil,  tidak otentik" (Desiderio desiravi, 37). Itu adalah "balet", balet yang indah, estetis, bagus, tetapi bukan liturgi yang otentik.

Konsili memiliki tujuan antara lain mendampingi umat untuk memulihkan kemampuan menghayati liturgi secara penuh dan terus takjub dengan apa yang terjadi dalam perayaan di depan mata kita (bdk. Desiderio Desirevi, 31). Perhatikan, Konsili tidak bicara tentang sukacita estetis, misalnya, atau citarasa estetis; tidak; melainkan ketakjuban. Takjub itu sesuatu yang berbeda kenikmatan estetis: takjub adalah perjumpaan dengan Tuhan, hanya perjumpaan dengan Tuhan yang memberi Anda ketakjuban. Bagaimana ini bisa dicapai? Jawabannya sudah disampaikan dalam Sacrosanctum Concilium. Artikel 14, pembinaan umat dianjurkan, tetapi - Konstitusi menyatakan - "tiada harapan lain kecuali bahwa lebih dahulu para gembala jiwa sendiri secara mendalam diresapi semangat dan daya Liturgi, serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan Liturgi. Oleh karena itu sangat perlulah bahwa pertama-tama pendidikan Liturgi klerus dimantapkan." Oleh karena itu, guru liturgi itu sendirilah  yang harus pertama-tama tumbuh dalam sekolah liturgi dan berpartisipasi dalam misi pastoral, membina klerus dan umat beriman.

Salah satu aspek pembaruan yang paling kompleks adalah implementasi praktisnya, yaitu bagaimana ketetapan dari para Bapa Konsili diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan di antara mereka yang pertama-tama bertanggung jawab atas pelaksanaan praktis adalah guru liturgi, yang bersama-sama dengan direktur reksa pastoral liturgi mendampingi keuskupan, komunitas, para imam dan para pelayan lainnya untuk melaksanakan praktek perayaan yang ditunjukkan oleh Konsili. Ini dilakukan terutama dengan merayakan liturgi. Bagaimana kita belajar melayani Misa sebagai anak-anak? Melihat teman-teman kita yang lebih senior melakukannya. Pelatihan liturgi itulah yang saya tulis dalam Desiderio Desiravi. Khidmat, sederhana, dan tertib terwujud ketika setiap orang perlahan-lahan selama bertahun-tahun, menghadiri upacara liturgi, merayakannya, menjalaninya, memahami apa yang harus mereka lakukan. Tentu saja, seperti dalam orkestra besar, setiap orang harus mengetahui bagian mereka, tindakn, gerak tubuh, teks yang mereka ucapkan atau nyanyikan; maka liturgi bisa menjadi simfoni pujian, simfoni yang dipelajari dari lex orandi Gereja.

Sekolah praktik liturgi didirikan di katedral. Ini inisiatif yang bagus. Kita merenungkan "mistagogis" apa yang kita rayakan. Gaya perayaan dievaluasi, untuk mempertimbangkan kemajuan dan aspek yang harus diperbaiki. Saya mendorong Anda agar membantu para pemimpin seminari untuk memimpin liturgi dengan sebaik-baiknya, untuk menjaga pewartaan, isyarat, tanda, sehingga para imam masa depan, bersama dengan studi teologi liturgi, belajar merayakan dengan baik: dan inilah gaya dari posisi pemimpin liturgi. Anda belajar dengan setiap hari mengamati seorang imam yang tahu bagaimana memimpin, bagaimana merayakannya, karena dia hidup dalam liturgi dan, ketika dia merayakan, dia berdoa. Saya mendorong Anda untuk membantu mereka yang bertanggung jawab atas para pelayan altar untuk mempersiapkan liturgi paroki dengan mendirikan sekolah-sekolah kecil pembinaan liturgi, yang menggabungkan persaudaraan, katekese, mystagogy, dan praktik perayaan.

Ketika penanggung jawab perayaan menemani uskup ke suatu paroki, ada baiknya menghargai gaya perayaan yang dilaksanakan di sana. Tidak perlu ada "perarakan" yang bagus ketika uskup ada di sana dan kemudian semuanya kembali lagi seperti semula. Tugas Anda bukan untuk mengatur ritus sehari, tetapi untuk mengusulkan liturgi yang dapat ditiru, dengan adaptasi yang dapat dimasukkan oleh komunitas agar tumbuh dalam kehidupan liturgi. Dengan demikian, sedikit demi sedikit gaya perayaan keuskupan tumbuh. Sebenarnya, pergi ke paroki dan tidak mengatakan apa-apa di hadapan liturgi yang agak ceroboh, serampangan, dan tidak dipersiapkan dengan baik berarti tidak membantu komunitas, tidak mendampingi mereka. Sebaliknya, dengan lembut, dalam semangat persaudaraan, ada baiknya membantu para pastor merenungkan liturgi, mempersiapkannya bersama umat beriman. Dalam hal ini pemimpin perayaan harus menggunakan kebijaksanaan pastoral yang baik: jika berada di antara umat, dia akan segera mengerti dan akan mengetahui dengan baik bagaimana mendampingi para konfrater, bagaimana menyarankan kepada komunitas apa yang cocok dan pantas, apa langkah-langkah yang diperlukan untuk menemukan kembali keindahan liturgi dan merayakannya bersama.



Dan akhirnya saya mendorong Anda untuk memulihkan saat keheningan. Di era ini kita bicara, bicara terus… Diamlah. Apalagi menjelang perayaan – momen yang terkadang dianggap sebagai arisan, kita bicara: “Ah, apa kabar? Bagaimana kabarmu, bagaimana keadaanmu? – Keheningan membantu imam dan konselebran untuk berkonsentrasi pada apa yang akan dilakukan. Seringkali sakristi berisik sebelum dan sesudah perayaan, tetapi keheningan membuka dan mempersiapkan misteri: keheninganlah yang mempersiapkan Anda untuk misteri, memungkinkan proses peresapan, memungkinkan Sabda yang didengarkan bergema. Persaudaraan itu indah, saling menyapa itu indah, tetapi perjumpaan dengan Yesuslah yang memberi makna pada pertemuan kita, pada penemuan kita satu sama lain. Kita harus menemukan kembali dan menghargai keheningan!

Saya ingin sangat menekankan hal ini. Dan di sini saya mengatakan sesuatu yang terkait dengan keheningan, tetapi untuk para imam. Tolong, homili jangan jadi bencana; kadang-kadang saya mendengar seseorang berkata: “Ya, saya pergi ikut Misa di paroki itu… yah, dapat pelajaran filsafat yang bagus, 40, 45 menit… Delapan, sepuluh menit saja: jangan lebih! Dan selalu pikirkan kasih sayang dan gambaran. Buatlah orang membawa pulang sesuatu. Dalam Evangelii Gaudium saya  menggarisbawahi hal ini. Saya telah mengatakannya berkali-kali, karena ini adalah sesuatu yang tidak pernah selesai hanya dengan pemahaman kita: homili bukan suatu konferensi, melainkan  sakramental. Luther mengatakan bahwa sakramen adalah sakramental - saya percaya itu pandangan Lutheran -; bahwa yang sakramental itu bukan konferensi. Homili dipersiapkan dalam doa, dipersiapkan dengan semangat kerasulan. Maka tolong, homili jangan dijadikan bencana.

Teman-teman yang terkasih, sebelum salam terakhir, sekali lagi saya ingin mendorong agar apa yang kalian lakukan adalah pelayanan pelaksanaan pembaruan liturgi yang telah dipercayakan oleh para Bapa Konsili kepada kita. Mari kita semua berkomitmen untuk melanjutkan pekerjaan baik yang telah dimulai. Kita bantu komunitas untuk hidup dari liturgi, untuk membiarkan diri mereka dibentuk olehnya, sehingga – seperti yang dikatakan Kitab Suci – “barangsiapa yang haus hendaklah ia datang; dan barangsiapa yang mau, hendaklah dia mengambil air kehidupan dengan cuma-cuma" (Wahyu 22:17). Kita menawarkan kepada setiap orang mata air yang mengalir deras dari liturgi Gereja.

Saya berharap Anda bekerja dengan baik dan saya memberkati Anda dengan tulusdari lubuk hati saya. Dan tolong, saya meminta Anda mendoakan, jangan lupa. Terima kasih!”