Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Perkawinan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perkawinan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Januari 2023

WANITA. PEREMPUAN. SUATU SOROTAN

 



“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Karena pria dan wanita sama-sama diciptakan menurut citra Allah, mereka mempunyai martabat yang sama yang diberikan oleh Allah Pencipta. Wanita mempunyai martabat yang sama dengan pria kendati secara seksual berbeda dari pria dalam susunan fisik dan psikologisnya. Wanita dan pria diciptakan dan saling menginginkan (Kej 2:18-24). Di dalam perkawinan, pria dan wanita disatukan menjadi “satu daging” (kej 2:24). Katekismus menggaris bawahi persamaan martabat wanita dengan mengaitkannya pada citra ilahi yang ditanamkan baik kepada pria maupun wanita:

Terutama, fakta bahwa manusia adalah pribadi-pribadi perlu ditekankan: “Manusia bersifat pribadi; itu berlaku baik untuk pria maupun wanita, karena keduanya diciptakan menurut citra dan keserupaan dengan Allah pribadi” (Yohanes Paulus II, Muliereis Dignitatem 6). Kesetaraan martabat mereka sebagai pribadi-pribadi diwujudkan dalam sifat-sifat yang saling melengkapi baik fisik, psikologis maupun ontologis, sehingga menghasilkan suatu hubungan harmonis “kesatuan-dua pribadi”, yang hanya mungkin dipertentangkan oleh dosa dan “struktur-struktur dosa” yang terdapat dalam kebudayaan (Kongregasi Ajaran Iman, “Surat Kepada Para Uskup Gereja Katolik tentang Kerjasama Pria dan Wanita dalam Gereja dan di Dunia, art 8) (KGK 369-373; 2331-2335).  

 

I. WANITA DALAM PERJANJIAN LAMA

Dunia Perjanjian Lama untuk sebagian besar adalah dunia laki-laki, patriakal. Kitab Kejadian menunjukkan betapa wanita tunduk kepada pria sebagai konsekuensi dari Jatuh dalam Dosa: “engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (Kej 3:16). Bahwa wanita dikuasai pria menurut kitab Kejadian adalah disebabkan oleh dosa, bukan dimaksudkan demikian pada awalnya dalam penciptaan.

      Pada umumnya, wanita dalam dunia kuno berada di bawah pria baik secara sosial maupun hukum. Dalam kebudayaan-kebudayaan Timur Dekat, ada kesenjangan hak-hak yang meluas kepada setiap aspek hidup di antara pria dan wanita. Seorang wanita hanya mempunyai sedikit hak dan selalu berada di bawah kewenangan tertentu dari pria, entah itu ayah dari keluarganya, saudara lelakinya, atau suaminya. Jika seorang wanita menjadi janda, ia dialihkan ke dalam perlindungan saudara lelakinya, atau kerabat lelaki terdekat. Jika ia menjanda sebelum punya anak, ia dikembalikan kepada keluarga asalinya. Para wanita yang tidak mempunyai anggota keluarga laki-laki jadi terlantarkan, dan pelacuran atau perbudakan merupakan jalan keluar mereka.

      Dalam Hukum Musa, wanita juga mendapat kedudukan setelah pria, namun mereka mempunyai perlindungan hukum. Seorang suami diizinkan menceraikan isterinya, tetapi ia tidak boleh kawin lagi dengan wanita yang sama jika wanita itu menikah lagi setelah diceraikan (Ul 24:1-4). Namun, seorang wanita tidak diperkenankan mengajukan gugatan cerai, dan seorang wanita yang telah menikah secara hukum sama dengan hak milik suaminya (Kej 12:12-20; 20:2; Kel 20|:17; Hak 19:24-27). Di pihak lain, dalam hal hukum keagamaan, wanita mempunyai banyak hak yang sama dengan pria, sekalipun disisihkan dari jabatan imam.

      Sekalipun statusnya lebih rendah, wanita menikmati kedudukan yang mendatangkan kehormatan besar berkat penghargaan kebudayaan pada keibuan. Ini merupakan cerminan dari pentingnya suatu keluarga di dalam masyarakat Ibrani, sekaligus juga merupakan kesetiaan pada ajaran dasar kitab Kejadian mengenai kerjasama peran pria dan wanita untuk “bertambah-banyak” dan “memenuhi” bumi (Kej 1:28), serta tugas perutusan khusus wanita untuk menjadi “penolong” laki-laki (Kej 2:18). Maka tidak mengherankan, kebanyakan rujukan pada wanita dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan ibu-ibu atau keibuan, dan status wanita bergantung pada kemampuannya untuk mendatangkan keturunan di dalam keluarga (Kej 30:20; 1 Sam 1:2-8). Sebaliknya, mandul dianggap sebagai bencana (Kej 30:1-2; 1 Sam 1:5; 2 Sam 6:20-23) dan sering dianggap sebagai tanda bahwa Allah tidak berkenan.

      Sastra kebijaksanaan menyampaikan ajaran-ajaran tentang bimbingan menuju suatu hidup yang baik, dan menemukan seorang isteri yang cocok merupakan salah satu keputusan yang paling penting bagi seorang pria. Dalam suatu puisi akrostik dalam Ams 31:10-31 dikatakan bahwa seorang isteri yang baik adalah yang “berbuat baik kepada suaminya dan tidak akan berbuat jahat” (Ams 31:12; bdk Sir 26:1-18). Seorang isteri niscaya juga akan lebih dihargai karena cakap, rajin, bijaksana dan pantas disayang lebih dari sekedar kecantikan atau kemolekannya (Ams 31:30). Kecantikan, keluh sajak itu, adalah “lancung” dan “sia-sia”. Amsal juga memberi peringatan mengenai wanita jalang, atau perempuan asing, sebab wanita pezina dapat membawa orang yang diundangnya pada dunia orang mati (Ams 5:3-5; 6:24-35; 9:13-18).

      Ibu dituntut merawat anak-anak di dalam keluarganya dan mengatur seluruh rumahtangga. Dalam kehidupan sosial, para wanita ikut serta secara aktif dalam perayaan-perayaan (Hak 21:19-21) dan perayaan kemenangan (kel 15:20; Hak 11:34; 1 Sam 18:6-7; Mzm 68:25).

      Kendati para wanita tidak menonjol, Perjanjian Lama menceritakan kegiatan banyak wanita yang hebat kecerdasannya, keberaniannya dan dedikasinya kepada Tuhan. Para pahlawan wanita yang paling banyak diingat adalah Debora, Ester dan Yudit (Juga: Abigail, Hagar, Lea, Mikhal, Rahel, Rahab, Ribka, Rizpa dan Rut).

 

II. WANITA DALAM PERJANJIAN BARU

Status sosial dan legal para wanita di dalam Kekaisaran Roma kadang lebih baik dan kadang lebih buruk dibanding dengan wanita Yahudi. Wanita di Mesir yang dikuasai Roma misalnya, mempunyai hak dan kesempatan di luar lingkup rumahnya, sedang wanita-wanita di Yunani pada zaman Romawi dibelit oleh kekangan-kekangan yang sama dengan kendala-kendala yang dialami wanita Yahudi Palestina. Walaupun iman Kristen tidak serta merta mengubah status sosial para wanita sepenuhnya, namun iman Kristen mengakui wanita sebagai pribadi dalam citra ilahi dan merupakan calon yang setara bagi baptis dan keanggotaan di dalam Gereja Kristus.

      Yesus tidak berkeberatan bicara dengan para wanita, Ia juga tidak mencegah mereka bicara padaNya atau menghormati diriNya (mat 26:6-13; Mrk 14:3-9). Perjumpaan Yesus dengan wanita Samaria dalam Yoh 4:4-42 menunjukkan sikap baru yang mengejutkan. Bukan saja karena yang ditemuiNya adalah seorang wanita; dia seorang wanita Samaria pula; namun Yesus berbicara dengannya seolah-olah wanita itu muridNya.

      Yesus tidak hanya menentang kendala-kendala tradisional yang ditimpakan pada wanita, namun Ia memandang wanita sebagai penerima rahmat karunia yang sama setara. Misalnya, Ia tidak membeda-bedakan ketika melakukan mujizat – penyembuhan mertua Petrus (Mat 8:14; Mrk 1:29-31; Luk 4:38), anak yairus, wanita yang mengalami pendarahan (Mat 9:18-26; Mrk 5:21-43; Luk 8:40-56), wanita yang bungkuk punggungnya (Luk 13:10-17) dan janda Nain dan anaknya (Luk 7:11-17). Ia juga menerima dukungan lebih dari seorang penyumbang (Luk 8:1-3) dan menjalin hubungan erat dengan para wanita dari komunitas pengikutNya yang perdana (misalnya Marta dan Maria, Luk 10:38-42).  Para wanita pun menunjukkan keberanian dan bakti dengan berdiri di dekat Dia yang mengalami sengsara maut (Mat 27:55-56; Mrk 15:40) dan menyiapkan pemakaman tubuhNya sesudah wafat (Mrk 16:1-3; Luk 23:55). Terutama sekali, para wanitalah yang menemukan makamNya sudah kosong (Mat 28:1-10; Mrk 16:1-8; Luk 24:1-10; Yoh 20:1).

      Kesetaraan sepenuhnya dalam pemuridan yang ditekankan Yesus dalam karyaNya berlanjut terus dalam Gereja Perdana, sebagaimana kita lihat dalam Kisah Para Rasul (Kis 1:14; 12:12; 16:14-15; 17:4), di mana para wanita diterima sebagai anggota yang aktif dalam komunitas. Priskila (bersama suaminya, Akwila) merupakan pemeran serta yang menonjol dalam misi Paulus (Kis 18:18; Rm 16:3-4; bdk 1 Kor 16:19; 2 Tim 4:19). Kita juga mendengar sekurangnya tentang seorang diakon wanita, Febe (Rm 16:1-2).

      Paulus, seperti Yesus, memandang rahmat karunia Tuhan bekerja melaksanakan penebusan bukan saja pada pribadi-pribadi perorangan, tetapi juga pada hubungan-hubungan, khususnya perkawinan. Pendekatan Paulus membuat suatu hubungan langsung di antara misteri Paskah dengan hati pasangan-pasangan Kristiani yang, berkat rahmat karunia, mengatasi dosa dan tidak perlu lagi mengikuti Hukum Musa dalam hal perceraian (bdk Mat 19:3-9).

      Bagi Paulus, perkawinan merupakan pemberian timbal balik, suatu kesempatan untuk melayani daripada dilayani. Perkawinan merupakan suatu gambaran yang hidup dari hubungan antara Kristus dengan GerejaNya, dengan kasih perhatian dan penghiburan dari pasangannya.

      Di satu tingkat, Paulus meneguhkan struktur tradisional perkawinan Yahudi dengan tekanan kepada pria sebagai kepala rumahtangga (Ef 5:22-31; Kol 3:18-25; 1 Kor 11). Di tataran yang lain, “tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Ia berulang kali menekankan peranan wanita di dalam komunitas Kristen (1 Kor 11:5; 16:19; Rm 16:1.3.7; Flp 4:2-3).

      Peranan wanita di dalam keluarga juga diteguhkan, namun juga dipandang dalam terang pemulihan berkat Salib. Perkawinan merupakan bagian dari tata-ciptaan: perkawinan itu ada lebih dahulu daripada Hukum Musa (1 Kor 11:13-15), namun jatuh terpuiruk akibat dosa. Akibat dari dosa adalah kerusakan total situasi asali antara Adam dan Hawa, dan di antara hukuman yang dihadapi Hawa adalah sakit bersalin dan tunduk kepada suami (Kej 3:16; bdk 2 Kor 11:3; 1 tim 2:13). Di dalam iman, perkawinan diubah melalui Kristus dan ketaatan wanita pada suaminya menjadi sikap sukarela, tidak lagi disebabkan oleh dosa dan perbudakan (Kol 3:18; Tit 2:5; 1 Ptr 3:1). Paulus meneguhkan saling ketergantungan dan persamaan antara wanita dan pria dalam 1 Kor 11:11-12: “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.”

            Perkawinan bagi orang Kristen dipandang dengan mata iman dan di dalam pengakuan atas daya kuasa Kebangkitan. Suami isteri adalah mitra yang setara yang sama-sama berbagi dalam kebebasan dari dosa dan dalam sukacita dan pemberian diri timbal balik perkawinan (bdk LG art 56; Yohanes Paulus II, Mulieris Dignitatem 6-10) (KGK 1601—1642) 

Senin, 26 September 2022

Korintus dan Surat Paulus Kepada Jemaat Korintus

 



Pada permulaan September 2022 beberapa teman yang aktif sebagai pewarta di lingkungan meminta gambaran tentang kota Korintus pada masa Perjanjian Baru dan tentang Surat Paulus kepada Jemaat Korintus. Pada waktu itu Blog ini belum saya buat. Jawaban saya sampaikan dengan japri kepada masing-masing teman. Setelah Blog ini eksis sejak 13 September yang lalu saya pikir ada baiknya menerbitkan jawaban saya berkenaan dengan Korintus dan Surat Paulus kepada Jemaat Korintus itu sebagai artikel sebagai arsip yang dapat diakses teman-teman kapan saja.

 


Korintus 

Suatu kota di Yunani pada Tanah Genting Korintus yang menghubungkan Tanjung Peloponesos dengan benua Eropa. Letaknya di tanah genting itu membuat Korintus sangat strategis sebagai lalu lintas terdekat untuk perjalanan dari Laut Adriatik ke Laut Egea. Korintus mempunyai reputasi buruk sebagai tempat pelesiran (wisata seks) dan kesenangan, beberapa penulis Yunani menggunakan nama kota itu sebagai kata dasar untuk membentuk kata baru yang berkonotasi kejahatan seksual (misalnya, korinthiazomai, artinya “pesta seks”; korinthiastes, “germo”; dan korinthia kore, “pelacur”).

          Korintus dihancurkan pada tahun 146 SM oleh bangsa Roma ketika mereka mengalahkan Liga Akhaya. Kota itu tinggal puing-puing sampai tahun 44 SM  ketika Yulius Caesar memutuskan untuk membangunnya kembali dan menetapkan Colonia Laus Julia Corinthus sebagai ibukota provinsi Roma yang baru di Akhaya.

          Pada masa Perjanjian Baru Korintus sudah menikmati kemajuan sebagai pusat ekonomi dan penuh dengan bangunan-bangunan besar dan indah termasuk kuil-kuil, ampiteater (Stadion Besar), teater (tempat-tempat pertunjukan), dan tempat-tempat permandian umum; kota itu juga menjadi arena pertandingan olahraga di Tanah Genting itu (bdk 1 Kor 9:24-27). Paulus tinggal dan mengajar di Korintus selama delapan belas bulan (Kis 18:1-18) dan menulis setidaknya dua surat kepada jemaat di situ (1 Kor dan 2 Kor; bdk 1 Kor 5:9.11). Ia tiba di Korintus pada perjalanan misinya yang kedua dan berjumpa dengan Akwila dan Priskila. Ia tinggal bersama dengan mereka sambil melakukan pekerjaan sebagai pembuat tenda dan berkotbah di sinagoga setempat. Ia menjadikan orang Kristen kepala sinagoga itu, Krispus, tetapi ia pindah ke rumah Titus Yustus sesudah terjadi perselisihan dengan orang Yahudi di kota itu. Sesudah delapan belas bulan ia diajukan ke hadapan pengadilan prokonsul Roma, Galio, atas tuduhan “berusaha meyakinkan orang untuk beribadah kepada Allah dengan jalan yang bertentangan dengan hukum Taurat” (Kis 18:3). Tetapi Galio menolak campur tangan pada perkara-perkara yang dianggapnya urusan agama Yahudi (Kis 18:14-15). Beberapa waktu kemudian sesudah kejadian itu, Paulus pergi ke Efesus (Kis 18:18). Sesudah Paulus meninggalkan kota itu, Apolos melayani jemaat di Korintus (Kis 18:27-19:1).



Surat Kepada Jemaat Korintus

Dua gulungan surat Paulus yang dialamatkan kepada gereja setempat di Korintus. Surat yang pertama dimaksudkan untuk mengoreksi beberapa penyalahgunaan di dalam komunitas; untuk menyelesaikan perpecahan yang timbul di dalam jemaat; dan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang dikirimkan kepadanya mengenai moralitas, perkawinan dan selibat, tentang Ekaristi dan tentang kebangkitan badan. Surat yang kedua berusaha menanggapi perkembangan setelah surat yang pertama, khususnya terhadap tuduhan dari beberapa rasul palsu yang berusaha menjelek-jelekkan nama Paulus di Korintus. Kedua surat itu penuh dengan teologi Paulus, tetapi juga memberikan gambaran yang hidup tentang komunitas Kristen awal di Korintus dan tentang kepribadian Paulus sendiri yang cemerlang.

 


1 Korintus

I. Penulis dan Waktu Penulisan

Bahwa Paulus adalah pengarang surat ini tidak pernah disangkal. Sudah sedari Santo Klemens dari Roma (tahun 95M) 1 Kor disebut sebagai surat yang sah dari sang Rasul, dan tradisi lama menerima Paulus sebagai penulis surat. Paulus sendiri menyatakan bahwa ia menulis surat itu ketika ia berada di Efesus (1 Kor 16:8), mungkin pada waktu perjalanan misinya yang ketiga (tahun 53-58). Karena Paulus waktu itu berada di Efesus dan punya rencana untuk mengunjungi Korintus, mungkin surat ini ditulis pada musim semi tahun 56.

 

II. Isi

I. Pengantar (1:1-9)

II. Perpecahan Dalam Gereja Korintus (1:10-4:21)

A. Masalah Perpecahan dan Perlunya Kesatuan (1:10-17)

B. Hikmat Kristus (1:18-2:16)

C. Perpecahan Dalam Gereja Korintus (3:1-23)

D. Rasul-rasul (4:1-13)

E. Suatu Seruan (4:14-21)

III. Pelanggaran Moral Seksual (5:1-6:20)

A. Skandal Incest (5:1-13)

B. Perkara Di antara Umat Beriman (6:1-11)

C. Pelanggaran Moral Seksual dan Tubuh (6:12-20)

IV. Pertanyaan-pertanyaan Dari Korintus (7:1-14:40)

A. Tentang Perkawinan dan Hidup Selibat (7:1-40)

B. Makan Persembahan Berhala (8:1-10:33)

C. Himpunan Ibadat (11:1-34)

D. Karunia Rohani (12:1-14:40)

V. Kebangkitan Orang Mati (15:1-58)

A. Kebangkitan Kristus (15:1-11)

B. Kebangkitan Umat Kristen(15:12-58)

VI. Epilog (16:1-24)

A. Kolekte Untuk Gereja Yerusalem dan Rencana Kunjungan Paulus (16:1-12)

B. Nasehat-nasehat (16:13-24).

 

III. Maksud dan Tema

A. Latar Belakang Surat

Paulus mendirikan Gereja Korintus selama ia berada di sana pada tahun 51, seperti yang tercatat dalam Kis 18:1-18. Ia diterima dengan baik dan menyenangkan ketika mewartakan iman di antara orang-orang Korintus sesudah masa-masa sulit yang dijumpainya di Atena. Jemaat terdiri dari baik bangsa-bangsa lain (1Kor 8:7; 12:2) maupun Yahudi (1 Kor 7:18-20) yang berasal dari semua lapisan masyarakat, baik yang kaya (1 Kor 11:22), yang miskin (1 Kor 1:26) maupun budak-budak (1 Kor 7:12).

          Namun pada tahun-tahun sesudah ia meninggalkannya, jemat Korintus yang masih muda itu mengalami perpecahan dan berbagai krisis yang meretakkan persatuan iman. Paulus mendengar berita yang menyedihkan tentang kelompok-kelompok yang dibentuk jemaat Kristen di sana. “Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus” (1 Kor 1:12). Laporan yang menggelishkan itu bukan hanya tentang perpecahan (1 Kor 1:12-15) tetapi juga tentang hubungan perkawinan sumbang sedarah atau incest (1 Kor 5:1-50), kehidupan seksual yang melanggar norma kesusilaan (1 Kor 6:12-20), perkara-perkara pengadilan di antara anggota jemaat (1 Kor 6:1-8), dan penyangkalan akan Kebangkitan (1 Kor 15:12). Di samping itu, jemaat Kristen Korintus juga menenggang berbagai pelanggaran ibadat di dalam perayaan Ekaristi (1 Kor 11:17-34) dan membuat masalah sehubungan dengan penggunaan karunia karisma (1 Kor 14:1-40). Suatu pertanyaan juga diterima dari Korintus mengenai perkawinan dan keperawanan dan apakah boleh memakan makanan sajian berhala.

          Ketika ia tinggal di Efesus, Paulus kiranya juga menulis kepada jemaat Korintus suatu surat pendek yang tidak diketemukan, yang dirujuknya dalam 1 Kor 5:9-13, dan Paulus jelas punya rencana untuk mengunjungi Korintus untuk menyelesaikan berbagai masalah ini (1 Kor 11:34). Dalam usahanya untuk memberikan penyelesaian pada situasi itulah Paulus menuliskan apa yang sekarang kita kenal sebagai surat 1 Korintus.

 

B. Perpecahan Dalam Jemaat

Surat ini memberikan kepada kita gambaran rinci mengenai komunitas Kristen awal – dunia jemaat Kristen awal, pengaturan gereja setempat, berbagai tantangan yang mereka hadapi. Paulus sungguh sadar akan kesulitan-kesulitan ini, dan ia menerapkan suatu ancangan kebapakan dan pastoral ketika ia meneguhkan, mengarahkan, memurnikan dan memperbaiki keadaan. Persoalan-persoalan yang dihadapi tidak hanya dihadapi oleh jemaat Korintus saja, sehingga surat ini berharga bagi semua jemaat Kristen. Surat itu juga sangat berarti di masa sekarang, ketika Gereja menghadapi berbagai tantangan dan tekanan yang serupa.

          Dalam bagian pertama suratnya, Paulus mengingatkan jemaat Kristen bahwa dia, Apolos, atau bahkan Kefas (Petrus) mengajar dan melayani hanya semata-mata berdasarkan wewenang ilahi. “Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?” (1 Kor 1:13). Ia selanjutnya membahas persoalan-persoalan moral yang serius yang muncul dan berkembang, termasuk toleransi atas hubungan sumbang sedarah dan tragedi di mana jemaat saling memperkarakan sesama dalam pengadilan umum. Di dalam pernyataannya mengenai moral seksual, Paulus dikenang menulis, “Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Kor 6:18-20).

 


C. Perkawinan dan Hidup Selibat

Paulus menanggapi berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh utusan dari Korintus mengenai perkawinan (1 Kor 7:1), selibat (1 Kor 7:25), makanan bekas sajian berhala (1 Kor 8:1) dan berbagai karunia rohani (1 Kor 12:1). Ia lebih menyukai keadaan selibat tidak menikah, karena hal itu memberikan kebebasan yang lebih besar bagi hal-hal rohani, tetapi perkawinan adalah status hidup yang mulia sejauh sepenuhnya dihargai oleh pihak suami maupun isteri. Tetapi suatu perkawinan yang sah menurut hukum negara dan sudah dilengkapi dengan hubungan badan di antara orang-orang yang belum menikah dapat dapat diceraikan jika salah satu dari mereka menjadi Kristen dan pihak yang bukan Kristen menentang iman itu atau bermaksud menceraikan pasangannya yang baru saja dibaptis (1 Kor 7:12-15). Kekecualian dari prinsip umum perkawinan Kristen ini – yang oleh para teolog dikenal sebagai “privilege Paulinus” – dinyatakan Paulus sebagai cara untuk melindungi iman orang Kristen baru.

 

D. Makanan yang Dipersembahkan Kepada Berhala

Persoalan makanan sajian untuk berhala sungguh menarik. Umat Kristen tidak boleh secara sadar mengikuti penyembahan berhala, tetapi makanan sajian berhala kadang-kadang dijual di pasar. Perlukah orang Kristen mengetahui asal setiap makanan yang mereka santap? Jawaban Paulus pada soal itu adalah bahwa makanan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan: “Kita tidak rugi apa-apa, kalau tidak kita makan dan kita tidak untung apa-apa, kalau kita makan” (1 Kor 8:8). Maka tanpa sadar menyantap makanan bekas sajian berhala tidak akan merugikan umat Kristen. Tetapi umat Kristen yang dengan sadar menyantap makanan bekas sajian berhala, sekalipun makanan itu tidak merugikan baginya, dapat sangat merugikan mereka yang lemah imannya. “Karena apabila orang melihat engkau yang mempunyai "pengetahuan", sedang duduk makan di dalam kuil berhala, bukankah orang yang lemah hati nuraninya itu dikuatkan untuk makan daging persembahan berhala? Dengan jalan demikian orang yang lemah, yaitu saudaramu, yang untuknya Kristus telah mati, menjadi binasa karena "pengetahuan" mu” (1 Kor 8:10-11). Agar tidak menimbulkan pesan yang  keliru, maka umat Kristen dianjurkan tidak menyantap makanan yang diketahui bekas sajian untuk berhala. Lebih baik tidak makan daging ketimbang menyebabkan seorang saudara yang lemah jatuh berdosa (1 Kor 8:13).

 

E. Tubuh Kristus

Penyimpangan dalam hal ibadat menyangkut pakaian para wanita (1 Kor 11:2-16), perayaan Ekaristi (1 Kor 11-17-34) dan karisma atau karunia yang diberikan Roh Kudus kepada anggota jemaat (1 Kor 1: - 14:40). Paulus pada pokoknya mengharapkan liturgi yang tertib dan tepat. Ia menyatakan bahwa karunia-karunia  rohani berasal dari Roh yang sama, maka tidak seharusnya menimbulkan perselisihan dan persaingan. Ekaristi dengan demikian adalah sakramen persatuan yang menyatukan umat beriman dengan Kristus dan dengan satu sama lain (1 Kor 10:16-17). “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (1 Kor 12:12-13).

 

F. Kasih Kristiani.

Segala karunia rohani haruslah diatur menurut kebajikan yang terarah kepada Tuhan (teologis) yaitu iman, harapan dan kasih. Yang terbesar adalah kasih; tanpa kasih semua yang lain akan sia-sia (1 Kor 13:1-13). Ajaran Paulus mengenai kasih (bahasa Yunani agape) merupakan ajaran yang paling indah dan paling dalam di seluruh Perjanjian Baru. Ia memerinci sifat-sifat kasih yang terutama (1 Kor 13:4-7): “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”  Berbeda dengan karunia rohani seperti kemampuan bernubuat dan bahasa roh, kasih berlangsung selamanya. Paulus memberikan orientasi eskatologis dari kasih dan kedudukan primernya dengan menyatakan bahwa:  “Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Kor 13:12-13).

          Dalam Bab 15 Paulus menghadapi mereka yang menentang ajaran tentang Kebangkitan. Ia membahas bukti Kebangkitan Kristus (1 Kor 15:1-11) dan menghubungkannya secara langsung dengan kebangkitan orang Kristen di masa depan (1 Kor 15:12-58).

 

 


2 Korintus

I. Penulis dan Waktu Penulisan

Hampir semua ahli menerima Paulus sebagai pengarang 2 Kor. Berbagai Bapa Gereja meyakini Paulus sebagai pengarang surat ini berdasarkan bahasa dan  gayanya. Namun sebagian ahli menyatakan bahwa 2 Kor merupakan kumpulan dari beberapa surat Paulus. Umumnya surat ini dipandang sebagai gabungan dua surat, dengan surat yang kedua mulai pada Bab 10; mereka menyatakan ada perubahan yang menyolok pada sambungan itu, dari nuansa yang lembut berubah menjadi keras. Yang lain melihat adanya tiga tambahan yang dilampirkan pada surat utama, yaitu 2 Kor 6:14-7:1; Bab 9 yang mengulangi isi Bab 8; dan Bab 10-13, yang kembali pada persoalan Bab 7. Bagaimanapun, apakah surat ini terjadi dari satu atau beberapa surat, yang pokok adalah bahwa Pauluslah pengarang seluruh surat ini.

          Seperti halnya 1 Kor, Paulus menuliskan 2 Kor pada masa perjalanan misinya yang ketiga (bdk Kis 18:23-21:16), tak lama sesudah ia mengirimkan suratnya yang pertama. Jika 1 Kor dituliskan ketika ia berada di Efesus, surat yang kedua ini dikirimkan dari Makedonia di Yunani Utara, yang dikunjunginya sesudah meninggalkan Efesus (2 Kor 2:13; 7:5; 9:2). Surat ini, yang jelas ditulis sesudah 1 Kor, mungkin ditulis pada akhir tahun 56 atau awal 57 M.

 

II. Isi

I. Pengantar (1:1-11)

A. Salam (1:1-2)

B. Ucapan syukur (1:3-11).

II. Karya Kerasulan Paulus (1:12-7:16)

A. Perjalanan Paulus (1:12-2:17)

B. Pelayanan Perjanjian Baru (3:1-14:18)

C. Hidup Iman (5:1-10)

D. Pelayanan Pendamaian (5:11-6:10)

E. Rekonsiliasi di Korintus (6:11-7:16)

III. Pengumpulan Derma Untuk Yerusalem

A. Gereja Makedonia (8:1-7)

B. Kemurahan Hati (8:8-15)

C. Titus dan Teman-temannya (8:16-24)

D.Kolekte (9:1-15)

IV. Paulus Membela Pekerjaannya (10:1-13:10)

A. Ketaatan (10:1-6)

B. Tantangan Para Pemecah Belah (10:7-18)

C. Penderitaan Dalam Melayani Tuhan (11:1-12:13)

D. Rencana Paulus Untuk Mengunjungi Korintus (12:14-13:10)

V. Salam Perpisahan dan Berkat (13:11-14)

 

III. Maksud dan Tema

A. Latar Belakang Surat

Ditulis tidak lama sesudah 1 Kor, surat 2 Kor ini sangat berbeda karena nadanya yang sangat pribadi dan penuh perasaan. Surat ini diperlukan karena jemaat Korintus masih mengalami masalah. Kesulitan-kesulitan yang disebutkan dalam suratnya yang pertama sudah diatasi, tetapi ada ancaman baru yang muncul: ada misionaris yang mengembalikan tata cara Yahudi (“rasul-rasul palsu”, 2 Kor 11:13) yang datang dan menyerang wewenang Paulus, kredibilitas dan integritasnya. Karena lawan-lawan Paulus itu berhasil mendapat pengikut, mereka menciptakan ketegangan antara Paulus dan anak-anak rohaninya dan mendesak perlunya kunjungan singkat ke Korintus. Dalam kunjungan itu ia diserang dengan keras oleh musuh yang tak disebut namanya (2 Kor 2:5; 7:12), dan sang rasul terguncang mengetahui bahwa ada sementara jemaat Korintus yang tidak mau membela kehormatan dan wibawanya. Kemudian sebagian besar jemaat Kristen menyatakan kesetiaannya (2 Kor 7:9) tetapi masih ada sebagian kecil yang vokal menentangnya (2 Kor 12:20-21).

 

          B. Paulus Membela Pekerjaannya

Sebagian besar dari surat ini dimaksudkan untuk membela panggilan Paulus sebagai rasul. Berhadapan dengan  tuduhan bahwa ia punya motif-motif yang kurang murni, Paulus mengingatkan apa yang sudah diketahui jemaat Korintus tentang dirinya : mereka menjadi saksi bagaimana ia bekerja, dan mereka dapat menimbang kesungguhannya terhadap mereka sendiri. Ia banyak mengalami penderitaan ketika berkarya (2 Kor 1:3-11), namun selama itu ia bertindak dengan sungguh-sungguh tulus (2 Kor 1:12-14). Ia menyesali perselisihan yang dialaminya dalam kunjungannya yang terdahulu (2 Kor 1:15-2:4), tetapi ia menghimbau jemaat Korintus untuk memaafkan musuh yang menyebabkan situasi yang buruk itu (2 Kor 2:5-11). Ia yakin bahwa tugas perutusannya berasal dari Tuhan (2 Kor 1:21; 2:17).

 

          C. Huruf dan Roh

Paulus yakin, bahkan “penuh keberanian” (2 Kor 3:12) karena Injil yang diwartakannya adalah amanat kehidupan. Di sini ia kembali pada salah satu tema kesukaannya : kontras antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, “hukum yang tertulis” (harfiah “huruf” [pada loh batu]) dan “Roh”. Keyakinan Paulus berasal bukan dari kemampuan dirinya sendiri, tetapi dari Kristus dan pelayan Perjanjian Baru yang mendatangkan hidup: “sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2 Kor 3:6). Hukum adalah “pelayanan yang memimpin kepada penghukuman” sedang Perjanjian Baru adalah “pelayanan yang memimpin kepada pembenaran” (2 Kor 3:9), yang diisyaratkan oleh Hukum itu. Sebagaimana Musa menyelubungi wajahnya di hadapan Israel, demikianlah makna Kitab Suci Perjanjian Lama disembunyikan dari mereka yang tidak mengancang pendekatannya melalui Kristus (2 Kor 3:12-18).

          Sekalipun mengalami penderitaan dan penganiayaan Paulus mempunyai kekuatan untuk jalan terus, karena ia tahu bahwa daya ilahi bekerja semakin efektif melalui kelemahannya (2 Kor 12:9-10). “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami” (2 Kor 4:17).

          Berulangkali Paulus menekankan bahwa ajarannya bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi dari Tuhan (2 Kor 1:12.21; 4:6; 5:20). Berpegang terus pada tujuan akhir memberi Paulus kekuatan untuk maju terus, dan hal yang sama seharusnya dialami para pembaca.

 

          D. Amal Kasih untuk Palestina

Setelah mendamaikan dirinya dengan jemaat Korintus, Paulus merasa cukup yakin untuk mengemukakan soal donasi uang. Dalam 2 Kor 8-9 Paulus menghimbau jemaat Korintus agar dengan murah hati memberikan sumbangan yang akan diserahkan kepada jemaat Kristen yang membutuhkan di Yudea. Ia mengemukakan kemurahan hati jemaat Makedonia (2 Kor 8:1-5) dan mendorong jemaat Korintus memberikan bantuan dengan semangat “sukacita” yang sama (2 Kor 9:7).

 

          E. Paulus Menantang Lawan-lawannya.

Paulus kembali lagi pada pembelaan atas pekerjaannya dalam empat bab terakhir, tetapi dengan nada yang sangat berbeda. Di sini ia bicara langsung kepada lawan-lawannya, langsung menanggapi tuduhan mereka (2 Kor 10:10-11; 11:22-23) dan menggambarkan pekerjaannya yang berat dan penderitaannya dalam melayani Tuhan (11:1-12:13). Hatinya pasti sangat terluka oleh kejadian-kejadian di Korintus, dan kemarahannya muncul terutama dalam bab terakhir. Paulus mengingatkan lawan-lawannya bahwa ia ”tidak akan menyayangkan mereka lagi” (2 Kor 13:2) ketika berhubungan dengan mereka pada waktu kunjungan berikutnya nanti di Korintus (2 Kor 13:1; bdk 12:4).


Bambang Kussriyanto

Sumber: Scott Hahn