Fundamentalisme menganggap Kitab Suci sebagai dasar iman mereka. Paham mereka tentang inspirasi dan sifat tidak bisa salahnya Kitab Suci berasal dari pengertian Benjamin Warfield tentang inspirasi verbal-sepenuhnya, yang berarti bahwa para pengarang Kitab Suci mendapat ilham dan ilham itu meliputi tidak hanya berkenaan dengan pesan yang hendak disampaikan Allah saja, tetapi juga setiap kata-kata yang dipilih oleh para penulis suci. Bagi banyak orang fundamentalis, khususnya mereka yang tidak mempunyai kecenderungan intelektual, inspirasi disusutkan menjadi teori dikte – yaitu bahwa para pengarang insani itu hanya semata-mata tukang steno, yang tugasnya hanya membuat alih-tulisan atas Suara. Tentu saja ini menyiratkan pengertian bahwa Kitab Suci bukan saja tanpa kesalahan, yang juga merupakan pendirian Katolik asli, tetapi juga bahwa Kitab Suci sama sekali tidak mengandung bias makna (ambiguitas) dan juga kiasan-kiasan, sehingga kata-kata dipahami dalam arti kata yang harfiah, dan sering baru bisa dimengerti jika kata-kata itu dilepaskan dari konteksnya. (salah satu kekecualian adalah Yoh 6, di mana Ekaristi dijanjikan. Bab ini anehnya tak pernah diterima harafiah apa adanya oleh kaum fundamentalis, melainkan oleh umat Katolik).
Persoalan pokok pada pemahaman fundamentalis atas Kitab Suci ialah bahwa mereka tidak punya dasar rasional untuk apa yang mereka yakini. Kedengarannya penilaian ini kasar sekali, namun memang begitulah yang sebenarnya, dan kaum fundamentalis mengakuinya. E.J. Young berkata, “Jika Kitab Suci sendiri bukan saksi yang dapat dipercaya karakternya, kita tak punya jaminan bahwa iman Kristiani didasarkan pada kebenaran.”Ia menyatakan bahwa penolakan menjadikan Kitab Suci satu-satunya norma niscaya mencakup “hasil-hasil yang bertentangan dengan Kekristenan yang adi-kodrati.” Kitab Suci harus diterima sebagai satu-satunya penentu iman karena adanya pendirian yang lain akan menyelewengkan Kekristenan, dan karenanya, menggunakan kata-kata Churchill, sesuatu terjadi tanpa bisa kita kendalikan. Kita percaya bahwa Kitab Suci pasti benar, kata kaum Fundamentalis, karena berpendirian lain berarti menyangkal kebenaran-kebenaran yang kita yakini. Tidaklah sulit melihat pendirian ini lalu jarang menimbulkan pemikiran intelektual selanjutnya, karena ada implikasi bahwa orang tetap diselamatkan meskipun menerima pengertian yang keliru tentang Kitab Suci sejauh kebenaran-kebenaran dasar Kristen, apa pun isi yang dipikirkan, tetap dipertahankan.
Walaupun
ajaran tentang inspirasi dan kebenaran mutlak Kitab Suci adalah yang pertama
dikatakan oleh orang yang paling fundamentalis, ajaran yang mendahului logisnya
adalah keilahian Kristus. Bagi umat Katolik, keilahian ini diterima baik
menurut ajaran yang berwenang dan tak dapat salah dari Gereja maupun karena
pemeriksaan yang cermat atas Kitab Suci dan sejarah umat Kristiani awal
menunjukkan bahwa Kristus tentulah sungguh seperti yang dinyatakan, yaitu
Allah. Secara praktis, kebanyakan umat Katolik mengikuti cara yang pertama
[menerima ajaran Gereja]; namun banyak juga yang menggunakan cara yang kedua
[mempelajari Kitab Suci] tanpa menyangkal cara yang pertama [menerima ajaran
Gereja]. Apologet Arnold Lunn adalah
contoh yang baik. Manapun cara yang ditempuh melibatkan penalaran tertentu.
Namun bagi fundamentalis, jaminan keilahian Kristus bukan berdasarkan
penalaran, juga bukan melalui iman dalam arti kata yang dipahami umat Katolik,
tetapi dari suatu cara yang lain.
Warfield
menyatakan, “Bukti utama bagi setiap orang Kristen mengenai keilahian Tuhan
terdapat dalam pengalaman batin masing-masing atas daya kuasa Tuhan yang
mengubah hati dan hidupnya.” Salah satu
konsekuensi dari pendirian ini jelas menjadi payah bagi kaum fundamentalis.
Jika orang jatuh ke dalam dosa, atau jika semangat pertobatannya memudar, daya
pengubah dari Kristus serasa pergi juga, dan bersamanya hilang pula kepercayaan
orang itu pada keilahian Kristus. Adalah persoalan lain jika dikatakan bahwa
kepercayaan harus mewujud sendiri dalam diri orang Kristen sehingga orang lalu
“melihat bagaimana mereka itu saling mengasihi”. Adalah hal yang berbeda
menyatakan kebenaran tentang keilahian Kristus berdasarkan kekudusan dan
penghiburan rohani manusiawi. Ini menyebabkan banyaknya pengikut yang
meninggalkan fundamentalisme. Malam gelap jiwa, yang menghinggapi banyak
orang, menyebabkan goyahnya pendirian fundamentalis, dan kemudian yang sering
diikuti bukanlah bentuk lain dari Kekristenan, melainkan sikap agnostisisme
yang ragu.
Salah
satu tambahan pada ajaran keilahian Kristus dan dianggap sama pentingnya dalam
seri buku The Fundamentals adalah Kelahiran Kristus dari Seorang Perawan.
(Sebagian fundamentalis meyisihkan soal ini tersendiri, sehingga ajaran dasar
mereka bukan lima, melainkan enam). Jika soal realitas surga dan neraka atau
keberadaan Allah Tritunggal bisa dikemudiankan, soal Kelahiran dari Seorang
Perawan merupakan keyakinan yang vital, karena keyakinan itu melindungi
keyakinan akan keilahian Kristus. Namun perlu diingat, bahwa jika kaum
fundamentalis bicara tentang kelahiran Kristus dari Seorang Perawan, yang
mereka maksudkan adalah bahwa keadaan perawan itu hanya bertahan sampai Kristus
dilahirkan saja. Pada umumnya mereka punya pengertian bahwa Maria nantinya
punya anak-anak lain, yang oleh semua murid disebut sebagai “saudara-saudara”
Kristus.
Menanggapi
ajaran aliran Injil Sosial yang menyatakan bahwa Kristus tidak lebih hanya
memberikan teladan moral yang baik, kaum fundamentalis awal mengajukan butir
ketiga dari fundamental mereka, yaitu bahwa Kristus wafat sebagai silih dosa.
Dia tidak hanya memikul dosa-dosa kita; Dia juga benar-benar menanggung hukuman
yang seharusnya kita terima. Dia dihukum
Bapa menggantikan kita.
Dalam
hal Kebangkitan kaum fundamentalis tidak berbeda dari kepercayaan asli Katolik.
Kristus bangkit dari mati dengan ragaNya, bukan hanya simbolis. KebangkitanNya
bukanlah hasil halusinasi bersama dari para pengikut atau sesuatu yang
ditemukan oleh para penulis suci beberapa tahun kemudian. Kebangkitan itu
sungguh terjadi dan menyangkal kebenaran kebangkitan berarti menyangkal
kebenaran Kitab Suci.
Topik
yang paling banyak diperdebatkan di antara kaum fundamentalis sendiri adalah
Kedatangan yang Kedua. Kalaupun ada kesepakatan hanyalah berkenaan dengan
kembalinya Kristus secara fisik di dunia. Kapan terjadinya masih diperdebatkan.
Kelompok pramilenialis menyatakan bahwa saatnya adalah sebelum milenium, yaitu
pemerintah seribu tahun. Aliran pasca-milenialis menyatakan saatnya sesudah
masa pemerintahan seribu tahun itu. Sedang tentang apa yang dimaksud dengan
masa pemerintahan seribu tahun itu saja pun masih belum ada kesepakatan yang
memadai pula. Juga ada perdebatan tentang Pengangkatan ke Surga para kudus
dalam keadaan hidup (Rapture) dan tentang Penghakiman. Sehubungan dengan yang
terakhir, ada perbedaan yang luas tentang sifat dan saatnya dalam kaitan dengan
pemerintahan seribu tahun (milenium). Ada yang berpendapat bahwa hal itu sudah
dekat sekali, dengan Rusia yang berperan
sebagai kekuatan dari utara di dalam Kitab Daniel. Yang lain menyatakan bahwa masih jauh di masa
depan. Jika umat Katolik sebagian tertarik kepada nubuat Santo Malakius tentang
para Paus dan kepada tiga rahasia dari Fatima, kaum fundamentalis dapat
dikatakan terserap dalam membuat tawarikh Hari-Hari Akhir, dengan satu-satunya
kesulitan tidak ada dari setiap dua orang yang sependapat tentang apa yang akan
terjadi dan kapan terjadinya.
Itulah
lima atau enam pokok masalah yang dibicarakan di dalam buku-buku yang
menyebabkan fundamentalisme mendapatkan nama sebutannya. Semua itu bukanlah hal-hal khas yang paling
membedakan fundamentalisme dewasa ini. Misalnya sudah jarang sekali dibicarakan
soal Kelahiran Kristus dari Seorang Perawan. Tentu saja tidak ada persoalan
mengenai kepercayaan kaum fundamentalis pada ajaran itu (bukan tentang
keperawanan yang lestari dari Maria), namun bagi umum, dan bagi kebanyakan kaum
fundamentalis sendiri, fundamentalisme sekarang mempunyai tekanan yang lain.
Yang paling menyolok adalah sikap
fundamentalis dalam mengandalkan Kitab Suci
sama sekali mengesampingkan wewenang apapun dari Gereja. Yang kedua
adalah pernyataan iman mereka akan Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat
pribadi. “Apakah saudara menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat
pribadi?” tanya mereka. “Sudahkah saudara diselamatkan?” Tanpa tedeng
aling-aling itulah individualisme Kristiani. Individu diselamatkan sama sekali tanpa
memandang gereja, jemaat, atau apa pun yang lain. Suatu hubungan satu-satu,
tidak ada pengantara, tidak ada sakramen, hanya orang Kristen perorangan dengan
Tuhan. Orang Kristen tahu bahwa ia telah
diselamatkan, hingga jam dan menit penyelamatannya, karena keselamatan itu tiba
ketika ia “menerima” Kristus. Datangnya seperti kilat, tak akan terlupakan,
seperti yang dialami Paulus di jalan menuju Damaskus.
Dalam
sekejab, keselamatan fundamentalis sudah terjamin. Tidak ada sesuatupun yang
dapat membatalkannya. Tanpa saat itu, ia pasti celaka. Itulah sebabnya hal
ketiga yang menyolok dari fundamentalisme adalah pewartaan Injil mereka. Jika
para pendosa tidak mendapatkan pengalaman keselamatan seperti para
fundamentalis, mereka akan masuk neraka. Fundamentalis menganggap penyebaran
iman sebagai suatu tugas kewajiban – kasih mana lagi yang lebih besar dari
memberi peluang kepada orang lain untuk lepas dari neraka? – dan dalam hal itu
mereka sangat sukses.
Keberhasilan
mereka sebagian adalah karena ketekunan mereka. Seluruh pembicaraan mereka
tentang Gereja Katolik adalah bahwa mereka itu “budak-aturan”, namun mungkin
tak ada orang Kristen dewasa ini yang lebih diatur sedemikian ketat daripada
kaum fundamentalis. Aturan-aturan mereka – mungkin dapat dibilang tidak
alkitabiah – bukan hanya menyangkut soal agama dan praktek keagamaan yang
tepat, tapi meluas sampai seluruh segi kehidupan sehari-hari. (Yang biasanya
segera diingat adalah larangan minum minuman keras, berjudi, berdansa dan
merokok) . Selain itu, fundamentalis sangat ketat terlibat dengan aktivitas
jemaat setempat.
Banyak
orang yang kembali lagi ke pangkuan Gereja Katolik setelah sempat mengikuti fundamentalisme
mengeluh, karena sebagai fundamentalis mereka tak punya waktu untuk diri
sendiri; segala sesuatu memusat di sekitar Gereja. Semua teman-teman mereka
adalah anggota Gereja; semua kegiatan sosial mereka diselenggarakan oleh
Gereja. Mangkir dari ibadat Rabu Malam sebagai tambahan untuk satu atau dua
ibadat hari Minggu, tidak hadir dalam Pelajaran Kitab Suci atau kumpulan Kaum
Muda, tidak mengenakan pakaian seperti teman-teman satu jemaat – semua ini
dengan segera dapat mendatangkan kecaman keras, dan di Gereja yang kecil (hanya
sedikit saja Gereja fundamentalis yang anggotanya lebih dari seratus orang) ini
sudah menyebabkan pengasingan dari jemaat.
Banyak
pengaruh yang mencuat pada fundamentalisme termasuk perpecahan dalam unit-unit
baru dari Protestantisme abad kesembilan-belas, yang merupakan tanda-tanda
puritanisme – tentu saja bukan puritanisme dari Kaum Puritan abad
ketujuh-belas, namun sikap yang merupakan inti setiap pemisahan diri dari
Kekristenan tradisional, yaitu hasrat untuk kembali pada kemurnian Gereja
perdana. Ragam puritanisme ini tetap menjadi daya dorong fundamentalisme,
seperti yang diperlihatkan oleh salah satu tuduhan pokok mereka terhadap Gereja
Katolik, yaitu mengaburkan kemurnian Kristen karena memberikan berbagai tambahan
berlapis-lapis yang dianggap tidak alkitabiah selama berabad-abad. Bagi
fundamentalis, salah satu tugas utama adalah menangkap esensi Kekristenan dari
apa yang diucapkan Pendirinya – dan tidak mengakui satupun ”penemuan
pembaruan”.
Banyak
orang Katolik yang menulis mengenai fundamentalisme keliru memahaminya. Dengan
teori psikologi mereka memandang fundamentalisme sebagai gumpalan perlawanan
emosional. Mereka menerima pandangan media populer bahwa fundamentalisme
bukanlah suatu teologi melainkan gejala patologis (penyimpangan keseimbangan
mental). Dikatakan bahwa orang yang mengikuti pendirian fundamentalisme adalah
karena malu menjadi orang miskin, atau karena tidak berpendidikan, atau karena
pastor atau pendeta dari Gerejanya yang terdahulu keliru memperlakukan dia, dan
dia keluar untuk membalas sakit hatinya atau mencari elusan yang menghibur pada
punggungnya. Fundamentalisme tidak diterima seperti cara orang liberal yang
mendapat pencerahan menerima liberalisme, dengan pertimbangan dan wawasan
panjang. Sementara pengecam bahkan sangat nyaris menyimpulkan setiap orang
fundamentalis sebagai orang bodoh yang tak berguna. Memang sebagian demikian –
tetapi sebagian orang Katolik juga seperti itu, begitu pula sebagian kecil
sekularis.
Peggy
L. Shriver, asisten sekretaris umum pada Dewan Nasional Gereja-gereja Kristus
di Amerika Serikat menyatakan bahwa “karena ego yang merasa tidak aman dapat
ditopang oleh perancah iman fundamentalis, tidaklah mengherankan bahwa banyak
orang yang ‘terpinggirkan’ dalam masyarakat tertarik kepada fundamentalisme.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang kaya dan terdidik
menganggap diri fundamentalis, namun sejumlah besar orang yang berpenghasilan
kecil dan kurang berpendidikan loncat ke sana.”
Pendapat yang meremehkan secara lembut ini tanpa sikap hati-hati
digemakan oleh para penulis Katolik, yang mungkin terperangah ketika tahu bahwa
orang-orang fundamentalis seperti Loraine Boettner di dalam bukunya Roman
Catholicism, melontarkan tuduhan yang sama terhadap agama Katolik, dengan
menyatakan bahwa masyarakat Katolik adalah terbelakang dibanding dengan
masyarakat Protestan, seperti kelihatan di Spanyol dan Irlandia, lalu di
Inggris dan Amerika Serikat. Gereja Katolik, kata mereka, dipeluk oleh golongan
masyarakat miskin, suatu tanda bahwa Katolisisme tidak diberkati oleh Tuhan,
karena pilihan ilahi mewujud sendiri melalui kemakmuran material.
Apapun
kekuatan yang mengantar orang menjadi fundamentalis, (memang harus diterima
bahwa faktor emosional memainkan peran, seperti umumnya dalam pelbagai
pertobatan, ke arah manapun) pertama-tama ia tetap menjadi fundamentalis karena
alasan-alasan ajaran. Walaupun mungkin seseorang meninggalkan Gerejanya yang
lama karena marah atau frustasi, mungkin ia tertarik kepada kelompok
fundamentalis karena pendeta di sana pengkhotbah yang bagus atau anggota Gereja
itu bersikap baik kepadanya.
Dorongan
dan tarikan emosional ini berlangsung hanya sebentar, dan dalam sebagian besar
kasus hanya membantu orang yang berganti keyakinan melakukan kehendaknya. Ia
mungkin dapat menemukan para pendeta yang fasih bicara atau anggota gereja yang
baik dalam salah satu gereja arus utama Protestan atau dalam suatu kultus yang
eksentrik, namun mungkin yang penting dengan faktor-faktor itu adalah bahwa
mereka bukanlah alasan pokok untuk ganti haluan. Perubahan keyakinan itu
terjadi karena ajaran. Pelbagai ajaran yang sudah dianutnya bukanlah ajaran
yang ditemukannya sendiri, dengan membaca Kitab Suci di larut malam selagi
isteri dan anak-anaknya tidur. Ajaran-ajaran itu mula-mula diajarkan kepadanya,
dan Kitab Suci digunakan untuk membenarkannya.
Fundamentalisme
menggunakan Kitab Suci untuk melindungi rumus kepercayaan mereka yang adanya mendahului
Kitab Suci, dan Kitab Suci ditafsirkan sedemikian sehingga membenarkan apa yang
sudah mereka yakini, walaupun sebagian besar fundamentalis mengira bahwa
keyakinan mereka langsung berasal dari teks Kitab Suci dan bahwa mereka
semata-mata mengetahui makna dari teks itu. Kerancuan dari pihak mereka ini
bertemu dengan kerancuan dari pihak sebagian besar non-fundamentalis yang
mengira bahwa bahwa kaum fundamentalis menafsirkan Kitab Suci dengan cara yang
sungguh harfiah. Ini keliru. Fundamentalis tidak memaknai setiap kata dalam
Kitab Suci dengan arti kata yang harfiah, meskipun umum mengira mereka berlaku
demikian. Untuk membenarkan sebagian dari ajaran mereka, fundamentalis harus
mendapatkan dalam suatu kiasan tafsiran Kitab Suci yang secara “harfiah” baru,
dan mereka sering mendapatkan diri saling bertentangan sehubungan dengan kata
yang makna harfiahnya justru bersifat perlambang yang berbahaya. Mereka cepat
mengenali bacaan mana yang diperlukan untuk mempertahankan pendirian mereka –
pendirian yang adanya mendahului tafsiran Kitab Suci mereka.
Dengan
cara yang sama, fundamentalis melibatkan diri dalam kegiatan anti-katolik,
menafsirkan bukan saja Kitab Suci, namun juga sejarah kekristenan dan
kepercayaan Katolik dan karya apologetik dengan cara apapun yang perlu untuk
membuktikan pendirian utama mereka, bahwa agama Katolik hanya mempunyai
kemiripan-kemiripan saja dengan agama yang didirikan oleh Kristus, dan bahwa
Katolik adalah agama yang didirikan oleh manusia, bukan oleh Tuhan.