Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Teknologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teknologi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Oktober 2022

Pragmatisme yang perlu diedit

 



Di antara beberapa kata yang dengan sangat tepat menggambarkan cara hidup dan sikap kebanyakan dari kita yang memerlukan editan adalah kata pragmatisme. Bagi banyak orang kata itu sungguh merupakan gambaran yang sepadan dari cara hidup Barat, terutama Amerika.

                Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani: Pragma, yang artinya “kesibukan”, namun juga mengandung konotasi efisien (hemat), masuk-akal, dan praktis bisa dilakukan.

                Pragmatisme bisa diuraikan secara singkat sebagai suatu filsafat dan cara hidup yang mengakui kebenaran dari sesuatu gagasan terletak pada kemungkinan praktisnya. Artinya, apa yang benar adalah apa yang dapat dilaksanakan. Batu uji kebenaran bukannya apakah sesuatu gagasan itu cocok dengan fakta realitas, melainkan apakah gagasan itu punya kegunaan konkret, apakah punya konsekuensi praktis, dan apakah dapat atau tidak dapat digunakan untuk mengolah dunia secara menguntungkan. Nilai sesuatu terletak pada apa yang bisa dicapai, pada prestasi. Sesuatu adalah baik jika dapat dijalankan, dan apa yang dapat jalan dan dijalankan dalam ari bisa bekerja dianggap bagus. Gagasan pragmatisme ini terdapat di setiap pikiran yang mendasari masyarakat teknologi, dan disucikan dengan sungguh-sungguh di dalam sistem dan struktur pendidikan, lalu tampak di dalam ketidaksabaran kita kepada apa pun (atau siapa pun) yang tidak tampak praktis, berguna dan efisien. Nilai-nilai diletakkan atas dasar kepraktisan!

                Banyak bagian dari sistem ini memang baik. Tak disangkal bahwa banyak hal dalam dunia modern telah membantu menjadikan hidup ini lebih baik – kedokteran, wahana dan sistem perjalanan, kemajuan teknologi dan komunikasi – sebagian besar adalah hasil dari pragmatisme. Tidaklah adil jika kita ikut menikmati manfaat dari semua ini dan secara semena-mena mengecam filsafat dan cara hidup yang menghasilkannya. Namun, dengan segala pengakuan dan penghargaan itu, perlu juga diketahui bahwa pragmatisme selain menghasilkan hal-hal yang baik juga membawa pengaruh yang merugikan.

 

i)                    Karena nilai diletakkan pada prestasi, kita cenderung menilai orang dari apa yang dilakukan ketimbang siapa sebenarnya dia

Dengan menerapkan prinsip pragmatis, yang baik adalah yang bekerja/berjalan, maka dapat juga dikatakan : siapa pun hanya baik sejauh ia bekerja... dan seberapa kebaikan orang diukur dari pekerjaan yang dilakukan. Sayangnya dalam suatu masyarakat pragmatik, orang merasa sudah nyaman aman dan mapan dengan diri sendiri ketika berprestasi, menghasilkan dan menyumbangkan sesuatu dengan cara yang prgamatik. Ini berarti bahwa seseorang merasa baik dan penting jika  melakukan hal-hal yang dihargai masyarakat sebagai baik dan penting; sebaliknya orang merasa tidak berguna dan tidak penting jika melakukan pekerjaan yang oleh masyarakat dianggap tidak berguna dan tidak penting. Penghargaan dan penghormatan diberikan, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, lebih dari dasar prestasi pragmatis daripada dari dasar keutamaan moral dan kualitas pribadi. Di dalam masyarakat pragmatik, bekerja diperhitungkan, sedangkan berada tidak diperhitungkan.

                Pengaruh dari sikap ini dapat dirasakan di mana-mana: prestasi dari pencapaian tujuan profesional/pekerjaan lebih didahulukan dari pada kehidupan keluarga, keutamaan pribadi dan kesenggangan; mereka yang telah pensiun, yang tidak bekerja, atau berada di rumah dengan anak-anak, merasa tidak bernilai dan tidak berguna; tak ada tempat bagi mereka yang cacat, yang sudah tua, yang sakit; kita mengorbankan apa pun demi untuk mempunyai riwayat hidup profesional yang ideal (karena kita tahu apa yang dianggap bernilai oleh masyarakat, maka nilai diri kita bergantung pada penilaian masyarakat itu); akhirnya kita menjadi bagian dari cara hidup seperti balapan tikus (yang serba mau cepat bergerak, tergesa-gesa), tak punya waktu, tak punya kesenggangan; tekanan darah tinggi, dan cita-rasa kegembiraan (terkait menikmati hidup) yang berkurang, dan tak tahu lagi bagaimana kita terjerumus dalam situasi seperti itu atau bagaimana menjauhkan diri dari tekanan seperti itu; dan akhirnya, jika bekerja adalah segalanya dan berada tidak dihargai, tak ada sesuatu yang perlu disiapkan untuk menyongsong kematian, untuk melepas dan merelakan pergi, karena yang berharga bagi kita adalah kemampuan kita untuk menghasilkan, sehingga kita memeluk kuat-kuat karir dan pekerjaan seolah-olah hanya itu saja hidup ini.

ii)                    Karena pikiran untuk memecahkan persoalan, kita tidak sabar kepada gagasan-gagasan yang tidak praktis

Di dalam dunia pragmatik, tujuan pikiran manusia bersifat instrumental. Gagasan-gagasan dimaksudkan untuk membantu kita menyesuaikan diri agar lebih nyaman pada lingkungan yang bergejolak. Konsekuensinya, kita belajar menjadikan diri lebih sebagai alat, bukan tujuan. Pendidikan lebih diarahkan pada upaya mempelajari ketrampilan hidup ketimbang mempelajari kebijaksanaan hidup. Sistem pendidikan, pemberian dana penelitian, dan semua pendekatan yang kita lakukan dalam pembelajaran, memperlihatkan prioritas itu. Disediakan banyak uang untuk melakukan penelitian bagi pengembangan karet yang lebih baik bagi ban mobil kita daripada untuk meneliti sejarah atau kebudayaan. Laju perkembangan teknologi lebih cepat dari pada kapasitas produksi  untuk menghasilkan hal-hal yang baru, dan serentak dengan itu tak dapat ditemukan cara yang lebih baik untuk hidup bersama di dalam perkawinan, berkomunitas, bernegara dan di dunia sebagai keseluruhan. Prioritas dalam pendidikan yang digariskan oleh suatu budaya yang pragmatik memang terbukti sangat berguna dalam menghasilkan nilai-nilai yang membantu menciptakan kehidupan yang baik, tetapi terbukti kurang berguna di dalam menghasilkan nilai-nilai yang dapat kita bagikan secara merata dan secara bersahabat satu sama lain, dan di dalam memberikan alasan kepada anak-anak untuk menghargai kehidupan.

 

iii)                 Karena tujuan pemikiran adalah pragmatik, hanya metode yang ilmiah saja yang dihargai.

Jika tujuan pikiran adalah agar dapat secara pragmatik mengolah segala sesuatu demi kemaslahatan bagi manusia, maka metode ilmiah menempati tempat sentral di panggung kita, dan akhirnya, menguasai seluruh panggung gagasan itu. Di dalam masyarakat yang sedemikian pragmatik, hanya ilmulah yang mendapat hak untuk menentukan fakta. Temuan-temuan ilmu dianggap obyektif. Sedang yang diajukan oleh disiplin pengetahuan yang lain, dengan menggunakan metode yang berbeda untuk mencapai pengetahuan: metafisika, filsafat, mistisisme, puisi atau teologi – dianggap murni subyektif, persoalan iman pribadi dan pilihan buta. Pada hal, tak seorang ilmuwan profesional maupun seorang awam pun pernah melihat atom. Namun mereka tak meragukan keberadaannya. Ilmu tidak hanya meyakinkan kita bahwa atom itu ada, namun ilmu juga secara positif menggunakan atom untuk menciptakan energi nuklir. Siapa yang dapat meragukan keberadaannya? Begitu pula, tak seorang mistikus profesional atau pun orang biasa, pernah melihat Tuhan di dunia ini. Mengapa keberadaan Tuhan diragukan, kendati faktanya para mistikus meyakinan kita akan realitas keberadaan Tuhan itu, dan kita melihat dalam kehidupan banyak orang yang percaya (entah kepada Kristus, Buddha dan Muhammad) adanya bukti yang sangat konkret, bahwa mereka mengalami sesuatu yang nyata di dalam apa yang mereka nyatakan sebagai pengalaman akan Tuhan. Seperti para ilmuwan, mereka itu juga memecahkan atom yang melepaskan energi. Namun, di dalam suatu masyarakat yang bersifat teknologis, kita hanya mengenal dan memahami satu macam energi saja, yaitu pragmatik. Penyusutan kenyataan kepada hanya satu segi ini seperti yang akan kita lihat nanti, merupakan suatu pemiskinan yang melumpuhkan.

                Banyak dari pemiskinan semacam itu berkaitan dengan berkurangnya kemampuan daya kemampuan rohani kita. Bagaimana pragmatisme merugikan kesadaran hidup rohani?



                Suatu ketika Thomas Merton* ditanyai oleh seorang wartawan, apa yang menurut dia menjadi penyakit rohani yang utama di zaman kita. Di antara banyak hal yang dapat dikatakannya (kurangnya doa, kurangnya cita-rasa berkomunitas, kurangnya perhatian untuk keadilan dan kemiskinan) Merton menyampaikan jawaban dengan satu kata saja, efisiensi. Mengapa? Ia melanjutkan, “sebab dari biara sampai ke Pentagon (markas besar militer Amerika Serikat) semuanya harus terus bekerja... dan hanya tersisa sedikit waktu atau energi saja untuk melakukan hal-hal yang lain.” Yang hendak ditunjukkan Merton ialah bahwa sehubungan dengan Tuhan dan agama, masalah-masalah kita tidak diperlakukan setara soal pekerjaan. Pendek kata, kita kurang mengembangkan hidup rohani, karena tuntutan hidup menyerap seluruh waktu dan energi kita.

                Suatu ketika majalah Time menurunkan laporan utama yang diberi tajuk “Rat Race, How America is Running Itself Ragged” (“Cara hidup serba sibuk seperti balapan tikus, Bagaimana Amerika Memiskinkan Diri”)[i]. Laporan itu menunjukkan bagaimana waktu menjadi komoditi yang paling berharga di dunia sekarang ini, bagaimana para orangtua harus membuat janji pertemuan lebih dahulu untuk meluangkan waktu dengan anak-anak mereka sendiri, bagaimana teknologi memacu irama jantung generasi sekarang, bagaimana bagi banyak orang tuntutan untuk tetap berada di  puncak karir mereka menyerap seluruh waktu dan energi mereka, dan bagaimana orang yang menelepon kantor-kantor mengeluh karena semua mesin fax mereka begitu sibuk terus menerus! Laporan itu menyatakan bahwa wujud gejala yang paling jelas dari segala tekanan dan ketergesaan akibat tuntutan-tuntutan di tempat kerja (kelelahan yang luar biasa, ketergantungan pada alkohol dan pada narkotika) belumlah merupakan akibat yang paling parah. Namun semua tekanan ini menurut laporan itu menyebabkan orang makin gelisah, makin tidak sabar, dan makin tidak mampu berkonsentrasi agak lama. Karena kita sedemikian sibuknya maka yang terjadi adalah kita tak punya waktu senggang untuk dinikmati, tetapi kita menggunakannya untuk melakukan sesuatu yang tidak menuntut pemikiran dan sekedar mengalihkan perhatian saja. Tidak ada lagi energi yang tersisa untuk soal lain.

                Akibat dari semua ini atas kontemplasi sudah jelas. Tak ada lagi waktu dan energi (dan pada titik tertentu bahkan tak ada lagi kemampuan) untuk berdoa atau mengembangkan hidup rohani. Ungkapan “terperangkap dalam cara hidup seperti balap tikus yang serba sibuk” menyatakan hal itu. Kata majalah Time, “hanya ada sedikit waktu untuk tidur, dan makin sedikit lagi waktu untuk bermimpi”.

                Di luar akibat yang jelas pada menurunnya hidup rohani itu bisa dilihat juga suatu cara yang pelik di mana pragmatisme menghalangi dan berlawanan dengan kontemplasi. Jika nilai diri seseorang bergantung kepada prestasi kerja, maka hanya sedikit saja orang yang akan meluangkan waktu untuk berdoa dan melakukan kontemplasi, karena doa dan kontemplasi dianggap tidak menghasilkan manfaat nyata, dari sudut pandang pragmatik tidak berguna, suatu pemborosan waktu, suatu waktu yang tidak menghasilkan apa-apa. Salah satu alasan utama mengapa kita tidak menjadi lebih kontemplatif, mengapa kita tidak lebih banyak berdoa, dan mengapa tidak punya waktu lagi untuk mencium semerbak harum bunga, ialah bahwa semua kegiatan ini tidak menghasilkan sesuatu yang nyata, tidak mencapai sesuatu, atau praktisnya tidak menambahkan sesuatu pada hidup. Kita merasa nyaman jika kita melakukan sesuatu yang berguna. Kegiatan kontemplatif berdasarkan pengertiannya adalah tidak berguna menurut sudut pandang pragmatik.

                Waktu kita hanya sedikit untuk apa yang dianggap tidak berguna dan karena itu dari sudut kontemplasi kita menjadi makin miskin. Kita begitu terperangkap di dalam efisiensi yang dituntut oleh suatu budaya pragmatik, sehingga kita seperti mereka yang menolak undangan raja untuk menghadiri pesta perjamuan nikah dalam perumpamaan dari Yesus[ii]. Mereka tidak ikut dalam perjamuan bukan dengan menolak undangan itu karena mereka tidak saleh, tidak religius atau secara moral kekurangan. Mereka sebenarnya tidak sungguh-sungguh eksplisit menolak undangan itu. Mereka hanya tidak datang, karena mereka begitu sibuk membeli lembu, menikah, dan mengukur tanah. Di dalam pragmatisme, matinya kontemplasi dan hidup rohani bukan karena keburukan-keburukan, melainkan karena orang terlalu sibuk.


Diolah dari bahan Ron Rolheiser OMI: The Shattered Lantern,.2004.

* Thomas Merton lahir pada tahun 1915, menjadi katolik pada 1938. Pada tahun 1941 menjadi biarawan trappist dan ditahbiskan menjadi imam pada 1949. Ia menulis lebih dari 60 buku keagamaan yang bersifat mistik dan sangat berpengaruh dewasa ini. Ia cinta perdamaian dan menentang perang mempengaruhi banyak aktivis katolik. Ia meninggal pada  1968.

 



[i] Marguerite Michaels dan James Willwerth, “How America Has Run Out of Time,” dalam Time Magazine, 24 April 1989, hal 48-55.

 

[ii] Luk 14:16-24 dan Mat 22:1-14.