Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Ilham Ilahi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilham Ilahi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 November 2022

ILHAM ILAHI

 ILHAM ILAHI Suatu istilah teologi untuk menunjukkan bahwa Allah sendirilah yang menjadi pengarang Kitab Suci. Artinya, Roh Kudus bekerja dan melalui para pengarang manusia menggerakkan mereka untuk menuliskan apa yang dikehendaki Tuhan untuk dikomunikasikan dalam bentuk tertulis. Hasilnya adalah Kitab Suci, yang isi maupun cara penyampaiannya adalah sungguh-sungguh Sabda Tuhan.

 

I. Pandangan Kitab Suci tentang Ilham Ilahi

A. Perjanjian Lama

B. Perjanjian Baru

II. Ajaran tentang Ilham Ilahi

A. Allah Sebagai Pengarang

B. Manusia Sebagai Pengarang

C. Ruang Lingkup dan Cakupannya

III. Akibat dari Ilham Ilahi

A. Tidak Keliru menurut Sejarah

B. Tidak Keliru menurut Ajaran Paus

C. Tidak Keliru menurut Konsili Vatikan II

D. Tidak Keliru dalam Praktiknya

 

I. Pandangan Kitab Suci tentang Ilham Ilahi

A. Perjanjian Lama

Perjanjian Lama tidak mempunyai ajaran eksplisit mengenai ilham atas Kitab Suci. Tidak ada satu kata Ibrani pun yang digunaan untuk melukiskannya, dan tidak ada keraguan apapun atas peran Allah di dalam penulisan teks Kitab Suci. Namun, Perjanjian Lama meletakkan dasar atas ajaran tentang ilham ilahi yang muncul kemudian di dalam agama Yahudi dan dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru. Misalnya, sebagian dari Hukum Musa dihormati dan dipandang suci dan berwibawa karena mereka mengungkapkan kehendak Allah atas Israel. Demikian pula jelas bahwa Tuhan sering menggunakan para nabi sebagai sarana manusiawi untuk menyampaikan Sabda Allah dengan wewenang yang mengikat (mis Ul:18:18-19-19; 2 Sam 23:2; Yer 1:9; Yeh 3:4; Hos 1:1). Ketika ini menyangkut pandangan suatu masa depan atau suatu penyingkapan kebenaran yang belum diketahui sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Tuhan menerangi pikiran sang nabi dengan cara yang luar biasa. Dengan kata lain, ilham nubuat tidak persis sama dengan ilham Kitab Suci, tetapi keduanya berkaitan. Ilham nubuat merupakan rahmat untuk menyampaikan secara lisan Sabda Tuhan, sedang ilhami Kitab Suci adalah rahmat untuk menuliskan Sabda Tuhan.. Hanya saja jarang sekali kepada kita dinyatakan bahwa Tuhan menyuruh nabi-nabiNya menuangkan pesan-pesan ke dalam tulisan (misalnya Yes 30:8; Yer 36:1-2; Hab 2:2); dan baru pada abad pertama M kita dapatkan para penulis Yahudi bicara tentang “ilham” ilahi (bahasa Yunani, epipnoia) dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama (mis Yosephus, C.Ap. 1.7).

 


B. Perjanjian Baru

Perjanjian Baru membuat rujukan pada asal-usul ilahi dari Kitab Suci dan kepada karya Roh Kudus atas para pengarang manusia. Ada dua perikop yang sangat jelas dalam hal ini. Yang pertama adalah 2 Tim 3:16-17, yang menyatakan: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik”. Ungkapan pokok di dalam perikop ini adalah ajektiva Yunani theopneustos , yang diterjemahkan sebahai “yang diilhamkan oleh Allah” namun mempunyai makna yang lebih tepat “yang dibisikkan oleh Allah” (diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di dalam Vulgata menjadi divinitus inspirata). Karena berasal dari mulut Allah maka kitab-kitab dalam Kitab Suci secara unik cocok untuk pembinaan moral dan spiritual bagi umat Allah. Maka Paulus menyatakan bahwa kitab-kitab itu adalah “tulisan-tulisan yang kudus” yang ditujukan untuk mengajar/mendidik pembaca “bagi keselamatan” (2 Tim 3:15). Folus di dini adalah atas asal-usul ilahi dari Kitab Suci tanpa melihat sumbangan manusiawi di dalamnya. Perikop yang kedua lebih membahas secara langsung  proses ilham sebagai pekerjaan Allah yang memengaruhi para penulis suci. Pernyataan ini ditemukan pada 2 Ptr 1:20-21 yang berbunyi : “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” Di sini kata yang berfungsi adalah kata kerja Yunani phero, yang berarti “menggerakkan” atau “mendorong terus” . Dapat dilukiskan seperti di dalam Kisah Para Rasul bagaimana tiupan angin (Roh Kudus) menggerakkan (Kis 2:2) dan bagaimana tiupan angin itu memberi dorongan untuk berlayar ke laut (Kis 27:15). Maka ucapan nubuat, entah spontan dalam ucapan lisan entah tertulis sebagai bagian dari Kitab Suci, adalah kata-kata ilahi yang berasal dari Allah dan disampaikan ungkapannya oleh Roh Kudus yang menggerakkan manusia penerimanya untuk disampaikan kepada orang lain.

      Di antara ayat-ayat lain di dalam Perjanjian Baru yang relevan dengan ilham ilahi,  kepada kita dinyatakan bahwa Tuhan berbicara melalui nabi-nabi Kitab Suci (Mat 1:22; Luk 1:70) dan bahwa Daud berbicara dalam atau menurut Roh Kudus ketika menyusun Mazmur (Mrk 12:36; Kis 1:16). Para pengarang Perjanjian Baru memandang tulisan-tulisan Perjanjian Lama sebagai “ketetapan Allah” (Rm 3:2), yang menjelaskan mengapa kadang-kadang apa yang dikatakan Tuhan disamakan dengan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci (Mat 19:4-5; Kis 4:24-26; Ibr 3:7). Sabda yang diucapkan Allah merupakan norma yang menjadi dasar hidup kita (Mat 4:4). Maka sabda yang berasal dari Allah selalu benar (Yoh 17:17), karena Allah tidak pernah berdusta (Tit 1:2) dan Kitab SuciNya tak pernah dibatalkan (Yoh 10:35).

      Walaupun kebanyakan dari perikop-perikop ini merupakan pernyataan tentang kitab-kitab Perjanjian Lama, asal-usul ilahi dari Perjanjian Baru juga diterima di kalangan Kristen purba. Di dalam 1 Tim 5:18 misalnya, suatu kutipan dari Ul 25:4 digabungkan dengan kutipan dari Luk 10:7 , dan kedua-duanya dikutip untuk menyatakan kepada kita apa “yang dikatakan Kitab Suci”. Demikian pula dalam 2 Ptr 3:16, “surat-surat” rasul Paulus ditempatkan sejajar dengan tulisan-tulisan Perjanjian Lama, yang disebut “tulisan-tulisan yang lain”.  Dengan suatu cara yang khas, kitab Wahyu menyatakan menyampaikan kepada kita rahasia-rahasia surga dan nubuat-nubuat yang dituliskan Yohanes dalam kitab itu (Why 1:1-3; 22:7.10.18-19).

II. Ajaran tentang Ilham

Untuk sebagian besar, ajaran Gereja Katolik tentang ilham ilahi telah dirumuskan dalam seratus tahun antara Konsili Vatikan I (1870) dan Konsili Vatikan II (1965). Benar bahwa para bapa gereja sungguh sangat menghargai Kitab Suci sebagai wahyu yang diilhami ilahi, namun pada waktu itu ilham ilahi belum merupakan bahan analisis teologi secara luas. Hal yang sama juga berlaku bagi pandangan yang menjunjung tinggi Kitab Suci pada Abad Tengah, dan walaupun ada suatu usaha di kalangan para ahli abad pertengahan untuk menjelaskan asal-usul ilahi dari Kitab Suci dengan bantuan prinsip-prinsip filsafat, suatu kajian yang menyeluruh tentang ilham ilahi belum dilakukan. Barulah pada tahun-tahun 1800-an, dengan timbulnya kritik historis modern dan merebaknya iklim skeptis di kalangan para intelektual, ajaran tentang ilham ilahi ini menjadi bahan kajian serius. Sejak itu zaman modern menyaksikan mengalirnya pernyataan-pernyataan Gereja yang menjelaskan keyakinan Gereja akan ilham ilahi dan mengecam kesalahan-kesalahan yang tidak selaras dengan itu.

A. Allah Sebagai Pengarang

Berhadapan kurang menyusutnya sikap hormat kepada Kitab Suci di kalangan para akademisi dan sehubungan dengan teori-teori baru tentang ilham ilahi yang jauh berbeda dari pemahaman tradisi, Konsili Vatikan I menetapkan pengertian tentang ilham ilahi yang akan berfungsi sebagai tonggak penopang sikap asli Katolik yang berkelanjutan. Para Bapa Konsili menggemakan kembali rumusan serupa yang dibuat oleh Konsili Trente, yang menyatakan ilham ilahi sebagai berikut:

Kitab-kitab [dalam Kitab Suci] ini yang oleh Gereja diyakini suci dan kanonik, bukan karena sesudah disusun semata-mata oleh ketekunan manusia semata, yang kemudian disetujui oleh wewenang Gereja sendiri, juga bukan semata karena mereka berisi wahyu ilahi tanpa kekeliruan, melainkan karena mereka setelah dituliskan atas ilham dari Roh Kudus, kitab-kitab itu mempunyai Tuhan sebagai pengarangnya dan dipercayakan sedemikian kepada Gereja (Dei Filius 2).

 

Ilham ilahi dengan demikian berarti bahwa Tuhan adalah pengarang ilahi dari kitab-kitab dalam Kitab Suci, dan inilah sebabny Gereja menghormati kitab-kitab itu sebagai suci dan kanonik. Tetapi perlu diperhatikan bahwa defisini itu ditentukan untuk melawan pengertian yang tidak benar tentang ilham ilahi. Pandangan-pandangan yang dimaksudkan adalah pandangan para teolog abad kesembilan belas D. Haneburg dan J Jahn. Haneburg menyatakan suatu teori mengenai persetujuan berikutnya, di mana Kitab Suci mula-lula ditulis oleh pengarang manusia, dengan cara yang sepenuhnya manusiawi, tetapi kemudian mendapat persetujuan dari Gereja. Teori yang ditolak Gereja ini, mengartikan ilham ilahi bukan merupakan hal yang intrinsik di dalam teks Kitab Suci, melainkan sesuatu yang diberikan oleh Gereja. Jahn menyatakan suatu teori tentang bantuan negatif, artinya Tuhan mencegah para pengarang Kitab Suci menyatakan sesuatu apapun dalam tulisan mereka yang tidak benar. Teori ini juga ditolak oleh Konsili bukan karena Kitab Suci mengandung hal-hal yang salah-informasi, tetapi karena kepercayaan Gereja bahwa Kitab Suci adalah Sabda Tuhan  tidak diperhitungkan. Tulisan manusia yang tidak mengandung kesalahan informasi tetap saja merupakan tulisan manusia, dan orang tidak bisa mengatakan bahwa Tuhan bersabda dan mengungkapkan kehendakNya dalam Kitab Suci demi alasan itu saja.

      Pengertian ilham ilahi yang menunjukkan posisi Allah sebagai pengarang Kitab Suci ditegaskan oleh Gereja beberapa kali sejak Konsili Vatikan I. Misalnya, pada tahun 1893, melalui Ensiklik Providentissimus Deus art 41 dari Paus Leo XIII, pada tahun 1920 dalam Ensiklik Spiritus Paraclitus art 3, dari Paus Benediktus XV, pada tahun 1943 dalam Ensiklik Divino Afflante Spiritu art 1 dari Paus Pius XII, dan lagi pada tahun 1965, dalam Konstitusi Konsili Vatikan II, Dei Verbum art 11.

B. Manusia Sebagai Pengarang

Persoalan ilhami ilahi tidak berhenti dengan adanya pernyataan bahwa Allah adalah pengarang Kitan Suci. Adalah fakta bahwa Kitab Suci sungguh ditulis dengan pena oleh pengarang manusia di bawah pengaruh Roh Kudus. Maka ilham ilahi lebih penuh digambarkan sebagai suatu misteri kepengarangan ganda – bahwa Tuhan dan manusia bersama-sama [secara tandem] menyusun teks Kitab Suci.

      Salam sejarah selalu ditekankan bahwa Allah berperan sebagai pengarang ilahi Kitab Suci. Namun telaah-telaan modern semakin memberikan perhatian kepada sumbangan manusia. Ini benar bukan hanya dari pernyataan ahli-ahli teologi dan Kitab Suci, tetapi juga dari pernyataan Gereja tentang hakekat ilham ilahi, yang menyatakan bahwa pengarang manusia menulis sebagai sarana yang dibimbing oleh Roh Kudus. Kini semuanya sepakat bahwa rahmat yang memberi ilham dari Roh Kudus tidak menindas kebebasan dan kesadarab pribadi para penulis suci, mereka juga bukan sekedar  pasif, bertindak sebagai juru steno yang mencatat apa yang didiktekan. Sebaliknya, para pengarang manusia adalah benar-benar mengarang Kitab Suci dan secara aktif terlibat di semua tahap penyusunan karyanya. Aspek ilhami ilahi ini dengan tepat dikatakan oleh Konsili Vatikan II:

Dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka, - semua dan hanya yang dikehendaki-Nya saja yang dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh. (Dei Verbum, art 11).

 


Kebenaran dari pengamatan ini ditampilkan pada gaya yang khas dan temperamen dari para pengarang Kitab Suci. Misalnya, tak ada yang meragukan jejak kepribadian Paulus yang tertuang dalam surat-suratnya, dan bahwa gaya pribadi itu jelas berbeda dari pengarang lain seperti Matius atau Yohanes atau Petrus atau Yudas.

      Akhirnya, tradisi Katolik sering bicara tentang Tuhan sebagai pengarang utama Kitab Suci dan penulis manusia sebagai pengarang yang merupakan alat pelaksana dalam penulisan Kitab Suci. Pembedaan ini akar-akarnya berada di dalam teologi patristik namun mendapatkan ungkapannya dalam masa tengah oleh Santo Tomas Aquinas. Gereja menganggap hal itu merupakan cara yang tepat (walaupun belum tuntas) dalam mengungkapkan misteri kepengarangan ganda Kitab Suci (lihat Divino Afllante Spiritu, art 19).

C. Ruang Lingkup dan Cakupannya

Berdasarkan adanya pengarang ilahi dan manusia dari Kitab Suci itu lalu ada pemikiran untuk menduga luasnya jangkauan ilham ilahi. Pertanyaannya adalah apakah keseluruhan Kitab Suci itu diilhami ilahi ataukah ilham ilahi hanya terdapat dalam bagian-bagian tertentu saja. Konsili Vatikan I kemudian menggemakan kembali kata-kata yang digunakan dalam Konsili Trente, yang menyatakan bahwa ilham ilahi meliputi “kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru, semuanya dan seluruhnya, dengan semua bagian-bagiannya” (Dei Filius 2). Dengan kata lain, Kitab Suci sepenuhnya diilhami ilahi sejak permulaan sampai akhir, dan semua di antaranya. Ini meliputi semua kitab-kitab Deuterokanonika yang diterima Gereja sebagai Kitab Suci (misalnya tambahan Ester dan Daniel).

      Kendati ketetapan konsili itu, dan sebagian besar karena tekanan untuk membereskan kesulitan-kesulitan dalam Kitab Suci, para teolog yang menulis sesudah Konsili Vatikan I masih mengajukan lingkup ilham ilahi yang sempit. Teori-teori ini diajukan oleh A Rohling (1872), yang membatasi ilham ilahi hanya pada pernyataan-pernyataan mengenai iman dan moral; dari F Lenormant (1880) yang membatasi pada pemaparan ajaran yang tidak dikenal akal budi; dan dari Kardinal J.H. Newman (1884) yang menyatakan bahwa ilham ilahi tidak meliputi komentar-komentar sambil lalu (obiter dicta) yang tidak mempunyai muatan ajaran atau moral.

      Namun Gereja menolak semua usaha-usaha yang membatasi ilham ilahi pada bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci saja. Paus Leo XIII pada tahun 1893 membuat penjelasan:

Namun sungguh keliru dan terlarang baik untuk menyempitkan ilham ilahi pada bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci saja atau mengakui bahwa para penulis suci sudah melakukan kesalahan. Demi cara kerja dari mereka yang, di dalam rangka melepaskan diri dari kesulitan, tidak ragu menyatakan bahwa ilham ilahi hanya menyangkut soal iman dan ajaran dan tidak menyangkut yang lain, maka (karena mereka berpikir keliru) dalam mempersoalkan kebenaran atau kekeliruan suatu ayat, kita tidak begitu mengindahkan apa yang dikatakan Tuhan melainkan apa maksud dan tujuan yang dipikirkanNya dalam menyatakannya – maka cara kerja itu tidak bisa diterima (Provindentissimus Deus art 40).

 

Alih-alih menerima pengertian ilham ilahi sebagian, Paus justru menegaskan kembali ilham ilahi yang menyeluruh. Ini adalah keyakinan bahwa seluruh isi Kitab Suci diilhami ilahi – semuanya maupun setiap bagiannya, tidak peduli apakah apapun yang dibahas atau dikatakan. Beberapa paus berikutnya menegaskan kembali hal ini, seperti Benediktus XV pada tahun 1920 dalam Spiritus Paraclitus art 5, dan Pius XII pada tahun 1943 dalam Divino Afflante Spiritu art 1).

      Akhirnya ada persoalan apakah ilham ilahi yang menyeluruh itu juga meliputi ilham atas kata- kata sepenuhnya.  Dengan kata lain, apakah Roh Kudus membimbing para pengarang Kitab Suci di dalam memilih tiap-tiap kata untuk Kitab Suci? Suatu jawaban yang negatif datang kembali dari teolog abad kesembilan belas, kardinal J.B. Franzelin. Ia mengajukan suatu teori yang kadang-kadang disebut “ilham atas isi”, yang menguraikan bahwa Roh Kudus membekali penulis suci dengan gagasan pokok yang harus disampaikan dalam Kitab Suci tetapi menyerahkan kepada si penulis pertimbangan-pertimbangan untuk mengungkapkan gagasan itu dengan kata-kata yang tepat. Menurut pandangan ini, Kitab Suci menyampaikan suatu pesan atas ilham ilahi dalam bahasa yang tidak terilhami. Kardinal menyatakan bahwa Roh Kudus mencegah pengarang manusia dengan cara negatif dalam penggunaan kata-kata yang tidak sesuai, namun pilihan positif atas kata-kata pada dasarnya masih merupakan pilihan manusia.

      Teori Franzelin mengenai ilham non-verbal itu dengan cepat dihadang oleh banyak kritik pada permulaan abad kedua puluh, sehingga hanya mempunyai sedikit pengikut saja. Dan walaupun Gereja tidak pernah secara resmi menolak atau membahas pandangan itu secara eksplisit, pada umumnya pandangan itu disikapi sebagai teori tentang ilham ilahi yang mempunyai kekurangan mendasar, yaitu yang secara simplistis dan artifisial memisahkan kata dan gagasan.

      Dari kedudukan ajaran Gereja, tidak pernah ada pernyataan yang tegas bahwa Allah mengilhami setiap kata dalam Kitab Suci. Namun ada beberapa petunjuk bahwa keseluruhan ilham atas kata-kata merupakan pandangan Katolik yang autentik.  Perhatikan berikut ini: (1) Baik Yesus maupun santo Paulus memberi pernyataan tentang rencana keselamatan Allah yang bergantung pada pentingnya dan makna dari tiap-tiap kata yang digunakan dalam Kitab Suci (lih misalnya Yoh 10:34-35, dan Gal 3:16). (2) Konsili Trente, Konsili Vatikan I dan Paus Leo XIII semuanya telah menggambarkan ilham ilahi dalam Kitab Suci dalam kerangka “pendiktean”. Sebab jika tidak demikian akan jelas bahwa pengarang manusia akan sepenuhnya dan sebebas-bebasnya terlibat di dalam proses penulisan Kitab Suci, dan setiap petunjuk akan memerlihatkan bahwa pengaruh ilham ilahi tidak begitu kentara dalam kesadaran manusiawinya, sehingga tampak pasti bahwa suatu dikte mekanis atau stenografis tidak terbayangkan. Sebaliknya, perkataan “pendiktean” itu menunjukkan bahwa Tuhan memainkan suatu peran yang menentukan di dalam pemilihan kata dan frasa yang akan digunakan dalam menyampaikan pesanNya. (3) Tradisi Katolik sering menyatakan Kitab Suci sebagai “Sabda Tuhan”yang diilhami. Namun di dalam beberapa pernyataan Gereja, Kitab Suci dikatakan mengungkapkan Sabda yang sesungguhnya dari Tuhan. Misalnya, Paus Leo XIII menyatakan bahwa janji-janji Kitab Suci dikatakan ipsius Dei nomine et Verbis, ”dalam nama Tuhan dan dalam kata-kataNya sendiri” (Providentissimus Deus art 6). Begitu pula Paus Pius XII menyatakan bahwa Kitab Suci menyampaikan pada kita Dei verba humanis linguis expressa, “Sabda Tuhan yang diungkapkan dengan bahasa manusia” (Divino Afflante Spiritu, art 20). Pernyataan yang terakhir ini digunakan kembali di dalam dokumen Konsili vatikan II mengenai Wahyu Ilahi (lihat DV art 13). Menurut pernyataan-pernyataan itu, adalah sejalan dengan ajaran Katolik jika dikatakan bahwa Kitab Suci adalah Sabda Tuhan baik isi maupun ungkapannya.

III. Akibat dari Ilham

Ada banyak akibat dari ilham ilahi yang terbuka bagi penelitian teologis. Salah satunya adalah kanonisitas Kitab Suci. Karena Kitab Suci adalah Sabda Tuhan yang dituliskan, disusun dengan bimbingan Roh Kudus, maka kitab-kitab itu suci, terpisahkan dari dokumen tertulis yang lain dan secara khas cocok untuk ibadat dan doa-doa. Maka, ketika Gereja menyusun daftar kanon Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Gereja sungguh mengakui kekudusan ilahi yang tersimpan di dalamnya. Akibat yang lain adalah sakramentali Kitab Suci. Dengan ini mau dikatakan bahwa Kitab Suci bukan hanya mengungkapkan kehendak Allah bagi umatNya, tetapi Allah juga mengungkapkan diriNya sendiri dengan suatu cara pada umatNya, sehingga membaca dan merenungkan Kitab Suci dapat mewujudkan perjumpaan dengan Tuhan yang bersifat mengubah. Demikian pula, wewenang/wibawa Kitab Suci merupakan konsekuensi dari ilham ilahi. Sebagai sabda Tuhan yang mengungkapkan perkataan Tuhan sendiri, maka Kitab Suci menjadi sumber primer ajaran Gereja tentang iman dan kehidupan. Konsili Vatikan II dengan demikian menegaskan bahwa Kitab Suci harus menjadi ”inti jiwa” dari teologi suci (DV, art 24).

A. “Tidak Mengandung Kekeliruan” Dalam Sejarah

Yang paling banyak diperdebatkan sebagai akibat dari ilham ilahi adalah soal “tidak mengandung kekeliruan”, yaitu keyakinan bahwa Kitab Suci benar dan bisa dipercaya, tidak mengandung sesuatu yang salah, sesat atau menyesatkan. Ini merupakan akibat logis dari Allah sebagai Pengarang Kitab Suci – jika Allah adalah pengarang utama Kitab Suci, dan Alllah sendiri adalah kebenaran yang sempurna, maka seluruh pernyataan Kitab Suci tentulah amat sangat benar. Gereja purba percaya mengenai hal ini dengan mutlak. Pada awal abad kedua para teolog menyatakan bahwa Kitab Suci seluruhnya sempurna (Santo Ireneus, Adversus Haereses, 2.28.2) dan benar (Santo Klemens dari Roma, 1 Klem 45.2). Kendati ada tegangan-tegangan yang nyata di dalamnya, tidak ada yang kontradiktif  (Santo Yustinus Martir, Dial, 65). Perasaan yang sama dikemukakan disepanjang masa patristik dan abad tengah, hingga samai zaman Pencerahan di Eropa, ketika seluruh tradisi konsensus Kristen pertama kalinya mendapat tantangan serius.

      Timbulnya tantangan ini dipicu oleh lahirnya kritik historis, yang mengalihkan sorotan kepada berbagai kesulitan ketika Kitab Suci bersentuhan dengan persoalan sejarah, geografis, keilmuan dan moral. Secara historis semua ini dipandang sebagai “kesenjangan yang nyata”, kesulitan-kesulitan yang diharapkan Tuhan tetap ada dalam Kitab Suci untuk menimbulkan kerendahan hati para pembacanya. Tentu saja sudah makin banyak upaya yang dilakukan untuk memecahkan teka-teki yang terdapat pada ayat-ayat yang bermasalah itu, tetapi tak seorang pun di masa Kristen kuno yang punya anggapan bahwa Kitab Suci keliru. Namun pada abad ketujuhbelas dan kedelapan belas para ahli dengan berbagai cara dan pendekatan mulai meragukan Kitab Suci karena mengandung “kesenjangan yang nyata” baik dalam hal fakta maupun perspektif.

B. “Tidak Mengandung Kekeliruan” menurut Ajaran Paus

Di tengah-tengah krisis yang timbul itu, Paus Leo XIII menerbitkan suatu pernyataan yang kuat dan menentukan mengenai ketidak-keliruan Kitab Suci yang menegaskan kembali tradisi Gereja yang sudah lama berlaku. Bertolak dari anggapan bahwa Allah adalah pengarang Kitab Suci, ia menyatakan:

Maka semua Kitab-kitab yang oleh Gereja diyakini suci dan kanonik, ditulis semuanya dan seluruhnya, dengan semua bagian-bagiannya karena didiktekan Roh Kudus. Dengan demikian sungguh tidak mungkin ada kesalahan di dalamnya yang berdampingan dengan ilham ilahi, sebab ilham ilahi itu pada dasarnya bukan saja tidak setara dengan kesalahan, tetapi juga menyisihkannya dan menolaknya secara absolut dan niscaya, sebagaimana mustahil Tuhan sendiri yang adalah Kebenaran Tertinggi mengucapkan sesuatu yang tidak benar (Povidentissimus Deus, art 40).

 

Ini merupakan pernyataan resmi Gereja yang pertama mengenai sifat Kitab |Suci yang tidak mengandung kekeliruan yang tidak terbatas. Namun, karena beberapa ahli merasa bahwa ajaran Paus itu tidak memadai, maka muncullah sejumlah teori mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan yang terbatas dari Kitab Suci yang menyatakan, misalnya, bahwa kesalahan-kesalahan bisa timbul dari pengarang manusia, bukan dari pengarang ilahi Kitab Suci, atau, jika tidak, mereka membatasi sifat tidak keliru Kitab Suci itu di bidang kebenaran agama, namun tidak dalam hal pernyataan-pernyataan realitas yang merujuk kepada soal-soal profan. Untuk itu, Paus Benediktus XV dengan kuat menegaskan kembali ajaran Paus Leo XIII bahwa Kitab Suci “mutlak bebas dari kekeliruan” dan menambahkan, “Kita tidak pernah menyatakan bahwa ada satu kekeliruanpun dalam Kitab Suci” (Spiritus Paraclitus, art 5). Begitu pula Paus Pius XII menegaskan lagi ajaran Leo XIII bahwa Kitab Suci bebas dari “kekeliruan apapun” dan menyatakan bahwa kebenarannya tidak terbatas “hanya pada soal iman dan moral” (Divino Afflante Spiritu art 1). Sesungguhnya, karena berlangsungnya perlawanan pada ajaran ini Pius terpaksa mengulas persoalan itu lagi dalam tempo belum sampai satu dasa warsa kemudian, ketika ia mengeluh, “Ada yang kebablasan... mengemukakan lagi pendapat yang sudah dikecam begitu sering, yang menyatakan bahwa Kitab Suci bebas dari kekeliruan hanya pada bagian-bagian Kitab Suci yang menyangkut perlakuan kepada Tuhan, atau soal moral dan keagamaan saja” (Humani Generis, art 22). Demikianlah ajaran yang jelas dan tetap dari para paus modern mengenai sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan.

C. “Tidak Mengandung Kekeliruan” menurut Konsili Vatikan II

Pernyataan yang paling baru mengenai Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan dikeluarkan Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, pada tahun 1965. Anehnya, perkataan dalam dokumen utama ini yang pada dasarnya menyarikan ajaran Gereja tentang Kitab Suci dan Tradisi Suci, oleh banyak orang dikatakan menjauh dari ajaran klasik mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan yang dikemukakan oleh para paus. Pernyataan yang terkait berbunyi sebagai berikut:

Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami ilahi atau para penulis suci, harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita. (DV art 11)

      Persoalannya apakah Konsili Vatikan II menegaskan kembali suatu doktrin tentang sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas, melanjutkan ajaran para paus yang terdahulu, ataukah suatu pendirian mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan terbatas, yang dengan demikian berbeda dari tradisi ajaran dari semua abad sebelumnya. Banyak yang menyatakan bahwa Konsili Vatikan II menunjukkan suatu perubahan inovatif di dalam perspektif kuasa mengajar Gereja di dalam frasa “demi keselamatan kita”. Pernyataan bahwa kebenaran disampaikan “dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan” hanyalah sejauh mengenai hal-hal yang langsung berkaitan dengan soal “keselamatan kita”. Dikatakan bahwa atas dasar pernyataan inilah Gereja tidak lagi berkutat mengaitkan diri dengan pernyataan tentang keberanan yang tidak ada kaitannya dengan soal keselamatan di dalam Kitab Suci. Sebagai implikasinya pernyataan-pernyataan tentang sejarah, geografi dan berbagai soal bukan agamis lainnya kini dikatakan berada di luar jangkauan  sifat tidak mengandung kekeliruan itu.

      Walaupun banyak ahli membela tafsiran ini dan akhirnya mengikuti pandangan mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan terbatas, ada alasan untuk mengira bahwa ini merupakan salah pengertian atas maksud Konsili. Memang ada beberapa indikasi bahwa rumusan Konsili Vatikan II melanjutkan ajaran para Paus sebelumnya mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas. Pertimbangkan poin-poin berikut ini.

1. Ungkapan yang diperdebatkan “demi keselamatan kita” (Latin: nostrae salutis causa) merupakan suatu frasa preposisi yang digunakan sebagai frasa adverbial menggantikan “yang telah dicatat” (Latin consignari). Dengan kata lain, hal itu menjelaskan mengapa Tuhan menghendaki agar kebenaran dicatat dalam Kitab Suci, yaitu untuk menjamin keselamatan kita. Perkataan ini bukan merupakan frasa ajektiva yang mengubah kata benda “kebenaran”. Sesungguhnya perlu diketahui bahwa skema Dei Verbum sebelumnya menggunakan kata-kata ”kebenaran yang menyelamatkan” (Latin, veritatem salutarem), tetapi atas permintaan banyak Bapa Konsili dan desakan Paus Paulus VI diganti dengan kata “kebenaran” (Latin, veritatem) saja, sehingga lingkupnya tidak hanya terbatas menurut kata sifat “yang menyenyelamatkan” dari iman dan moral dan bukan yang lain-lain. Kata resmi terakhir dari Konstitusi dengan demikian menunjukkan maksud dari sifat tidak mengandung kekeliruan itu, bukan luas cakupannya.

2. Pada pernyataan Dei Verbum tentang kebenaran Kitab Suci itu diberikan suatu catatan kaki yang mengutip ajaran-ajaran Gereja yang terdahulu – satu-satunya catatan kaki yang terpanjang di seluruh dokumen Konstitusi itu. Dimasukkan di dalamnya pernyataan dari Santo Agustinus, Santo Tomas Aquinas, Konsili Trente, Paus Leo XIII, dan Paus Pius XII, yang kesemuanya menegaskan ilham ilahi atas Kitab Suci dan sifat sama sekali tidak mengandung kekeliruan. Karena sesungguhnya semua catatan kaki yang terdapat di seluruh dokumen menyoroti dokumen sebagai kelanjutan dari ajaran-ajaran Gereja yang terdahulu, maka sangat tidak mungkin pernyataan “demi keselamatan kita” itu menjadi titik tolak pergeseran dari keyakinan Gereja yang tetap mengenai sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas.

3. Paus Leo XIII menyebut ajaran tentang sifat tidak mengandung kekeliruan yanpa batas “iman Gereja sejak awal dan tidak berubah” (Providentissimus Seus art 41). Ini merupakan pandangan patristik dan teolog abad pertengahan, dan pandangan itu diajarkan dengan kewenangan Paus Leo XIII, Benediktus XV dan |Pius XII. Maka terdapat garis kesinambungan dari kekristenan awal hingga abad pertengahan sampai pada abad keduapuluh mengenai apa artinya Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan. Tentulah para Bapa Konsili Vatikan II mempunyai kewajiban berat untuk mengingatkan umat seandainya memang terdapat pemahaman baru mengenai tidak mengandung kekeliruan itu setelah 1965. Bahwa mereka tidak melakukan itu menunjukkan indikasi bahwa mereka tidak benar-benar mengubah pendirian dari ajaran klasik Katolik mengenai soal ini.

      Dengan menimbang semua kemungkinan itu maka berdasarkan sejarah ajaran dan pokok-pokok pertimbangan di atas, ajaran resmi Katolik tetap berkenaan dengan sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas. Konsili vatikan II tidak menerbitkan perubahan apapun mengenai ajaran ini, juga tidak memberikan kepada kita tanda-tanda pergeseran yang nyata dari dekrit para paus modern. Adasah sah jika dikatakan bahwa terdapat suatu penekanan baru yang diajukan oleh Konsili, tetapi bukan pemahaman baru atas ajaran ini. Hanya dalam pengertian yang terbatas inilah terjadi perkembangan ajaran yang menyangkut sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan.

D. “Tidak Mengandung Kekeliruan” dalam Praktiknya

Sifat tidak mengandung kekeliruan tanpa batas diyakini sebagai sifat Kitab Suci yang sepenuhnya dan seluruhnya benar di dalam semua pernyataan maksudnya. Si dalam halaman-halamannya tidak ada yang secara faktual keliru, atau yang berdusta atau menyesatkan. Dalam hal isinya, Kitab Suci mencerminkan pikiran Allah, yang adalah Kebenaran sempurna.

      Apa artinya ini, pada tingkat praktis membutuhkan penjelasan. Jika tidak, pendirian Katolik bisa dirancukan dengan ajaran serupa dari fundamentalisme Protestan. Para Fundamentalis percaya kepada sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan sepenuhnya, tanpa memedulikan jenis sastra yang digunakan dalam Kitab Suci ataupun maksud semula dari pengarang manusia. Maka, mereka condong menafsirkan kata-kata Kitab Suci secara nominal – artinya secara harfiah, bukan secara literer berdasarkan jenis tulisan yang digunakan untuk menyampaikan maksud si pengarang. Ini sering menimbulkan kesalahpahaman, terutama ketika Kitab Suci dikatakan mengajarkan unsur-unsur ilmu pengetahuan yang berbeda dengan temuan-temuan modern.

      Menurut ajaran Katolik dalam hal ilham ilahi dan sifat tidak mengandung kekeliruan, Kitab Suci tidak membuat pernyataan yang sifatnya langsung ilmiah. Sebaliknya, ketika penulis Kitab Suci berbicara mengenai alam, mereka menggunakannya sebagai “gambaran kiasan” atau secara “fenomenologi”, yaitu menurut cara-cara yang dapat dipahami. Misalnya rujukan pada timbulnya matahari bukanlah merupakan pernyataan ilmiah bahwa bumi ini tetap berada di tempatnya dan matahari mengikutinya dengan pola gerak naik dan turun. Ungkapan seperti itu didasarkan pada persepsi inderawi dan pengalaman biasa, dan masih banyak digunakan orang hingga sekarang. Santo Agustinus yang pandangannya diserap dalam ajaran para paus modern yakin bahwa Kitab Suci tidak dituliskan bagi kita sehubungan dengan “hakekat segala sesuatu yang tampak di alam raya” (Gen Litt 9.20, dikutip dalam Providentissimus Deus art 39 dan Divino Afflante Spiritu art 3). Maka, karena Kitab Suci tidak bermaksud menyajikan pernyataan ilmiah, maka tidak bisa dituduh mengajarkan kekeliruan sehubungan dengan hal-hal ilmiah.

      Namun situasinya lain sehubungan dengan hal-hal sejarah. Kitab Suci membuat pernyataan yang tak terbilang banyaknya tentang peristiwa-peristiwa yang terjasi di zaman lampau, dan ini tentu saja termasuk lingkup sifat tidak mengandung kekeliruan. Untuk sebagian, ini karena kata-kata dan karya tindakan Allah di dalam sejarah secara rumit dikaitkan bersama dalam Kitab Suci; yaitu, Allah mengungkapkan diriNya densiri dan melaksanakan keselamatan kita melalui karya-karya historis maupun melalui kata-kata tertulis dan lisan (lihat DV art 2). Catatan tentang peristiwa-peristiwa itu sudah barang tentu harus bisa dipercaya dan benar, sebab jika tidak, wahyu Allah tidak bisa dikomunikasikan secara berhasil. Begitu pula, orang tidak bisa berusaha memisahkan sejarah keselamatan dari sejarah profan dalam Kitab Suci, sebab semua kejadian yang ada di dalam Kitab Suci diatur dengan ilham ilahi untuk tujuan keselamatan kita. Karena itu ajaran Gereja secara konsisten mengajarkan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan dalam menyajikan peristiwa-peristiwa sejarah. Paus Benediktus XV misalnya mengecam mereka yang menyatakan bahwa “bagian sejarah dari Kitab Suci tidak didasarkan pada kebenaran mutlak dari fakta-fakta”, sebab mereka yang berpendirian demikian ”tidak sejalan dengan ajaran Gereja” (Spiritus Paraclitus art 6). Gagasan dasarnya adalah bahwa  ilham ilahi menjamin akurasi faktual pernyataan-pernyataan historis Kitab Suci sejauh maksud historiografis dari si penulis dapat diperlihatkan.

      Akhirnya, ajaran tentang sifat Kitab Suci yang tidak mengandung kekeliruan tanpa batas bukan merupakan sangkalan bahwa masih ada kesulitan-kesuitan di dalam penafsiran kita atas Kitab Suci. Ada banyak ayat yang kelihatannya kontadiktif satu dengan yang lain, banyak yang sungguh senjang dari sumber-sumber di luar Kitab Suci, bahkan ada beberapa yang terkesan bagi kita kurang pantas sehubungan dengan sifat Tuhan. Namun semua ayat yang bermasalah ini bukanlah pernyataan yang keliru mengenai kebenaran yang digambarkan. Mereka lebih merupakan undangan untuk bersikap rendah hati. Santo Agustinus dengan bijaksana menyatakan bahwa seseorang menemukan adanya sesuatu kekurangan dalam Kitab Suci, ia harus beranggapan bahwa mungkin teks itu keliru dikutip, atau bahasa aslinya keliru diterjemahkan, atau si penafsir sungguh tidak bisa memahami maknanya (lihat Epist 82). Dalam keadaan apapun adalah tepat menyatakan bahwa Kitab Suci tidak mengandung kekeliruan.