Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Presbitarian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Presbitarian. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Februari 2023

GEREJA INGGRIS DAN PERKAWINAN SEJENIS


Setelah debat dua hari uskup, pastor dan awam Gereja Inggris melakukan pemungutan suara, dengan 467 total suara, dan yang mengiyakan hanya 167 suara; namun akhirnya mengambil jalan pragmatik kompromistis terhadap perkawinan sesama jenis LGBT+

Sebelumnya, 14 anggota Parlemen Inggris bertemu dengan primat Gereja Inggris, Uskup Agung Canterbury, Justin Welby, mempertanyakan sikap Gereja Inggris yang "kurang" menghormati kesetaraan jemaat dalam perlakuan terhadap perkawinan sesama jenis. Pihak Negara sementara itu sejak 2014 telah mengakui perkawinan sipil sesama jenis (Inggris dan Skotlandia, Irlandia menyusul 2020).

Gereja Inggris Anglikan bukan hanya berada di Inggris dan Skotlandia, tetapi di seluruh dunia, dan mayoritas malah berada di Afrika dan Asia, yang sangat konservatif. Anglikan Afrika dan Asia umumnya menolak LGBT+. Maka keputusan Sinode Gereja Inggris harus lebih dulu menghitung kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh keputusan itu. Ajaran ilahi yang menjadi pegangan seluruh umat menjadi jaminan keutuhan sehingga tidak dikutik-kutik. Tetapi keterbukaan Gereja pada perbedaan cara hidup umat juga harus konsekuen dan konkret. Maka Sinode Gereja Inggris Anglikan kemarin akhirnya menempuh jalan kompromistis:

- Pasangan sesama jenis setelah menikah sah secara sipil boleh masuk gereja dan menerima berkat. Tetapi upacara pernikahan sesama jenis di dalam gereja "tetap dilarang". Gereja tidak menikahkan tetapi memberi berkat persekutuan. Dalam memberikan berkatnya, terserah kepada setiap pastor apakah menggunakan doa-doa umum atau tidak. Akta pernikahan adalah akta sipil dan tidak dicatat dalam register gerejawi.



- Kompromi itu dikatakan kesepakatan lose-lose agrement. Bagi gereja, hanya sejauh itulah mereka dapat digelandang ke tempat yang tidak diinginkan, sedang bagi kelompok pendukung LGBT+ peluang yang diberikan sangat kurang dari yang mereka harapkan.

Namun kedua belah pihak berharap, keputusan kompromistis itu adalah pendahuluan yang bisa lebih baik di kemudian hari.



Komunitas Gereja Anglikan Afrika dan Asia merasa dibikin bungkam tanpa suara berkenaan dengan keputusan itu. Sentimen kolonial-anti kolonial meruyak kembali karena kentara sekali kesan bahwa kompromi Gereja itu terjadi karena intervensi negara.

Gereja Inggris Anglikan memahami bahwa akan terjadi gelombang "destablishment" atau guncangan atas kemapanan karena keputusan itu, tetapi karena keputusan pragmatis itu diambil dengan mempertimbangkan keutuhan kesatuan ajaran, maka diharapkan semua pihak dalam Gereja Inggris tetap setia pada keutuhan dan kesatuan Gereja, walau dalam praktek ada perbedaan-perbedaan. Hal ini dikatakan menanggapi suara-suara Gereja Anglikan Afrika dan Asia akan memisahkan diri.



Gereja Inggris bukan hanya Anglikan, tetapi juga Presbiterian dan Evangelikan. Gereja Presbitarian telah lebih dulu mengadakan Sinode yang setelah pengambilan suara 274 menerima perkawinan sejenis sedang 136 suara menolak. Mereka mengikuti suara mayoritas. Sementara itu Gereja Evangelis masih kukuh sama sekali menolak perkawinan sejenis dan LGBT+.



Lihat juga: LGBT dalam Debat Anglikan