Setiap hasil
komposisi – termasuk nyanyian, doa, kata-kata bijak, amsal, dan kidung – yang
sering menggunakan bentuk ungkapan dan pelukisan yang kuat dalam menyatakan
perasaan tentang hidup dan ibadat. Puisi alkitabiah memainkan peranan besar
dalam sastra dan ibadat Ibrani, dan bentuk-bentuk puisi digunakan baik untuk
sastra kebijaksanaan maupun nubuat-nubuat nabi.
Perbedaan tajam di antara bentuk prosa dan
bentuk puisi yang sudah sangat dikenal pembaca dan pelajar sastra modern tidak
begitu menonjol dalam sastra Ibrani. Bangsa Israel kuno tidak menganggap kedua
bentuk sastrawi itu berbeda benar, dan para penutur dengan terampil
beralih-alih menggunakan kedua bentuk itu sebagai bagian dari suatu wacana atau
pidato resmi. Ajaran puitis sering disebut “petatah” atau “petitih”. Ini sering
diketemukan dalam pelbagai kesempatan dan situasi, seperti perkawinan (Kej
24:60), melncarkan perang (Kel 17:16), perayaan kemenangan (Kel 15:20; 1 Sam
18:7; dan terutama Hak 5, lagu Debora yang sangat terkenal). Para ahli sastra tidak
selalu bersepakat mengenai mana yang harusnya digolongkan sebagai prosa, dan
mana yang seharusnya puisi.
I. PUISI
SEKULAR
Sebagian besar
syair dan karya puisi dalam Kitab Suci bersifat keagamaan. Namun, Kitab Suci
mengutip atau merujuk puisi sekular yang disusun sebagai nyanyian ketika
membuat anggur (Yes 16:10); melakukan panen (Hak 9:27); mengiringi minum-minum
(Yes 5:11-12; 22:13), dan menggali sumur (Bil 21:17-18). Selain itu, Perjanjian
Lama menyimpan sejumlah syair kesedihan (elegi) dan ratapan, semisal nyanyian
duka Daud bagi Saul dan Yonatan (2 Sam 1:19-27)
dan Abner (2 Sam 3:33-34)
II.
KARAKTERISTIK PUISI IBRANI
Suatu
karakteristik puisi Ibani adalah keseimbangan atau simetri, pengulangan dibaris
kedua gagasan atau gambaran yang sama dengan yang digunakan dalam baris
pertama. Para ahli menyebut keseimbangan itu “paralelisme”. Bagian yang kedua
(atau kolon) dapat merupakan pengulangan [gagasan] baris pertama dengan
kata-kata yang berbeda, atau mengembangkan gagasan itu dengan beberapa
tambahan. Misalnya:
Berbahagialah
orang yang takut akan Tuhan,
yang sangat suka kepada segala
perintah-Nya (Mzm 112:1)
Mereka yang
memelajari puisi Ibrani membedakan setidaknya tiga macam paralelisme.
1. Paralelisme sinonim (juga
disebut paralelisme sintetik), mengulangi kalimat pertama dengan kata-kata yang
sedikit lain di baris kedua:
Masakan Allah membengkokkan keadilan?
Masakan Yang Mahakuasa
membengkokkan kebenaran? (Ayb 8:3)
Lepaskanlah
aku dari pada musuhku, ya Allahku;
bentengilah aku terhadap orang-orang
yang bangkit melawan aku.
(Mzm 59:1)
2. Paralelisme antitetik yang
mengungkapkan maksudnya dengan membuat suatu kontras di antara dua baris.
Bentuk paralelisme antitetik ini terutama banyak diketemukan dalam Amsal:
Orang fasik lari
walaupun tidak ada yang mengejarnya,
tetapi orang benar merasa aman seperti singa muda (Ams 28:1)
3. Paralelisme klimatik merupakan suatu
kategori untuk stansa puitis, yang tidak bersifat sinonim, tidak pula
anti-tetik. Pada umumnya, baris kedua dan seterusnya melengkapi atau
mengembangkan gagasan baris pertama:
aku tidak takut bahaya,
sebab
Engkau besertaku;
gada-Mu dan tongkat-Mu,
itulah
yang menghibur aku (Mzm 23:4)
Hai anakku, peliharalah perintah ayahmu,
dan
janganlah menyia-nyiakan ajaran ibumu.
Tambatkanlah senantiasa semuanya itu pada
hatimu,
kalungkanlah
pada lehermu (Ams 6:20-21)
III. PERANGKAT
DAN BENTUK SASTRA
Seperti semua
puisi, puisi Ibrani penuh dengan persamaan, tamsil atau ibarat, aliterasi (kesamaan
bunyi sajak suku kata terakhir) dan asonansi (perulangan bunyi vokal
dalam baris). Puisi alfabetis atau akrostik lazim terdapat dalam Mazmur, di
mana huruf-huruf yang berurutan [alif, bet, gimel dst] mengawali
baris-baris, atau bait, atau strofa [bentuk ini umumnya tidak nampak
lagi setelah Mazmur bahasa Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa lain]. Misalnya
Mzm 119 adalah untaian stansa yang masing-masing baitnya terdiri dari delapan baris:
suatu huruf alfabet mengawali setiap stanza, dan setiap barus dimulai dengan
huruf itu. Metrum (jumlah suku kata) tampaknya tidak diindahkan, karena penyair
Ibrani lebih menyukai irama yang bervariasi dan gaya yang lebih bebas.
Sastra kebijaksanaan pada umumnya ditulis
dalam bentuk puisi, seperti dalam Kitab Amsal, Ayub, Pengkhotbah dan Sirakh.
Fungsinya adalah menyampaikan kepada pembaca hasil permenungan yang sudah lama
atas hidup dan pengalaman hidup. Puisi kebijaksanaan sering lebih bersifat reflektif
(permenungan) ketimbang pernyataan polemik atau konfrontatif.
IV. PUISI
PERJANJIAN BARU
Hanya sedikit
puisi yang terdapat dalam Perjanjian Baru, tetapi bisa ditemukan beberapa
contoh tersendiri. Ada empat kidung utama yang digunakan dalam liturgi G|ereja
awal, yaitu Magnificat atau Kidung Maria (Luk 1:46-55), Benedictus
atau Kidung Zakharia (Luk 1:68-79); Gloria atau Kidung Kemuliaan (Luk
2:14); dan Nunc Dimittis atau Kidung Simeon (Luk 2:29-32). Komposisi
atau tata susunan puitis juga ditemukan antara lain dalam Rm 11:33; 1 Kor
15:54-55; Ef 5:14; dan Fil 2:6-11. Kidung juga terdapat dalam Kol 1:15; 1 Tim
3:16, dan tersebar dalam seluruh kitab Wahyu (Why 4:8.11; 5:9-10; 11:17-18;
dst).
Para penulis Perjanjian Baru sangat akrab dengan tulisan-tulisan
Perjanjian Lama dan menggunakan sejumlah
besar kutipan dari puisi Perjanjian
Lama. Ada pula
yang akrab dengan puisi Yunani, seperti ditunjukkan dalam kutipan dari Aratus
dari Kilikia (Kis 17:28); Menander (1 Kor 15:33) dan Epimenides (Tit 1:12).