Bambang Kussriyanto
PROLOG: TAHAP BARU, TANTANGAN BARU
Menjelang 1970
Our task is not to fix the blame for the past—but to help fix the course
for the future.
—John F.
Kennedy
“Pino, kami semua
menyertaimu dalam pikiran dan hati, terutama ketika kamu dalam bahaya. Aku terhibur begitu mengetahui kamu pasrah
atas apa yang terjadi. Kamu tahu bahwa kita pasrah bukan karena pengecut dan
lemah, tapi justru karena berani dan kuat. Sikap pasrah itu kita dasarkan pada
Tuhan yang melihat dan mendengar segala sesuatu, yang menopang kita dan membuat
kita selalu gembira dan melindungi kita dari yang jahat, bahkan di bawah
tembakan meriam. Banyak prajurit ketika
mendengar tentang patriotisme hanya mengangkat bahu, tersenyum, atau mengumpat.
Kita tidak begitu. Kita melakukan kewajiban kita dan tetap memandang Tuhan.
Mereka yang memerintah kita dulu dan sekarang tidak layak untuk pengorbanan
kita. Tetapi tanah air kita yang berada dalam bahaya pantas mendapatkannya;
manusia berlalu, tetapi tanah air (patria) tetap ada. Pengorbanan bagi tanah
air adalah persembahan pada Tuhan dan untuk saudara-saudara kita setanah air
dan jika kamu pulang, kuharap itu tidak
lama lagi, akan kamu lihat bahwa tak ada ruginya kamu berkurban dan
menderita... Sekarang kamu di mana?
Kabari aku jika kamu bisa.”
Begitulah surat yang ditulis Letnan Angelo Giuseppe
Roncalli, seorang pastor rumah sakit militer di Bergamo untuk adiknya,
Giuseppino, yang tertangkap musuh dalam perang. Mengingatkan pedihnya situasi
perang. Berhadapan setiap hari dengan prajurit dan petani yang tak berdosa,
terluka, sekarat dan mati membuat Pastor Letnan Roncalli berulang kali jatuh
berlutut, berdoa dan menangis sendirian di dalam kamarnya. Baginya perang
adalah kejahatan dan selalu jahat. Situasi perang yang penuh penderitaan dan
sekarat tidak pernah menyumbang pada kemajuan moral melainkan ujian iman setiap
waktu.Letnan Roncalli setia berdoa untuk mereka yang gugur dengan sakramen di
hati, yang menyebut nama Maria di bibirnya, bukannya mengutuki nasib buruk,
melainkan menyerahkan dengan sukacita persembahan bunga masa muda hidup mereka
kepada Tuhan dan saudara-saudara setanah air. Gugur sebagai bunga bangsa. Di
kemudian hari Letnan Roncalli menjadi Uskup, menjadi Kardinal, dan kemudian
pada 1958 menjadi Paus. Paus Yohanes XXIII. (Hebblewaite Peter. 1985. Pope John XXIII: Shepherd of the modern
world. Garden City, NY: Doubleday & Co. )
A. Perang Dingin Berdampak Panas
Situasi dunia memengaruhi kondisi politik dan ekonomi serta
keadaan sosial di Indonesia serta Gereja di dalamnya. Dunia dalam dasawarsa
lima dan enam puluhan abad keduapuluh diwarnai
oleh perebutan pengaruh ideologis dan militer di antara dua negara adidaya
pemenang Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat yang membentuk blok Barat yang
umumnya berideologi demokrasi dan menerapkan sistem ekonomi kapitalis liberal,
dan Uni Sosialis Soviet Rusia yang membentuk blok Timur dengan ideologi
komunis, sosialis, dengan sistem perekonomian terpusat di tangan negara. Blok
Barat membentuk pakta pertahanan NATO (North
Atlantic Treaty Organisation: Austria, Belanda, Denmark, Jerman Barat,
Perancis, Italia, Portugal, Spanyol), dan Blok Timur membentuk pakta Warsawa
beranggotakan negara-negara komunis (Bulgaria, Cekoslovakia, Jerman Timur,
Hungaria, Polandia, Rumania, dan - sampai awal 1960-an - Albania). Di antara
kedua blok Barat dan Timur terjadi ketegangan oleh perlombaan persenjataan yang
disebut Perang Dingin. Walau pun ada
konflik, namun tidak terjadi perang real
di antara kedua blok; yang terjadi adalah perlombaan dan pameran pembuatan persenjataan
yang merupakan ancaman satu sama lain, baik dalam jumlah dan kemampuan
persenjataan konvensional maupun senjata jenis baru pemusnah masal berupa
peluru kendali bertenaga nuklir, senjata biologi, kimia (nubika) dan serta
persaingan kemajuan teknologi (gabungan teknologi roket, komputer, satelit,
komunikasi) yang diwujudkan melalui program peluncuran pesawat angkasa luar: Apollo (AS), Cosmos, Salyut, Soyuz (Uni Soviet).
Negara-negara di luar kedua blok menjadi obyek perebutan
pengaruh. Di antara mereka sebagian dengan tegas menolak keberpihakan pada
salah satu negara adidaya dan menggalang komunikasi dan kerjasama di dalam
suatu himpunan yang disebut Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non-Aligned Movement. Lebih dari 100 negara di dunia menjadi
anggota GNB yang awalnya bertemu di
Bandung pada 1955 dalam Konferensi Asia Afrika yang menghasilkan Piagam Dasa Sila Bandung, yaitu :
1. Menghormati hak-hak dasar
manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa)
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa
3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa,
besar maupun kecil
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam
negeri negara lain
5. Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara
sendirian ataupun secara kolektif, yang
sesuai dengan Piagam PBB
6. (a). Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif
untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan (b)
tidak melakukan tekanan terhadap negara
lain
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi maupun penggunaan
kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara
8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai,
seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, ataupun cara damai lainnya,
menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama
10. Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional
.
Memasuki periode 1960-an, ketegangan di dunia semakin
meningkat dengan ditandai memuncaknya Perang Dingin berupa Krisis Berlin, yang
berawal dari tuntutan Soviet yang menduduki Berlin Timur agar AS dan Inggris
meninggalkan Berlin dan menjadikan Berlin kota bebas. Namun karena posisi
Berlin dikepung negara-negara berideologi
komunis, AS dan Inggris menolak. Perundingan tentang Berlin di Camp
David 1959 gagal, dan di KTT Paris 1960 untuk maksud yang sama pun juga gagal
menemukan solusi. Sementara itu terjadi perjuangan kemerdekaan melepaskan diri
dari kolonialisme Eropa di Asia, Afrika, Timur Tengah, dan perlombaan
persenjataan nuklir bertambah meruncing. Di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) di New York pada September 1960, di sela-sela sidang Majelis Umum PBB
ke-15, GNB termasuk Indonesia berhasil mengeluarkan suatu Komunike Bersama yang
memuat aksi politik, antara lain menghimbau negara adidaya untuk menghentikan
produksi senjata atom dan nuklir, percepatan proses kemerdekaan bangsa yang
masih terjajah melalui PBB, dan menghimbau negara maju untuk membantu negara
berkembang, serta menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok I
(KTT GNB) sekitar tahun 1961 menjelang diadakannya Sidang Majelis Umum PBB
ke-16.
Gereja menyampaikan ajaran sosialnya melalui Paus Yohanes
XXIII yang pada 5 Mei 1961 menerbitkan Ensiklik Mater et Magistra (MM) menanggapi perkembangan situasi dunia di
masa itu, yang ditandai kebangunan ekonomi di Eropa Barat setelah rekonstruksi
pasca perang dunia. Kekuasaan negara untuk mengatur perekonomian dihargai
sejauh tetap menghormati kebebasan warganegara dan menjamin hak-hak pribadi
seraya mengurangi ketimpangan-ketimpangan (MM 54-58). Perkembangan
serikat-serikat perlu didorong untuk bertambahnya kerjasama sosial yang lebih
baik, tetapi jangan pernah menyerap dan menghancurkan kehidupan pribadi.
Serikat-serikat disemangati untuk memajukan keadlian dalam pembagian
pendapatan, bukan hanya dari segi upah, tetapi juga pembagian keuntungan dari
program pemilikan saham karyawan atas unit-unit produksi. Selain itu
serikat-serikat jangan hanya memikirkan manfaat ekonomis melulu, melainkan juga
seluruh aspek kehidupan (MM 59-103). Diingatkan bahwa harta pribadi mempunyai
fungsi sosial dan mereka yang mempunyai kekayaan harta benda material dianjurkan menjadikannya kekayaan rohani melalui derma dan amal kasih kepada orang miskin
di dunia (MM 104-121).
Mengenai pertanian, pemerintah diharap meringankan beban
para petani dengan menyediakan prasarana pertanian yang lebih baik, modal yang
cukup, pajak yang tidak memberatkan, kebijakan harga hasil pertanian yang
melindungi pendapatan petani, memajukan teknologi pertanian, mengusahakan
keseimbangan antara sektor pertanian dan sektor-sektor ekonomi lainnya,
menjalin kerjasama antar bangsa dan menggalang bantuan internasional misalnya
melalui Badan Pangan dan Pertanian PBB, FAO (MM 122-160).
Berkenaan dengan kemiskinan perlu digalang kerjasama dan
bantuan internasional dengan pola subsidiaritas yang menghormati martabat dan
identitas bangsa yang sedang berkembang tanpa maksud-maksud kolonialisme baru
dan imperialisme yang licik (MM 161-177).
Tentang pertambahan penduduk hendaknya gagasan-gagasan tidak
kontradiktif, di satu pihak terjadi kemelaratan dan menyalahkan pertambahan
penduduk, di pihak lain hasil kekayaan alam tidak digunakan untuk mengurangi
kemiskinan melainkan untuk perlombaan senjata dan penguasaan angkasa luar (MM
185-211).
Pada bulan September 1961
diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I Non-Blok di Beograd, Yugoslavia, di mana secara resmi
diumumkan berdirinya GNB secara simbolis dengan penandatanganan piagam
pendirian oleh 25 kepala negara yang hadir. Ini menandai lahirnya kelompok negaa yang
disebut Negara Ketiga, atau Dunia Ketiga. KTT GNB I telah menghasilkan tiga
dokumen penting, yaitu:
1. Pernyataan tentang bahaya perang dan tuntutan untuk perdamaian;
2. Deklarasi mengenai prinsip-prinsip Non-Blok, bersama dengan 27
ketentuan persetujuan tentang pemecahan masalah-masalah dunia;
3. Surat bersama kepada Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy dan
Perdana Menteri Uni Soviet Kruschev untuk mencegah peperangan melalui
perundingan dan mencapai perdamaian dunia.
Karut Marut Politik Indonesia: Memancing
Munculnya Sang Tiran
Gereja Katolik di Indonesia pada permulaan dekade 1960-an dari
akhir dekade 1950-an ibarat ikan berada dalam air yang keruh. Air yang
bergejolak keruh itu adalah perkembangan keadaan negara dan masyarakat Indonesia,
baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang serba sulit. Dalam bidang politik, sistem
Demokrasi Parlementer yang dianut sejak awal tahun 1950-an menurut
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS
1950), dan dengan adanya banyak partai
pada waktu itu, menyebabkan pemerintah tidak dapat bekerja optimal karena
partai-partai dan wakil-wakilnya di dalam parlemen tidak memperjuangkan
kepentingan rakyat, melainkan kepentingan golongan masing-masing. Hampir setiap
tahun kabinet jatuh bangun silih berganti. Maka
menjelang akhir dasawarsa 1950-an Presiden Soekarno mencanangkan gagasan
“Demokrasi Terpimpin” .
Gagasan “Demokrasi Terpimpin” berasal dari Konsepsi
Presiden, yang karena sistem parlementer yang tidak dapat menjamin kelancaran
pemerintahan, hendak diganti dengan sistem “Demokrasi Indonesia” berasaskan
gotong- royong, kepribadian asli
Indonesia, dan “Terpimpin”. Presiden membentuk “Dewan Nasional” yang berfungsi
sebagai penasehat Kabinet. Dan Kabinet akan dibentuk dengan pola “Empat Kaki”,
yaitu partai-partai besar pemenang Pemilihan Umum 1955, yaitu Partai Nasional
Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdatul Ulama (NU),dan Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Dalam kalangan Gereja Katolik sudah sejak Sidang Majelis
Agung Waligereja (MAWI) 1955 di Surabaya, para Uskup mengingatkan bahaya
komunisme. Ensiklik Paus Pius XI tahun 1931, Quadragesimo Anno (QA), selain mengecam liberalisme yang
menyebabkan masalah berat pengangguran dan kemiskinan, juga menyatakan bahwa
komunisme adalah bentuk sosialisme garis keras, yang jika berhasil merebut
kekuasaan akan bertindak kejam mengerikan dan melanggar perikemanusiaan,
menggulirkan pertentangan kelas masyarakat dan menghapuskan hak milik pribadi,
sebagaimana telah banyak terjadi di negara-negara Eropa Timur dan Asia,
bertentangan dengan prinsip sosial Gereja, dan harus dilawan oleh Gereja (QA 111-126). Sosialisme sendiri sudah ditentang
Paus Leo XIII sejak Ensiklik Rerum
Novarum (RN) dari tahun 1871 (RN, 3-5 dst). Walaupun belakangan sosialisme
melunak, Paus Pius XI menyatakan sosialisme
tetap perlu diwaspadai karena
menganjurkan penghapusan hak milik pribadi dan serikat-serikat, digantikan
penguasaan oleh negara (QA).
Paus Pius XII mengakui besarnya tanggungjawab yang diemban
pemerintah sipil demi kesejahteraan rakyat, dengan upaya menjamin ketenangan,
ketertiban, keamanan dan kebebasan dalam keadilan, agar rakyat dapat
menggunakan kesempatan meraih kemajuan di bidang fisik, intelektual dan moral.
Tanggungjawab yang berat itu dapat diringankan oleh kerjasama setulus hati dari
semua pihak yang mau memperjuangkan kebahagiaan, kemakmuran dan kemajuan bangsa. Paus menyatakan itu pada 13 Juni 1956, ketika
Presiden Soekarno dari Republik
Indonesia berkunjung ke Vatikan. Soekarno adalah Presiden muslim pertama
yang mengunjungi Vatikan, menyampaikan
terima kasih atas dukungan Vatikan yang mengakui Republik Indonesia merdeka.
Paus yakin, sejuta umat Katolik di Indonesia yang sudah bekerja keras di bidang
pendidikan, kesehatan dan amal kasih lainnya akan memberikan dukungannya sebagai tugas suci. Dalam melaksanakan
tugasnya, Gereja selalu dan di mana-mana memilih dan mendidik para imam bumi
putera, yang setelah persiapan yang matang dan punya pengalaman cukup, akan
melayani kebutuhan rohani umat katolik di tanah air. Sementara itu diperlukan
ketekunan dan kesabaran sampai para imam bumi putera mencapai jumlah yang
cukup, pelayanan rohani umat masih perlu mendapat bantuan dari tenaga asing.
Dengan kesabaran dan kerjasama pemerintah Indonesia selama masa transisi ini
dengan pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan, Gereja
berharap kedua pihak dapat memeroleh kemajuan sebaik-baiknya. Paus mendoakan
agar bangsa Indonesia yang sekalipun masih muda namun percaya diri, bijaksana
dan dapat menempatkan diri hingga diterima menjadi anggota PBB, dapat mencapai
kemakmuran dan kejayaan nasional seiring dengan upaya-upaya universal untuk
kebaikan seluruh umat manusia. Selama
pertemuan berdurasi 20 menit tersebut, Soekarno dihadiahi medali Grand Cross of the Pian Order.
Namun Partai Katolik melalui ketuanya, IJ Kasimo, pada tahun 1957 tegas-tegas menolak “Konsepsi
Presiden” Soekarno dan “Demokrasi Terpimpin” karena tidak mau dan tidak bisa
bekerja sama dengan PKI dengan alasan prinsip. Sikap ketua Partai Katolik itu
didukung tokoh-tokoh Prof Mr. A.A, Soehardi, A.B. de Rosari dan Ir, Soewarto
serta Mgr. Djajasepoetra, tetapi ternyata tidak didukung oleh beberapa
fungsionaris partai terutama komisariat Yogyakarta seperti Djoko Tirtono, H.J.
Soemarto, serta Mgr. Albertus Soegijopranata, yang menghendaki siasat taktis loyalitas kritis
dalam berpolitik, agar tetap berada di lingkaran dalam pemerintahan dan
memperjuangkan kepentingan nasional, dan berargumentasi menentang PKI. Kongres Partai Katolik 1958
menegaskan sikap prinsip terhadap Konsepsi Presiden dan Demokrasi Terpimpin,
namun tetap loyal menjalin kerjasama dengan kabinet kasus per kasus. Dualisme
sikap ini membuat Partai Katolik menemukan jalan kelangsungannya untuk beberapa
tahun di kemudian hari.
Paus Pius XII wafat tahun 1958. Kardinal Angelo Giuseppe Roncalli terpilih sebagai
penggantinya dalam Konklaf 28 Oktober
1958 dengan nama Paus Yohanes XXIII.
Gelegar Maklumat Konsili Vatikan II
Tidak lama setelah pelantikannya, pada 25 Januari 1959, Paus
Yohanes XXIII menyatakan kehendaknya untuk mengadakan Konsili Vatikan II.
Konsili ini bukan sekedar kelanjutan Konsili Vatikan I (1869-1870) melainkan
suatu Konsili yang sungguh baru. Sebelumnya,
kendati ada pendapat umum bahwa Konsili tidak diperlukan, dua orang Paus sudah
ancang-ancang hendak mengadakan Konsili Vatikan II dengan titik tolak yang
berbeda, namun harapan mereka kandas tak terlaksana (Giovanni Caprile, Il Concilio Vaticano II, V [Rome: Ed.
"La Civiltà Cattolica," 1969]). Paus Pius XI (1922-1939) bermaksud
menyelenggarakan Konsili Vatikan II untuk melanjutkan Konsili Vatikan I yang
terhenti oleh Perang Prusia 1870, dan menyelesaikan agenda yang tersisa
(Ensiklik Urbi Arcano, 1922).
Didukung 26 kardinal anggota kuria (3 menolak), Paus Pius XI pada 1924
menyurati para Uskup dan pimpinan Ordo/Tarekat sedunia, apakah mereka setuju
meneruskan Konsili Vatikan I dengan Konsili Vatikan II. Diperoleh 1165 jawaban,
900 lebih setuju, 65 minta ditunda dulu, 34 menolak. Topik-topik yang disiapkan: Konstitusi
Dogmatik tentang Iman, Gereja Kristus Sejati, Kode Etik Internasional,
Masyarakat Bangsa-bangsa, Aksi Katolik, Persekolahan, Tugas dan Peran Perempuan
dalam Masyarakat. Paus Pius XI tidak sempat mengadakan rapat kelanjutan semua
itu karena kesibukan menjelang Tahun Yubileum 1925 dan kemudian terjadilanya
Masalah Roma yang membutuhkan perhatian, waktu dan tenaga hingga 1929. Kemudian
terjadi Krisis Ekonomi yang mengguncang dunia dan berdampak pada Gereja hingga 1938,
ketika Paus Pius XI wafat.
Penggantinya, Paus Pius XII
(1939-1958) di awal kepausannya telah menerima catatan dari Kardinal
Ernesto Ruffini dan suatu pro memoria dari Celso Constantini tentang perlunya Konsili Vatikan II,
karena sudah ada masalah yang sama
banyaknya dengan yang dulu dihadapi Konsili Trente. Bukan hanya agenda Konsili
Vatikan I yang belum diselesaikan (Olivier Rousseau, "Le prochain concile
et l'Unité de l'Eglise," Irénikon,
32 (1959) 309-33, at 309, dan dalam Unitas,
48-49 (1959-60) 14). Pada bulan Maret
1948, Mgr Alfredo Ottaviani, Asesor Tahta Suci , diajak membicarakan
kemungkinan Konsili Vatikan II oleh Paus Pius XII, tentang perlu dan
mendesaknya menetapkan pokok-pokok ajaran oleh penyimpangan filsafat, teologi,
moral dan perkembangan masyarakat berkenaan dengan komunisme, perlombaan
persenjataan, pembaruan Hukum Gereja, soal-soal disiplin Gereja, kebudayaan,
Aksi Katolik, dan akhirnya kesiapan mengumumkan dogma tentang Maria Diangkat Ke
surga. Paus mengungkapkan kesulitan yang
dihadapi waktu itu untuk mengundang Konsili namun meminta agar dilakukan
persiapan diam-diam untuk topik-topik yang akan dibahas serta meminta nama-nama
yang perlu dihubungi untuk pembentukan Komisi Persiapan.
Mgr Octavianni melakukan pertemuan empat kali dengan 6
konsultor mengenai amanat Paus Pius XII tentang Konsili Vatikan II dan mereka
merancang satu Komisi Pusat yang anggotanya terdiri dari Kuria Roma untuk
koordinasi atas kerja komisi-studi dan enam Komisi Persiapan (Teologi Dogmatik,
Teologi Praktis, disiplin dan Liturgi, Misi, Aksi Katolik dan Kebudayaan).
Februari 1949, Paus Pius XII membentuk Komisi Pusat atau Komisi Persiapan
Khusus diketuai oleh Mgr Borgongini Duca dan Pierre Charles, dari Leuven,
sebagai Sekretaris. Komisi mengadakan rapat enam kali antara Februari dan Mei
1949. Diusulkan agar Komisi mengirim surat kepada sejumlah Uskup (65 di antaranya dari 30 negara) untuk
meminta saran mengenai topik-topik. Dalam pertimbangan Komisi, sisa tugas Konsili
Vatikan I tidak memadai untuk mengundang Konsili Vatikan II, namun perkembangan
soal-soal baru begitu banyak sehingga akan cukup menyibukkan. Di satu pihak
Konsili Vatikan II dirancang singkat saja untuk menghasilkan satu atau dua
dokumen yang merampungkan sisa tugas Konsili
Vatikan I, ditambah satu dokumen baru tentang tafsir Kitab Suci, di
pihak lain perkembangan berdasar studi atas 40 ensiklik baru pasca Konsili
Vatikan I mengisyaratkan pembicaraan panjang.
Beberapa kemungkinan skema: (1) Allah Mahakuasa Sumber Segala Tatanan;
(2) Kodrat dan Tujuan Manusia; (3) Kodrat dan Peran Gereja. Pertambahan jumlah anggota Komisi menimbulkan
desakan kuat agar Konsili berjalan menurut Tradisi yang memerlukan persiapan
panjang dengan menampung saran para Bapa Konsili tentang apa yang perlu dibahas
dan diputuskan, untuk selanjutnya diserahkan kepada mereka dan menjauhkan
prasangka bahwa semua sudah diatur dan digariskan oleh Kuria Roma. Terjadi
perbedaan sikap dalam Komisi hingga 1951. Pekerjaan Komisi dihentikan pada
tahun 1951 namun dalam tiga tahun berikutnya
ide-ide dan catatan terus dikembangkan. Muncul gagasan untuk mengundang
Konsili tahun 1955 namun Paus Pius XII setuju untuk melakukan persiapan lebih
panjang. Hingga wafatnya pada 1958, Paus
Pius Xii tidak mengundang Konsili.
Paus Yohanes XXIII sebelum terpilih menjadi penerus Paus Pius XII berkesempatan menjadi duta besar Vatikan di
banyak tempat (Bulgaria, Turki, Paris, UNESCO)
merasakan tuntutan besar yang berbeda terutama berkaitan dengan
perdamaian dunia dan persatuan umat kristiani, dan menginginkan masa
kepausannya sebagai masa transisi. Kembali pada soal Konsili, menurut Paus
Yohanes XXIII dalam 50 tahun terakhir, telah terjadi perubahan yang sangat
besar di dunia yang membutuhkan suluh iman dari Gereja. Konsili Vatikan II
baginya harus menjawab tantangan baru yang dihadapi Gereja dari perkembangan situasi dunia yang
membutuhkan tuntunan iman. Di satu pihak hidup Gereja Katolik dalam ajaran dan tindakan sejak pertengahan
abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 berhadapan dengan gelombang Protestanisme yang marak oleh perpecahan di
sana-sini serta berhadapan dengan paham-paham rasionalisme, liberalisme,
komunisme, sosialisme, modernisme, fasisme, semakin mengandalkan sentralisasi
ke Vatikan, semakin terkonsentrasi
sebagai benteng tertutup yang aman. Di pihak lain perkembangan dunia
pasca Revolusi Rusia 1917, Perang Dunia I dan Perang Dunia II 1945 memerlukan
panduan yang sesuai dengan situasi dan kondisi: Perang Dingin antara blok
Komunisme dan blok Demokrasi; munculnya
gerakan non-blok, Perang Korea dan Perang Vietnam; Krisis Hungaria; Krisis
Sino-Soviet dan kosekuensinya atas Perang India; dekolonisasi Afrika dan
maraknya nasionalisme dengan munculnya 17 negara yang baru merdeka, bahaya
kelaparan di Afrika dan Asia, semua itu menyadarkan bahwa Gereja perlu
keluar dari benteng dan membuka pintu-pintunya, memperbarui kehadiran
dan misinya di dunia untuk dapat berdialog dan aktif terlibat dalam kehidupan
dunia sebagai sakramen keselamatan bagi dunia. Suatu aggiornamento, pembaruan, dengan meneguk kembali dari
sumber-sumber imannya yang asli.
Kehendak Paus Yohanes XXIII itu dikemukakan di hadapan 17
Kardinal yang berkumpul di Aula Utama
Biara Benediktin, setelah di Basilika St
Paulus merayakan peringatan pertobatan St. Paulus. Terutama karena krisis iman dan moral yang
serius, Gereja dirasakan jauh dari kehidupan sehari-hari dan pergumulan dunia,
terpusat hanya dalam ritual saleh dalam Misa berbahasa Latin yang tidak
dimengerti sebagian besar umat di dunia.
Seperti St Paulus yang disapa Kristus dan bertobat dan melaksanakan
amanat perutusan, demikianlah Gereja
juga. Pernyataan Paus itu di kemudian
hari digambarkan sebagai “ilham dari Allah, bunga musim semi yang tak terduga”
(Motu propio Superno Dei Nutu, 5-6
1960: Acta et Documenta Concilio
Oecumenico Vatican II apparando, Series I, vol. I, Typis Polyglottis
Vaticanis 1960, p. 93.)
Maklumat penyelenggaraan Konsili Vatikan II itu sangat
mengejutkan . Selanjutnya baik di dalam Gereja untuk teologi maupun di luar Gereja untuk sisi moral sosial
politik dan ekonomi gema maklumat itu
bergaung sampai jauh, di satu pihak menimbulkan harapan dan optimisme baru, di
pihak lain membangkitkan spekulasi mengenai apa yang akan terjadi, termasuk
tafsiran-tafsiran yang keliru.
Dalam suatu acara kenegaraan, sementara kegiatan persiapan
Konsili Vatikan II berlangsung, Presiden Soekarno melakukan kunjungan keduanya
ke Vatikan pada 14 Mei 1959. Dari Roma,
Soekarno bersama rombongan bertatap muka
dengan Paus Yohanes XXIII di Vatikan. Sebelum pulang, Soekarno kembali
dihadiahi medali kehormatan. Pada kesempatan itu Soekarno menyampaikan undangan
pemerintah Indonesia agar Paus mengunjungi Indonesia.
Melanjutkan gagasan tentang Konsili, dengan penuh iman setia
kepada Tuhan, tanpa menunda-nunda lagi, Paus St Yohanes XXIII pada 15 Mei 1959
membentuk panitia pra-persiapan Konsili Vatikan II dipimpin Kardinal D. Tardini, dan
memerintahkan konsultasi seluas-luasnya
untuk menentukan tema-tema yang perlu dipersiapkan untuk Konsili.
Pada hari Pentakosta, 18 Juni 1959, disebarkan kuesioner
konsultasi kepada para Uskup di seluruh dunia, tentang materi apa yang perlu
dibicarakan dalam Konsili Vatikan II.
Di Indonesia, karut marut politik berlanjut ketika sebagian
politisi dan tentara di Sumatera membuat pemerintah tandingan karena permintaan
mereka tidak digubris pemerintah pusat, dan mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Di Sulawesi pada waktu yang sama juga terjadi peristiwa pemisahan diri
dengan pola yang sama, dengan proklamasi dan didirikannya Perjuangan Rakyat Semesta atau PERMESTA. Pemerintah pusat setelah
gagal melakukan pendekatan baik-baik, mengirim tentara untuk menindas
pergolakan itu secara kejam dan menyebabkan banyak korban, serta menimbulkan
trauma dalam masyarakat.
Pidato kenegaraan 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno diberi judul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita”. Naskah pidato ini kemudian dijadikan doktrin
kenegaraan yang disebut “Manifesto Politik” (Manipol). Dewan Pertimbangan Agung (DPA) mengesahkan
berbagai pidato Presiden, disusun rinci dengan rangkaian sistematika
pokok-pokoknya disingkat USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Maka doktrin pemerintahan selanjutnya adalah
Manipol-Usdek. Kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI membuat masyarakat
Katolik bertambah cemas.
Dewan Perantjang Nasional
(Depernas) dibentuk dengan UU no. 80/1958 tentang Undang-Undang
Pembangunan Nasional Berencana dan ditugasi
menyusun suatu rencana pembangunan nasional yang meliputi pembangunan segala kekayaan alam
serta pengerahan tenaga Rakyat serta meliputi segala segi penghidupan Bangsa
Indonesia.Suatu rencana pembangunan
semesta. Dilengkapi dengan petunjuk operasional
berupa Penetapan Presiden No. 4 tahun 1959, tugas Depernas ditetapkan
untuk merancang pola pembangunan
masyarakat adil dan makmur atau masyarakat
sosialisme Indonesia.
Pemikiran tentang sosialisme walau diberi label Indonesia tetap meragukan,
berhadapan dengan prinsip yang ditanamkan di hati para politisi Partai Katolik
darii ajaran sosial Gereja yang memandang buruk sosialisme (RN, 3-4-5 dst).
Nyatanya berangsur-angsur
Presiden Soekarno menarik seluruh
kekuasaan memusat pada dirinya sendiri, dan menginginkan agar segala
kebijakannya direalisasikan dan didukung ”tanpa reserve”. DPR hasil Pemilihan
Umum 1955 dibubarkan karena dianggap gagal menjalankan fungsinya sebagai
legistaif ditubuh pemerintahan presidential.
Presiden membentuk DPR baru,
yaitu DPR-GR (Gotong Royong), yang seluruh anggotanya ditunjuk langsung oleh
Presiden agar dalam proses pemerintahan dapat sejalan dengan pemikiran
Presiden. Tata tertibnya juga ditetapkan oleh Presiden Soekarno dengan
Peraturan Presiden (Perpres) No. 24 tahun 1960. Pidato Presiden pada upacara
pelantikan DPR-GR tanggal 25 Juni 1960 menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah
melaksanakan Manipol, merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, dan
melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Dalam DPR-GR, Soekarno memberikan 30 kursi
kepada PKI, PNI mendapat 44 kursi, dan NU 36 kursi. Masyumi disingkirkan.
Pemberian kursi itu komposisinya dipandang masih sesuai denganproporsi Pemilihan Umum 1955 dan selaras dengan
konsepsi Nas-A-Kom (Nasionalis-Agama-Komunis), di mana golongan nasionalis diwakili
PNI, golongan Agama oleh NU, dan golongan komunis oleh PKI .
Masyumi walaupun partai besar Islam yang berjaya dalam
Pemilihan Umum 1955 dinyatakan terlarang pada tahun 1960 karena terlibat
mengusung PRRI yang memberontak. Kursi untuk mereka dalam DPR dibagi untuk PKI,
PNI dan NU. Partai Indonesia (PSI) juga
dijadikan partai terlarang karena mendukung Permesta.
IJ Kasimo sebagai ketua Partai Katolik bergabung dengan
beberapa tokoh politik yang anti PKI dan kalangan Angkatan Darat (dalam Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia, IPKI) membentuk suatu forum yang berfungsi
sebagai badan kerja-sama menyelamatkan demokrasi. Forum itu disebut Liga Demokrasi, dimotori tokoh-tokoh Masyumi,
PSI, NU, IPKI, PSII, dan Parkindo. Dibentuk
24 Maret 1960 Liga Demokrasi
bermaksud: pertama, menggalang
opisisi atas kepemimpinan tunggal
Soekarno untuk memulihkan dan menegakkan demokrasi. Kedua, membendung
meluasnya pengaruh PKI. Dalam upayanya, Liga Demokras mengajukan berbagai
tuntutan dan protes , antara lain menuntut pembubaran DPR-GR karena unsur PKI
di dalamnya, dipertahankannya sistem Demokrasi Parlementer, dan menolak
pembubaran partai-partai politik.
Liga Demokrasi disambut hangat banyak pihak untuk beberapa waktu. Dalam
waktu satu bulan organisasi ini berhasil meluaskan pengaruhnya. Sejumlah cabang dibentuk di beberapa daerah
antara lain di Jawa Timur, Bogor, dan Makassar. Namun timbul reaksi keras dari
phak-pihak pendukung kebijakan politik Soekarno termasuk PKI. Liga Demokrasi pun mendapat kecaman berbagai
media massa pro-pemerintah. Prosesi pembentukan
cabang di Jawa Timur diganggu gerudukan ratusan pemuda. Di Jawa Tengah,
terbit larangan pembentukan Liga
Demokrasi dari penguasa setempat. Di Cirebon terjadi penahanan atas sejumlah
pengurus Liga Demokrasi. Pihak tentara
yang mulanya memberikan dukungan terbatas pada Liga Demokrasi tidak setuju pada tuntutan dikembalikannya sistem demokrasi parlementer,
mereka menginginkan kebijakan yang
justru secara dramatis membatasi peran dan ruang gerak partai politik, dan
karenanya jadi bertentangan dengan Liga Demokrasi. Ketika kedudukan dan peranan
politik Soekarno semakin menguat sementara PKI tampak di bawah perlindungan Presiden, akhirnya
tentara memilih bersikap memberi dukungan pada Soekarno.
Dengan pertimbangan “adanya reaksi-reaksi dan insiden politik
di berbagai tempat yang ditimbulkan oleh kegiatan politik Liga Demokrasi”,
penguasa militer daerah kemudian menetapkan ketentuan larangan terhadap Liga
Demokrasi di daerah-daerah. Akhirnya Presiden Soekarno membubarkan Liga
Demokrasi yang dianggap sebagai kaki tangan imperialis untuk menjajah kembali
Indonesia, dan menjebloskan para
aktivisnya ke dalam penjara. IJ Kasimo karena jasanya dan jaminan teman-teman
yang lain tidak ditangkap. Tetapi insiden Liga Demokrasi menyebabkan ia
mengundurkan diri sebagai ketua Partai Katolik. Setelah 32 tahun ia pegang,
kepemimpinan Partai Katolik diserahkan kepada Frans Seda sebagai regenerasi.
Selanjutnya IJ Kasimo melanjutkan pengabdian politiknya dengan menjadi anggota
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk Presiden.
B. Rencana Besar dan Tantangan Besar
Guna pembangunan di segala bidang Pemerintah memerlukan sangat banyak tenaga
ahli berpendidikan tinggi dalam segala lapangan ilmu pengetahuan. Pendidikan
tinggi mendapat perhatian khusus untuk dikembangkan baik oleh negara maupun
swasta, memperkuat Universitas yang telah didirikan pada dasawarsa 1950-an.
Pendidikan tinggi yang sudah operasional adalah
Universitas Indonesia di Jakarta
(2 Februari 1950) dan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta (19 Desember 1949),
Universitas Padjadjaran atau Unpad berdiri pada 11 September 1957, di
Bandung. Pemerintah Indonesia meresmikan
berdirinya Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Maret 1959. Universitas
Semarang yang secara resmi dibuka pada tanggal 9 Januari 1957 pada Dies Natalis
ketiga tanggal 9 Januari 1960, diubah Presiden Soekarno menjadi Universitas
Diponegoro. Pada 10 November 1957
Presiden Soekarno menandatangani Piagam pendirian Perguruan Teknik 10 Nopember
Surabaya, yang pada 3 November 1960 diubah namanya menjadi Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS). Di Banjarmasin didirikan Universitas Lambung Mangkurat dan Universitas Sriwijaya di Palembang tahun
1960. Dari Universitas-universitas Negeri
perdana ini tak sedikit alumni Katolik yang di kemudian hari membentuk
dan bergabung dalam Ikatan Sarjana
Katolik Indonesia (ISKA).
Di kalangan Kristen Protestan tiga Universitas sudah
operasional : Universitas Kristen
Indonesia (UKI) di Jakarta (1953),
Universitas HKBP Nommensen di Pematangsiantar dan Medan (1954), dan
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)
Salatiga, Jawa Tengah (1956).
Depernas berhasil menjusun Naskah Rancangan Undang-Undang
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun (1961-1969) yang
disampaikan kepada Presiden pada 13 Agustus 1960, dan diteruskan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara(MPRS) untuk mendapat pengesahan. MPRS selanjutnya menetapkan
Rantjangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan
Tahun 1961—1969 itu sebagai “Garis-garis
Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961—1969” yang
dalam Ketetapan MPRS No. II/M PRS/1960
disebut “Haluan Pembangunan Negara
Republik Indonesia” dan merupakan
rencana induk bagi setiap usaha perekonomian dan merupakan dasar segala pembangunan
di seluruh pelosok tanah air pada waktu selanjutnya. Garis besar haluan
pembangunan semesta meliputi: (1) bidang mental/agama/kerohanian/penelitian;
(2) bidang kesejahteraan; (3) pemerintahan, pertahanan/keamanan; (4) produksi ;
(5) distribusi dan perhubungan; (6) keuangan dan pembiayaan.
Pada tanggal 1 Januari 1961 Pembangunan Nasional Semesta
Berencana tahap pertama mulai dilaksanakan ditandai dengan ajunan cangkul
pertama oleh Presiden Soekarno di halaman Gedung Proklamasi di Jalan Pegangsaan
Timur 56 Jakarta. Tanggal 1 Januari oleh Pemerintah waktu itu ditetapkansebagai
Hari Pembangunan Nasional. Beberapa
projek pembangunan berskala “raksasa” dilaksanakan misalnya : (a). Projek Jatiluhur, bendungan untuk
pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pengairan (irigasi); (b). Projek Asahan, juga bendungan untuk
PLTA dan pengairan; (c). Gelanggang Olah
Raga (GOR) Senayan , suatu kompleks bangunan besar dan luas yang meliputi
antara lain : Stadion Utama (berkapasitas 100.000 penonton), Istana Olah Raga
(10.000 penonton), kolam renang modern, dan gedung-gedung serta
lapangan-lapangan untuk cabang-cabang olah-raga yang penting; (d). Monumen Nasional (Monas, yang tingginya 111 meter), yang di
puntjaknja terdapat “Api Nyala Revolusi” dan di dasarnja akan diadakan Museum
Sejarah (antara lain tempat penyimpan Sang Saka Merah Putih dan Naskah
Proklamasi Kemerdekaan) dan (e).
Masjid Istiqlal sebagai masjid besar di
Asia Tenggara.
Dalam Rencana Delapan Tahun pada 1960, tujuan yang
ditetapkan adalah agar Indonesia mencapai swasembada beras, sandang dan mencukupi kebutuhan dasar lainnya dalam
jangka waktu tiga tahun. Lima tahun berikutnya direncanakan menjadi periode pertumbuhan untuk
berdiri di atas kaki sendiri (berdikari). Beras merupakan komoditas pangan yang
sangat penting bagi Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk
mengamankan persediaan beras. Dari segi produksi diluncurkan Panca Usaha Tani, memopulerkan
jenis Padi Unggul, membentuk zona lumbung padi yang disebut Padi Sentra dan sebagainya.
Ketika itu dunia mengalami bahaya kelaparan di
mana-mana,sebagian karena bencana alam (kekeringan, banjir, hama) yang
menyebabkan gagal panen, sebagian karena konflik, sehingga Badan Pangan Dunia (FAO, Food and Agriculture Organization) PBB
turun tangan dan bekerja keras. Mula-mula untuk program lima tahun. Indonesia pun tidak luput dari bahaya
kelaparan, bukan saja timbul karena bencana alam berupa kekeringan dan terutama
penyebaran hama, tetapi juga karena kegagalan pemerintah melaksanakan
kebijakan, karena berbagai konflik, kurangnya anggaran dan hubungan luar negeri yang buruk.
Pemerintah terkesan tutup mata karena politik mercu suar. Di beberapa daerah
bahaya kelaparan terjadi setelah gagal
panen pada tahun-tahun 1954-55, 1956-57, 1957-58. Ketika Presiden Soekarno
melihat suatu foto rakyat berebut memunguti beras yang tumpah di jalan dari
sebuah truk angkutan di Jakarta, ia memarahi Kantor Berita Antara. Foto semacam itu tidak boleh
dimuat sebab ada banyak makanan untuk rakyat di Indonesia, katanya. Selanjutnya
dilakukan sensor pers atas berita-berita tentang kelaparan. Sebuah lagu populer
berirama lenso sering dinyanyikan di istana mengajak semua orang bergembira: Siapa bilang bapak kita dari Blitar/ Bapak
kita dari Pambanan / Siapa bilang rakyat kita lapar / Indonesia banyak makanan.
/ Mari kita bergembira / Bergembira semua / Mari kita bergembira / Bernyanyi
suka ria... Di rumah penduduk, anak-anak menangis lapar...
Presiden Soekarno mengumumkan undang-undang keadaan darurat
perang menggunakan perangkat hukum kolonial 1939 karena hukum nasional belum
mengatur soal itu (De Regeling op de
Staat van Oorlog en Beleg-SOB) karena berkecmuknya pembangkangan pemimpin
tentara lokal kepada pemerintah pusat pada bulan Maret 1957. Kebebasan pers
dikebiri dengan pembatasan-pembatasan peliputan. Hanya yang menyenangkan
pemerintah, terutama Presiden, yang boleh terbit. Maka berkembanglah pers “Asal
Bapak Senang” (Koran ABS). Sejak Oktober
1957 pemerintah melakukan sensor pers. Berita-berita harus menunjang
kepentingan nasional dan tidak boleh mencoreng muka wajah bangsa di mata
internasional. Sejumlah 16 koran berbahasa Belanda dilarang terbit, juga koran
nasional Indonesia Raya yang
anti-komunis. Berita-berita tentang kelaparan sama sekali tidak boleh beredar,
Pada akhir 1957 mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengedarkan surat umum
yang mengecam pemerintah atas kurangnya persediaan beras untuk rakyat. Ia
menunjukkan kurangnya perencanaan dalam pengambil alihan perusahaan pelayaran
Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) dan kesulitan perhubungan sebagai
sebab utama kesulitan distribusi beras. Pemerintah bekerja keras untuk
membungkam kecaman umum itu.
Antre-antrean panjang merupakan pemandangan sehari-hari di banyak tempat di kota-kota. Karena harga
beras mahal, pemerintah memberlakukan “gaji
in natura” untuk pegawai , yaitu membayar sebagian gaji dalam bentuk beras
dan tepung, terutama untuk tentara, polisi dan pegawai negeri. Rakyat
biasa hampir tiap hari antre untuk mendapatkan
beras impor yang disebut beras injeksi dengan harga murah (disebut “beras
injeksi”, dijual pemerintah Rp 1000 per liter, di pasar dijual Rp 2000) dan
sejumlah bahan pokok lainnya, seperti sabun cuci batangan, gula. minyak tanah bahkan garam. Pemerintah
mengimpor beras dari Siam, Burma dan Vietnam sekitar sejuta ton per tahun.
Kendati situasi umum terutama di negara-negara dunia ketiga
yang masih serba sulit, untuk seluruh dunia PBB mencanangkan dasawarsa 1960-an
sebagai Dasawarsa Pertumbuhan, dan
mematok pertumbuhan ekonomi dunia 5%
setahun. Negara-negara seolah-olah
berlomba-lomba mengusahakan peningkatan pendapatan nasional mereka melalui
penanaman modal untuk perluasan sarana-sarana produksi. Berbagai lembaga keuangan internasional, Bank
Dunia, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund), Badan
Internasional Untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) dan Badan Bantuan
Pembangunan Internasional (IDA)
dikerahkan untuk menunjang pembangunan di seluruh dunia. Indonesia melewatkan banyak peluang internasional karena masih sibuk berkanjang pada kesulitan
menata kondisi politik dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal
tahun 1960-an rata-rata hanya 1,2% per tahun.
Dampak Nasionalisasi Perusahaan Asing
Pada bulan November 1957, upaya politik diplomasi pemerintah
Indonesia menyelesaikan persoalan integrasi Irian Barat yang sudah hampir 10
tahun di Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menemui jalan buntu. Sidang Umum PBB ke-XII gagal
menyelesaikan persoalan Irian Barat.
Sangat kecewa oleh kegagalan itu Sidang Kabinet memutuskan rencana
pemulangan orang-orang Belanda. Kejadian-kejadian selanjutnya adalah mimpi
buruk. Seorang pengusaha Belanda
menganggap sikap nekat pemerintah Belanda mempertahankan ‘hutan rimba Irian
Barat’, “tidak masuk akal” karena
mempertaruhkan resiko semua modal Belanda di wilayah Indonesia lainnya. 1
Desember 1957, pemerintah Indonesia menyerukan boikot selama dua puluh empat
jam terhadap semua perusahaan Belanda 2
Desember 1957, kaum buruh dimotori oleh SOBSI di bawah payung PKI mogok kerja di semua pabrik milik Belanda maupun pabrik
patungan Belanda-Indonesia. Tiga hari kemudian, pemerintah Indonesia
menutup konsulat Belanda di Indonesia dan membekukan semua transfer keuntungan
perusahaan Belanda ke luar negeri. 6
Desember 1957, kantor KPM (Koninklijke
Paketvaart Maatschappij), perusahaan pelayaran Belanda, di Jakarta,
diambil-alih buruh. Kaum buruh juga mengambilalih Hotel Des Indes. Kementerian Luar Negeri Indonesia menginstruksikan
semua perusahaan Belanda di Indonesia untuk menghentikan aktivitasnya.
Selanjutnya Serikat Buruh Bank Seluruh Indonesia (SBBSI) di Jakarta berupaya
menduduki dan menguasai bank-bank Belanda di Jakarta.
Perebutan perusahaan Belanda juga berlangsung di banyak tempat di Indonesia.
Kementerian Kehakiman RI memerintahkan 5000 warga Belanda untuk segera pulang
ke negerinya. 7 Desember 1957, Panglima
Angkatan Laut (AL) AS di Pasifik, Felix Sump, menerima radiogram dari Kepala
Operasi AL Laksamana Arleigh Burke untuk
pengerahan pasukan AL Amerika Serikat ke perairan Indonesia karena
“situasi kritis di Indonesia”. Atas
permintaan Belanda, NATO (Fakta Pertahanan Atlantik Utara) menggelar Sidang
Darurat untuk mendengar dan membahas laporan dari Indonesia.
9 Desember 1957, pers di Indonesia mengumumkan keputusan
Perdana Menteri Juanda mengambil alih semua perusahaan pertanian Belanda, juga
patungan Belanda-Indonesia. Harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan
mereka ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah RI. Sejak itu 38 perusahaan tembakau, 205
perkebunan karet, teh, kopi, tebu dan pabrik gula, kelapa, kapuk dan cengkeh di
Sumatera dan Jawa pindah tangan.
Pemerintah juga mengambilalih pengawasan terhadap
perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk KPM dan KLM, Bank-Bank Belanda,
Perusahaan Niaga The Big Five Boorsumij,
Internatio, Jacobson v.d. Berg, Lindeteves Stokvis, Geowehry, 177 industri
(47 teknik mesin/listrik, 21 kimia, 18 grafika, 91 industri umum).
15 Desember 1957, UU Keadaan Bahaya diberlakukan lagi. UU
ini merupakan upaya militer untuk menghentikan aksi-aksi penjarahan oleh kaum
buruh dan sekaligus merebut kendali atas perusahan asing yang direbut buruh.
Puncaknya adalah berlakunya Keadaan Darurat (SOB) pada tahun 1958. Indonesia
memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda. Februari 1958,
Pemerintah curiga pihak asing menunggangi
pemberontakan separatis PRRI dengan suplai dana, senjata, dan amunisi. AS mengirimkan kapal perang dari Armada ke-7
ke daerah pemberontakan. membantu pengungsian pegawai perusahaan minyak AS,
Caltex.
3 Desember 1958, Parlemen Indonesia menyetujui Undang-Undang
Nasionalisasi terhadap semua perusahaan Belanda di seluruh Indonesia.
Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1958
menyatakan perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi
menjadi milik pemerintah RI.
Sentimen anti Belanda
menjalar semakin luas. Nasionalisasi perusahaan Belanda melebar jadi
nasionalisasi perusahaan asing yang ada di Indonesia termasuk usaha yang
kecil-kecil. 11 November 1959 terbit
Peraturan Presiden No. 10 yang melarang semua usaha perdagangan kecil dan
eceran yang bersifat asing di luar ibukota provinsi, kabupaten dan sampai
kecamatan. Tiap perusahaan yang dimiliki
WNA harus ditutup atau dialihkan kepemilikannya kepada pengusaha-pengusaha
nasional. Sebelumnya, dengan alasan keamanan negara pada bulan Mei 1959
Penguasa Perang Pusat memerintahkan kepada semua panglima daerah militer agar
memindahkan semua orang asing dari tempat tinggalnya. Dua hari kemudian,
Menteri Perdagangan Rachmat Moeljomiseno mengeluarkan Surat Keputusan (SK)
Menteri Perdagangan No. 2933/M yang memberi batas waktu sampai 31 Desember 1959
bagi penutupan dan pemindahan semua toko, usaha dan perusahaan asing yang
berada di luar area ibukota provinsi (swatantra tingkat I), ibukota kabupaten
(swatantra tingkat II) dan kecamatan.
Pelaksanaan peraturan-peraturan ini, dan Peraturan Presiden
No. 10 tahun 1959 (biasa disebut PP 10), kontan menimbulkan reaksi keras dari
pemerintah Tiongkok. Mereka menuduh Indonesia melanggar Perjanjian
Dwi-Kewarganegaraan. Untuk menekan Indonesia agar kembali pada isi perjanjian
dwi kewarganegaraan, pemerintah Tiongkok melancarkan kampanye memanggil pulang
semua warganya dari Indonesia. Kampanye ini justru disambut positif sejumlah
besar orang Tionghoa. Sedikit-dikitnya 119.000 orang Tionghoa meninggalkan
Indonesia dan pulang kembali ke Tiongkok
Proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan
asing menyebabkan sebagian proses
ekonomi produksi dan distribusi
terganggu, bahkan berhenti sementara, menambah angka pengangguran. Sebagian
umat Katolik berkebangsaan Belanda dan Tionghoa terbawa pulang kembali ke
negeri masing-masing. Satu krisis menimbulkan krisis yang lain.
Pada 25 Agustus 1959, terbit Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang Undang (PERPU) No. 2 dan No. 3 tahun 1959 tentang sanering atau pengurangan uang yang
beredar demi membendung inflasi, serta
melakukan perbaikan keuangan dan sistem perekonomian Indonesia dan melakukan devaluasi : Uang kertas Rp 500
menjadi Rp 50 Uang kertas Rp 1.000 menjadi Rp 100. Dilakukan pembekuan semua
simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000. Pemerintah juga mengintruksikan
penghematan belanja semua instansi pemerintah dan memperketat pengawasan semua
pengeluaran, penertiban manajemen dan administrasi semua perusahaan negara.
Ekonomi semakin lemah dan terpuruk. Pemotongan nilai uang
membuat harga barang secara nominal menjadi murah. Namun rakyat tetap susah tak
bisa beli karena tak punya uang. Kas negara sendiri defisit akibat proyek
berbagai politik. Untuk menutup defisit, pemerintah justru mencetak uang baru
yang bahkan meningkatkan inflasi.
Sebenarnya Indonesia membutuhkan pinjaman luar negeri untuk
menumbuhkan ekonomi, yang hingga 1960 tumbuh relatif konstan hanya 1 persen tiap tahun. Namun karena persyaratan yang ketat terutama untuk dana
dari AS dan Eropa Barat, praktis utang luar negeri Indonesia berasal dari Eropa
Timur, khususnya Uni Soviet. Investasi
asing yang bersifat langsung sudah dilarang sejak 1957.
Dinamika sektor-sektor ekonomi tidak cukup diperhatikan.
Antara 1900 dan 1960, transformasi struktural ekonomi Indonesia didorong oleh
sektor minyak dan gas bumi. Dikaji
berdasar harga konstan tahun 2000, sumbangan nilai tambah sektor pertanian
berangsur menurun dari 41.4 persen di
tahun 1900 menjadi 31.0 persen tahun 1960, atau menurun 1.7
persen tiap dasawarsa. Sumbangan nilai tambah industri sebaliknya bertumbuh
dari 17.1 persen jadi 30.3 persen. Ini
karena ditunjang sumbangan sektor minyak dan gas yang meningkat lebih dari 22 kali dari 0.8 persen pada 1900 jadi
17.6 persen tahun 1960. Sektor
manufaktur relatif tetap dengan sumbangan sekitar 10 persen antara 1900-1960
terutama karena kekurangan bahan impor dan karena kebijakan pemerintah yang
cenderung deflasioner. Nilai tambah sektor jasa meningkat dari 41.5 persen pada
1900 menjadi 46.6 persen tahun 1921.
Tapi kemudian turun lagi jadi 38.7 persen tahun 1960. Situasi sektor-sektor
ekonomi yang melemah ini berkaitan
dengan berkurangnya penyediaan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja, yang
berkorelasi dengan pendapatan rakyat dan tingkat kemiskinan. Sementara
sektor-sektor yang meningkat tidak segera diperkuat karena kurangnya dana
permodalan.
Membandingkan data sensus tahun 1930 dan 1961, ditemukan hanya sedikit
pergeseran tenaga kerja sektor pertanian
dan sektor di luar pertanian. Pada tahun 1930 tercatat tenaga kerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan 73.9
persen turun jadi 73.3 persen pada 1961.
Sedang pekerja sektor industri mengalami kemerosotan; penyerapan tenaga
kerja manufaktur turun dari 11.5 per sen menjadi 5.8 persen dan di lingkungan pertambangan
dari 0.9 persen menjadi 0.3 persen. Di satu pihak ini menunjukkan berkurangnya
pabrik-pabrik padat karya , di pihak lain kurangnya usaha aktivasi
sarana-sarana produksi yang menganggur.
Anehnya di sektor jasa penyerapan tenaga bertambah dari 13.7 persen
menjadi 18.8 persen. Ini terutama
pertambahan tenaga di tempat-tempat yang kurang produktif menghasilkan nilai
tambah seperti meningkatnya jumlah tukang becak dan tenaga administrasi
rendahan.
Terutama di Jawa, jalur pewartaan iman Katolik pernah
berpusat di sepanjang rel-rel lori
angkutan tebu di antara pabrik-pabrik gula di Jawa Tengah dan di Jawa Timur.
Stasi-stasi misi didirikan di sekitar pabrik gula. Pada tahun 1928 gula adalah
primadona ekpor (23.6 7 persen) namun
karena pengaturan dunia atas kuota
ekspor tahun 1931, kontribusi gula merosot.
Begitu juga perkebunan karet menjadi sentra-sentra pekerjaan
misi Katolik ketika karet meningkat
kontribusinya dari 17.6 persen (1928), menjadi 19.9 persen
(1938), 42.8 persen (1950), 44.8
persen (1960). Terjadi migrasi pekerja
kebun karet yang beragama katolik dari Jawa Tengah ke daerah-daerah lain yang
kemudian mengembangkan misi di daerah baru.
Sebagian pelayanan misi Katolik juga berada di sekitar
tambang-tambang minyak, ketika sumbangan produk minyak bumi meningkat dari 7.2 per sen (1928), 24.9 persen
(1938), 18.4 persen (1950), 26.3
persen (1960). Pada akhir 1950an dan selanjutnya, setelah
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, perusahaan-perusaan negara hanya
jadi perahan birokrat dan tak punya modal
untuk investasi pembaruan sarana dan prasarana serta kekurangan modal
kerja sehingga praktis kurang produktif.
Perkembangan situasi misi di daerah-daerah itu terpengaruh secara
negatif.
Di awal 1960-an kondisi politik menyebabkan banyak terjadi
pemogokan sehingga peraturan dibuat untuk membatasi gerak politis dan ekonomis
buruh, seperti larangan mogok kerja (Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 4
Tahun 1960 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (lock out) di
perusahaan-perusahaan, jawatan-jawatan dan badan-badan vital). Berdasar Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 4
Tahun 1960.dibentuk Dewan Perusahaan untuk mencegah dikuasainya
perusahaan-perusahaan eks Belanda oleh pekerja
Dalam situasi bangsa dan negara yang runyam itulah rahmat
karunia Tuhan turun atas umat Katolik di Indonesia. Mengingat memburuknya
hubungan antara Indonesia dan Belanda, sedang karya misi di Indonesia
dijalankan oleh Ordo/tarekat religius yang pada umumnya merupakan bagian dari
Provinsi Gerejawi Belanda, memerhatikan eksodus warga Belanda dan Tionghoa
antara 1957-1960, dan mengingat pertumbuhan jumlah umat warga pribumi sangat
signifikan, maka ketika menerima kunjungan pro-prefek Propaganda Fide pada
September 1959 dalam pertemuan yang dihadiri 15 Waligereja dibicarakan
kemungkinan mendirikan hirarki mandiri di Indonesia. Pada sidang tahun 1960 di
Girisonta, Ungaran, MAWI sepakat mengirim surat permohonan kepada Paus untuk
mendirikan Hirarki Gereja Katolik Indonesia mandiri.
Universitas Katolik Atma Jaya didirikan di Jakarta dengan
membuka Fakultas Ekonomi Perusahaan dan Fakultas Administrasi (1960), mula-mula
menggunakan sebagian dari bangunan SMA St Ursula Jl. Lapangan Banteng dan
kompleks Santa Theresia, Menteng, Jakarta, atas kebaikan suster-suster Ursulin.
Unika Atma Jaya merupakan buah gagasan para Uskup se-Jawa pada Juni 1952. Dalam
pertemuan itu diutarakan kemungkinan pembentukan Universitas Katolik Indonesia yang
berpusat di Jakarta. Di Jakarta gagasan
itu terwujud sejak didirikannya Yayasan Atma Jaya oleh sekelompok cendekiawan
muda Katolik pada tanggal 1 Juni 1960. Mereka antara lain: Ir. J.P. Cho, Drs.
Lo Siang Hien-Ginting, Drs. Goei Tjong Tik, I.J. Kasimo, J.B. Legiman, S.H.,
Drs. F.X. Seda, Pang Lay Kim, Tan Bian Seng, Anton M. Moeliono, St. Munadjat
Danusaputro, J.E. Tan, Ben Mang-Reng Say.Yayasan inilah yang kemudian
mendirikan dan mengoperasikan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Gereja
Katolik Mandiri Dilahirkan
Gereja Katolik memang sudah hadir lama, empat abad, di Indonesia.
Kehadirannya selama itu masih diperlakukan sebagai anak yang dirawat,
diatur dan dituntun oleh Konggregasi Penyebaran Iman (Propaganda Fide) di Roma/Vatikan, berdasarkan ius commissiones yang dilaksanakan ordo-ordo misionaris. Dengan Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus 3 Januari 1961
dan ditegaskan lagi dengan Surat
Apostolik Sacrarum Expeditionem 20
Maret 1961, Paus St Yohanes XXIII setelah tahun sebelumnya melakukan penilaian
keadaan berdasar surat permohonan para waligereja dalam sidang di Girisonta
bulan Mei 1960, berkenan mendirikan Hirarki Gereja Katolik mandiri di
Indonesia. Umat Katolik di Indonesia sudah dianggap dewasa dan mampu
mengembangkan hidupnya sendiri, lepas dari pengampuan Roma/Vatikan. Konstitusi
Apostolik Quod Christus Adorandus tersebut dipercayakan kepada Internunsius
Apostolik pada waktu itu, Uskup Agung Gaetano Alibrandi. Ius commissiones kepada Ordo-ordo misionaris berhenti, digantikan ius mandatum, dengan diserahkannya
mandat reksa pastoral umat kepada para Uskup.
Dengan Konstitusi dan Surat Apostolik itu status Gereja
Katolik di Indonesia berubah, dari status
“daerah misi” yang untuk berbagai kegiatannya diampu dan dikendalikan oleh
Kongregasi Pewartaan Iman di Roma, menjadi suatu Gereja yang mandiri dan otonom
dalam menentukan kegiatan penggembalaan dan melaksanakan amanat perutusan
Kristus. Wilayah yang sebelumnya
dinamakan “prefektur Apostolik” dan yang satu level di atasnya “vikariat
Apostolik” , di mana sebutan “Apostolik” merujuk pada Tahta Suci Vatikan, oleh
Konstitusi dan Surat Apostolik itu berubah menjadi “Keuskupan” dan “Keuskupan
Agung” mandiri di bawah wewenang Uskup masing-masing.
Pada waktu perubahan itu terdapat 19 Keuskupan dan 6
Keuskupan Agung. Jumlah umat Katolik hampir 1,2 juta jiwa berkembang dari 784.000 di tahun 1949 dan 880 ribu jiwa pada
tahun 1952, dan mempunyai banyak katekumen calon baptis. Di satu pihak
perubahan itu menunjukkan penghargaan dan kepercayaan Paus atas perkembangan
dan kedewasaan Gereja Katolik di Indonesia, di pihak lain kepercayaan itu
adalah suatu amanat untuk berdiri di atas kaki sendiri dan bertumbuh secara swadaya.
Karena masih baru, tidak semua hal langsung dilepas begitu saja oleh
Vatikan/Roma, khususnya Kongregasi Propaganda Fide, masih ada bantuan dan intervensi Roma dalam
beberapa hal, tetapi sebagian besar
wewenang penggembalaan didelegasikan Vatikan/Roma kepada Hirarki Gereja Katolik
di Indonesia yang baru mandiri itu.
Maka selanjutnya ada banyak tugas pekerjaan pengembangan yang
harus dilakukan para Uskup setelah Gereja Katolik di Indonesia dipercaya oleh
Paus Yohanes XXIII menjadi Gereja yang mandiri dan para Uskup menerima mandat
untuk reksa rohani umat Katolik di Indonesia.
Termasuk melakukan persiapan mengikuti Konsili Vatikan II.
Mulai tanggal 15 Juli 1961, Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta
menjadi Jurusan Filsafat-Teologi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Sanata Dharma. Seminari Tinggi tetap menjadi tempat pendidikan calon imam.
Jurusan FT FKIP Sanata Dharma ini merupakan tempat studi gabungan para calon
imam diosesan Keuskupan Agung Semarang dan Serikat Jesus (SJ).
Sanata Dharma, mulanya adalah sebuah Perguruan Tinggi
Pendidikan Guru (PTPG) yang berdiri pada tanggal 17 Desember 1955. Mulai bulan
November tahun 1958, pemerintah mengubah nama PTPG menjadi FKIP. Berkaitan
dengan itu, nama PTPG Sanata Dharma berganti menjadi FKIP Sanata Dharma yang
merupakan bagian dari Universitas Katolik Indonesia.
25 Desember 1961 Paus St Yohanes XIII menerbitkan surat
apostolik, Humanae Salutis, suatu
pernyataan resmi mengundang Konsili Vatikan II. Beliau menyatakan alasan yang
mendesak: “Dewasa ini Gereja menyaksikan
suatu krisis yang menerpa masyarakat. Sementara manusia berada di ambang zaman
baru, suatu tugas yang sungguh berat dan
luas menunggu Gereja , sebab dalam masa-masa yang paling tragis dalam
sejarahnya, yaitu bagaimana menyampaikan daya kekuatan Injil yang memberikan
hidup kekal kepada dunia modern, dunia yang sedang mengagungkan penguasaan
teknik dan ilmiah yang membawa konsekuensi
membutuhkan tatanan fana tanpa Tuhan. Karenanya masyarakat modern
diwarnai oleh kemajuan besar secara material namun tidak disertai kemajuan
moral. Dengan demikian melemahlah
penghargaan pada nilai-nilai kerohanian, semakin besarlah kecondongan untuk
mendapatkan kenikmatan duniawi semata yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi
yang dapat dengan mudah dijangkau semua orang; dari situ tampillah fakta baru
yang yang sungguh mengganggu: adanya suatu ateisme militan yang bekerja di
seluruh dunia.”
“Keprihatinan yang
menyesakkan ini mengingatkan agar kita selalu berjaga dan senantiasa
membangunkan rasa tanggungjawab kita. Sementara jiwa-jiwa yang tidak beriman
hanya melihat kegelapan yang menyelimuti dunia , kita memilih menguatkan iman
kita pada Sang Penyelamat, yang tidak meninggalkan begitu saja dunia yang telah
ditebus olehNya. Sesungguhnya, dengan mengindahkan nasihat Yesus agar kita
membaca “Tanda-tanda zaman” (Mat 16:4), kiranya niscaya bagi kita di tengah
kegelapan yang sedemikian pekat ini, untuk
mendapatkan lebih banyak petunjuk yang memberikan harapan atas nasib
Gereja dan umat manusia. Perang-perang pertumpahan darah yang terjadi silih
berganti di zaman kita, kehancuran rohani yang disebabkan berbagai ideologi,
serta pahit getir yang kita alami adalah pelajaran yang sungguh mahal. Kemajuan
ilmiah melulu justru telah memberikan kemampuan kepada manusia untuk
menghasilkan bencana yang menyebabkan kehancuran sehingga sungguh patut
diragukan; memaksa manusia berpikir keras;
lebih menyadari keterbatasan mereka, merindukan damai, dan lebih
menyadari pentingnya nilai-nilai rohani; terjadi percepatan untuk memajukan
kerjasama erat dan integrasi timbal balik antara pribadi-pribadi,
golongan-golongan masyarakat dan bangsa-bangsa ke arah mana, kendati di tengah
ribuan ketidakpastian, keluarga manusia tampak
sudah bergerak. Semua ini niscaya memudahkan tugas kerasulan Gereja,
sebab banyak orang yang di masa lalu tidak menyadari betapa penting misi
perutusannya, sekarang setelah belajar dari pengalaman, lebih siap untuk
menerima ajarannya.”
“Berhadapan dengan dua
sisi pemandangan—suatu dunia yang berada dalam situasi kemiskinan rohani dan
Gereja Kristus yang tetap ceria oleh daya hidup –kami, sewaktu, oleh karena
penyelenggaraan ilahi kendati merasa kurang pantas, diangkat kepada jabatan
kepausan, serta merta merasakan tugas mendesak
mengumpulkan putra-putra untuk berhimpun demi kemungkinan bagi Gereja
memberi sumbangsih yang lebih efektif guna memecahkan masalah-masalah zaman
modern. Untuk itulah, dengan menyambut
datangnya suara batin dari atas dari Roh kita, kami kira sudah tibalah saatnya
untuk memberikan kepada Gereja Katolik dan dunia suatu Konsili ekumenis baru,
sebagai tambahan dan kelanjutan dari rangkaian dua-puluh Konsili yang sepanjang berabad-abad terdahulu
merupakan karunia rahmat penyelenggaraan ilahi
bagi kemajuan umat kristiani. Gema penuh sukacita yang timbul dari
maklumat tentang Konsili ini, dilanjut peran serta penuh doa dari segenap
Gereja dan kerja keras dalam menyiapkannya yang sungguh menambah semangat,
serta minat besar atau setidaknya perhatian yang penuh penghargaan dari
pihak-pihak bukan-katolik dan bukan-kristiani, telah menunjukkan dengan jelas
bahwa Konsili yang penting dalam sejarah ini tidak akan dilewatkan oleh siapa
pun.”
Para Uskup Indonesia sesuai bidang minat masing-masing
menyiapkan diri untuk mengikuti Konsili Vatikan II, ditengah kesibukan mereka
mengkonsolidasikan reksa pastoral di keuskupan masing-masing.
Sumbangan wawasan pembangunan moral dasar masyarakat
Pancasila, etika kekuasaan dan filsafat pendidikan pada masa itu terutama disumbangkan oleh Dr Nicolaus Drijarkara SJ.
Pancasila diyakini merupakan falsafah dasar yang tepat untuk hidup bersama
dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dalam keanekaragaman budaya dan agama.
Manusia Indonesia sebagai homo homini
socius bertanggung jawab menyumbangkan segenap kecakapan insaninya untuk
memberi warna insani pada kekuasaan politik . Di masa slogan poltik dijadikan
kebenaran (walau mengandung kekeliruan) dan membentuk ideologisasi kekuasaan
yang membenarkan “kebenaran palsu”, Drijarkara dengan halus menyarankan sikap moderasi,
menjauh dari loyalitas buta, dengan memajukan sikap pribadi manusia yang
bermartabat, yang memiliki kesadaran pribadi yang kritis demi kemajuan pribadi
dan bersama. Ketika pendidikan semakin
dijadikan alat propaganda ideologi berbagai pihak, Drijarkara mengajukan pandangan
filsafat pendidikan sebagai proses humanisasi, proses yang memanusiawikan
manusia lebih dari sekedar sekrup ideologi. Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan
Sanata Dharma di Yogyakarta berhasil memperoleh status "disamakan"
dengan negeri berdasarkan SK Menteri PTIP No.1 / 1961 pada tanggal 6 Mei 1961
jo No. 77 / 1962 tanggal 11 Juli 1962. Walaupun merupakan bagian dari
Universitas Katolik Indonesia, secara de facto FKIP Sanata Dharma merupakan
lembaga yang berdiri sendiri. Mulanya adalah ide untuk mendirikan Perguruan
Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) dari Prof. Moh. Yamin, S.H. (Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan RI) pada tahun 1950-an yang disambut baik oleh para
imam Katolik, terutama Ordo Serikat Jesus (lazim disingkat S.J.). Dengan
dukungan dari Propaganda Fide, selanjutnya Pater Kester SJ yang waktu itu
menjabat sebagai Superior Serikat Jesus menggabungkan kursus-kursus guru
menjadi sebuah perguruan tinggi dan lahirlah PTPG Sanata Dharma pada tanggal 20
Oktober 1955, dan diresmikan oleh pemerintah pada tanggal 17 Desember 1955.
Kemudian dalam perjalanan waktu, untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
tentang perubahan PTPG menjadi FKIP, maka PTPG Sanata Dharma pada bulan
November 1958 berubah menjadi FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan) Sanata
Dharma dan merupakan bagian dari Universitas Katolik Indonesia cabang
Yogyakarta.
Di Bandung, Universitas Parahyangan (Unpar) yang didirikan
pada 1955 dengan satu fakultas (Ekonomi) dan kemudian berkembang dengan
menyelenggarakan Fakultas Hukum, Sosial
Politik, dan Teknik, dan pada 1961 juga
memeroleh status “disamakan”.
Dalam keprihatinan akan situasi dunia, pada 15 Mei 1961 Paus
St Yohanes XXIII menerbitkan Ensiklik Mater
et Magistra tentang perkembangan-perkembangan masalah sosial mutakhir dalam
terang ajaran kristiani. Tidak sekedar mengenang 60 tahun Ensiklik Paus Leo
XIII Rerum Novarum, Mater et Magistra
menanggapi perkembangan baru kemajuan teknologi, nasionalisme dan munculnya
negara-negara baru, pergumulan politik, pertarungan ideologi dan sistem
perekonomian, maraknya perkembangan perusahaan negara dan swasta, kerja sama
internasional, peran buruh industri dan petani, angka pertambahan penduduk
dunia, wabah penyakit dan angka kemiskinan, peningkatan pendidikan,
menganjurkan penataan ulang masyarakat dan pilihan prioritas secara seksama, dengan tujuan kesejahteraan
umum, kebahagiaan dan damai sejati. Umat diharapkan memelajari dan memraktekkan
lebih sungguh Ajaran Sosial Gereja. Soal jurang kaya miskin tidak hanya disimak
dari sekedar urusan pengusaha dan pekerja, atau pemilik modal dan kaum buruh,
melainkan sudah menyentuh masalah internasional. Untuk pertama kalinya isu
“internasional” dalam hal keadilan menjadi tema ajaran sosial Gereja. Ada
jurang sangat hebat antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin.
Kemiskinan di Asia, Afrika, dan Latin Amerika adalah produk dari sistem tata
dunia yang tidak adil. Di lain pihak, persoalan menjadi makin rumit menyusul
perlombaan senjata nuklir, persaingan eksplorasi ruang angkasa, bangkitnya
ideologi-ideologi. Dalam Ensiklik ini diajukan pula “jalan pikiran” Ajaran
Sosial Gereja: see, judge, and act. Gereja Katolik didesak untuk berpartisipasi
secara aktif dalam memajukan tata dunia yang adil.
C. Tarik Tambang Segitiga Berbahaya
Pemerintah Indonesia gagal mencapai target dalam upaya mencukupi
pangan rakyat kendati program intensifikasi usaha tani sejak 1959 dan Padi
Sentra. Belum ada koordinasi yang baik, pembiayaan yang cukup dan belum ada
kesiapan teknologi terobosan dan penerapannya. Di lapangan gagal panen karena
kemarau panjang dan serangan hama, terutama hama belalang sundep, wereng dan
tikus. Penurunan signifikan laju pertumbuhan pangan juga dialami negara-negara
maju dan berkembang lainnya. Di Inggris, laju kenaikan hasil padi-padian hanya
mencapai 0,2% per tahun, untuk Amerika Serikat laju kenaikan rata-rata hasil
padi-padian sekedar mencapai 1,5% per tahun, sedangkan di India laju
pertumbuhan produktivitas pangan berkisar 1,6% per tahun. Uni Soviet pun memperburuk situasi pangan dunia akibat
kegagalan besar panen yang dideritanya.
Pada tahun 1962 hingga 1964 terjadi kelaparan yang sangat
parah di beberapa tempat seperti Indramayu, Jawa Tengah, Lombok dan NTT. Wartawan
AS yang mengikuti kunjungan Menteri
Kesehatan Satrio membocorkan situasi kelaparan di Indramayu kepada pers
internasional yang segera dibantah
Presiden Soekarno: “Kelaparan itu bohong! Bohong! Semuanya bohong!” Koresponden Associated Press Peter Arnett yang melaporkan situasi kelaparan
diusir dari Indonesia pada bulan Mei 1962 dengan alasan menulis berita
tendensius dan merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Di pedesaan rakyat sehari-hari makan gaber, ketela. gaplek dan talas. Gaber adalah
ampas tepung tapioka atau bungkil ketela pohon yang dikeringkan. Di saat sulit seperti itu suatu badan sosial
Gereja, Catholic Relief Service (CRS)
ditunjuk pemerintah Amerika Serikat menjadi saluran bantuan pangan untuk
Indonesia melaksanakan program yang disebut PL-480 membagikan bulgur kasar dan
havermut secara langsung kepada keluarga
umat dan masyarakat sebagai pangan alternatif. Bulgur adalah salah satu jenis sereal biji
gandum jenis triticum yang retak dan
kemudian ditumbuk kasar dan sudah
direbus terlebih dahulu serta dikeringkan sebelum dikemas. Bulgur yang awalnya
diimpor dari Amerika Serikat dan didistribusikan sebagai makanan pendamping
nasi ini, selanjutnya diterima oleh pemerintah sebagai wujud bantuan kerjasama
bilateral antara negara lain dan Indonesia.Badan pangan PBB FAO juga menyalurkan bantuan bulgur, sedangkan
badan PBB untuk anak-anak UNICEF menyalurkan bantuan susu skim untuk memelihara
nutrisi anak-anak. Bantuan internasional lain seperti dari Australia,
menyalurkan Havermut (dari bahasa Belanda; bahasa Inggris: oatmeal) adalah
sejenis tepung kasar yang terbuat dari haver yang sudah dikupas. Tepung kasar
ini dibuat menggunakan teknik giling, potong atau dipipihkan/tumbuk. Di Jakarta
Mgr Djajasepoetra SJ pada 10 Mei 1962
mendirikan Lembaga Daya Dharma (LDD) yang menyalurkan bantuan kebutuhan primer
untuk mereka yang kekurangan. Pada bulan Juli 1963 oleh Mgr Yustinus
Darmoyuwono didirikan Yayasan Sosial Soegijapranata Keuskupan Agung Semarang, menggunakan
modal awal sisa dana pembuatan makam Mgr. A. Soegijapranata S.J. untuk kegiatan
membantu rakyat yang kekurangan pangan karena paceklik, hama dan muslim kering.
Di Surabaya Mgr Johannes Klosster CM pada 1 September 1963 mendirikan Lembaga Karya Dharma (LKD)
untuk menyalurkan bantuan dari Amerika Serikat (USAID) untuk memerangi kelaparan di Jawa Timur.
Konfrontasi politik dan ekonomi ternyata tetap tidak
mengubah sikap Belanda atas cekaman kekuasaannya di Irian Barat. Belanda justru memeruncing
konflik dengan mengirim kapal induk Karel
Doorman ke Irian Barat, membentuk Komite Nasional Papua dan Negara Papua. Pendirian
Negara Papua oleh Belanda menanamkan benih identitas Papua yang terpisah dari
Indonesia pada sebagian masyarakat setempat . Menghadapi sikap Belanda
tersebut, Pemerintah Indonesia yang sejak 1961 mendapat bantuan persenjataan
modern dengan kapal-kapal dan pesawat tempur yang dilengkapi peluru kendali
penjelajah dari Uni Soviet kemudian melakukan upaya konfrontasi militer. Dewan
Pertahanan Nasional diaktifkan. Dewan ini bertugas untuk merumuskan cara
mengintegrasikan seluruh potensi nasional untuk pembebasan Irian barat. Komando
Tertinggi Pembebasan Irian Barat (KOTI Pemirbar) dibentuk pada 14 Desember 1961
dan Presiden Soekarno menjadi panglima besarnya. KOTI Pemirbar selanjutnya
merumuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang diumumkan pada 19 Desember 1961:
1) Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda kolonialis; 2)
Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia; dan 3) Bersiap
untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa. Selanjutnya dibentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada 2
Januari 1962, dengan Brigadir Jenderal Soeharto sebagai Panglima Mandala,
mengemban Instruksi umum Presiden Soekarno
untuk menyelenggarakan operasi militer dalam
tiga fase yaitu infiltrasi (penyusupan
pasukan), eksploitasi (serangan terbuka), dan konsolidasi (menegakkan kekuasaan
secara penuh di seluruh Irian Barat).
Dalam situasi politik yang tegang dan panas itu karya
penggembalaan Gereja Katolik di Irian Barat terus berjalan terpusat di tiga titik: (1)
Vikariat apostolik Kotabaru (nantinya berganti nama jadi Sukarnapura, lalu Jayapura) dipimpin Mgr.
Staverman OFM di sekitar teluk Cendrawasih, Abepura, Biak, Paniai, Yapen
Waropen, di lembah Baliem dan
sekitarnya; (2) Vikariat Apostolik Merauke (Nieuw Guinea) dipimpin Mgr Herman
Tillemans MSC dan (3) Prefektur Apostolik Manokwari dalam reksa rohani Mgr van
Diepen OSA. Riwayat pelayanan gerejawi Hindia-Belanda sejak awal abad ke 20
sebagai bagian dari Vikariat Apostolik Batavia yang meliputi seluruh wilayah
Hindia-Belanda, menempatkan posisi Gereja Katolik di Irian Barat masih dalam
kesatuan dengan para Wali Gereja Indonesia dalam MAWI.
Sebelum Komando Mandala menyelesaikan ketiga fase operasi
militer Irian Barat, terjadi suatu insiden di Laut Aru yang menewaskan Komodor Yosafat Sudarso beserta awak kapalnya
pada 15 Januari 1962. Di atas Motor Torpedo Boat (MTB) Macan Tutul, Yos Sudarso
ketika berpatroli di Laut Aru bersama dua MTB lain, salah satunya dipimpin
Kolonel Soedomo, bertemu dengan dua kapal perusak Belanda yang diiringi dua
pesawat jenis Neptune dan Firely karena kalah kekuatan melakukan manuver berani mati yang meloloskan kedua MTB lainnya
namun karenanya MTB Macan Tutul sendiri tertembak dan tenggelam. Peristiwa ini menyebabkan ketegangan Indonesia dan
Belanda memuncak. Menanggapi situasi tersebut, Presiden Amerika Serikat, John
F. Kennedy yang menyadari bahwa Indonesia mulai condong pada Uni Soviet menunjuk
Jaksa Agung Robert F. Kennedy untuk
mengadakan pertemuan diplomatis kedua negara. Kemudian atas prakarsa
seorang diplomat Amerika Serikat di PBB bernama Ellsworth Bunker diusulkan
sebuah penyelesaian damai yang disebut Rencana Bunker. Beberapa utusan Partai
Katolik dari Indonesia menemui anggota Partai Katolik di Belanda agar mendesak
pemerintah Belanda menyetujui Rencana Bunker. Tindak lanjut dari Rencana Bunker
adalah pelaksanaan Persetujuan New York pada 15 Agustus 1962. Persetujuan ini
memerintahkan Belanda untuk menyerahkan pemerintahan di Irian Barat kepada
penguasa sementara PBB-UNTEA (United
Nations Temporary Executive Authority) pada 1 Oktober 1962. Wakil Indonesia UNTEA,
Mr. Soedjarwo Tjondronegoro dan 17 Stafnya berangkat ke Irian Barat untuk
mewakili Pemerintah dalam Penyerahan Wilayah Irian Barat ke Indonesia pada
tanggal 2 Oktober 1962.
Sidang Pertama Konsili Vatikan II
Sesi I Konsili Vatikan II berlangsung dari 11 Oktober hingga 8 Desember 1962. Amanat Pembukaan
Konsili Vatikan II dari Paus St. Yohanes XXIII pada 11 Oktober 1962
menyatakan “Sering terjadi dalam pengalaman kita melaksanaan pelayanan kerasulan
sehari-hari, kita mendengarkan suara-suara dari orang-orang, yang sungguh
sangat kami sesalkan, yang meskipun
dikobarkan oleh semangat agama, namun kurang matang dan cermat dalam pertimbangan. Dalam kondisi
masyarakat manusia dewasa ini, mereka melulu melihat keruntuhan dan bencana.
Menurut mereka dibandingkan dengan
masa-masa yang lalu zaman
sekarang bertambah semakin buruk, dan
mereka bersikap seolah mereka sama sekali tidak belajar dari sejarah yang
sesungguhnya adalah guru kehidupan. Mereka bersikap seolah-olah pada masa
Konsili-konsili yang terdahulu segala sesuatu penuh dengan kejayaan gagasan dan
hidup kristiani dan untuk kebebasan Gereja.
Kami rasa kami tidak sepakat dengan para nabi
kehancuran, yang selalu melihat bencana semata, seolah-olah kiamat sudah
dekat.
Dalam situasi dunia
sekarang, Penyelenggaraan Ilahi tampak
membimbing kerja keras manusia dalam membarui tata kemasyarakatan dengan usaha
mereka sendiri yang harus diakui berhasil, bahkan umumnya melampaui harapan, menuju
kepada terlaksananya rencana ilahi yang tak terperikan dan unggul. Dan segala
sesuatu, termasuk perbedaan-perbedaan manusia, mengarah kepada kesejahteraan
yang lebih besar bagi Gereja.
Sungguh mudah untuk
memahami realitas ini jika kita memperhatikan dengan cermat betapa sibuknya
dunia sekarang dengan isu-isu politik
dan kontroversi ekonomi hingga seolah-olah mereka tak punya waktu
lagi untuk menata realitas rohani yang menjadi bidang keprihatinan Magisterium
Gereja. Cara bertindak ini tentu saja keliru, dan memang tidak bisa
disetujui....
Ajaran Kristiani harus
dijaga dan sekaligus diwartakan dengan lebih efektif. Ajaran ini untuk seluruh
umat manusia yang adalah mahluk jasmani dan rohani seutuhnya. Dan walaupun
sedang berziarah di dunia, ajaran ini mengajaknya agar selalu mengarahkan hati
ke surga.
Ditunjukkan bagaimana
hidup kita yang fana diatur sedemikian rupa agar memenuhi kewajiban kita baik
sebagai warga dunia maupun warga surga, dan dengan demikian mencapai tujuan
akhir kita sebagaimana telah ditentukan Tuhan.
Yaitu bahwa semua orang baik perorangan maupun sebagai masyarakat wajib
selalu mengarahkan hidupnya sepanjang hayat kepada hal-hal surga dan
menggunakan hal-hal dunia untuk maksud itu saja, artinya, bahwa penggunaan
harta benda duniawi janganlah mengurangi kebahagiaan surga.
Tuhan bersabda :
"Carilah pertama-tama Kerajaan
Allah dan kebenaran-Nya" (Mat 6,33). Kata "pertama-tama"
menunjukkan secara khusus kemana semua usaha dan pikiran kita harus diarahkan;
namun jangan dilupakan pula perkataan Tuhan berikutnya: "maka semuanya itu
akan ditambahkan kepadamu" (Mat 6:34)...
Namun agar ajaran ini
dapat meresapi begitu banyak bidang kegiatan manusia, baik perorangan, keluarga
maupun masyarakat, pertama-tama dan terutama Gereja sendiri harus selalu
akrab dengan warisan suci kebenaran yang
diterima dari para Bapa itu. Dan serentak dengan itu harus selalu memerhatikan
keadaan sekarang, kondisi-kondisi baru dan bentuk-bentuk baru kehidupan yang
diperkenalkan zaman modern yang membuka jalan-jalan baru bagi kerasulan Katolik.
Untuk itu, Gereja tak
boleh menutup mata pada kemajuan besar
temuan-temuan kecerdasan manusia, dan jangan terlambat ketinggalan dalam
memberikan penilaian dengan tepat. Tetapi seraya mengikuti jalannya
perkembangan, janganlah ia lalai mengingatkan manusia agar melampaui dan di
atas segala yang dicerap indera, mereka selalu mengarahkan hati kepada Allah,
sumber segala kebijaksanaan dan keindahan. Dan agar mereka tidak melupakan
perintah yang paling utama: “Engkau harus menyembah Tuhan Allahmu, dan hanya
kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat 4:10; Luk 4:8), sehingga pesona
hal-hal yang fana tidak menghambat kemajuan yang sejati.
Tentang cara pewartaan
ajaran iman dan bagaimana hal itu
ditetapkan, menjadi jelas sangat diharapkan dari sidang Konsili yang
berhubungan dengan ajaran iman. Yakni, Konsili Ekumenis Keduapuluhsatu – yang
akan menimba dari pengalaman berlimpah
di bidang hukum, liturgi, kerasulan dan pemerintahan dukungan yang efektif dan
sangat berharga, harapan untuk menyampaikan ajaran iman Katolik, secara murni
dan lengkap, tanpa cacad atau
gangguan, yang diteruskan selama dua
puluh abad kendati berbagai kesulitan
dan pertentangan, menjadi tuntunan umum bagi semua orang. Suatu tuntunan yang
walau pun belum diterima dengan baik oleh semua orang, namun selalu merupakan
harta kekayaan besar yang selalu tersedia bagi mereka yang berkehendak baik.
Maksud utama Konsili
ini dengan demikian bukan membahas lagi pokok-pokok ajaran Gereja,
yang sudah berulangkali dibicarakan para Bapa dan teolog dari zaman dulu
hingga sekarang secara rinci, yang kami anggap kita semua sudah memahaminya
dengan baik dan fasih.
Bukan untuk itu
Konsili ini diperlukan. Tapi dari kesetiaan yang diperbarui, murni dan jernih kepada seluruh ajaran Gereja seutuhnya dan setepat-tepatnya,
seperti yang diwariskan Konsili Trente dan Konsili Vatikan I kepada kita, umat kristiani katolik di seluruh dunia dengan semangat apostolik menghendaki agar kita maju selangkah lagi dalam
meresapkan ajaran iman dan membina kesadaran
kaum beriman serta kesetiaan penuh pada ajaran yang autentik yang dipelajari dan diteguhkan dengan
metode-metode penelitian serta bentuk tulisan yang dapat diterima oleh semua
orang di zaman kita. Pokok-pokok ajaran iman yang asli adalah satu hal, sedang
cara menyajikannya adalah hal yang lain. Untuk yang terakhir itulah kita
memberikan pertimbangan sebanyak mungkin dengan kesabaran sejauh mungkin,
semuanya dengan bentuk dan proporsi yang terukur dalam suatu magisterium yang
terutama bercorak pastoral.
Demikianlah, Gereja
Katolik, seraya meninggikan suluh kebenaran agama melalui Konsili Ekumenis ini,
ingin menunjukkan dirinya sebagai ibu
yang mengasihi untuk semua, baik hati,
sabar, murah hati dan penuh kebaikan terhadap sesaudara yang terpisah darinya.
Kepada mereka yang tertindas banyak kesulitan, Gereja berkata, seperti Petrus
kepada orang miskin yang meminta derma
darinya: “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan
padamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah” (Kis 3:6).
Dengan kata lain Gereja tidak memberi kekayaan yang fana kepada manusia zaman
ini, juga tidak menjanjikan kebahagiaan duniawi saja. Tetapi ia membagikan
kebaikan rahmat ilahi yang, dengan
mengangkat manusia kepada martabat anak-anak Allah, adalah perlindungan yang
paling efektif dan bantuan ke arah hidup yang lebih manusiawi. Gereja membuka
keran mata air ajaran iman yang memberi hidup yang memampukan manusia,
diterangi oleh cahaya Kristus, memahami kenyataan dirinya, martabatnya yang luhur
dan tujuan hidupnya, dan akhirnya, bersama putera-puterinya, Gereja menyebarkan di mana saja kepenuhan kasih
Kristiani sebagai sarana yang paling
efektif untuk mengatasi benih-benih perseteruan, memajukan persamaan pendapat,
perdamaian yang adil, dan kesatuan semua umat manusia dalam persaudaraan.
Tekad Gereja untuk
memajukan dan menegakkan kebenaran berasal dari fakta bahwa, menurut rencana
Tuhan, yang menghendaki agar semua orang
diselamatkan dan sampai kepada pengertian
akan kebenaran (1Tim 2,4), tanpa
pertolongan sepenuhnya dari ajaran yang
diwahyukan, mereka tidak dapat mencapai kesatuan pikiran yang lengkap dan kuat,
yang terkait dengan damai sejati dan keselamatan abadi.
Kesatuan dalam
kebenaran yang kita lihat ini, sayangnya, belum sepenuhnya dicapai oleh seluruh
keluarga Kristiani.
Karena itu Gereja
Katolik menganggap sebagai kewajibannya untuk aktif mengupayakan agar sejauh
mungkin dapat terpenuhilah misteri besar
kesatuan yang oleh Kristus Yesus, menjelang sengsara dan wafatNya, dengan doa yang sangat khusyuk
dimohonkan dari Bapa Surgawi. Gereja bersukacita dalam damai, karena tahu bahwa
dirinya erat terkait dengan doa Kristus
itu; dan bersorak gembira ketika permohonan doa itu meluaskan khasiat buah
keselamatan, bahkan kepada mereka yang berada di luar kawanannya.
Saudara-saudara yang
mulia, demikianlah tujuan dari Konsili Ekumenis Vatikan Kedua ini, yang seraya
menghimpun sebaik mungkin seluruh daya Gereja dan mengusahakan agar manusia
lebih siap menerima kabar gembira dan keselamatan, menyiapkan dan
mengkonsolidasikan jalan menuju kesatuan umat manusia yang perlu sebagai
landasan agar kota dunia menjadi semakin menyerupai kota surgawi, di mana
kebenaran meraja, kasih menjadi hukumnya, dan terentang hingga kekal .”
Para Bapa Konsili dari Indonesia dalam persidangan pertama (26
uskup) adalah: Mgr Albers O.Carm, Mgr Arntz OSC, Mgr Bergamin SX, Mgr Demarteau MSF, Mgr Djajasepoetra SJ, Mgr Geise OFM, Mgr
Hermelink Gentiaras SCJ, Mgr.Mgr Grent MSC, Mgr
J.Klooster CM, Mgr Gabriel Manek SVD, Mgr Paul Sani Kleden SVD, Mgr
Henri Romeijn MSF, Mgr M. Schneiders CICM, Mgr Schoemaker MSC, Mgr
Soegijapranata SJ, Mgr JH Soudant SCJ, Mgr
Staverman OFM, Mgr AH Thijssen SVD, Mgr van Bekkum SVD, Mgr v.d. Hurk OFM, Mgr
v.d. Tillart SVD, Mgr Tillemans MSC, Mgr v.d.Burgt OFM, Mgr v.d. Westen
SSCC, Mgr v. Kessel SMM, Mgr Verhouven MSC. Delegasi para Uskup
Indonesia dalam mengikuti Sidang Pertama Konsili Vatikan II dipimpin oleh Mgr
Soegijopranata SJ, dalam kapasitasnya sebagai
Ketua MAWI.
Dua belas komisi persiapan Konsili telah mengadakan
rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan bulan Juni 1962, dan
menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum menjadi sekitar 20
naskah. Setiap naskah diperiksa oleh Komisi Persiapan Pusat, diperbaiki dengan
memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya dimohonkan
persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan di antara
para Uskup sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang dimulai pada musim
gugur 1962. Dalam sidang kerja pertama, pada 13 Oktober 1962 para Uskup tidak
bersedia menerima daftar anggota komisi-komisi kerja Konsili yang disodorkan
dalam daftar yang sudah siap, karena dominasi Kuria Vatikan, sebaliknya mereka
ingin memilih sendiri para anggota komisi-komisi kerja yang umumnya dipimpin
10-12 kardinal dan bersifat internasional demi karakter Konsili yang disebut
ekumenis. Hal itu menunjukkan, bahwa banyak Uskup melalui intervensi Kardinal Frings (Jerman) dan Kardinal Lienart
(Prancis) tidak setuju dengan nada dan
isi pokok banyak naskah yang telah disiapkan dan bersifat Roma-centris. Naskah
untuk dibahas yang telah diserahkan kepada para Bapa Konsili meliputi antara lain draft tentang
Sumber-sumber Wahyu, Perbendaharaan Iman, Tatanan Moral Kristiani,
Kemurnian-Perkawinan-Keluarga dan Keperawanan,
Konstitusi Liturgi, Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristiani.
Dengan alasan mereka perlu waktu secukupnya untuk saling
mengenal dan memilih para anggota komisi-komisi, mereka berkelit dari agenda
pengambilan suara atas naskah-naskah, dan menghendaki proses konsultasi
berlangsung leluasa seperti biasa terjadi dalam tradisi konsili-konsili yang
lalu. Dewan pemimpin Konsili menghadap Paus Yohanes pada 16 Oktober 1962
membawa pesan para Uskup. Mereka meminta urutan pembahasan dibalik, mulai dari
Konstitusi Liturgi, Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristen. Draft lain-lainnya
dibahas dalam masa sidang berikutnya. Paus menyetujui. Maka dikirimkanlah nota
kepada para Bapa Konsili: “Animadversiones
in "Primam Seriem" schematum
constitutionum ad decretorum”, bahwa urutan pembahasan dibalik menurut
skema yang utama dulu, dari konstitusi ke dekrit. Mengomentari perubahan itu
Kardinal Montini (yang nanti menjadi Paus Paulus VI) pada 18 Oktober 1962 mengirim
catatan kepada Kardinal Sekretaris Negara mencemaskan bahwa Konsili tidak
mempunyai rencana kerja yang rapi dan
baku.
Pada 22 Oktober 1962
tema Konstitusi Liturgi dipilih untuk pembahasan pertama karena draft yang
dihasilkan lebih tertata rapi; secara keseluruhan sangat bagus, juga dalam
bagian-bagiannya, menurut penilaian para Uskup Eropa Tengah. Walaupun demikian,
debat mengenai Konstitusi Liturgi sangat
alot. Pokok perdebatan menyangkut gaya
bahasa teks yang lebih puitis ketimbang teologis. Ada ketidakjelasan ajaran
yang perlu diperbaiki secara teologis.
Tentang bahasa Liturgi: Latin atau bahasa setempat. Komuni dua rupa.
Konselebrasi. Dan otoritas atas liturgi. Pada 6 November 1962 dimintakan kesepakatan
tentang penghentian debat mengenai hal-hal yang telah cukup didiskusikan. Pembahasan
tentang Konstitusi Lturgi berakhir pada 13 November 1962 dan kemudian diambil
suara atas pernyataan: “Konsili Vatikan
II setelah meninjau dan memeriksa skema tentang Liturgi suci, dengan ini
menyetujui arah umum yang cermat dan arif, bermaksud membuat bagian-bagian
tertentu dari Liturgi lebih hidup dan lebih mudah dipahami umat beriman selaras
kebutuhan pastoral di masa kini. Perubahan-perubahan yang didiskusikan dalam
sidang konsili sesegera mungkin akan dipelajari dan disusun dalam bentuk yang
tepat oleh komisi Konsili untuk Liturgi, dan akan disampaikan pada waktunya
kepada sidang umum, dan dengan pemberian suaranya para Bapa Konsili niscaya
membantu atau mengarahkan komisi dalam menyiapkan teks yang telah direvisi dan
pasti untuk disampaikan kepada sidang umum lagi”. Dari 2215 Bapa Konsili yang
hadir, 2162 setuju (melampaui kuorum duapertiga atau 1476). 46 suara tidak
setuju.
Diskusi selanjutnya adalah untuk membahas skema tentang
komunikasi sosial, Gereja timur dan Hakekat Wahyu Allah. Terutama untuk skema
yang terakhir, Hakekat Wahyu Allah, sebagian besar Bapa Konsili menolak teks
yang diajukan karena hanya mengakui satu sumber wahyu: sabda Tuhan, maka kurang
ekumenis. Nadanya terlalu bersifat skolastik hingga dirasa kering, kurang
kehangatan, dan perlu memerhatikan kebutuhan Gereja, sehingga teks itu perlu ditulis ulang melalui suatu tinjauan
teologis yang lebih baik. Walau ketika diambil suara, jumlah yang menolak hanya
1.368 suara, kurang dari kuorum 2/3 yaitu 1.473 suara, namun tetap merupakan
mayoritas melebihi 55%. Maka Paus
berkenan memutuskan untuk merombak teks dengan wawasan teologi yang lebih
lengkap. Untuk revisi dan penulisan ulang teks maka hingga masa sidang sesi
pertama berakhir pada 8 Desember 1962, belum ada dokumen apa pun yang
dihasilkan Konsili Vatikan II.
Sementara persidangan pertama Konsili Vatikan II
berlangsung, dunia terancam krisis nuklir dipicu situasi di Cuba. Krisis Nuklir
Cuba (16–28 Oktober 1962) – ditandai situasi sangat nyaris terjadi perang
nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet karena penempatan peluru kendali
Soviet di Cuba dianggap mengancam Amerika Serikat. Setelah armada Amerika
Serikat memblokade perairan Cuba memutus hubungan negara itu dari mana pun,
barulah Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev setuju memindahkan
pelurukendalinya dari Cuba, sedang Amerika Serikat pun memindahkan peluru
kendali yang ditempatkan di Turki.
Tahun 1963 adalah tahun yang penuh gejolak. Mulanya adalah
tanda-tanda baik. Pada 22 Januari Peranci s dan Jerman Barat
menandatangani kesepakatan kerja sama
mengakhiri konflik empat abad antara kedua negara . Pada 1 Maret 1963 setelah
kembalinya Irian Barat kepada Indonesia dari kolonialisme Belanda dengan
bantuan PBB, konflik antara Indonesia dan Belanda berakhir dan hubungan
diplomatik antara kedua negara dipulihkan kembali.
Pada 17 Maret 1963
Gunung Agung di Bali meletus, menyemburkan abu piroklastik yang menyebar hingga
jauh dan lava yang mengalir menghancurkan desa-desa sekeliling memakan lebih
dari 1500 korban jiwa.
Tergerak oleh dinamika situasi konflik di Asia Tenggara
termasuk Indonesia, Asia selatan, Afrika, Eropa dan Amerika, Pacem
in Terris, atau Damai di Dunia, tentang Menegakkan Perdamaian yang
Universal berdasarkan Kebenaran, Keadilan, Kemurahan, dan Kebebasan, sebuah surat
ensiklik dikeluarkan oleh Paus Yohanes
XXIII pada 11 April 1963. Ensiklik ini merupakan ensiklik yang besar
pengaruhnya dan menetapkan
prinsip-prinsip yang kemudian muncul dalam sejumlah dokumen Konsili Vatikan II dan ajaran para paus-paus
yang kemudian.
Pacem in Terris (PIT)
menguraikan perlunya memajukan perdamaian berdasarkan hukum kodrat yang
ditorehkan Allah pada manusia dan hati nuraninya. Hak-hak asasi manusia yang dikemukakan dalam
Deklarasi PBB tahun 1948 disajikan dengan lebih kuat dalam Pacem in Terris, sehingga ensiklik ini dianggap sebagai Piagam
Katolik tentang Hak-hak Asasi Manusia. Menurut Paus Yohanes XXIII, hukum kodrat
dengan jelas memperlihatkan, bagaimana manusia harus berperilaku terhadap
sesamanya dalam masyarakat, antara warganegara dan pemerintah, dalam hubungan
antar negara, dan hubungan segenap bangsa-bangsa di seluruh dunia (PIT 7). Paus
mengalamatkan suratnya itu juga kepada semua orang yang berkehendak baik.
Dengan pendekatan hukum kodrat maka orang bukan kristiani maupun yang atheist
dapat ikut memahami isinya. Karena prinsip-prinsip diletakkan pada alam
kodrati, untuk pelaksanaan asas-asas yang dikemukakan disarankan kerjasama
seluas-luasnya dalam pikiran yang sehat dan integritas moral setiap orang (PIT
157). Hubungan yang mengatur hidup dan
perilaku antar perorangan juga berlaku untuk hubungan timbal balik antar negara
berdasar kaidah kebenaran bebas dari dusta, keadilan dalam
ekonomi-sosial-politik, kerjasama demi kesejahteraan semesta dan kebebasan dengan komitmen mengusahakan
damai sejati (PIT 80). Pada masa itu sekitar 70 juta orang kristiani tinggal di
negeri “tirai besi” yang berideologi komunis, dan Pacem in Terris dengan segera menjadi diskusi hangat dan membentuk
opini publik yang positif. PIT mendorong semangat gerakan mahasiswa di banyak
tempat sepanjang tahun 1963 untuk memajukan perdamaian dan menghentikan perang.
PIT juga menguatkan kesadaran dan perjuangan untuk menegakkan hak-hak sipil. Di
kemudian hari, PBB mengadakan simposium persoalan perdamaian dunia dalam terang
ajaran Paus Yohanes XXIII dalam Ensiklik Pacem in Terris pada 17-20 Februari 1965. Adalah mungkin, mengingat
hubungan baik Presiden Soekarno dan Paus Yohanes XXIII serta Mgr A.
Soegijopranata SJ, wajah politik luar negeri Indonesia terpengaruh juga oleh
ajakan Ensiklik Pacem in Terris
sehingga di masa selanjutnya kembali lebih mengutamakan jalan diplomasi
ketimbang konfrontasi.
Pada bulan Maret 1963, presiden menunjuk Panitia 13 untuk
merumuskan garis-garis kebijakan pokok (Basic
Strategic Principles) untuk mengatasi masalah ekonomi dan keuangan negara. Hasil
kerja Panitia 13 berkisar pada pandangan Djuanda, tetapi usulan Djuanda ini
ditolak oleh presiden. Presiden lebih menereima usulan dari dr. Soebandrio yang
dinamakan Manifes Ekonomi . Manifes Ekonomi ini diumumkan presiden dengan
istilah Deklarasi Ekonomi (Dekon) tanggal 28 Maret 1963. Pemerintah gagal
memperoleh pinjaman dana dari International Monetary Fund (IMF) sebesar USD400
juta. Sementara utang luar negeri Indonesia saat itu yang memerlukan dana
pembayaran sekitar Rp794 miliar atau 2,4 miliar dollar Amerika Serikat. Maka
pada 26 Mei 1963 dikeluarkan kebijakan ekonomi untuk swa-sembada yang mengejutkan. Kebijakan
itu meliputi berbagai kenaikan tarif antara lain, listrik dinaikkan rata-rata
menjadi 300%, tarif kereta api naik 300%-500%, tarif Pos Telepon Telekomunikasi
naik 400%, tarif penerbangan Garuda naik rata-rata 500%. Untuk mengimbangi
kemahalan gaji pegawai pemerintah dinaikkan 100% dan pensiun naik 50%.
Kecacauan harga memicu insiden rasial di
Cirebon dan Bandung yang merugikan warga Tionghoa. Mahasiswa Bandung terutama
pendatang yang mengalami kesulitan ekonomi merusak toko-toko Tionghoa dengan
menuduh mereka tidak bela rasa pada kesulitan umum ekonomi yang dialami rakyat.
Namun mereka juga terpecah-pecah mengalami perseteruan antar organisasi
mahasiswa yang dipolitisasi. Mengakhiri kesulitan ekonomi akibat peraturan 26
Mei 1963, keputusan-keputusan PB Front Nasional 5 September 1963 menggantinya
dengan peraturan-peraturan ekonomi baru yang sesuai dengan Dekon mengenai
perubahan -peraturan ekonomi.
Pada bulan Mei 1963 Organization of African Unity (OAU) atau
Organisasi Uni Afrika didirikan 30
negara Afrika merdeka di Addis Abeba
Ethiopia, dengan tujuan utama
meningkatkan solidaritas serta persatuan negara-negara Afrika, menyelaraskan
serta mengintensifkan kerjasama dan juga mengupayakan rakyat Afrika agar
mendapatkan kehidupan yang lebih baik, membangun dan memperkuat kedaulatan dan
keutuhan wilayah negara anggota, memberantas apartheid, kolonialisme, dan
ketergantungan pada pihak asing. OAU betumbuh dari suatu gerakan Pan Afrika
yang bermaksud menghapuskan kolonialisme dari benua Afrika, membentuk pakta
pertahanan bersama dan menjalin kerjasama untuk pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan sosial.
Pada tanggal 4 Juni 1963 oleh Mgr. A. Soegijapranata, SJ,
Kaptin Adisumarta, dan Subiyat didirikan Yayasan Purba Danarta (YPD) di
Semarang. YPD menjalankan kegiatan pengembangan masyarakat, khususnya dalam
bidang peningkatan ekonomi masyarakat kecil.Prinsip yang dipakai dalam
menjalankan kegiatannya adalah menggunakan uang sebagai sarana pendidikan.
Sehubungan dengan prinsip tersebut,
semua kegiatan keuangan seperti tabungan dan pinjaman berperan dalam usaha
mendidik masyarakat untuk menggali dan mengembangkan potensi diri, memiliki
kepercayaan diri, serta mampu membuat perencanaan keuangan bagi perkembangan
keluarga maupun usahanya.
YPD menciptakan program-program basis berupa pengaturan
Ekonomi Rumah Tangga (ERT), tabungan Bina Anggaran, Kewirausahaan, Pelengkap
Usaha. YPD juga mengembangkan layanan audit dan konsultasi manajemen. Sejalan
dengan pengembangan layanan, YPD mengembangkan kerjasama dengan pemerintah dan
lembaga-lembaga lain serta menambah jumlah stafnya. Mula-mula YPD berperan
sebagai lembaga pencari, pengawas dan pembina dana bagi berbagai proyek sosio
ekonomi. Kemudian YPD mencoba untuk mandiri dengan menciptakan pendapatan
sendiri supaya dapat mendampingi orang lain menjadi mandiri.
Gereja seluruh dunia berduka ketika Paus Yohanes XXIII wafat
karena kanker pada 6 Juni 1963 dalam usia 82 tahun. Dengan wafatnya, Bapa Suci
yang dikenal sebagai “Paus yang Baik” itu membuat seluruh dunia kehilangan
harapan atas kelanjutan Konsili Vatikan II. Namun Konklaf pemilihan Paus baru
segera dilaksanakan setelah pemakaman Paus Yohanes XXIII. Konklaf dilaksanakan
antara tanggal 19-21 Juni 1963. Dari 82 nama yang memenuhi syarat sebagai
elektor (yang berhak dipilih dan memilih) hanya 2 orang yang tak dapat hadir.
Empat nama dinyatakan sebagai calon favorit. Untuk menjadi pemenang
diperlukan 2/3 suara dari 80 elektor.
Pada 21 Juni 1963, setelah 6 kali
pemungutan suara, nama Kardinal Giovanni Battista Montini tampil sebagai Paus
terpilih, dan selanjutnya menggunakan nama baru Paulus VI.
Pada 22 Juni 1963 Paus Paulus VI mengumumkan keinginannya
untuk melanjutkan Konsili Vatican II.
Sebelum Paus Yohanes XXIII wafat, pada 30 Mei 1963 Uskup
Agung Semarang Mgr Albertus Soegijapranata SJ berangkat ke Eropa. Ia salah
seorang anggota yang ditunjuk Paus Yohanes XXIII (29 Oktober 1962) dalam Komisi Kerja untuk
Soal Misi dalam Konsili Vatikan II. Namun kesehatannya buruk. Ia baru saja keluar
dari Rumah Sakit Elisabet Semarang dan karena kondisi kesehatannya dilarang
melakukan kegiatan rutin sebagai Uskup. Untuk sementara Vikaris Jendral Yustinus Darmoyuwono menggantikannya. Ia menjalani perawatan di Rumah Sakit
Kanisius di Nijmegen, Belanda, dari 26
Juni-6 Juli 1963, namun kondisinya terus memburuk. Ia wafat pada 22 Juli 1963 karena
serangan jantung di Susteran Steyl, Belanda. Presiden Soekarno menginginkan Mgr
Soegijapranata dimakamkan di Indonesia. Maka jenasahnya diterbangkan ke Jakarta
dan pada 26 Juli 1963, mengingat jasa-jasanya untuk perjuangan Indonesia, ia
dianugerahi gelar “pahlawan nasional” berdasarkan Keputusan Presiden No. 152/1963. Ia dimakamkan di Makam
Pahlawan Giri Tunggal Semarang pada 30 Juli 1963.
Pada 17 Agustus 1963 para sastrawan, wartawan, seniman dan
cendekiawan melawan propaganda PKI yang
menginginkan semua karya intelektual dan seni untuk rakyat. Mereka membuat dan
menandatangani “Manifes Kebudayaan”, sebuah pernyataan tentang perlunya
kebebasan berekspresi dan berkarya di Indonesia. “Bagi kami kebudayaan adalah
perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan
salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor
berjuang bersama-sama untuk tujuan kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat
bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami”. PKI menjadikan Manifesto Kebudayaan sebagai
bahan polemik sengit dan mengejeknya dengan plesetan “Manikebu” jadi Manikebo
[sperma kerbau], dengan konotasi yang tidak baik dan menjijikan. Pemerintah sendiri
kemudian melarang “Manikebu” karena dianggap terlalu mengedepankan faham
individualisme, egoisme dan liberalisme. Para sastrawan, wartawan, seniman dan
cendekiawan yang turut menandatangani “Manikebu” kemudian dicurigai,
diinterogasi dan dicap kontra revolusi . Redaksi Majalah Kebudayaan “Basis” di
bawah pimpinan Romo Th. Dick Hartoko yang membela Manifesto Kebudayaan
dimusuhi, kantor Basis didemo dan dilempari batu.
Pada 28 Agustus 1963 lebih dari 200.000 demonstrator
mengadaikan pawai menuju ibukota Amerika
Serikat, Washington, menuntut pekerjaan
dan kebebasan. Mereka menekan pemerintahan John F. Kennedy agar lebih kuat
mengajukan undang-undang hak sipil federal kepada Kongres. Dalam demonstrasi
ini Martin Luther King mengucapkan pidatonya
yang terkenal , “I Have a Dream”. Demo besar-besaran ini disebabkan mendesaknya
kebutuhan akan keadilan ekonomi dan politik akibat tingginya tingkat
pengangguran orang-orang kulit hitam, upah kecil untuk kebanyakan pekerja Afrika-
Amerika dan sempitnya mobilitas kerja, peminggiran masyarakat Afrika Amerika
secara sistematik, dan maraknya sikap rasialis di bagian selatan.
Di Vatikan dengan segera Paus Paulus VI bekerja memerbaiki kekurangan tata keorganisasian
dan prosedur Konsili. Ia menilai pada masa persidangan pertama prosedurnya kacau dan lamban. Pengamat –awam katolik dan
bukan-katolik ditambah jumlahnya. Teks skemata yang disajikan dikurangi
jumlahnya hingga tinggal 17 (dengan tekanan untuk menunjukkan sifat pastoral
Konsili). Pcapkan pidatonya eran Uskup sebagai Bapa Konsili harus ditingkatkan
mengimbangi peran para Kardinal. Secara keseluruhan Konsili harus menjadi badan
pertimbangan yang bebas, bersifat memutuskan, bukan sekedar konsultatif. Sifat kerahasiaan diskusi pembahasan pun
ditiadakan.
Sementara kesibukan gerejawi berlangsung dalam rangka
Konsili Vatikan II, terjadi ketegangan di Asia Tenggara yang melibatkan Federasi
Malaya, Indonesia dan Filipina. Indonesia menolak rencana pembentukan Negara
Federasi Malaysia yang dibidani Inggris
karena tidak suka pada kemungkinan adanya pangkalan militer Inggris di Malaya,
yang dapat mengganggu keseimbangan regional Asia Tenggara. Filipina menolak
karena menganggap Sabah yang akan masuk dalam Negara Federasi Malaysia sebagai
bagian dari wilayah Kesultanan Sulu. Jalan
diplomasi sudah ditempuh. Pada 31 Mei 1963, Presiden Soekarno bertemu dengan
Perdana Menteri Federasi Malaya Tunku Abdul Rahman di Tokyo, Jepang. Pertemuan
itu ditindaklanjuti lewat Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri di Manila,
Filipina pada 7-11 Juni 1963. Menlu Malaya, Filipina dan Indonesia telah
mencapai kesepakatan bersama Maphilindo
soal pembentukan Negera Federasi Malaysia. Indonesia dan Filipina sepakat
pembentukan negara federasi Malaysia asalkan sesuai kehendak rakyat yang akan
dipersatukan. Rencana pembentukan negara federasi Malaysia, disepakati akan
diselesaikan oleh PBB. Pada pertemuan puncak di Manila, Filipina, dihasilkan
tiga dokumen yakni Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama.
Terbentuk konfederasi tiga negara yakni Maphilindo
(Malaya, Filipina, dan Indonesia). Ketegangan pun mereda.
Namun hubungan kembali memanas karena PM Tunku Abdul Rahman
menandatangani dokumen pembentukan negara federasi Malaysia dengan Inggris.
Naskah itu ditandatangani di London, Inggris pada 9 Juli 1963. Dalam naskah,
disebut Negara Federasi Malaysia akan dibentuk pada 31 Agustus 1963, bertepatan
dengan ulang tahun kemerdekaan Malaya yang ke-6. Langkah Malaysia mengganggu
hubungan ketiga negara dan rencana pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi
di Manila pada pertengahan Juli 1963. Sekretaris Jenderal PBB U Thant pun
membentuk tim penyelidik pada Agustus 1963. Sayangnya sebelum hasil
penyelidikan diumumkan secara resmi oleh
PBB Pemerintah Malaysia keburu memproklamasikan berdirinya Negara Federasi
Malaysia yang terdiri dari empat negara
bagian yang yakni Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Sabah, dan Sarawak pada
16 September 1963. Indonesia sangat marah atas langkah Malaysia yang lagi-lagi melanggar
kesepakatan. Sehari sesudah proklamasi pendirian negara, Indonesia memutuskan
hubungan diplomatik dengan Malaysia. Di Malaysia dan Indonesia, sama-sama
terjadi demonstrasi besar-besaran. DI Kuala Lumpur, pada 17 September 1963,
demonstran menyerbu kantor Kedutaan Besar RI. Mereka merobek-robek foto
Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan PM Tuanku Abdul
Rahman untuk diinjak-injak. Aksi itu membuat Soekarno gusar.
Masa Sidang Kedua Konsili Vatikan II
Pada 15 September 1963
Paus Paulus mengumumkan susunan panitia pengarah baru untuk mengatur
pelaksanaan persidangan kedua. Kepada
Kuria Roma (yang dianggap enggan dan karenanya lamban menyelenggarakan Konsili),
Paus meminta kerjasama dan dedikasi
mereka dalam persidangan Konsili nanti, dengan semangat aggiornamento dan pembaruan pada 21
September 1963. Walau dengan perubahan
kecil, Paus Paulus VI pada waktu memberikan amanat pembukaan persidangan kedua
Konsili Vatikan II pada 29 September 1963, menegaskan agar Konsili terus
melanjutkan visi Paus Yohanes XXIII yang
menekankan sifat pastoral Konsili dan
meminta perhatian pada empat hal: (1)
kesungguhan dalam memikirkan hakekat Gereja dan peranan Uskup di dalamnya; (2) pembaruan Gereja melalui revaluasi
atas posisi dan peran Kitab Suci dan Tradisi; (3) pemulihan kesatuan segenap umat Kristiani
termasuk permohonan maaf atas unsur-unsur yang menyebabkan perpisahan dari
pihak Gereja Katolik di masa lalu; dan (4) memprakarsai dialog dengan dunia.
Konstitusi Liturgi Sacrosanctum
Concilium baru dipromulgasikan dalam masa persidangan Konsili Vatikan II yang
berlangsung dari 29 September 1963. Indonesia memberi kontribusi pada Konsili Vatican II (1962–1965). Mgr Willem van Bekkum dari
Ruteng/Flores adalah salah seorang
anggota Komisi Kerja untuk Liturgi dalam Konsili Vatikan hasil pemilihan para
Bapa Konsili (20 Oktober 1962). Dari tahun 1937 ia telah membuat lagu-lagu
menggunakan melodi setempat dan doa-doa dalam bahasa setempat yang dihimpun dalam buku Dere
Serani. Pada 1950-an Van Bekkum juga
sudah mengadakan prosesi persembahan dengan tarian yang diberi judul “misa kaba” (Misa Kerbau). Dalam kongres internasional
pastoral liturgi di Asisi pada tahun 1956 ia menyampaikan saran
perubahan ritus Misa dalam bahasa Latin yang bagus, yang ternyata tujuh tahun
kemudian ide-ide dalam susunan bahasanya diadopsi dalam Konstitusi Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi
Konsili Vatikan II. Konstitusi itu
menunjukkan selintas paham tentang Gereja yang berbeda dari paham hirarkis piramidal
yang sebelumnya, melalui pelaksanaan Liturgi. Yaitu bahwa Liturgi adalah hak
dan kewajiban Umat Kristiani yang menuntut keikutsertaan semua umat beriman
secara aktif (SC 14). Di dalam Liturgi kesatuan seluruh umat diwujudkan, walau
masing-masing anggota berlainan tugas dan keikutsertaan aktual mereka,
kesetaraan ditekankan, “janganlah diberikan kedudukan istimewa kepada
pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu” (SC 26-32).
Persidangan kedua Konsili Vatikan II 1963 juga menghasilkan
suatu dokumen lain, Dekrit Inter Mirifica
tentang upaya-upaya komunikasi sosial . Konsili sudah selesai membahas
bahan dokumen ini dalam persidangan pertama 23-26 Oktober 1962 sebagai selingan
untuk menyiapkan energi menghadapi bahasan berat selanjutnya tentang Gereja 1
Desember 1962. Ketika diambil suara untuk dokumen Inter Mirifica, 2.138 suara setuju jauh melampaui kuorum 2/3. Dalam
Inter Mirifica, umat Allah, terutama awam, diajak lebih aktif
meresapkan semangat “kristiani dan manusiawi” di dalam media massa, penerbitan
surat kabar, majalah, buku-buku, dalam produksi
film, siaran radio dan televisi yang semakin marak oleh kemajuan
teknologi. Konsili juga mengundang semua orang yang berkehendah baik terutama
yang mengatur penggunaan media, agar mengarahkan upaya-upaya pada kesejahteraan masyarakat dan agar nama
Tuhan diluhurkan melalui
penemuan-penemuan baru.
Paham baru tentang Gereja yang telah disinggung dalam
Konstitusi Liturgi diuraikan lebih menyeluruh dalam persidangan 1963. Dibahas
lagi soal kewibawaan Paus dan kolegialitas para Uskup. Soal kuasa dan
yurisdiksi Paus sudah menjadi bahasan utama sejak Zaman Pertengahan hingga
Konsili Vatikan I. Namun dalam draft dokumen yang baru diisyaratkan untuk lebih
meningkatkan peran dan autoritas para Uskup.
Ada asumsi yang menunjukkan kurangnya pengertian tentang
peran Uskup dalam Gereja. Misalnya bahwa
Uskup hanyalah imam biasa yang diberi yurisdiksi lebih luas. Bahwa seorang
Uskup mendapatkan yurisdiksinya dari Paus dan pada dasarnya adalah
pendelegasian wewenang Paus, melakukan reksa pastoral di keuskupannya atas nama
Paus, yang mempunyai kuasa dan wewenang sesungguhnya, Dalam persidangan kedua
ini, para bapa konsili menetapkan bahwa para Uskup ditahbiskan sebagai Uskup,
bukan sekedar ditunjuk, dan karena itu mereka mendapatkan kuasa dan wewenangnya
sendiri. Lebih dari itu, para Uskup
bersama-sama membentuk suatu badan, suatu kolegial Uskup sedunia. Dan sebagai bagian
dari kolegialitas ini setiap Uskup mengajar dan memimpin keuskupannya
masing-masing dalam kesatuan dengan para uskup sedunia, bukan sekedar
melaksanakan perintah dari Roma. Diskusi yang menekankan kolegialitas Uskup ini dianggap
mengurangi kuasa dan wibawa Paus, hingga “seolah” disamakan dengan kuasa dan
wibawa Uskup yang makin “ditinggikan”. Sementara mendukung gagasan kolegialitas
para Uskup , Mgr Antoine van den Hurk, OFM Cap. dari Medan dan beberapa Uskup
lain pada 11 Oktober 1963 mengusulkan perubahan naskah. Pada 30 Oktober 1963 pemungutan suara tentang
kolegialitas para Uskup mendapatkan persetujuan
lebih dari 2/3 kuorum. Pada 7 November 1963 disampaikan proposal agar
para Uskup sedunia juga membantu Paus
untuk Gereja Universal kendati tetap
mewakili Gereja Partikular, antara lain
dari Mgr Herculanus Vander Burgt, OFM Cap. dari Pontianak atas nama 30 Uskup
Indonesia lainnya.
Pada hari sebelumnya, 29 Oktober 1963, skema tentang Maria
dalam Gereja juga telah memeroleh kesepakatan. Maria adalah pola Gereja dalam
hal iman, kasih dan persatuan sempurna dengan Kristus. Teladan kasih keibuan
yang niscaya menjiwai siapa saja yang melaksanakan misi Gereja melahirkan
anak-anak Allah yang baru. Penghormatan kepada Maria sesungguhnya tertuju kepada Yesus sang
Putera, Bapa yang mengutus Putera, dan Roh Kudus yang berasal dari keduanya.
Penghormatan kepada Maria dalam tradisi perlu didorong dengan hati-hati agar
tidak menghasilkan ungkapan yang berlebihan dari kepicikan batin, melainkan
semangat untuk meneladan keutamaan-keutamaannya, khususnya bahwa Maria adalah
tanda harapan yang pasti dan penghiburan bagi umat Allah yang mengembara di
dunia, dalam kedamaian, kerukunan dan kesatuan, dalam kemuliaan Allah
Tritunggal Mahakudus yang Esa tak terbagi.
Susunan topik bahasan dalam draft dokumen mengenai Gereja
juga diubah dalam persidangan kedua. Topik bahasan tentang Gereja sebagai Umat
Allah dimajukan di tempat kedua. Topik hirarki digeser dari tempat kedua ke
tempat ketiga. Pergeseran ini menunjukkan perubahan penting dalam eklesiologi,
lebih menekankan paham Gereja yang partisipatif, menjauh dari gambaran institusional yang lebih
mementingkan lembaga hirarki dan pemerintahan. Ketika membahas tentang kaum awam
dalam Gereja dan khususnya dalam hubungannya dengan dunia, Mgr Paternus Geise,
OFM dari Bogor, pada intervensi 18
Oktober 1963 mengingatkan para Bapa Konsili tentang sikap ekstrim: “Kita harus
hati-hati dalam berbicara tentang dunia. Jangan sampai ada kesan bahwa “dunia”
seluruhnya segala sesuatu yang adalah musuh Tuhan. Kita harus menghargai
pekerjaan kaum awam sehari-hari di dunia tempat mereka hidup”. Mgr Paul Sani Kleden SVD dari Denpasar juga
menyampaikan intervensi bahwa teks hendaknya
menekankan perlunya meresapkan
prinsip-prinsip kristiani melalui perihidup
kaum awam sehari-hari. Berkenaan dengan bagian Panggilan Pada Kekudusan, “Teks
menyatakan bahwa kekudusan terdiri dari amal kasih,”demikian intervensi Mgr G. Schoemaker dari Purwokerto pada 25
Oktober 1963, “namun tidak ada disebut iman dan harapan yang kesemuanya adalah
keutamaan manusia di dunia. Alih-alih menyatakan bahwa hidup rohani adalah ‘kesempurnaan
yang perlu dicapai,’sebaiknya kita katakan
“meneladan Kristus menurut nasehat-nasehat Injil”.
Secara keseluruhan persidangan kedua 1963 mencapai kemajuan
lebih besar berdasarkan agenda Konsili.
Namun dibanding energi dan entusiasme yang dicurahkan dalam proses, hasilnya
dipandang masih kurang memuaskan. Persidangan kedua ditutup pada 4 Desember 1963. Maka selanjutnya dalam masa
antara 1963 dan 1964 lebih banyak revisi perlu dilakukan atas draft dokumen
tentang Gereja dan atas dasar itu sejumlah naskah dokumen lainnya untuk
melancarkan persidangan ketiga nanti. Prosedur kerja juga perlu diperbaiki
untuk menambah kecepatan proses Konsili.
Para Bapa Konsili dari Indonesia dalam persidangan kedua (27
Uskup) adalah: Mgr Albers O.Carm, Mgr
Arntz OSC, Mgr Bergamin SX, Mgr Demarteau MSF,
Mgr Djajasepoetra SJ, Mgr Geise OFM, Mgr Grent MSC, Mgr Hermelink
Gentiaras SCJ, Mgr. J.Klooster CM, Mgr Gabriel Manek SVD, Mgr M.
Mekkelholt SCJ, Mgr Paul Sani Kleden SVD,
Mgr Henri Romeijn MSF, Mgr M. Schneiders CICM, Mgr Schoemaker MSC, Mgr JH Soudant SCJ, Mgr Staverman OFM, Mgr AH Thijssen SVD, Mgr
van Bekkum SVD, Mgr v.d. Hurk OFM, Mgr v.d. Tillart SVD, Mgr Tillemans MSC, Mgr
v.d.Burgt OFM, Mgr v.d. Westen SSCC, Mgr v. Diepen OSA, Mgr v. Kessel SMM, Mgr Verhouven MSC. Selama berada di
Roma, para Waligereja Indonesia menyelenggarakan rapat tersendiri membahas hal-hal penting yang menjadi bahan diskusi
dalam Konsili. Rapat-rapat para Waligereja Indonesia selama di Roma
dilaksanakan di Feyor Unitas. Rapat-rapat para Uskup Indonesia di Roma tahun
1963 diketuai oleh Mgr. A. Djajasepoetra (Uskup Agung Jakarta),
Situasi di Indocina memanas. Pada 2 November 1963 terjadi
kudeta militer di Vietnam Selatan di mana Presiden Ngo Dinh Diem terbunuh dan Major
Jendral Duong Van Minh mengambil alih pemerintahan. Pemerintahan Ngo Dinh Diem yang dinilai korup
dan enggan memerangi komunis ditumbangkan militer Vietnam dengan bantuan Central Intelligence Agency (CIA) Amerika
Serikat. Bantuan dan campur tangan A.S. semakin meningkat dan menjadi awal
keterlibatan A.S. dalam Perang Vietnam.
Kebijakan anti Nekolim yang didukung dengan kesatuan Nasakom
pemerintah Indonesia terang-terangan melakukan politisi olahraga ketika
melaksanakan Asian Games pada tahun 1962. Waktu itu Indonesia melarang keikut
sertaan Taiwan dan Israel, yang membuat
Panitia Asian Games dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada 1962 menjatuhkan
sanksi melarang keikut sertaan Indonesia dalam Asian Games 1964 mendatang di
Tokio. Hal itu membuat Presiden Soekarno dan Menteri Olahraga Maladi menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan
dalam Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan menginstruksikan pembentukan
Ganefo (Games of the News Emerging Forces). Ganefo yang mendapat dukungan rakyat dengan
menggalang Dana Khusus Ganefo terselenggara pada 10-22 November 1963; 51 negara ikut dalam Ganefo.
Suatu kisah sedih mewarnai tahun 1963. Setelah sukses
melakukan kunjungan ke Eropa, Jerman Barat dan Berlin barat dan mendapat
sambutan besar, Kennedy juga
mengunjungi negeri leluhurnya, Irlandia,
dan kemudian sebagai umat katolik yang baik di Roma ia diterima dalam upacara
kenegaraan oleh Paus Paulus VI, ketika
dengan sedan terbuka mengunjungi
rakyatnya di Dallas, Texas, Presiden John F. Kennedy dan Gubernur
Texas John Connally ditembak pada 22
November 1963. Kennedy meninggal dalam
perjalanan ke rumah sakit. Lee Harvey Oswald ditangkap dan diduga sebagai
pembunuh Presiden John F. Kennedy. Wakil Presiden Lyndon Johnson mengambil
sumpah di hadapan Hakim Agung Federal Sarah
Hughes, menjadi presiden baru Amerika Serikat pada 24 November 1963. Seorang
pemilik klubmalam Jack Ruby menembak dan membunuh Lee Harvey Oswald yang sedang
dalam perjalanan dipindah di suatu garasi bawah tanah markas polisi Dallas.
Pada hari yang sama Presiden JF Kennedy dimakamkan.
Presiden Lyndon Johnson menyatakan perang pada kemiskinan 8
Januari 1964 dan melaksanakan program bantuan pengentasan kemiskinan di
A.S yang pada tahun 1963 meliputi 19%
dari jumlah penduduk A.S. Perang melawan kemiskinan ini meliputi 40 macam program jaminan sosial untuk masyarakat di
bawah garis kemiskinan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Presiden
Johnson juga memperjuangkan Undang-undang Hak Sipil yang dituntut masyarakat
untuk menghilangkan diskriminasi ras, agama, jenis kelamin, warna kulit, dan
negeri asal, dalam demo besar 28 Agustus 1963 hingga akhirnya Undang-undang Hak
Sipil itu disahkan pada 2 Juli 1964. Kebijakan Lyndon Johnson memberikan
inspirasi pada pengurangan kemiskinan dan usaha meniadakan diskriminasi SARA.
Pada bulan Desember 1963 Mgr Yustinus Darmojuwono ditunjuk
menjadi Uskup Agung Semarang dan ditahbiskan sebagai Uskup pada awal 1964. Sementara
itu kelaparan di Jawa Tengah semakin menjadi-jadi. Pada bulan Februari 1964 Suluh Indonesia, koran Partai Nasional Indonesia, partai yang
didirikan Presiden Soekarno, keceplosan menghimbau pemerintah untuk meringankan
situasi kelaparan di Jawa Tengah.
Himbauan itu berasal dari permintaan wakil gubernur Jawa Tengah, Ahmad
Suyono, berhubung bahaya kelapran mengancam setidaknya sejuta penduduk. Berita
tentang penyakit busung lapar di daerah Wonosari Yogyakarta menambah
keprihatinan. Masyarakat Blitar Selatan pun terancam penyakit HO (Honger Oedeem) yaitu penyakit yang membuat semua tubuh bengkak (abo)
atau dikenal warga dengan istilah beri-beri basa. Semua berita itu tetap dianggap
pemerintah terlalu dibesar-besarkan. Namun suatu koran asing memuat berita
bahkan Partai Komunis (PKI) pun angkat
suara untuk memerangi bahaya kelaparan (Leeuwarder
Courant , 21 Februari 1964 hal..3).
Sebulan kemudian Presiden Soekarno
mengundang pertemuan para pejabat tinggi di Jakarta, membahas “masalah pangan”
dan dihadiri sekitar 300 orang (Leeuwarder
Courant , 10 Maret 1964, hal.1).
Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 18 Maret 1964 untuk
mengintensifkan dan melancarkan jalannya pemerintahan di Sumatera Selatan dengan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31964 yang kemudian menjadi
Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Provinsi Lampung meliputi: Musi-Banyuasin, Ogan-komering Ilir,
Ogan-Komering Ulu, Muara Enim, Lahat, Musi-Rawas, Bengkulu Utara, Bengkulu
Selatan, Rejang Lebong, Bangka, Belitung, Kota Tanjungkarang, Bengkulu dan Kota
Pangkalpinang. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan Karesidenan yang
tergabung dalam Provinsi Sumatera Selatan. Sebagai hasil pemekaran dari
Provinsi Sulawesi Utara, pada tanggal 13 April 1964, juga dibentuk Provinsi
Sulawesi Tengah dengan kedudukan pemerintahan di Palu dan Provinsi Sulawesi
Tenggara dengan kedudukan pemerintahan di Kendari hasil pemekaran Provinsi
Sulawesi Selatan.
Berita tentang Konfrontasi terhadap Malaysia mengalihkan
perhatian umum dari soal kelaparan, bahkan situasi politik itu memperumit
keadaan sosial masyarakat. Tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno mengumumkan
Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang ditujukan pada 21 juta sukarelawan yang telah
terdaftar dan rakyat seluruhnya . Pada 16 September 1963, Federasi Malaya
bersama-sama dengan Sabah, Sarawak, dan Singapura, membentuk Malaysia. Inggris
yang masih memiliki koloni di Kalimantan Utara dianggap berkepentingan dan
berada di balik Malaysia, yang dianggap sebagai negara boneka Inggris. Presiden Soekarno memproklamasikan gerakan “Ganyang
Malaysia”, pada awal Mei 1964, dan dalam sebuah rapat raksasa mengumumkan
Dwikora atau Dwi Komando Rakyat, yang isinya: (1) Pertinggi ketahanan revolusi
Indonesia. (2) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak
dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia. Pasukan tidak resmi Indonesia mulai
melakukan serangan penetrasi dan gerilya di wilayah Semenanjung Malaya dan
Kalimantan Utara. Dibentuk Komando Siaga yang bertugas mengoordinasikan operasi
militer trimatra, darat, laut dan udara, melaksanakan Dwikora. Komando ini
kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga atau Kolaga, dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai
panglimanya. Setelah Trikora merebut Irian Barat dan kemudian Dwikora memusuhi
Malaysia, Presiden Soekarno semakin tidak disukai banyak pihak dan mereka mengusahakan
agar sikap bermusuh Indonesia di kawasan Asia Tenggara dilunakkan. Indonesia
dituduh membantu gerilya komunis di Kalimantan Utara. Namun bagi pihak barat,
situasi strategis Indonesia untuk menahan perkembangan komunis di Asia Tenggara
tetap perlu diperhitungkan untuk dipertahankan, agar tidak sungguh-sungguh jatuh
ke dalam pelukan komunisme. Negara-negara Barat terutama Amerika mengurangi
pelbagai bantuan, terutama di bidang
pelatihan dan persenjataan untuk Indonesia, walau tetap mengirimkan bantuan
kemanusiaan untuk mengatasi kelaparan. Presiden Soekarno dan pemerintah
Indonesia yang dipengaruhi Partai Komunis semakin tegar hati dan mengeluarkan
slogan: “Go to hell with your aid!”. Bantuan asing yang sangat dibutuhkan
berhenti mengalir setelah Soekarno menolak bantuan dari AS dan Pendapatan
Nasional Bersih Indonesia turun dari Rp
407 milyar pada 1961, menjadi Rp 403
milyar pada 1962, dan merosot lagi jadi
Rp 396 milyar pada 1963. Pendapatan per kepala Indonesia sudah turun -3% pada
1962, turun lebih dalam lagi -4% pada 1963.
Inflasi pada tahun 1961 mencapai 95%, melonjak jadi 156% pada 1962 dan
129% pada 1963.
Hama tikus pada akhir 1963 dan sepanjang 1964 menyerang
daerah pertanian. Karena jengkel pada banyaknya dan rakusnya tikus, hampir serentak
di banyak tempat terutama di Jawa penduduk berburu tikus. Setelah tikus merusak
dan memakan padi dan jagung, menyebabkan gagal panen dan menimbulkan bahaya
kelaparan, karena peliknya situasi ganti penduduk berburu tikus dan memakan
daging tikus.
Kegagalan panen oleh hama dan kemarau panjang oleh kelompok
komunis digunakan menjadi alasan mencari dukungan rakyat kecil pedesaan dengan
memusuhi yang kelompok masyarakat yang
disebut “tikus-tikus desa” atau
“setan-setan desa”. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria 1960
tentang landreform atau reforma pemilikan tanah untuk petani, pemerintah dianggap
terlalu lamban merealisasikan aturan itu. PKI yang memiliki massa kaum tani
(Barisan Tani Indonesia/BTI) menjalankan aksi sepihak melaksanakan aturan
reforma agraria di luar persetujuan pemerintah. Aksi sepihak dimulai pada 1963
dan selanjutnya, bersama dengan BTI. Dalam aksi sepihak itu Ketua PKI DN Aidit
menyerukan pengganyangan tujuh setan/tikus desa pada April 1964. Yang dimaksud
adalah para tuan tanah jahat, lintah darat, pengijon, tengkulak jahat, bandit
desa, pejabat korup, dan kapitalis birokrat. Terjadi benturan horisontal yang
membuat masyarakat resah. Para petani aktivis BTI dan PKI melakukan perebutan
tanah secara paksa berhadapan dengan para tuan tanah yang kebetulan sebagian
adalah para pemimpin agama serta pengikutnya, menimbulkan bentrokan fisik yang
memakan korban. Pada Juni 1964, konflik horisontal yang mulanya menyangkut
agraria menjadi marak merambah pada ideologi dan keagamaan. Aksi sepihak dan
benturan terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Sumatera Utara.
Palestinian Liberation
Organization (PLO) didirikan pada 28 Mei 1964 dipimpin oleh Ahmad Shukeiri dan
Yasser Arafat sebagai salah seorang pendirinya.
Indonesia memberikan pengakuan dan dukungannya. Yasser Arafat merupakan
sosok penting dalam PLO. Terutama
setelah ia memimpin PLO pada 1969.
Mgr Darmojuwono Uskup Agung Semarang diangkat menjadi Uskup Vikariat Militer Indonesia kedua sejak 8 Juli 1964. Vikariat Militer Indonesia
didirikan pada 25 Desember 1949.
Vikariat militer menyediakan pelayanan pastoral kepada umat Katolik yang
menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polri beserta keluarga
mereka. Uskup Vikariat Militer Indonesia yang pertama adalah Mgr. A.
Soegijopranata SJ almarhum (25 Desember 1949–22 Juli 1963, wafat).
Terjadi insiden Teluk Tonkin di Asia Tenggara ketika Skuadron Torpedo
Angkatan Laut Vietnam Utara menyerang dua kapal perusak A.S. USS Maddox dan USS
Turner Joy antara 2-4 Agustus 1964. Pada 10 Agustus Kongres A.S. memberi
otorisasi kepada Presiden Lyndon Johnson untuk mengirim pasukan ke Asia
Tenggara. Mulailah Operasi Rolling Thunder yang melibatkan 200.000 pasukan A.S.
dalam Perang Vietnam. Ini membangkitkan
sikap anti-Amerika di negara-negara Asia yang ber-ideologi komunis, dan
menyalakan kebencian serupa di kalangan
Partai Komunis Indonesia.
Pada 20 Oktober 1964 di Gedung Sekretariat Front Nasional di
jalan Merdeka Barat Jakarta diadakan pertemuan 97 organisasi karyawan dan
profesi yang tidak terafiliasi pada partai politik. Di antara mereka terdapat
53 organisasi pekerja perusahaan negara dan kementerian, 10 organisasi
cendekiawan (misalnya ISI atau Ikatan Sarjana Indonesia dan ISEI, Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia), 10 Organisasi Pelajar dan Mahasiswa, wakil dari
empat angkatan TNI, 5 organisasi wanita, 4 organisasi media massa, 2 organisasi
petani dan nelayan, dan 9 organisasi lain. Mereka membuat suatu “Piagam
Pernyataan Dasar Karyawan” dan mendirikan sekretariat bersama, yang kemudian
disebut Sekretariat Bersama Golongan Karya.
Masa Sidang Ketiga Konsili Vatikan II
Paus Paulus VI pada 8 September 1964 mengumumkan bahwa untuk
pertama kalinya dalam sejarah para wanita diperbolehkan mengikuti persidangan Konsili. Atas undangan Paus
Paulus VI, 23 orang wanita ikut serta sebagai pendengar dalam Konsili Vatikan
II. 13 orang di antara mereka awam.
Persidangan ketiga Konsili Vatikan II dimulai pada 14
September 1964 dengan agenda yang amat sangat padat dan ambisius. Hendak
membahas 12 skemata. Dalam amanatnya Paus Paulus VI menyatakan bahwa persoalan
pengaturan kelahiran (keluarga berencana) ditarik dari agenda karena sudah
selesai dibahas oleh suatu komisi terpisah yang dibentuk Paus Yohanes XXIII
beberapa bulan sebelum wafatnya.
Delegasi para Uskup Indonesia di Vatikan tahun 1964 dan
selanjutnya diketuai oleh Mgr. Y. Darmojuwana (Uskup Agung Semarang). Para Bapa Konsili dari Indonesia dalam
persidangan ketiga (28 Uskup) adalah: Mgr Albers O.Carm, Mgr Arntz OSC, Mgr
Bergamin SX, Mgr Darmojuwana, Mgr Demarteau MSF, Mgr Djajasepoetra SJ, Mgr Geise OFM, Mgr
Hermelink Gentiaras SCJ, Mgr. J.Klooster CM, Mgr Gabriel Manek SVD, Mgr M. Mekkelholt SCJ, Mgr Paul Sani Kleden SVD, Mgr Henri
Romeijn MSF, Mgr M. Schneiders CICM, Mgr Schoemaker MSC, Mgr Cornelis Sol MSC,
Mgr JH Soudant SCJ, Mgr Staverman OFM, Mgr
AH Thijssen SVD, Mgr Tillemans MSC, Mgr
van Bekkum SVD, Mgr v.d. Hurk OFM, Mgr v.d. Tillart SVD, Mgr v.d.Burgt OFM, Mgr
v.d. Westen SSCC, Mgr v. Diepen OSA, Mgr v. Kessel SMM, Mgr Verhouven MSC.
Masa persidangan ketiga
ini diharapkan menjadi persidangan yang terakhir. Tetapi ternyata
diskusi pembahasan sejumlah isu tetap panas dan panjang, sehingga
persidangan tidak dapat menyelesaikan
semua agenda. Ada banyak keberhasilan diperoleh dalam persidangan ketiga, namun
juga ada semacam perasaan kegagalan karena Konsili masih harus menunda
penyelesaian agendanya pada musim persidangan berikutnya.
Hubungan antara Gereja dan negara sekuler modern serta
kebebasan beragama merupakan topik yang
seru diperdebatkan. Dari masa Paus Gregorius XVI prinsip-pinsip demokrasi
liberal modern dan sikap tak acuh pada
kehidupan rohani telah dikecam dalam Ensiklik Mirari vos, 15 Agustus 1832.
Gereja mempunyai pandangan yang suram tentang
pemisahan Negara dari agama. Pada
waktu itu Paus menegaskan bahwa negara punya kewajiban untuk memajukan iman
katolik dan mengamankan hak-hak Gereja di dalam undang-undang negara.
Permasalahan agama harus tetap diperhatikan oleh negara dan oleh hukum ilahi
negara wajib memajukan kebenaran dan memerangi kejahatan dan kesesatan.
Bergaung semacam aksioma dalam Konsili bahwa “tak ada tempat
bagi kekeliruan”. Bisa saja umat Katolik
menyetujui semacam pemisahan antara Gereja dan Negara dan menerima kebebasan
beragama di mana Gereja Katolik adalah minoritas dan bangsa tidak punya
hubungan sejarah dengan iman Katolik. Para uskup dan teolog dari Eropa sangat
kesulitan berhadapan dengan soal kebebasan beragama ini dan menyerahkan peran
yang menentukan dalam merumuskan ajaran Gereja kepada rekannya dari Amerika dalam hal ini. John Courtney Murray SJ sebelumnya telah
kena sensor sehubungan tulisannya tentang kebebasan beragama dan dijauhkan
Vatikan dari Konsili. Tetapi Kardinal Francis Spellman dari New York membawa
dia sebagai seorang penasehat teologi,
atau seorang peritus, dan
dalam kapasitasnya itulah Murray memberi
kontribusi besar dalam Konsili.
Uraian Murray mengenai kebebasan beragama menyebabkan kegaduhan
dalam sidang. Pendekatannya yang bertolak dari hukum konstitusi dipandang
berlawanan 180 derajat dengan ajaran teologis Katolik mengenai kebebasan
beragama—sebelumnya, kebebasan beragama dipandang sebagai kejahatan, dan
sesudah Konsili kebebasan beragama adalah sesuatu yang baik. Bagaimana orang
dapat mengubah sikap mengikuti sesuatu yang jelas berlawanan dengan ajaran dari
masa lalu itu?
Ada persoalan lain yang menjadi kontroversi besar dalam
persidangan ketiga. Pekan antara 14-21 November disebut Pekan Gelap (Black
Week), karena ada tiga intervensi
yang membangkitkan situasi dramatik dalam kenangan para peserta dan
pengamat Konsili. Intervensi pertama berasal dari Komisi Teologi untuk
kepentingan Paus. Komisi Teologi menyelipkan suatu catatan (Nota Penjelasan
Pendahuluan, Nota Explicativa Praevia)
pada dokumen tentang Gereja berkenaan dengan kolegialitas Uskup. Bagi para Uskup yang cukup dan lebih
konservatif, gagasan kolegialitas dianggap membangkitkan posisi para konsiliaris masa lalu (yang disebut Gallicanisme di Prancis abad ke-19) dari masa
pertengahan akhir atau awal masa modern. Catatan itu menguatkan primasi Paus dalam hubungan dengan para Uskup
dan mengaitkan kolegialitas Uskup dengan kuasa Paus. Walau isi catatan itu
hendak dimasukkan dalam bagian ketiga dokumen tentang Gereja , catatan itu
diajukan oleh sekelompok minoritas dengan maksud mendapat persetujuan para
pemimpin Komisi-komisi seluas mungkin agar terikut mendapat persetujuan umum. Intervensi yang kedua berasal dari para
Pemimpin Komisi , sekelompok Kardinal yang perannya banyak dikurangi dalam Konsili. Mereka
mengumumkan bahwa pengambilan suara untuk dokumen tentang kebebasan beragama ditunda,
sehingga membuat para Bapa Konsili
kecewa. Alasannya adalah bahwa revisi atas dokumen begitu substansial (40 suara) sehingga dokumen itu masih harus
dibahas dan diperdebatkan lagi; sedang 169 menyatakan belum sempat
memelajarinya dengan sungguh-sungguh. Intervensi ketiga dalam Pekan Gelap
berasal dari Paus Paulus VI sendiri. Ia
membuat sekitar 20 perubahan dalam Dokumen tentang Ekumenisme (tentang hubungan
dengan Gereja-gereja Kristen) dengan gaya yang tidak menyenangkan para pengamat
dari Gereja lain, tanpa menyediakan waktu cukup untuk pembahasan dalam Konsili.
Pada akhirnya, walaupun diwarnai dengan
kontroversi-kontroversi, persidangan ketiga Konsili Vatikan II menghasilkan
kemajuan besar dan penting, terutama dengan promulgasi Dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen gentium), Dekrit Unitatis
Redintegratio (tentang Ekumenisme), dan Dekrit Orientalium Ecclesiarum (tentang Gereja-gereja Timur) .
Lumen Gentium mendapat
persetujuan 2151 suara berbanding 5. Tampaklah
keutuhan seluruh Gereja kendati ada kontroversi mengenai kolegialitas para
Uskup. Dipromulgasikan pada 21 November 1964, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium), menyatakan Gereja sebagai suatu misteri, suatu
persekutuan umat beriman terbaptis sebagai
Umat Allah, sebagai Tubuh Kristus dan sebagai peziarah yang bergerak menuju kepenuhannya di
surga namun menandai dunia dengan "kekudusan yang nyata, walau belum
sempurna." Perpaduan dimensi ilahi dan insani menjadikan proses-proses
dalam Gereja sangat khas. Gereja Kristus terdapat dalam (subsistit in) Gereja
Katolik Roma kendati berbagai unsur pokoknya juga terdapat di mana-mana.
Konsili meluaskan komitmen atas dialog melampaui batas
Gereja Katolik Roma mencapai umat Gereja-gereja Kristen yang lain. Dalam Dekrit tentang Ekumenisme Konsili berhasil mengatasi sifat triumfalis pra-konsili dalam hal
ekumenisme menggantikannya dengan suatu sikap dialog yang tulus dengan jemaat
Kristen yang lain di mana pihak Katolik mengakui bahwa di masa lalu perpecahan
dalam Tubuh Kristus “bukannya tanpa
kesalahan keduabelah pihak” (UR 3).
Dekrit Unitatis Redintegratio
mengajarkan semua pembaruann Gereja
terletak pada kemajuan kesetiaan pada panggilan. Ini jelas menjelaskan
dinamisme gerakan ekumenis menuju kesatuan.
Pembaruan Gereja merupakan panggilan Kristus tiada henti sepanjang
ziarahnya di dunia sebagai lembaga manusiawi dan duniawi. Maka jika pada masa tertentu baik di bidang
moral maupun tata tertib gerejawi dalam merumuskan ajaran (yang dengan seksama
harus dibedakan dari perbendaharaan iman sendiri) terdapat rumusan yang kurang
seksama, hendaklah suatu saat hal itu dipulihkan secara tepat sebagaimana
harusnya (UR 6). Ekumenisme menuntut pertobatan batin pihak-pihak, pembaruan
hati untuk menerima kelimpahan cinta kasih, keikhlasan kerinduan akan kesatuan
secara dewasa, kerendahan hati, sikap lemah lembut, dan kemurahan hati dalam
persaudaraan (UR 7).
Dekrit tentang Ekumenisme (Unitatis Redintegratio), juga dipromulgasikan pada 21 November 1964,
penerimaan begitu positif dengan hanya 11 suara tidak setuju. Ekumenisme melibatkan
semua orang dan ekumenisme yang benar
menuntut pembaruan terus menerus baik perorangan maupun kelembagaan. Prinsip dialog
dalam wahyu ilahi yang sudah dibahas sebelumnya memberi landasan teologis untuk
peran penting dialog hidup dalam Gereja. Suatu karakter utama dalam
Konsili yaitu penekanan pada prioritas dialog:
dialog di antara para anggota Gereja, dialog dengan umat Kristen
lainnya, dialog dengan umat beragama lain, dan dialog dengan dunia. Dialog
dalam Gereja menuntut kontribusi para teolog, para cendekiawan dan terutama awam.
“Hendaklah para awam mengemukakan kebutuhan-kebutuhan dan
keinginan-keinginan mereka kepada para imam, dengan kebebasan dan kepercayaan,
seperti layaknya bagi anak-anak Allah dan saudara-saudara dalam Kristus. Dengan
pengetahuan, kompetensi dan kecakapan mereka, para awam mempunyai kesempatan,
bahkan kadangkadang juga kewajiban, untuk menyatakan pandangan mereka tentang
hal-hal yang menyangkut kesejahteraan Gereja” (LG 37).
Dekrit tentang
Gereja-gereja Ritus Timur (Orientalium
Ecclesiarum) 21 November 1964 menyatakan bahwa keberagaman dalam Gereja
tidak merugikan kesatuan dan bahwa Gereja-gereja Ritus Timur dipersilakan
memelihara tradisi-tradisi mereka sendiri.
Persidangan dilanjutkan untuk Skema lainnya, terutama sekali
untuk masalah Gereja di dunia masa kini. Ketika membahas misi perutusan Gereja,
Konsili menegaskan bahwa “Berdasarkan misinya menyinari seluruh dunia dengan
amanat Injil, serta menghimpun semua orang dari segala bangsa, suku dan
kebudayaan ke dalam satu Roh, Gereja menjadi lambang persaudaraan, yang
memungkinkan serta mengukuhkan dialog dari ketulusan hati. Itu menyaratkan,
supaya pertama-tama dalam Gereja sendiri kita mengembangkan sikap saling
menghargai dan menghormati serta kerukunan, dengan mengakui segala keberagaman
yang wajar, untuk menjalin dialog yang makin subur antara semua anggota yang
merupakan satu Umat Allah, baik para gembala maupun umat beriman lainnya. Sebab
lebih kuatlah unsur-unsur yang mempersatukan umat beriman dari pada yang
meng-golong-golongkan mereka. Hendaknya dalam apa yang sungguh perlu ada
kesatuan, dalam apa yang diragukan kebebasan, dalam segala sesuatu cinta kasih”
(GS 92).
Skema tentang pendidikan para calon imam telah selesai
dibahas antara 12-17 November 1963 dan mendapat persetujuan 2076 suara
dibanding 14. Tekanan kebutuhan setempat mendapat perhatian. Peran Konferensi
Para Uskup setempat ditekankan.
Kepribadian para calon imam dan kebutuhan untuk studi pengetahuan sekular
diakui. Peran Uskup untuk menetapkan calon imam masa depan mereka diperhatikan.
Sekali pun demikian perkembangan dari 12 Oktober skema
mengenai tugas dan pelayanan para pastor hanya disetuji 930 berbanding 1.199 kontra serta skema tugas misi Gereja walau mendapat
persetujuan 1.601 berbanding 311kontra namun karena dianggap masih seperti
kerangka tulisan, maka ditolak dan dikembalikan kepada komisi untuk ditulis
ulang sama sekali. Skema 19 tentang pembaruan hidup para religius walau
diterima 1,155 berbanding 882 belum mencapai 2/3 kuorum dan perlu perbaikan. Skema tentang pendidikan kristiani yang
dikembangkan dari skema tentang sekolah katolik akhirnya diterima melebihi 2/3
kuorum walau ada 419 kontra. Ketika menutup masa persidangan ketiga pada 21
November 1964, Paus Paulus VI menyatakan bahwa Perayaan Ekariti akan
berlangsung satu jam saja dan secara resmi mengumumkan Maria sebagai
"Bunda Gereja" .
Mgr Anton Thijssen dari Larantuka,dalam intervensinya dalam
Sidang KVII mengusulkan pembentukan suatu badan pada Kuria Vatikan untuk
hubungan dengan agama lain. Usul itu dilaksanakan Paus Paulus VI pada Hari
Pentakosta 1965 dengan didirikannya Sekretariat untuk Hubungan dengan
Agama-agama Non Kristiani.
Tahun Berbahaya
Sebelum
menghadiri Konsili di Vatikan, pada tanggal 25-30 Mei 1964 para Uskup Indonesia
mengadakan sidang MAWI yang dilaksanakan di Girisonta menginsyafi tahun 1964 adalah tahun penuh bahaya bagi
Indonesia. Presiden Soekarno sendiri
nantinya menggambarkan situasi tahun itu
dalam pidatonya yang diberi judul dalam bahasa Italia “Vivere pericoloso”
artinya hidup menempuh bahaya. Disingkat Tavip. Di dalam negeri Indonesia,
sedang terjadi friksi antar-kelompok
yang makin parah. TNI Angkaan Darat berhadap-hadapan dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Ketua PKI DN
Aidit ketika menyampaikan suatu pidato sebagai Menteri/ Wakil Ketua MPRS 29 Juni 1963 menyatakan: “Kaum buruh menjadi
kekuatan pokok Revolusi oleh karena mereka, berhubung dengan kedudukan
sosialnya, adalah yang paling konsekuen berjuang untuk Sosialisme, yaitu
masyarakat yang bersih dari penghisapan atas manusia oleh manusia. ...kaum
buruh ..tidak akan berhenti berjuang sebelum hapus segala bentuk penghisapan, ...paling
konsekuen berjuang melawan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme untuk
menyelesaikan tahap Revolusi sekarang. .... Kaum tani menjadi kekuatan pokok
Revolusi oleh karena mereka meliputi mayoritet yang terbesar sekali dari Rakyat
dan yang tertindas dari sisa-sisa feodalisme. Revolusi kita pada tahap sekarang
ini adalah Revolusi agraria yang bertujuan membebaskan kaum tani dari
penghisapan feodal. Dengan demikian menjadi jelas pula hakekat daripada tentara
kita, yaitu kaum tani bersenjata, mereka adalah anak kaum tani atau masih ada
hubungan keluarga yang dekat dengan kaum tani.... Satu keharusan bahwa
pertahanan kita mengabdi pada Rakyat,... Tidak ada kepentingan lain kecuali
kepentingan Rakyatlah yang harus diabdi oleh Angkatan Bersenjata kita. ...Tidaklah
mengherankan bahwa pertahanan Rakyat hanyalah dapat diciptakan, dikembangkan
dan dikonsolidasi oleh Angkatan Bersenjata yang benar-benar terdiri dari
elemen-elemen Rakyat dan oleh karena itu seharusnya revolusioner.... Dewasa ini
kaum imperialis sedunia yang dikepalai oleh kaum imperialis Amerika Serikat
sedang melancarkan agresi dan intervensi terutama terhadap negara-negara di
Asia, Afrika dan Amerika Latin. Di Vietnam Selatan, perang yang tak dinyatakan
sedang dikobarkkan oleh kaum imperialis AS. Mereka juga sepenuhnya
bertanggungjawab terhadap pertentangan-pertentangan baru yang timbul di Laos
sehingga negeri itu diancam lagi oleh perang dalam negeri. Kuba, yaitu negara
bebas pertama di benua Amerika, juga menghadapi ancaman-ancaman terus menerus
dari kaum imperialis Amerika Serikat.”
Konflik
antara PKI dan Angkatan Darat semakin mengemuka karena implikasi dari pidato pada
tanggal 29 Juni 1963 itu. Pertama, PKI berusaha memasukkan unsur-unsur wakil
rakyat dalam kepemimpinan Angkatan Bersenjata, agar Angkatan Bersenjata sungguh
menjadi alat pertahanan rakyat. Gagasan itu ditolak oleh para jendral pemimpin
Angkatan Darat terutama Jendral AH Nasution dan Jendral Ahmad Yani karena akan
memecah rantai komando. Kedua, agar buruh dan tani dipersenjatai sebagai
angkatan kelima. Gagasan ini juga ditolak. Jendral Ahmad Yani pernah mengatakan
pembentukan angkatan kelima itu tidak
efisien, pasukan sipil yang dilatih menggunakan senjata tajam tradisional sudah
ada dalam wujud Pertahanan Sipil/Hansip, Organisasi Keamanan Desa/OKD dan
Organisasi Pertahanan Rakyat/OPR di masa itu. Ahmad Yani menyebutkan bukan
tidak mungkin Angkatan Kelima malah berbahaya bagi AD sendiri. Pengalaman yang
traumatik adalah ketika AD menurunkan pasukan untuk mengamankan insiden
bentrokan agragria di lapangan ketika PKI/Barisan Tani Indonesia (BTI)
melakukan aksi sepihak di Aceh, anggota TNI AD yang melerai bentrokan justru
tewas terbunuh kelompok BTI. Bahwa AS dipandang sebagai musuh utama bisa
dipahami bahwa itu adalah kepentingan PKI mengingat AS adalah negara
demokrasi yang paling gigih melawan
ekspansi ideologi komunisme.
Krisis
ekonomi menyebabkan kontraksi serius di
Indonesia –3.0 persen pada 1963 dan meningkatkan angka kemiskinan. Krisis ini lebih bersifat internal khususnya
karena arus pengutamaan politik di atas perekonomian, dan tidak adanya upaya membentuk kebijakan ekonomi yang sehat
. Tingkat inflasi tercatat 109 persen pada
1963 dan 307 persen pada 1964.
Di
Bandungan, Semarang, pada 3-5 September
1964 diselenggarakan Musyawarah Sarjana Katolik Seluruh Indonesia, dihadiri
delegasi dari Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Surakarta, Surabaya, Malang
dan Makasar, memantapkan eksistensi Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA),
yang dilahirkan dari prakarsa antara lain Drs. Loo S.H. Ginting, Drs Anton M.
Moeliono dan Lim Peng Liong SH menindaklanjuti dorongan Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia di
Eropa pada 22 Mei 1958, dengan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga, membentuk Dewan Pimpinan Pusat dan mengesahkan program kerjanya. ISKA
merupakan paguyuban sarjana katolik yang membantu secara berkesinambungan
meningkatkan dan memadukan iman dan ilmu para anggotanya, serta mengabdikan
paduan iman dan ilmu itu untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia.
Surat kabar
Warta Bhakti pada 14 Januari 1965 menuliskan artikel dengan judul “PKI usulkan
15 juta massa tani dan buruh dipersenjatai”. PKI melalui DN Aidit yang kala itu
menjadi Ketua PKI menyampaikan gagasan tersebut kepada Presiden Soekarno. Mereka
mengusulkan pembentukan angkatan kelima, yaitu unsur dari kaum buruh dan tani yang
dipersenjatai, karena merasa negara sedang
membutuhkan banyak sukarelawan. Menurut Subandrio
dalam buku “Kesaksianku Tentang G30S” ide untuk membentuk Angkatan Kelima
dimaksudkan untuk menampung bantuan senjata api dari Cina karena empat angkatan
lainnya telah cukup persenjataannya. Berita koran menyampaikan perkiraan adanya
kiriman 35.000 pucuk senjata api “Chung” dari RRT untuk Indonesia.
Presiden
Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari
keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 20 Januari 1965 karena kecewa
bahwa Malaysia justru diterima sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada 7 Januari 1965 sebagai
pelanggaran atas persetujuan Maphilindo.
Di berbagai
tempat gerakan anti perang menggeliat. Pada 29 Januari 1965 para mahasiswa yang
tergabung dalam “Mahasiswa untuk Masyarakat Demokrasi” menggelar kuliah umum
tentang Perang Vietnam di Universitas Michigan dihadiri 2500 orang. 17
April 1965 sekitar 25.000 orang ikut
dalam demo yang digelar “Mahasiswa untuk Masyarakat Demokrasi “ menentang
Perang Vietnam di Washington DC. Pada bulan Mei demo anti-perang Vietnam terjadi di luar kedutaan
A.S. di London. Hampir bersamaan ratusan mahasiswa Universitas California Berkeley
juga menggelar demo anti perang Vietnam. Demo-demo serupa berlanjut makin
besar dengan peserta antara 15.000-25.000
sepanjang tahun 1965. Suatu jajak suara Gallup Polls tahun 1965 menunjukkan
pergeseran di Amerika Serikat dari jumlah mereka yang tadinya mendukung perang
52% turun menjadi 49%.
Pada bulan
Februari 1965 Presiden Soekarno secara terbuka menyatakan bahwa Indonesia tidak dapat lagi menerima kebebasan
pers, ketika ia menghentikan penerbitan beberapa koran anti-komunis (The Straits Times 25 February 1965 hal.2).
Sekitar 20 suratkabar dilarang terbit seperti surat kabar Pikiran Rakyat di
Bandung (1950-1965), surat kabar Mercu Suar, milik organisasi Muhammadiyah. Namun dari perspektif yang berbeda dari
koran-koran komunis militer pada 1965 menerbitkan Harian Berita Yudha dan
Angkatan Bersenjata.
Di Jakarta
Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) diresmikan pada 20 Mei 1965. Kala itu
sebutan Pertahanan Nasional, mengandung arti Ketahanan dari suatu bangsa yang
sedang berevolusi. Presiden Soekarno ketika meresmikan Lemhannas di Istana
Negara Jakarta menekankan bahwa kegiatan
pertahanan nasional harus menyertakan segenap unsur-unsur rakyat Indonesia. Dalam amanat ”Susunlah Pertahanan Nasional Bersendikan
Karakter Bangsa”, Presiden juga menjelaskan arti kata “Nasional” dalam Lembaga
Pertahanan Nasional, yakni pertahanan
bagi seluruh tanah air, seluruh natie, seluruh bangsa. “.....Kita punya
pertahanan, cara pertahanan sendiri.....”, kembali ditegaskan oleh Presiden
Soekarno saat itu. Usai upacara peresmian dan pembukaan KRA I tahun 1965,
Presiden memberikan kuliah pertama tentang geo-politik.
Lemhannas
dicita-citakan menjadi institusi yang
berorientasi pada pencapaian tujuan
nasional Indonesia. Selain itu, Lemhannas dirancang dan dipersiapkan menjadi
pusat pendidikan dan pengkajian masalah-masalah strategis berkaitan dengan pertahanan negara dalam arti
luas, termasuk pengendalian keutuhan bangsa.
Tepat 28
Juni 1965, bayi Harian Kompas lahir dengan motto "Amanat Hati Nurani
Rakyat." Harian Kompas edisi pertama dicetak oleh PN Eka Grafika, milik
harian Abadi yang berafiliasi pada Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi). Ketika akan terbit petama kalinya Frans Seda yang pada waktu itu
menjabat menteri perkebunan melaporkan pada presiden Soekarno tentang kesiapan terbitan perdana harian yang awalnya
diberi-nama ‘Bentara Rakyat'. Namun
Presiden Soekarno lebih suka memberi nama "Kompas", yang
berarti adalah penunjuk arah. Akhirnya berdasarkan kesepakatan redaksi pada
saat itu, usulan Presiden Soekarno untuk mengubah nama harian Bentara Rakyat
menjadi Kompas diterima. Mengapa
berkonsultasi dengan Presiden Soekarno? Sebab sebenarnya pada tahun 1964
Presiden Soekarno-lah yang mendesak Partai Katolik untuk mendirikan koran, maka
beberapa tokoh Katolik terkemuka seperti P.K. Ojong, Jakob Oetama, R.G.
Doeriat, Frans Seda, P. Swantoro, R. Soekarsono, mengadakan pertemuan bersama
beberapa wakil elemen hirarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI):
Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI),
Pemuda Katolik dan Wanita Katolik. Mereka sepakat mendirikan Yayasan Bentara
Rakyat untuk menerbitkan koran yang direncanakan. Susunan pengurus pertama dari
Yayasan Bentara Rakyat adalah; ketua Ignatius Joseph Kasimo, wakil ketua Frans
Seda, penulis I F.C. Palaunsuka, penulis II Jakob Oetama, dan bendahara P.K.
Ojong.
Sementara itu PKI nekad membentuk angkatan kelima pada bulan juli 1965 dan sekitar 2.000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan militer di dekat pangkalan udara Halim Perdanakusuma Jakarta. Kemudian terjadilah peristiwa Gerakan 30 september (G/30/S) 1965 di Jakarta yang menewaskan 6 perwira tinggi dan 1 perwira menengah TNI AD, seorang anggota polisi dan seorang anak perempuan putri salah satu perwira tinggi TNI AD
Dokumen Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium sudah beredar pada akhr 1964. Sebagian Uskup sudah melakukan sosialisasi pembaruan liturgi berdasarkan kesepakatan dalam pertemuan-pertemuan mingguan yang diadakan di Roma. Mereka membentuk Panitia Pembaruan Liturgi. Utamanya adalah penggunaan Bahasa Indonesia, menggantikan Bahasa Latin. Diupayakan teks Ekaristi dalam bahasa Indonesia mulai dari doa-doa yang meminta tanggapan umat. Bagian Prefasi diterjemahkan dengan teliti dan seindah mungkin (1965).
Sebelum
berangkat ke Roma untuk mengikuti persidangan keempat Konsili Vatikan II, para
Uskup Indonesia dalam Majelis Agung Waligereja Indonesia mengadakan rapat pada 20-28
Agustus 1965 di Girisonta, Ungaran, Jawa
Tengah. Para Bapa Konsili dari Indonesia dalam persidangan keempat (27 Uskup) adalah: Mgr Albers O.Carm, Mgr
Bergamin SX, Mgr Darmojuwana, Mgr Demarteau MSF, Mgr Djajasepoetra SJ, Mgr Geise OFM, Mgr
Grent MSC, Mgr Hermelink Gentiaras SCJ,
Mgr. J.Klooster CM, Mgr M. Mekkelholt
SCJ, Mgr Paul Sani Kleden SVD, Mgr Henri Romeijn MSF, Mgr M. Schneiders
CICM, Mgr Schoemaker MSC, Mgr Cornelis Sol MSC, Mgr JH Soudant SCJ, Mgr Staverman OFM, Mgr AH Thijssen SVD, Mgr
Tillemans MSC, Mgr van Bekkum SVD, Mgr v.d. Hurk OFM, Mgr v.d. Tillart SVD, Mgr
v.d.Burgt OFM, Mgr v.d. Westen SSCC, Mgr v. Diepen OSA, Mgr v. Kessel SMM, Mgr Verhouven MSC.
Masa Persidangan Keempat Konsili Vatikan II
Sebelum persidangan keempat dimulai, di mana-mana sudah
terjadi pelaksanaan awal dari pembaruan liturgi. Namun mengikuti keinginan
banyak umat, perubahan liturgi yang mereka lakukan malah di luar yang
digariskan dalam Konstitusi Liturgi Sacrosantum
concilium; memang, konstitusi menyampaikan pelbagai prinsip untuk pembaruan
liturgi, maka Konsilium (sekelompok ahli
teologi yang dibentuk oleh Paus) diberi
tugas menjabarkan pelaksanaan prinsip-prinsip pembaruan liturgi itu lebih dulu.
Konsilium didirikan pada 7 Maret, 1965, bersamaan dengan peresmian pedoman umum
perayaan Misa yang baru, yang bagi umat kebanyakan merupakan hasil Konsili yang
paling jelas. Pretasi kerja Konsili mulai mendapat tempat, dengan implementasi
pembaruan liturgi di paroki-paroki, bahkan sebelum Konsili sendiri berakhir.
Dari antara persidangan ketiga 1964 dan persidangan keempat
1965 juga sudah terjadi perkembangan besar dalam hubungan Gereja dengan dunia. Sikap
positif yang telah ditekankan oleh Paus Yohanes
XXIII menggerakkan momentum besar dalam
Konsili, kendati sebagian komponen Gereja masih mencurigai dunia dan
pengaruhnya, baik implisit maupun eksplisit, sebagai tantangan terhadap ajaran
dan kewibawaan Gereja. Sementara draft “Skema XIII” (nama yang diberikan pada
dokumen sebelum disebut Gaudium et spes)
sedang dalam perbaikan, permasalahan yang menyangkut ajaran Gereja tentang
kebebasan beragama, ekumenisme dan pluralisme agama masih terus menimbulkan
perdebatan di antara para Bapa Konsili baik di negeri mereka sendiri maupun
lintas batas negara. Menjelang persidangan keempat dimulai, pembahasan beberepa
dokumen penting sudah mendekati
penyelesaian terakhir : Dignitatis
Humanae (Dekrit tentang Kebebasan Beragama), Nostra Aetate (Deklarasi tentang Hubungan Gereja dengan agama
bukan-kristiani), Dei Verbum (Konstitusi
tentang Wahyu Ilahi), dan Konstitusi Pastoral Gaudium
et Spes.
Secara resmi masa persidangan keempat Konsili Vatikan II
dibuka pada 14 September 1965 oleh Paus Paulus VI dengan hangat dan ramah. Paus
Paulus VI, pada 15 September 1965, tanggap pada keinginan para Bapa Konsili
Vatikan II untuk melestarikan semangat positif yang berasal dari pengalaman
dalam Konsili, mendirikan Sinode Uskup Sedunia dengan motu proprio “Sollicitudo
Apostolica” sebagai lembaga tetap dalam Gereja dengan suatu Sekretariat di
Vatikan untuk memajukan kolegialitas para uskup sedunia.
Konsili kemudian melaksanakan agenda melanjutkan pembahasan
tentang Kebebasan Beragama, Dignitatis
Humanae (15-21 September 1965). Dokumen
sudah diperbarui setelah dikecam karena kurang didukung studi kitab suci. Para Uskup Amerika sangat antusias karena
dokumen itu mencerminkan keadaan di Amerika. Kebebasan beragama adalah hak yang
terkait dengan martabat pribadi tiap orang dan agama tidak boleh dipaksakan
siapa pun bertentangan dengan keyakinan pribadi seseorang. Para pendukung
dokumen menyatakan teks memajukan pendidikan kebebasan dalam Gereja-gereja.
Mengajak Gereja lebih melayani umat
dengan semangat keterbukaan dan dialog. Kebebasan beragama menjadi prasyarat
bagi dialog. Sebagian Uskup tidak senang karena dokumen itu menganggap setiap
umat adalah orang dewasa yang berhak dan wajib menentukan agamanya sendiri
tanpa bimbingan yang berarti dari Gereja. Ditakutkan bahwa dokumen itu akan
membangkitkan sikap tak acuh dan subyektivisme. Sebenarnya umat diakui
bertanggungjawab atas keselamatan jiwanya sendiri. Pengakuan atas prinsip kebebasan beragama
mengubah sikap dasar Gereja Katolik sendiri, tidak lagi menganggap mereka yang
memilih beragama lain sebagai sesat, ada toleransi
karena anugerah kebebasan berasal dari Tuhan. Baik perorangan, dalam
komunitas, masyarakat dan dalam negara kebebasan beragama harus dihormati dan
dijamin. Dokumen mendapat satus “Deklarasi” di bawah Dekrit. Dan ketika pada 19 November diambil suara, 1.997
menyatakan setuju berbanding 224 tidak setuju. Citarasa wacana tentangan tetap dirasa
kuat dan tajam, namun setelah masa pengendapan dua pekan, pada pemungutan suara
terakhir Deklarasi Kebebasan Beragama Dignitatis
Humanae disetujui 2.308 dan 70 kontra, dipromulgasikan pada 7 Desember
1965.
Dokumen tentang Gereja dalam Dunia Modern Gaudium et Spes yang telah diperbaiki
selepas 1964, dibahas lagi dari 21 September 1965. Kualifikasi sebagai
konstitusi pastoral merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah Gereja. Kebaikan
ciptaan (GS 44) dan peran sentral Yesus Kristus
dalam sejarah keselamatan (GS 41-43.45) merupakan inti di dalamnya. Dokumen disajikan bukan
dalam bahasa Latin melainkan dalam bahasa bahasa modern sehingga lebih mudah
dipelajari dan dimengerti. Ajaran Gereja dari masa lalu dirasakan kurang
diintegrasikan di dalam teks demi dialog dengan situasi mutakhir. Persoalan-persoalan
yang dihadapi relatif baru, belum ada pengalaman dan penyelesaian yang teruji
dari masa lalu. Dokumen terdiri dari dua bagian besar. Yang pertama ulasan
eklesiologi dan antropologi yang menempatkan Gereja dalam situasi belarasa
dengan dunia. Yang kedua membahas sikap pastoral atas masalah-masalah mutakhir
yang dirasa mendesak. Tentang martabat perkawinan dan keluarga. Karena soal
penting tentang penjarangan kelahiran diambil Paus menjadi bahasan tersendiri
di luar Konsili, pembahasan agak mengambang. Cinta suami-isteri dibahas sebagai
pilar perkawinan. Tentang jumlah anak
diserahkan menjadi tanggungjawab hati nurani dan keputusan orangtua. Tentang
kebudayaan dan perkembangannya yang memerlukan kebebasan dalam melakukan
penelitian ilmiah, termasuk di bidang teologi. Tentang hidup sosial-ekonomi.
Tentang Hidup negara. Ketika Paus Paulus VI pulang dari menghadiri Sidang PBB 6
Oktober 1965, Konsili didorong membahas usaha perdamaian, pengurangan
persenjataan, mengatasi kemiskinan, dan kerjasama internasional selaras dengan
pidato Paus yang mendapat sambutan besar di PBB. Para Uskup Ortodoks dan yang berasal dari
negara-negara komunis berharap bahwa Konsili tidak memberi kecaman keras pada
komunisme, karena hal itu ditakutkan akan sangat semakin merepotkan mereka dan
umat mereka serta uskup-uskup lain di negara-negara komunis; Konsili memang menghindari bahasan atas
ideologi komunisme, alih-alih lebih tajam membahas tentang ateisme. Ateisme sekalipun merupakan tanggungjawab kekristenan, juga dianggap bisa menjadi mitra dialog dalam
menciptakan dunia yang lebih baik dengan memerjuangkan perdamaian, mencegah
perang nuklir dan meningkatkan bantuan yang mendesak diperlukan negara-negara
kurang berkembang. Konstitusi Pastoral tentang
Gereja dalam Dunia Modern Gaudium et spes
disetujui 2.309 suara berbanding 75 kontra
dan akhirnya dipromulgasikan pada 7 Desember 1965.
Dari 7-13 Oktober 1965 dibahas dokumen tentang Misi Gereja "Ad
Gentes". Terasa bahwa waktu yang tersedia amat sangat terbatas untuk
membahas naskah dokumen ini. Tahun sebelumnya, pada 6-9 November 1964 draft
dekrit ini sudah dibahas dan dianggap semacam kerangka saja, terlalu singkat.
Kali ini naskah yang disajikan untuk dibahas lebih besar dan lengkap. Walau
dalam Konstitusi tentang Gereja Lumen
Gentium sudah dikatakan bahwa pada dasarnya Gereja Kristus bersifat
misioner, namun teks dokumen yang disajikan kurang berkait dengan memerinci
pernyataan Lumen Gentium. Maka naskah itu kurang menghadirkan
dasar-dasar teologinya, dan karena itu mengambang dalam soal-soal praktis yang
terkait Misi. Selain itu dirasakan kurangnya kerjasama antara Komisi Konsili
dan Kongregasi Pewartaan Iman dalam hal ini. Maka dokumen hanya berisi persoalan
tata keorganisasian dan praktek Misi. Karena para Uskup memandang soal Misi
harus dikerjakan dengan menyeluruh, maka selain menyempurnakan teks yang
disajikan, para Bapa Konsili menambahkan satu bab yang memberi dasar teologis
lengkap. Mulai dari Rencana Bapa, Perutusan Putera, Perutusan Roh Kudus,
Perutusan Gereja oleh Kristus, hakekat dan sifat perutusan misioner segenap
anggota Gereja, dan kegiatan misioner dalam sejarah hingga akhir zaman. Baru
kemudian dikemukakan segi praktis dan organisasi misioner. Perlu koordinasi
antar lembaga dan serikat-serikat. Kerjasama ekumenis perlu dijalin di antara
jemaat-jemaat. Di antara para Uskup, para imam, dan antara imam dan awam. Berdasar
masukan-masukan dalam persidangan dilakukan perbaikan naskah antara 10-11
November, dan diperiksa lagi pada 30 November 1965. Dekrit tentang Kegiatan
Misioner Gereja Ad Gentes setelah
mendapat persetujuan 2.394 berbanding 5
kontra, dipromulgasikan pada tanggal 7 Desember 1965
Dari 13-16 Oktober dilanjut 25-27 Oktober 1965 para Bapa
Konsili membahas draft dokumen tentang pelayanan dan kehidupan para imam "Presbiterorum Ordinis".
Situasi pada awalnya tidak bagus. Seorang Uskup Belanda menyampaikan harapan
agar pria menikah yang keluarganya baik boleh ditahbiskan menjadi imam. Sekelompok
cendekiawan mengirim surat agar imam dipisahkan dari selibat mengingat
perubahan budaya zaman dan karena merosotnya panggilan. Ada wacana tentang
begitu ribuan imam yang memohon dibebaskan dari kewajiban selibat. Paus Paulus VI juga mengirim surat agar
Konsili tidak membahas soal selibat. Dalam diskusi terjadi ketegangan antara
pihak yang mengutamakan tugas-tugas sakramental imam (dari Gereja-gereja Latin)
dan tugas-tugas imam dalam dunia modern.
Perbedaan pendapat juga terjadi antara utusan-utusan Eropa dan
utusan-utusan dunia ketiga tentang perlunya pengembangan intelektual imam dan
keterbukaan pada perkembangan budaya. Dekrit
Presbiterorum Ordinis menegaskan
tugas imam sebagai pewarta Sabda, pelayan sakramen terutama ekaristi, dan
tanggungjawab mengembangkan karunia Allah pada umatNyal: “Seraya menguji roh-roh apakah mereka
sungguh berasal dari Allah, hendaknya
para imam dengan cita rasa iman menemukan semakin banyak karisma awam, baik
yang sederhana maupun yang lebih besar, mengakuinya dengan sukacita dan dengan
seksama mendukung perkembangannya.” (PO 9). Dekrit menempatkan bahasan tentang
selibat dalam konteks lebih luas yaitu tuntutan-tuntutan rohani yang khas dalam
kehidupan imam: ketaatan, pantang sempurna dan seumur hidup (selibat), dan
sikap lepas bebas dari dunia dan harta. Konsili meminta kepada para imam dan
semua umat beriman untuk tetap menjunjung tinggi anugerah selibat imam yang amat
berharga dan memohon kepada Allah agar melimpahkan anugerah selibat imam itu
secara melimpah bagi GerejaNya (PO 16). Dekrit tentang pelayanan dan kehidupan
para imam Presbiterorum Ordinis pada akhirnya mendapat persetujuan 2.390 suara
dan 4 kontra. Dokumen ini dipromulgasikan
7 Desember 1965.
Naskah tentang hubungan dengan agama lain bukan Kristiani
dan agama Yahudi “Nostra Aetate” dibahas
pada 14-15 Oktober 1965. Riwayat pembahasan naskah ini dikatakan paling seru
dalam sidang-sidang Konsili. Diawali antara 18-21 November 1963 bahasan atas
skema ekumenisme khususnya bab tentang hubungan antara Gereja dengan agama non
kristiani khususnya Yudaisme. Kritik tajam ditujukan pada penyusun teks yang
seolah menyamakan agama-agama kristiani yang didekati dengan ekumenisme dengan
agama-agama lain yang memerlukan pola pendekatan berbeda. Sehingga bab itu
perlu dipisah dan dibahas tersendiri.
Kemudian antara 28-30 September 1964 dibahas Deklarasi Tentang Yudaisme
dan Agama Bukan Kristen yang dimaksudkan sebagai Lampiran Tambahan pada Dekrit
tentang Ekumenisme. Setelah
dipertimbangkan lagi naskah deklarasi telah dipisahkan dari Dekrit tentang
Ekumenisme dan dikhususkan menjadi
Deklarasi tersendiri pada 20 November 1964.
Dalam pembahasan 14 Oktober 1965 terlontar kritik bahwa naskah terlalu lembek
berhadapan dengan Islam yang dianggap lebih rendah secara moral dan
intelektual dilontarkan sekelompok Uskup
yang sering disebut Coetus Internationalis Patrum. Namun semangat dialog para Bapa Konsili pada umumnya terus mengemuka dalam kaitan dengan hubungan dengan agama-agama lain. “Gereja
mendorong para putra-putrinya , supaya dengan bijaksana dan penuh kasih,
melalui dialog dan kerjasama dengan para penganut agama-agama lain, sambil
memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara
dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio
budaya yang terdapat pada mereka” (NA 2). Walaupun terjadi
ketegangan-ketegangan di beberapa wilayah misi, namun Dekrit tentang Misi yang
telah dibahas sebelumnya telah memberi
dasar sikap yang lebih luas yang mendorong hubungan ekumenis Gereja Katolik dan
hubungan sepadan yang lebih baik dengan agama-agama lain. Ketika pemungutan
suara diperoleh 250 suara menolak. Suara setuju meliputi 1.763. Mengomentari
perbandingan jumlah itu walaupun persetujuan telah melampaui 2/3 kuorum, Paus Paulus VI
mengingatkan perlunya semangat konsensus melampaui gambaran perolehan suara. Teks
Deklarasi mengenai agama-agama bukan kristiani selanjutnya dimulai dari
keyakinan bahwa semua bangsa merupakan satu masyarakat yang berasal dari Allah
(NA 1), sementara Gereja menyadari diri sebagai “tanda dan sarana persatuan
mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG 1). Walau ada
perbedaan-perbedaan, entah dalam Hinduisme, Buddhisme, Islam maupun Yudaisme,
perhatian terutama perlu ditujukan pada unsur-unsur yang sama yang memantulkan
kebenaran dan menerangi semua orang,
saling memahami, bersama-sama mengembangkan keadilan sosial bagi semua
orang, memajukan nilai-nilai moral, perdamaian dan kebebasan serta menguatkan
persaudaraan. Setelah perubahan di sana
sini dan menghasilkan dokumen final Deklarasi Nostra Aetate yang bagi para pengamat Konsili Vatikan dinilai
paling indah, pemungutan suara terakhir memeroleh gambaran positif dengan 2.221
suara setuju berbanding 88 kontra. Deklarasi Nostra Aetate dipromulgasikan pada 28 Oktober 1965.
Pada 28 Oktober 1965 diadakan pemungutan suara atas Dekrit Tugas
Pastoral Para Uskup Dalam Gereja “Christus
Dominus”. Sejak awal Konsili tahun 1962 Konsili sudah banyak bicara tentang
para Uskup. Dalam dokumen pertama Konsili, Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium,
Uskup dan Konferensi Uskup berhak mengatur terjemahan teks liturgi. Peran Konferensi Uskup setempat pada Gereja
Universal semakin mengemuka, juga manfaatnya untuk karya penggembalaan masing-masing
Uskup setempat yang anggota Kolegium para Uskup. Dokumen Konstitusi Dogmatik
tentang Gereja Lumen Gentium telah
membahas pola hubungan antara Uskup dan gereja partikular yang dipimpinnya,
Konferensi Uskup dan Paus. Di situ ditekankan asas kolegialitas.
Namun Lumen Gentium
juga memandang tahbisan uskup sebagai sakramen imamat penuh yang memberikan
wewenang jabatan untuk penggembalaan umat di keuskupan partikular dan untuk
digabungkan dalam Kolegium Uskup Sedunia. Gereja Universal dipandang sebagai
“komunio” dari keuskupan-keuskupan lokal. Dengan demikian peran Gereja lokal
lebih ditingkatkan, dan wewenang penuh Uskup adalah untuk melayani reksa rohani
Gereja lokal yang dipimpinnya.
Antara 5-18 November 1963 dibahas soal Uskup dan Tatakelola
Keuskupan'. Dilanjut dengan bahasan tentang Tugas Pastoral Uskup antara 18-23
September 1964. Antara 29 September hingga 6 Oktober 1965 dilakukan
perbaikan-perbaikan. Dekrit tentang Tugas Pastoral Para Uskup Dalam Gereja “ Christus
Dominus” memaparkan dengan jelas penerapan pelayanan Uskup baik untuk Gereja
lokal yang dipimpinnya maupun dalam hubungan dengan Gereja Universal. Juga
hubungan antara Uskup dengan Konferensi Uskup dan dengan Paus dalam semangat
kolegialitas. Sifat kolegialitas itu juga harus tercermin di dalam pelaksanaan
kepemimpinan dan karya pastoral di keuskupannya sendiri– terutama dalam
hubungan Uskup dengan para imam – dan tercermin dalam hubungan Uskup dengan kuria
keuskupan, dengan bermacam ragam kelompok seperti Dewan Imam dan Dewan Pastoral
Keuskupan. Karya pastoral Uskup haruslah dalam kerjasama dengan para imam
diosesan dan kaum awam. Pemungutan suara untuk Dekrit tentang Tugas Pastoral
Para Uskup Dalam Gereja “ Christus
Dominus” pada 28 Oktober 1965 mendapatkan gambaran mayoritas 2.319 setuju
berbanding 2 kontra.
Selanjutnya antara 6-11 Oktober dibahas, diselesaikan, dan pada
28 Oktober 1965 dipromulgasikan Dekrit
Penyesuaian dan Pembaruan Hidup Religius ("Perfectae Caritatis"). Sebelumnya skema dasar ini sudah
dibahas pada 10-16 November 1964 dan diperbaiki. Pembahasan Oktober 1965 adalah
finalisasi. Pembaktian hidup dalam biara, konven atau serikat sekuler dengan
mengamalkan nasehat Injil sudah setua
Gereja sendiri. Dari awal mula perhatian utama ditujukan pada kesejahteraan
Gereja (LG 43-44.PC 1). Status hidup
bakti walau melaksanakan ikrar kemurnian, kemiskinan dan ketaatan tidak termasuk
susunan hirarki, namun tak terpisahkan dari hidup dan kesucian Gereja (LG 44). Tolok
ukur hidup bakti adalah mengikuti Kristus menurut Injil. Corak dan peran khas tiap komunitas hidup
bakti ditentukan oleh kesetiaan pada semangat, maksud dan tradisi yang sehat
dari Pendiri masing-masing. Namun demi kesejahteraan Gereja, dengan corak dan
perannya sendiri, komunitas hidup bakti
diharapkan ikut memajukan hidup Gereja sesuai kemampuannya, entah di
bidang Kitab Suci, liturgi, teologi dogmatik, pastoral, ekumene, misioner dan
sosial. Untuk itu perlu dalam terang iman dan semangat khas kerasulan mereka
mengembangkan para anggota menyesuaikan diri dengan kenyataan dan kebutuhan
zaman. Baik komunitas yang sepenuhnya kontemplatif, monastik konventual maupun
yang bertujuan kerasulan, pembaruan rohani diutamakan dan penyesuaian
karya-karya diharapkan bijaksana, tetap menjaga kelestarian tradisi dasar
diperkaya dengan tuntutan zaman dan mengikuti pedoman-pedoman dan konstitusi
secara seksama dengan mendengarkan seluruh anggota. Pelaksanaan ikrar kemurnian
dikembangkan dengan kedewasaan psikologis dan afektif. Pelaksanaan ikrar
kemiskinan tetap mencukupi kebutuhan hidup dan karya, jangan sampai memunculkan
kesan kemewahan, keuntungan berlebihan dan penumpukan harta kekayaan.
Pelaksanaan ikrar ketaatan semakin
didasarkan pada kebebasan yang matang. Dalam hidup bersama ikatan persaudaraan
dipererat dengan sedapat mungkin menghilangkan hal-hal yang diskriminatif. Adat
istiadat yang usang dan berlebihan perlu ditiadakan, termasuk busana yang
menjadi tanda pembaktian hidup, yang seyogyanya sederhana dan ugahari, pantas
dan sehat, selaras dengan situasi semasa dan setempat dan cocok dengan
kebutuhan pelayanan. Panggilan hidup bakti tetap perlu dikembangkan demi
mendukung pertumbuhan Gereja menjawab kebutuhan. Pada 28 Oktober 1965 akhirnya Dekrit Penyesuaian dan Pembaruan Hidup Religius
("Perfectae Caritatis")
mendapat persetujuan 2.321 suara
berbanding 4 kontra.
Dekrit tentang Pembinaan Imam ("Optatam
Totius") dibahas antara 11-13 Oktober 1965, melanjutkan pembahasan dan
penyempurnaan sebelumnya dari 12-18 November 1964. Semua yang diharapkan sebagai pembaruan amat
bergantung pada pelayanan para imam yang dibimbing Roh Kudus. Maka pembinaan
para imam penting sekali seraya meneguhkan praktek yang telah teruji
menyesuaikan dengan ketetapan-ketetapan Konsili lainnya dan dengan perubahan
zaman. Diperlukan pedoman pembinaan imam yang sesuai dengan situasi semasa
bangsa dan daerah yang disusun oleh Konferensi Uskup. Konsili menganjurkan
pengembangan panggilan dengan kerjasama seluruh umat dengan doa, katekese dan
komunikasi sosial memanfaatkan ilmu-ilmu sosiologi dan psikologi. Di seminari
menengah untuk memupuk tunas panggilan
pembinaan rohani dalam misteri Kristus, perlu
keselarasan dengan perkembangan pribadi yang sehat menurut prinsip-prinsip
psikologi serta kedewasaan sosial. Juga persiapan secukupnya jika seminaris
kemudian memilih status hidup lain. Di Seminari Tinggi seluruh program
pembinaan entah rohani, intelektual dan disipliner diselaraskan dengan tujuan
pastoral. Pembinaan rohani adalah belajar hidup dalam persekutuan Allah
Tritunggal dan belajar membaktikan diri dalam Gereja dengan menghayati selibat
dalam kedewasaan pribadi yang sehat. Pendidikan
filsafat diharapkan mengantar pada cinta akan kebenaran, menyelami asas-asas
terdalam dalam kaitan dengan horison kehidupan nyata yang lebih luas, hingga
sampai batas penalaran memerlukan terang iman. Studi teologi diharap mengantar
dengan seksama dalam bimbingan magisterium pemahaman lebih dalam akan wahyu
ilahi, Misteri Kristus dan sejarah keselamatan, perkembangan moral dan ibadat,
relasi dengan situasi, kebudayaan dan agama-agama lain setempat demi menyadari kebaikan
dan berkat penyelenggaraan ilahi pada semua orang. Pemungutan suara pada 28 Oktober 1965
mengasilkan persetujuan 2.318 berbanding 3 kontra, sehingga Dekrit tentang
Pembinaan Imam "Optatam Totius" dipromulgasikan.
Deklarasi Tentang Pendidikan Kristen "Gravissimum Educationis" pada
mulanya skema berjudul “Tentang Sekolah-sekolah Katolik”. Ketika pada tahun 1964 skema itu dibahas antara 17-19 November, para Bapa Konsili meminta agar
cakupannya diluaskan mengenai pendidikan, tidak terbatas hanya pada sekolah dan
universitas katolik. Lalu dekrit memberi pendahuluan tentang hakekat dan tugas
pendidikan kristiani (GE 1-3), walau
akhirnya kembali pada persoalan pokok tentang sekolah-sekolah katolik lagi.
Penerapan wajib sekolah dan perkembangan sekolah-sekolah negeri membuat sekolah-sekolah
katolik mengalami kesulitan. Dalam pendidikan sekolah peran dan tugas
penyelenggara sekolah dan para guru sangat besar, maka patut mendapat hormat
dan penghargaan (GE 4-5). Karena
orangtualah yang mempunyai kewajiban utama dan hak untuk mendidik anak-anak
mereka maka mereka jugalah yang berhak memilih sekolah untuk anak-anak mereka.
Negara seyogyanya mendukung kebebasan mereka memilih pendidikan yang
sesuai dengan menerapkan prinsip
subsidiaritas, bukan memonopoli pendidikan (GE 6). Kekhususan pendidikan kristiani dalam hal
moral dan keagamaan paling cocok untuk keluarga-keluarga kristiani. Namun
pendidikan negeri juga dipuji jika menyediakan pendidikan moral dan keagamaan
sesuai yang dianut keluarga. (GE 7). Maka Gereja berhak untuk mengadakan sekolah-sekolah
katolik demi pengembangan umat Allah (GE 8). Sekolah katolik berbagai macam
tetap perlu diselenggarakan dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman yang
bertambah maju dengan memerhatikan perlunya bantuan bagi mereka yang miskin (GE
9). Sekolah tinggi dan universitas katolik diharap memajukan bidang-bidang ilmu
dengan penelitian ilmiah menunjukkan kehadiran visi kristiani secara publik
meningkatkan kebudayaan dan menghasilkan alumni yang unggul. Perlu diusahakan
program studi teologi di Universitas katolik(GE 10). Fakultas teologi menjadi
harapan besar Gereja untuk mengembangkan
kerasulan intelektual, mengadakan penelitian lebih mendalam tentang perwahyuan
kudus, mengembangkan dialog dan menjawab tantangan kemajuan ilmiah (GE 11). Dalam pemungutan suara final 28 Oktober 1995 Deklarasi
Tentang Pendidikan Kristen Gravissimum
Educationis mendapat persetujuan 2290 suara berbanding 35 kontra, maka dipromulgasikan.
Pengambilan suara atas Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu
Ilahi Dei Verbum dilaksanakan pada 18
November 1965. Skema ini sudah dibahas secara sangat seksama dan berulang kali
ketika namanya De Fontibus Revelationis
(sumber-sumber wahyu ) dari 14-21 November 1962. Banyak perbaikan telah
dilakukan dan dapat dikatakan lebih menyeluruh sehingga ada perimbangan
sikap terhadap sumber-sumber wahyu ilahi
antara Kitab Suci dan Tradisi, kebenaran Kitab Suci, historisitas Injil dan
lain-lain. Antara 30 November hingga 6 Oktober 1964 dibahas skema yang telah
diubah menjadi Tentang Wahyu Ilahi. Pembahasan
final dilakukan antara 20-22 September 1965. Perubahan ditambahkan pada 29 Oktober
1965. Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi “Dei Verbum” akhirnya
mendapat persetujuan 2.344 berbanding 6 kontra
dan dipromulgasikan pada 18 November 1965.
Naskah final dokumen Dei
Verbum memberi dasar yang kuat bagi
pengembangan teologi biblis yang baik dan memberi ruang kepada penelitian
eksegetis yang kritis dan ilmiah. Sejumlah teolog menyatakan bahwa jika ingin mengenali teologi Konsili Vatikan
II maka sebaiknya mulai dari Konstittusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum. “Dari kelimpahan cinta kasihNya Allah yang
tidak kelihatan menyapa manusia sebagai sahabat-sahabatNya dan bergaul dengan
mereka untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan dengan diriNYa” (DV 2).
Demikianlah teologi perwahyuan dalam Konsili Vatikan II dalam Dei Verbum bersifat dialog, bukan
doktrin searah. Allah Tritunggal bergaul dengan manusia. “Dalam kebaikan dan
kebijaksanaanNya Allah berkenan mewahyukan diriNya dan memaklumkan rahasia
kehendakNya, berkat rahasia itu manusia dapat menghadap Bapa melalui Kristus
Sabda yang menjadi daging, dalam Roh Kudus, dan ikut dalam kodrat ilahi” (DV
2). Perwahyuan bersifat pribadi, dalam dialog pergaulan yang menyatukan.
Pengertian akan Allah yang kepada kita dinyatakan dalam Kristus kita peroleh
dari komunikasi dialog dalam hubungan pribadi yang semakin dengan Kristus dalam
Roh Kudus. Dari pihak manusia, pergaulan dengan Kristus Wahyu Ilahi menimbulkan
penerimaan iman yang tulus rela dengan akalbudi dan kehendaknya, atas
kebenaran-kebenaran yang disampaikan. “Supaya orang dapat beriman demikian
diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta menolong, juga bantuan batin dari
Roh Kudus, yang menggerakkan hati dan mengarahkannya kepada Allah, membuka mata
budi” (DV 5). Selanjutnya tugas Gereja melalui karya pewartaan dan Tradisi
suci melayani pergaulan perwahyuan
kebenaran ilahi yang bersifat dialog antar-pribadi itu dengan melestarikan dan
meneruskan Wahyu Allah seutuhnya, agar Kristus Sang Sabda menetap dalam diri
umat secara melimpah (DV 7-8). Tradisi dan Kitab Suci mengalir dari sumber
ilahi yang sama. Kitab Suci berkat ilham ilahi menyampaikan pembicaraan Allah,
sedang Tradisi oleh Kristus dan Roh Kudus dipercaya untuk meneruskan percakapan
Allah itu tanpa putus (DV 9). Gereja seluruhnya dengan bertekun dalam
persekutuan ibadat menjadi sarana pergaulan wahyu itu sepanjang masa di mana
kuasa mengajar Gereja (magisterium) senantiasa menyampaikan penafsiran yang
otentik atas Wahyu Ilahi (DV 10).
Konsili menegaskan beberapa poin: 1) Bahwa pengarang Kitab
Suci adalah Allah yang berkenan mengilhami orang-orang yang dipilih untuk
menuliskan sabdaNya (DV 11). 2) Diperlukan penafsiran yang cermat atas apa yang
mau disampaikan penulis suci dan apa yang hendak dinyatakan Allah melalui
kata-kata mereka, dengan memerhatikan keutuhan Kitab Suci, Tradisi yang hidup
dalam Gereja, dan analogi iman (DV 12). 3) Kitab Suci merupakan norma iman yang
tertinggi, kekuatan iman, santapan jiwa, sumber jernih dan kekal hidup rohani.
Maka kaum beriman diharapkan mendapatkan jalan yang lebar untuk membaca Kitab
Suci. Diusahakan terjemahan yang baik dan tepat dalam bahasa-bahasa umat dan
agar penyebaran Kitab Suci semakin luas. Kerasulan Kitab Suci semakin efektif
membantu umat bergaul dengan Sabda Allah dan melayani pemahaman mereka.
Demikian Kitab Suci menjadi jiwa teologi.
Untuk dekrit tentang Kerasulan Awam Apostolicam Actuositatem dilakukan pemungutan suara 18 November
1965. Dekrit ini mulai dibahas secara
khusus pada 7-13 Oktober 1964. Namun ketika Konsili membahas skema tentang
Gereja (Lumen Gentium, LG) sudah terjadi
perdebatan seru tentang kaum Awam (17
Oktober 1963 dst). Setelah pemahaman Gereja sebagai Misteri (Bab 1) dan diikuti
pengertian Gereja sebagai Umat Allah (Bab 2) dan Hirarki sebagai bagiannya (bab
3), Kaum Awam yang dipahami terpisah dari Hirarki juga berpartisipasi dalam
imamat Kristus oleh baptisan (Bab 4). Mereka juga melakukan karya kerasulan
khas di dunia. Mereka juga dipanggil pada kekudusan melalui status hidup
mereka. Pada waktu itu para Uskup Indonesia memberi masukan melalui wakil mereka (Mgr Geise OFM dan Mgr Paul Sani SVD pada intervensi 18
Oktober 1963). Pembahasan perubahan-perubahan dilakukan antara 23-27 September
1965, dan antara 9-10 November 1965. Kerasulan kaum Awam selalu menyertai
Gereja, namun makin diperlukan ketika perkembangan ilmu dan teknologi bertambah
cepat dan hubungan antar manusia semakin bertambah luas; bertambah luas jugalah
medan yang masih asing bagi Gereja, namun dikenal oleh kaum Awam melalui
pekerjaan, kegiatan dan pergaulan mereka.
Kerasulan Awam dalam bimbingan Roh Kudus makin penting, agar
dunia kian diresapi oleh ajaran iman dan moral Kristiani melalui peri-hidup
kaum Awam sebagai kesaksian akan Kristus.
Untuk itu Dekrit tentang Kerasulan Awam meneguhkan karya kerasulan
mereka; menyampaikan prinsip-prinsip pedoman dan pengarahan agar kerasulan makin
efektif. Dekrit Kerasulan Awam Apostolicam
Actuositatem pada 18 November 1965 disetujui 2.305 berbanding 2 kontra dan dipromulgasikan.
Konsili Vatikan II akan berakhir dan ditutup secara resmi.
Sepanjang sejarah Gereja, Konsili Vatikan II merupakan konsili ekumenis
terbesar yang diikuti oleh para Uskup dari seluruh dunia. Seluruhnya ada total
2.860 Uskup yang disebut Bapa Konsili. Namun tidak semuanya bisa hadir karena
berbagai hal. Ada yang sakit, ada yang meninggal, ada yang tidak mendapat visa
atau exit permit (terutama dari negara-negara komunis). Ada yang bisa hadir
dalam satu masa persidangan saja, dua masa persidangan, tiga masa persidangan,
namun mayoritas bisa mengikuti empat masa persidangan penuh. Rata-rata kehadiran harian para Uskup
sepanjang persidangan Konsili adalah 2.200 orang, dengan puncaknya 2.392 orang pada
6 Desember 1965. Diselenggarakan 10 kali Sidang Pleno dan 168 kali Sidang Umum
antara 1962-1965. Dalam masa persidangan pertama 1962 dilaksanakan 36 kali
Sidang Umum, 43 kali Sidang Umum dalam masa persidangan 1963, 48 kali Sidang
Umum dalam masa persidangan ketiga 1964 dan akhirnya 41 kali Sidang Umum dalam
masa persidangan keempat 1965. Dibacakan 147 pengantar atau laporan tentang bahan
bahasan dan skema-skema. Disampaikan 2.212 pidato dan diterima 4.361 intervensi
tertulis. Para ahli yang secara resmi dilibatkan keseluruhannya 460 orang, di
antara mereka 235 orang imam diosesan, 45 Jesuit, 42 Dominikan,dan 15 Fransiskan.
Konsili Vatikan II juga merupakan Konsili Ekumenis pertama yang dihadiri para
wanita, baik Awam maupun para Suster.
Secara keseluruhan Konsili Vatikan II menghasilkan empat Konstitusi (Lumen Gentium tentang Gereja, Sacrosanctum
Concilium tentang Liturgi, Dei Verbum
tentang Wahyu Ilahi, dan Gaudium et Spes
tentang Pastoral Gereja di Dunia Modern); sembilan Dekrit (Inter Mirifica
tentang Komunikasi Sosial, Unitatis Redintegratio
tentang ekumenisme, Orientalum
Ecclesiarum tentang Gereja-gereja Ritus Timur, Christus Dominus tentang pelayanan pastoral para Uskup, Perfectae Caritatis tentang pembaruan
hidup religius, Optatam Totius
tentang Pembinaan Imam dan Seminari, Apostolicam
Actusitatem tentang kerasulan Awam, Ad
Gentes tentang kegiatan misi, dan Presbiterorum
Ordinis tentang pelayanan dan hidup para Imam) dan tiga Deklarasi (Nostra Aetate tentang hubungan dengan agama-agama lain bukan
kristiani, Dignitatis Humanae tentang
kebebasan beragama, dan Gravissimum
Educationes tentang pendidikan
kristiani).
Dalam Sidang Pleno terakhir Konsili Vatikan II 7 Desember
1965 Paus Paulus VI menyatakan ia telah menjadi saksi betapa para Uskup sedunia
telah begitu tekun dan mendalam memelajari dunia modern selama sidang-sidang
Konsili. “Gereja seluruhnya ingin lebih
mengenal, ingin dekat, ingin memahami, ingin menjadi bagian dan melayani dengan
pewartaan Injil masyarakat di mana ia hidup dan berelasi, dengan berusaha untuk
tidak ketinggalan dari perubahannya yang cepat dan terus berlanjut”.
Mengenang Paus Yohanes XXIII yang telah memprakarsai Konsili
Vatikan II, Paus Paulus VI menyatakan bahwa tujuan almarhum untuk memelihara
warisan ajaran kristiani seutuhnya dan agar secara efektif mewartakannya,dengan
terlaksananya Konsili Vatikan II “maksud dan tujuan mulia itu kini telah
tercapai”.
Makna rohani Konsili Vatikan II menurut Paus Paulus VI
mengutip St Agustinus adalah undangan untuk semua manusia untuk menemukan
kembali kasih persahabatan Allah, yang dijauhi menyebabkan kejatuhan, jika
didekati membawa kebangkitan, bersama dengan kasih itu aman sentosa, menerima
kasih itu berarti lahir baru, dan tinggal dalam kasih itu berarti hidup baru.
Kepada perwakilan dari 80 negara-negara yang telah mengirim
delegasi mengikuti terus persidangan Konsili Vatikan II Paus Paulus VI menyampaikan
salam dan doa berkat untuk semua orang, tanpa ada satu pun yang ketinggalan,
termasuk yang sedang mengalami kesulitan karena ketidakadilan dan yang sedang
sakit. Walau Konsili Vatikan II berakhir dan ditutup, namun kasih persaudaraan
Gereja akan terus menyapa dan menyertai siapa saja dengan tulus hati, membawa
damai sejahtera yang diberikan Kristus, bahkan menghadirkan Tuhan sendiri yang
bekerja dalam jalinan relasi segenap umat manusia.
Suatu pernyataan bersama ditandatangani oleh Paus Paulus VI
dan Patriark Ortodoks Athenagoras dari Konstantinopel mengakhiri perseteruan
yang pahit yang bermula dari tahun 1054 antara kepausan Roma dan patriarkat
Konstantinopel dan menyebabkan berbilang ekskomunikasi di antara kedua pihak,
walau hukuman ekskomunikasi itu terarah pada pribadi-pribadi namun toh nyatanya
menyebabkan terbelahnya kesatuan dan melukai Gereja. Dengan kedua pemimpin saling meminta maaf,
semua surat ekskomunikasi yang telah dikeluarkan dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi. Konsili Ekumenis Vatikan II dengan demikian membuka babak baru
untuk langkah-langkah pemulihan kesatuan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja
Ortodoks.
Pada 8 Desember 1965, Konsili Vatikan II resmi ditutup
dengan persembahan Ekaristi syukur di Lapangan Basilika St Petrus.
Antara 5 Agustus – 23 September 1965 terjadi Perang
Perbatasan India-Pakistan. Perang itu menjadi puncak konflik-konflik kecil yang
terjadi di perbatasan antara kedua negara terutama di kawasan Kashmir. India
menuduh Pakistan melakukan 390 kali pelanggaran, sedang pihak Pakistan menuduh
India melakukan 450 kali pelanggaran. Sejak 5 Agustus 1965 pihak India merasa
direpotkan oleh infiltrasi antara 20.000-30.000 pasukan Pakistan yang menyamar
penduduk Kashmir memasuki perbatasan India. Secara tidak resmi manuver Pakistan
disebut Operasi Gibraltar. Pihak
India melepaskan tembakan pertama pada 15 Agustus dan terjadilah pertempuran
terbuka. Kedua belah pihak mengklaim kemenangan. India maju di kawasan Pakistan
pegunungan, sedang Pakistanmaju di kawasan India dekat padang pasir. Pihak Pakistan melancarkan serangan darat
besar-besaran melalui Operasi Grand Slam
di sekitar Jammu pada 1 September 1965 dengan tujuan memotong jalur logistik
pasukan India, dengan mengerahkan ratusan artileri dan tank. Pihak India yang
kurang siap dengan mobilisasi tank mengimbangi dengan serangan udara. Banyak
tank Pakistan rusak dan terhenti. Maka Pakistan pun mengerahkan pesawat udara
membalas hingga kemudian terjadi perang udara yang memaksa pesawat-pesawat
India mundur. Angkatan Udara Pakistan meningkatkan ofensif udara dengan Operasi Wind Up membom
pangkalan-pangkalan udara India terdekat. Di luar dugaan mobilisasi pasukan
darat India pada 6 September menyeberang perbatasan barat Pakistan dan membuka
medan pertempuran baru di selatan dekat Lahore, memaksa Pakistan menarik
artileri dan tank mereka dari utara. Ketika
kemajuan pasukan India mendekati Bandar Udara Internasional Lahore, Amerika
Serikat menyerukan gencatan senjata untuk memberi kesempatan masyarakat
internasional melakukan evakuasi. Gencatan senjata yang dirancang berlaku untuk
dua hari (48 jam) ternyata berubah menjadi gencatan senjata untuk masa yang tak
tertentu ke depan. Pada kesempatan itu kedua belah pihak melakukan taksiran
korban. India kehilangan 3.000 pasukan, Pakistan kehilangan 3.800; antara 150-190
tank India hancur atau direbut, sedang pihak Pakistan kehilangan antara 200-300
tank; India kehilangan antara 35-49 pesawat, di pihak Pakistan 19 pesawat
hilang; India kehilangan wilayah 450 km2 di utara, sedang Pakistan kehilangan 1.800 km2 terutama di selatan. Perang India
Pakistan 1965 mengubah peta geo-politik, jika sebelum perang kedua negara
sama-sama tergantung pada bantuan Amerika-Serikat dan Inggris, ketika perang
berlangsung kedua negara barat menghentikan bantuan. Sesudah perang India
mencari bantuan luar negeri dari Uni Soviet, Pakistan mendapat bantuan dari RRT
dan... Indonesia.
Mulai 1 September 1965, Presiden Soekarno membentuk IKIP
yang merupakan gabungan dari FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan) dan IPG
(Institut Pendidikan Guru). Sehingga berdasarkan SK No.237/B-SWTU/1965, FKIP
Sanata Dharma berganti nama menjadi IKIP Sanata Dharma. Fakultas
Teologi/Seminari Tinggi St Paulus Yogyakarta masih menjadi bagian dari IKIP
Sanata Dharma (sejak 1961).
Sementara itu, pada 27 September 1965, di bawah lindungan
Santo Albertus Magnus, kelahiran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya cabang
Yogyakarta diresmikan. Pendirian Universitas Atma Jaya Yogyakarta digagas dan
diawali oleh Pengurus Ikatan Sarjana Katolik (ISKAT) cabang Yogyakarta. Pada
tanggal 13 Mei 1965, terbentuklah Yayasan Universitas Katolik Indonesia Atma
Jaya Cabang Yogyakarta, yang sekarang menjadi Yayasan Slamet Rijadi Yogyakarta.
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) didirikan para cendekiawan awam dan
dikelola yayasan Slamet Rijadi Yogyakarta itu. UAJY bermaksud ikut serta dalam pendidikan bangsa
dengan memadukan dimensi lokal dan orientasi global.
D. Pecah Ketuban, Jalan Kelahiran Kebaruan
Banyak korban jiwa di Indonesia pada masa epilog pasca
pemberontakan yang gagal dari Gerakan 30 September 1965. Pembentukan angkatan
kelima pada bulan Juli 1965 dan pelatihan militer sekitar 2.000 anggota PKI di
dekat pangkalan udara Halim Perdanakusuma Jakarta diduga memicu terjadinya
peristiwa Gerakan 30 september (G30S) 1965 di Jakarta yang menggerakkan suatu
batalyon pengawal presiden Cakrabirawa menculik anggota kelompok yang disebut
“Dewan Jendral” yang diduga akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965, dan tidak
menyetujui adanya angkatan kelima.
Gerakan 30 September yang dipimpin Letnan Kolonel Untung menewaskan 6 perwira tinggi dan 1 perwira
menengah TNI AD, seorang anggota polisi dan seorang anak perempuan putri salah
satu perwira tinggi TNI AD (mereka adalah Letnan Jendral Ahmad Yani, Mayor
Jendral Raden Soeprapto, Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jendral
Siswondo Parman, Brigadir Jendral Donald Isaac Panjaitan dan Brigadir Jendral
Sutoyo Siswomiharjo. Menpangab/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jendral AH
Nasution berhasil lolos dari penggerebegan di rumahnya, namun puterinya, Irma
Ade Suryani Nasution tewas sebagai korban. Selain itu, gugur pula ajudan
Jendral Nasution, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean dan pengawal Wakil Perdana
Menteri II Dr. J. Leimena, Brigadir Polisi Satsuit Tubun). Dari siaran RRI
Jakarta tanggal 1 Oktober, G30S menyatakan bahwa Presiden Soekarno telah
diselamatkan dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma dan untuk
selanjutnya akan dibentuk Dewan Revolusi
Indonesia dan di Daerah-daerah,
sebagai pemerintahan sementara. Ketua Presidium Dewan Revolusi Indonesia
menurut siaran RRI adalah Letnan Kolonel Untung.
Kejadian itu menggerakan militer di Jakarta. Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan
Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dengan bantuan Yon 328 Para
Kudjang/Siliwangi keluar barak mencegah meluasnya aksi Gerakan 30 September dan
memulihkan keamanan. RRI yang tadinya dikuasai unsur Gerakan 30 September untuk
mengumumkan aksi mereka, direbut kembali oleh militer dan pada jam 00.00 tanggal
2 Oktober 1965 memancarkan pengumuman dari Panglima Kostrad Mayjen Soeharto
tentang situasi yang terjadi.
Setelah sore hari daerah sekitar Istana Merdeka dan Medan
Merdeka bersih dari pasukan G30S, operasi dilanjutkan ke Pangkalan Halim Perdanakusama
dan sekitarnya, yang diketahui digunakan sebagai pusat G30S. Di daerah Lubang Buaya terjadi
perlawanan dan tembak menembak hampir tiga jam. Tetapi pihak G30S meninggalkan
gelanggang dan menghilang melalui Pondok Gede. Di tempat lokasi tembak menembak
di Lubang Buaya jasad para petinggi AD
diketemukan, dibuang dalam sebuah sumur. Pemberitaan pers disenyapkan pada
waktu itu untuk menghindarkan kekacauan karena berita yang simpang siur. Para
petinggi PKI D.N. Aidit, Kamaruzaman, dan Pono melarikan diri ke Jawa Tengah. Perintah
militer selanjutnya disebarkan melalui
komando militer daerah yang segera menggerakkan Angkatan Darat, terutama RPKAD,
untuk memburu para pimpinan PKI yang
melarikan diri dan mengamankan para kader militan PKI daerah.
Jawa Tengah menjadi tujuan prioritas operasi RPKAD, karena
RRI Semarang pada 1 Oktober 1965 sekitar pukul 13.00 WIB memberitakan
terbentuknya Dewan Revolusi Jawa Tengah (sayap dari G30S) yang dipimpin Asisten
1 Intelijen Kodam VII/Diponegoro Kolonel Inf Sahirman sebagai Ketua.
Kolonel Inf Sahirman dan teman-temannya mengambil alih
pimpinan dan Markas Besar Kodam VII/Diponegoro. Lalu Sahirman menggerakkan
sejumlah pasukan dan memperluas gerakannya ke beberapa Korem di beberapa daerah
dan Brigade-Brigade Infanteri di Jawa Tengah serta sejumlah Kodim. Brigjen TNI
Surjo Sumpeno, panglima Kodam Diponegoro, menyingkir dari Semarang menuju
Magelang karena dari informasi intelijen hanya pasukan di wilayah Garnisun
Magelang sajalah yang tidak disusupi PKI. Magelang digunakan Brigjen TNI Surjo
Sumpeno sebagai basis operasi pemulihan kekuatan. Ia mengerahkan batalyon dan peleton dari Magelang
ditambah dengan batalyon dari brigade
infanteri Gombong dan sisa -sisa kesatuan dari batalyon Para 3 di Semarang yang masih loyal,
mengepung Semarang. Secara strategis markas besar Markas Kodam VII/Diponegoro
berhasil direbut kembali tanpa perlawanan, dan kendali militer dipulihkan. Stasiun
RRI Semarang juga berhasil direbut
kembali.
Tiga kompi yang pro G30S dapat disudutkan di Srondol dan
kemudian menyerah. Pemimpin Dewan Revolusi Jawa Tengah Kol. Sahirman, Kol.
Marjono, Letkol Usman menyingkir dari Kota Semarang. Dengan gelar pasukan
lengkap Panglima Kodam VII/Diponegoro berangsur-angsur merebut kembali kodim-kodim
yang sempat dikuasai G30S/Dewan Revolusi seperti Salatiga dan Boyolali, dan memulihkan
rantai komando.
Pembersihan pasukan dari unsur yang pro G30S/Dewan Revolusi
juga dilakukan di Yogyakarta walaupun Komandan korem 072/Pamungkas Kol Inf
Katamso dan Kepala stafnya Letkol Soegijono telah ditangkap dan dibunuh sejumlah
pasukan pro Dewan Revolusi di Kentungan 1
Oktober 1965. Brigjen Surjo Sumpeno pada 4 Oktober 1965, pada 5 Oktober pukul
10.00 WIB di Markas Korem 072 mengadakan briefing dengan seluruh jajaran dan
menetapkan Asisten 4 Kodam VII Kol Widodo menjadi komandansementara Korem 072. Berita tentang Markas
Kodam Diponegoro Semarang, Korem 072/Pamungkas, kodim Salatiga dan pidato dari
Pangkostrad Letjen TNI Soeharto melalui RRI Jakarta mengenai gerakan G30S
membuat anggota jajaran Kodam VII/Diponegoro di daerah daerah yang semula
dipengaruhi Dewan Revolusi akhirnya sadar. Sejumlah pimpinan pasukan yang
semula pro Dewan Revolusi berangsur-angsur
menyerahkan diri, di Purwokerto, Solo dan lain-lain pada 3-4 Oktober 1965. Pada
5 Oktober 1965, dalam jangka waktu lima hari, pemulihan garis komando di
jajaran Kodam VII /Diponegoro Jawa Tengah telah berhasil dtuntaskan. Seminggu kemudian bantuan datang. Pasukan
Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)
dilengkapi panser dan persenjataan berat tiba di Jawa Tengah pada 12
Oktober 1965 dari Jakarta, guna mengejar pelarian dari unsur-unsur bersenjata G30S/Dewan
Revolusi Jakarta dan membersihkan Jawa
Tengah. Sasaran pembersihan unsur-unsur
G30S ditujukan pada masyarakat umum yang diduga memiliki senjata api buatan
RRT.
Pada 18 Oktober 1965, melalui pemeriksaan kereta api dan
lalu-lintas darat serta patroli di Semarang RPKAD telah berhasil menangkap 1.050 terduga
anggota kelompok G30S. Di Surakarta pada 22 Oktober diamankan 40 orang. Pada 24
Oktober di Boyolali diamankan 65 orang. Selain melakukan operasi, secara kilat
RPKAD juga melatih dan melibatkan pemuda Anshar dari Nahdatul Ulama untuk
pengamanan mereka yang diduga terlibat G30S.
Ketua PKI DN Aidit yang dianggap dalang G30S ditemukan tewas
tertembak dalam operasi tersebut. Yang lain ditangkap untuk diadili. Manuver militer
entah bagaimana menyertakan unsur-unsur sipil yang adalah lawan politik PKI,
yang menggunakan senjata tajam tradisional dan pentungan. Maka selanjutnya terjadilah
penangkapan (diksi waktu itu “pencidukan”), sebagian secara damai, sebagian
dengan kekerasan, penculikan, penyiksaan dan pembunuhan (istilah yang lazim
“ngebon” tahanan politik) banyak orang yang diduga anggota militan PKI di
daerah-daerah, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.
Surabaya sendiri dalam catatan, pernah dua kali dipimpin
oleh tokoh yang memiliki kedekatan dengan PKI . Tokoh pertama dr Raden Satrio
Sastrodiredjo adalah wali kota periode 1958-1964. Lalu Moerachman, wali kota
1964-1965, karena memiliki hubungan dekat dengan PKI, ditangkap dan hilang. Pembersihan unsur
komunis di Jawa Timur lebih keras, menimbulkan bentrokan horisontal, dan
berlangsung lebih lama. Sebagian diwarnai aksi balas dendam terhadap PKI/BTI atas
aksi sepihak yang mereka lakukan dalam reforma agraria dari waktu sebelumnya,
antara 1962-1964, sebagian lagi pelampiasan balas dendam pribadi masa lalu tanpa
alasan politik. Di kalangan dewasa dendam masa lalu terpupuk di masa lalu dari
rivalitas kegiatan kebudayaan (Lekra lawan Lembaga Kebudayaan lain). Di
kalangan pemuda dendam masa lalu timbul dari rivalitas kegiatan pencak atau beladiri.
Ada pula dendam dari rivalitas gerakan kepanduan yang berbeda.
Sikap masyarakat Islam terhadap PKI sangat tegas dan mendukung
pembersihan terhadap pendukung PKI. Misalnya pada tanggal 7 Oktober 1965 harian
terbitan NU: Duta Masyarakat, menyerukan pembasmian PKI dan antek-anteknya yang
terlibat dalam Gerakan 30 September. Demikian juga dengan Muhammadiyah. Di dalam konferensi kilat di Jakarta pada
9-11 November 1965, Muhammadiyah bersama kelompok pemudanya memaklumkan bahwa
“mensirnakan Gestapu/PKI dan Nekolim adalam ibadah.” Bukan hanya ibadah sunnah,
melainkan ibadah yang wajib ‘ain. Maka, pengerahan kekuatan untuk
menjalankannya adalah jihad. Namun, Muhammadiyah juga menekankan pada
kehati-hatian, yakni agar cara yang dipakai menjalankannya haruslah
“menghindarkan ekses-ekses yang merusak, memfitnah, balas dendam, dan
sebagainya”. Meski demikian, situasi di
lapangan membuat kekerasan dan kerusakan tak terhindarkan.
Dalam gabungan
kekuatan anti-PKI ini, Muhammadiyah , NU, Partai Katolik, IPKI, Sekber Golkar,
Gasbindo dan KBKI, mendeklarasikan pernyataan mengutuk G 30 S yang dikaitkan
PKI. Partai Katolik dalam konsolidasi
dengan Organisasi Massa katolik lainnya menggalang “Front Katolik Tanpa
Lubang”.
Pada tanggal
4 Oktober 1965 di Taman Sunda Kelapa Jakarta, masyarakat Islam membentuk
Kesatuan Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gerakan 30 September (KAP Gestapu).
Empat hari kemudian aksi massa dilakukan lagi di Taman Suropati. Dari sinilah
pertama kalinya digunakan kekerasan dalam
menumpas PKI. Mereka membakar
Kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya dan rumah DN Aidit, yang disebut-sebut
dalang G30S. Pembakaran tak berhenti di sana. Berbagai kantor dari organisasi
yang berkaitan dengan PKI turut menjadi sasaran, termasuk SOBSI, Lekra, Pemuda
Rakyat, CGMI, Universitas Ali Archam dan Universitas Res Publica.
Sekitar minggu kedua Oktober 1965, ketika aksi penumpasan
anggota dan simpatisan PKI dilakukan di kalangan masyarakat Jawa Tengah dimulai, Uskup Semarang Mgr. Yustinus
Darmojuwana sedang mengikuti sesi keempat Sidang Konsili Vatikan II di Vatikan.
Ordinaris yang memimpin sementara
keuskupan Semarang adalah Vikaris Jendral (Vikjen) Pastor C. Carri, SJ. Aksi-aksi
pembersihan anggota-anggota dan simpatisan PKI itu memprihatinkan Gereja
Katolik. Pada 22 Oktober 1965, Vicaris Jendral P. Carri SJ yang aktif mengikuti situasi,
engeluarkan surat edaran untuk para pastor dan rohaniwan-rohaniwati di Keuskupan Agung
Semarang. Pastor Carri, SJ, sebagai Vikjen KAS melarang para pejabat gereja
terlibat dalam aksi penumpasan yang dilakukan oleh militer.
Kemudian dalam surat edaran selanjutnya bernomor 616/A/X/d’65, tertanggal 8 November
1965 tentang Panitia Pemeriksa atau Penyelidik, Pastor Carri, SJ sekali lagi melarang
para pastor dan rohaniwan-rohaniwati terlibat dalam panitia penyelidik yang
dibentuk oleh RPKAD, sebab menurut Pastor Carri, tugas itu bukan bidang para
pastor dan rohaniwan-rohaniwati, melainkan tugas kaum awam. “Bersama ini kami beritahukan
kepada semua Pastor/Rohaniwan/Rohaniwati, bahwa kami tidak mengizinkan Pastor/Rohaniwan/Rohaniwat,
ikut/mendjadi anggauta dalam Panitia/Penyelidik yang akan dibentuk oleh RPKAD.”
Kelompok mahasiswa Indonesia melakukan perserikatan di bawah
satu naungan Perserikatan Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia atau PPMI. Secara internal PPMI terpecah dalam dua kubu. Kubu sayap kanan terdiri dari beberapa
organisasi yang mempunyai orientasi keagamaan, seperti HMI, PMKRI, dan PMII.
Sementara kubu sayap kiri terdiri dari
organisasi berorientasi ideologi: CGMI,
Germindo, Perhimi, dan GMNI. Perpecahan berkembang makin tajam setelah tragedi
G30S 1965. Kubu sayap kanan terus mendesak PPMI untuk mengambil sikap
berseberangan terhadap PKI pasca-G30S. Namun, karena kubu sayap kiri yang
merupakan bagian dari PPMI masih belum bisa menentukan sikap terhadap PKI berhubung
karena pertalian haluan politik, kubu sayap kanan habis kesabaran dan
berinisiatif membuat kesatuan aksi tersendiri terhadap PKI. Pembentukan kesatuan aksi dilakukan di rumah
Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, Syarif Thayeb, pada 25 Oktober
1965. Pertemuan itu hanya dihadiri oleh kubu sayap kanan, dan satu komponen
kubu sayap kiri saja, yakni GMNI. Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) diadopsi
menjadi pokok perjuangan kesatuan aksi mahasiswa: Pertama, bubarkan PKI. Kedua, turunkan harga.
Ketiga, bubarkan/rombak Kabinet Dwikora. Langkah para mahasiswa diikuti para
pemuda pelajar membentuk kesatuan aksi pemuda pelajar mengusung program
Tritura, sama dengan para mahasiswa.
Ketika itu harga barang-barang
terutama 9 bahan pokok sudah meningkat hampir 500%.
Karena ada indikasi adanya perkara yang melibatkan militer dalam
G30S dan dinilai membahayakan bangsa dan negara, maka pada 4 Desember 1965
dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 370 Tahun 1965 yang memberi peran penting
kepada Pangkopkamtib Letjen Soeharto terhadap perkara-perkara terkait. Tiga
kewenangan yang diberikan yakni (1)
Menentukan tokoh-tokoh yang diduga terlibat dalam peristiwa G30S; (2) Bertindak
sebagai perwira penyerah perkara dalam perkara-perkara tersebut; (3) Menentukan
susunan Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mempersiapkan, memeriksa dan
mengadili perkara-perkara tersebut. Pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa diatur
dalam UU No.16/PNPS/1963.
Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 7-11 Desember
1965 mengadakan Musyawarah Kerja Nasional I di Cipayung, Bogor. Organisasi
sekretariat bersama yang bersifat federatif dan mulanya diikuti 97 organisasi
anggota pada tahun 1964 itu dalam satu tahun sudah berkembang diikuti 140
organisasi anggota dan membentuk struktur organisasi dan Pengurus. Presiden
Soekarno ditempatkan sebagai Pembina Agung. Presidium Kabinet Dwikora
ditempatkan sebagai Ketua Kehormatan (Dr Soebandrio, Dr. J. Leimena, Dr Chairul
Saleh). Dewan Pembina meliputi nama-nama Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Jendral
AH Nasution, HM Mulyadi Djajamartana. Dewan Penasehat terdiri antara lain dari
Mayjen Soeharto, Laksdya RE Martadinata, Mayjen KKO Ali Sadikin, Ny Roesiah
Sardjono. Ketua: Brigjen Djuhartono. Sekretaris : Dr. Amino Gondohutomo.
Anggota: Ir PC Hardjosudirdjo. Drs
Radius Prawiro. Dominggus Nanlohy. Mh Mawardi. Dll.
Pada Januari 1966, Uskup Keuskupan Agung Semarang, Mgr.
Justinus Darmojuwono, sepulang dari Sidang Konsili Vatikan II di Italia,
menyerukan agar orang-orang Katolik, terutama para pemuda Katolik tidak ikut
aksi penumpasan simpatisan dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa
Tengah.
Seruan ini dikeluarkan oleh Mgr. Darmojuwono setelah
menerima laporan-laporan di lapangan terkait pelaksanaan aksi penumpasan
orang-orang yang menjadi simpatisan dan anggota PKI. Dalam surat edaran yang
ditujukan kepada para pastor tertanggal 5 Januari 1966 untuk disampaikan kepada
para pemuda Katolik, Mgr. Darmojuwana ditegaskan
dua hal prinsip: Pertama, para pemuda
Katolik wajib membantu tugas TNI dalam menumpas G30S. “Kita yang Katolik,
terutama para pemuda Katolik, wadjib
membantu tugas TNI dalam menumpas G30S.”
Poin kedua, Uskup Darmojuwana dengan tegas melarang para pemuda Katolik
melakukan tindakan penganiayaan atau penyiksaan, bahkan pembunuhan dalam
membantu tugas-tugas TNI. “Tetapi dalam hal ini dilarang setiap
penganiayaan/penyiksaan apalagi pembunuhan, baik dalam penangkapan (bila ada
perlawanan) maupun bila mereka sudah diadili dan terbukti kesalahannya, hukuman hendaknya diserahkan kepada alat-alat
negara.” Para pemuda Katolik tidak boleh meniru tindakan G30S karena
bertentangan dengan hukum cinta kasih. “Penganiayaan/penyiksaan adalah
bertentangan dengan hukum cinta kasih Kristiani dan peri-kemanusiaan.” Pembunuhan bukan tugas para pemuda atau
anggota masyarakat. Tindakan ini akan menimbulkan dendam. “Pembunuhan, meskipun
sesudah diadili tidak ada persoalan dosa, tetapi bukan termasuk tugas kita
sebagai anggota masyarakat, hal mana dapat menimbulkan kekacauan: timbulnja
dendam dari pihak lain, mungkin menciptakan suasana dendam dan ancam-mengancam.”
Di daerah di mana terdapat PMKRI dan HMI, Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia KAMI dibentuk. Begitu juga KAPPI di kalangan pemuda dan
pelajar. Suatu aksi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 12 Januari 1966 di
halaman gedung DPR-GR Jakarta dilakukan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI), Kesatuan Alksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan kesatuan-kesatuan
aksi lainnya yang tergabung dalam Front Pancasila menyampaikan Tritura: Tiga
Tuntutan Rakyat: bubarkan PKI, turunkan
harga, bubarkan/rombak Kabinet Dwikora.
Pada 14 Februari 1966 beberapa tokoh PKI mulai dibawa ke
hadapan sidang Mahkamah Luar Biasa (Mahmilub).
Dari sidang-sidang Mahmilub yang dilaksanakan terbuka untuk umum dan
disiarkan langsung melalui RRI terdapat banyak informasi yang mengindikaskani
peran langsung PKI dalam G30S 1965. Pengadilan Mahmilub G30S/PKI yang pertama
dilaksanakan untuk Njono, atau Njono Prawiro, Anggota Politbiro CC PKI. Setelah dinyatakan bersalah dalam sidang, ia
divonis hukuman mati dengan Putusan Mahkamah No.PTS-009/MB-I/A/1966, tanggal 21
Februari 1966.
Presiden Soekarno dinilai kurang menanggapi ketiga tuntutan demonstran karena hanya akan
melakukan reshuffle kabinet pada tanggal 21 Februari 1966. Karena itu para
mahasiwa tidak puas dengan tindakan Presiden yang sama sekali tidak menyentuh esensi
ketiga tuntutan yang disampaikan. Mereka meningkatkan aksi demonstrasinya lebih
besar lagi pada tanggal 24 Februari 1966 dan memboikot pelantikan
menteri-menteri baru . Aksi-aksi
demonstrasi makin gencar dan makin besar lagi karena masyarakat umum ikut bergabung
dari hari ke hari, hingga Presiden Soekarno di Istana Bogor yang di luarnya
penuh demonstran , terpaksa mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar), yang memberikan mandat
kepada Letnan Jendral Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat pengganti alm Jendral Ahmad Yani dan selaku Panglima
Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), agar “mengarnbil segala tindakan yang dianggap
perlu untuk terjarninnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan, jalannya
Pemerintahan dan jalannya Revolusi serta menjamin keselamatan Pribadi dan
kewibawaan Pimpinan Besar Revolusi, Presiden/Pangti ABRI /PBR /Mandatais MPRS,
demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara RI dan melaksanahan dengan pasti segala Ajaran
Pemimpin Besar Revolusi".
Dari Sidang Mahkamah Militer Luarbiasa (Mahmilub), Untung
bin Samsuri, Letkol Infanteri, Komandan
Batalyon I Cakrabirawa, pemimpin G30S/Ketua Dewan Revolusi yang menculik para jendral pada 30 September
1965, terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman mati dengan Putusan Mahkamah
No.PTS-03/MB-III/U/1966, tanggal 6 Maret 1966. Letkol Untung pada 1 Oktober
1965 melalui RRI Jakarta mengumumkan adanya Gerakan 30 September (G30S) yang
telah menggagalkan rencana Dewan Jendral mengambil alih pemerintahan pada 5
Oktober. G30S berhasil menyelamatkan Presiden Soekarno dan untuk sementara akan
mengambil alih pemerintahan Republik Indonesia dengan mendirikan Dewan Revolusi
Indonesia. Dalam pengumuman selanjutnya Letkol Untung menyatakan diri menjadi
Ketua Dewan Revolusi Indonesia, dan karena dirinya berpangkat Letnan Kolonel,
semua pangkat yang lebih tinggi darinya diturunkan di bawahnya, kecuali
beberapa jendral pendukung Dewan Revolusi Indonesia, pangkatnya tetap berlaku.
Pada 12 Maret 1966, sehari setelah mendapat mandat penuh
dari Soekarno, Letjen Soeharto mengeluarkan sebuah keputusan atas nama Presiden
Soekarno, dengan Keppres 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 membubarkan PKI dan menyatakan PKI sebagai partai terlarang. Selain
itu 15 menteri dalam Kabinet ditangkap dan ditahan 18 Maret 1966. Dengan alasan
demi keamanan dan kesehatan pribadi Presiden Soekarno sendiri langsung diisolir
dari kancah politik.
Sementara itu Dr. Christian Soumokil, Presiden Republik Maluku Selatan (RMS) dieksekusi pada tanggal 12 April 1966.
Ia ditangkap TNI di Seram pada tanggal 2 Desember 1962. Soumokil diadili dalam mahkamah
militer luar biasa (Mahmilub) di Jakarta dan dihukum mati berdasar keputusan
Mahmilub No.1 tanggal 25 April 1964. Menurut UU No.16/PNPS/1963 tentang
Pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa, “Bahwa masih terjadi perkara-perkara
yang merupakan bahaya besar bagi keamanan Bangsa dan Negara yang sedang
berevolusi membentuk masyarakat sosialis Indonesia, hingga memerlukan
penyelesaian yang segera.” Demikian bunyi bagian menimbang dalam aturan yang
ditandatangani Presiden Soekarno pada 24 Desember 1963. Selain itu, dalam undang-undang
tersebut Mahmilub dibentuk sebagai suatu badan peradilan khusus yang dapat
memeriksa dan mengadili perkara-perkara dengan cepat yang sangat erat
hubungannya dengan keamanan atau pun pertahanan. “Maka badan peradilan yang
dibentuk merupakan badan di lingkungan peradilan militer,” demikian bunyi salah
satu konsideran aturan tersebut.
Sedangkan, untuk aturan hukum pembuktian
harus mengikuti prosedur pembuktian yang berlaku di Mahkamah Agung (MA).
Pemberontakan separatif Republik Maluku Selatan atau RMS yang diakomodasi
pemerintah Belanda terjadi di Kepulauan Maluku
sejak diproklamasikan tanggal 25 April
1950. Sejak tertangkapnya Soumokil praktis perlawanan RMS di Indonesia selesai.
Namun sebagian besar warga RMS pindah ke Belanda sebagai imigran dan mendirikan
pemerintahan RMS “dalam pengasingan” di sana hingga sekarang. Walau pernah
melakukan teror kepada kedutaan RI di Belanda, RMS menjadi persoalan
pemerintah Belanda, bukan persoalan
Indonesia lagi.
Di RRT meletus Revolusi Kebudayaan pada bulan April 1966
ketika Mao Zedong ketua Partai Komunis Tiongkok marah karena unsur-unsur "borjuis liberal" semakin
memengaruhi partai dan masyarakat komunis dengan semangat kapitalisme. Mao
menyingkirkan unsur-unsur itu dengan mobilisasi dan propagandan atas seluruh
kaum muda dan membentuk Pengawal Merah di seluruh RRT. Gerakan pembersihan dan
pemurnian itu menyebar ke seluruh lapisan militer, buruh dan kepemimpinan
partai komunis Tiongkok.
Dari Sidang Mahkamah Militer Luarbiasa (Mahmilub),
Wirjomartono, Anggota Biro Khusus PKI, setelah dinyatakan bersalah, dijatuhi
hukuman mati dengan Putusan Mahkamah No.PUT-07/MB-II/WN/1966, tanggal 18 Mei
1966. Kemudian Sujono, Major Udara, dinyatakan bersalah dan berdasarkan Putusan
Mahkamah No. PUT-07/MLB-V/SJN/66, tanggal 3 Juni 1966 dihukum mati. Dua orang
dinyatakan bersalah dan mendapat hukuman mati pada hari dan tanggal yang sama,
yaitu Peris Pardede, Ketua Komisi Kontrol CC PKI, dengan Putusan Mahkamah No.
PTS 07/MB/VI/PPAA/1966, tanggal 23 Juni 1966 dan Sudisman, Ketua Komisi Kontrol
CC PKI, berdasarkan Putusan Mahkamah No. PTS 23/MLB/VI/PPAA/1966, tanggal 23
Juni 1966.
Dalam bidang
tata-negara Indonesia terjadi perubahan ketika antara tanggal 20 Juni sampai 5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum IV MPRS.
Pendelegasian wewenang dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto dengan
Surat Perintah 11 Maret 1966 disahkan dan dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966: (1) menerima
baik dan memperkuat kebijaksanaan Presiden /Mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia yang dituangkan dalam Surat Perintah
tanggal 11 Maret 1966 kepada Letnan Jendral TNI. Soeharto/Menteri Panglima
Angkatan Darat dan meningkatkannya menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara. (2) Ketetapan tersebut pada sub pertama mempunyai daya laku
sampai terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum Waktu
Pemilihan Umum tersebut ditetapkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara.
Presiden RI/Mandataris MPRS Soekarno diminta menyampaikan pertangungjawaban di hadapan Sidang Umum IV MPRS Tahun 1966 pada tanggal 22 Juni 1966, terutama menyangkut peristiwa G-30-S/PKI. Namun pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang diberi judul "Nawaksara" dianggap tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat karena tidak secara khusus menanggapi apa yang diminta. Ketidakpuasan MPRS dituangkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 dan meminta sekali lagi Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.
Diadakan pengaturan kembali kedudukan Lembaga-lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah dengan Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966. Sesuai UUD 1945 kebijaksanaan politik luar negeri RI dikembalikan bersifat bebas aktif dengan Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Untuk kelancaran pemerintahan ditetapkan pembentukan Kabinet Ampera (Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966). Demi pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dilakukan peninjauan kembali Tap. MPRS yang bertentangan dengan UUD 1945 (Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966). Sejalan dengan itu ditegaskan kembali sumber tertib hukum RI dan tata urutan perundang-undangan di Indonesia (Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966) dan mengukuhkan Keppres 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 dengan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966..
Ketetapan
MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 adalah “Ketetapan tentang
pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi
terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan larangan setiap
kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme”.
Dalam penjelasan ketetapan itu
menyatakan:
1. Faham
atau ajaran Komunisme dalam praktek kehidupan politik dan kenegaraan
menjelmakan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan azas-azas dan
sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia yang ber-Tuhan dan beragama yang
berlandaskan faham gotong royong dan musyawarah untuk mufakat.
2. Faham
atau ajaran Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang
diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain, mengandung
benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.
3. Faham
Komunisme/Marxisme-Leninisme yang dianut oleh PKI dalam kehidupan politik di
Indonesia telah terbukti menciptakan situasi yang membahayakan kelangsungan
hidup Bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila.
4. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka adalah
wajar, bahwa tidak diberikan hak hidup bagi Partai Komunis Indonesia dan bagi
kegiatan-kegiatan untuk memperkembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme
Keputusan itu juga berlaku atas organisasi yang dianggap
sebagai onderbouw PKI. Ada 26 organisasi massa yang dianggap sebagai organisasi
yang berafiliasi dengan PKI. Mereka itu adalah Barisan Tani Indonesia (BTI),
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Pemuda Rakyat (PR),
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Himpunan Sarjana Indonesia (HSI),
PGRI Non Vaksentral, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki),
Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Komunis Muda, Harapan Muda, Indonesia
Muda, Persatuan Tukang Gunting Rambut Indonesia (Pertugri), Angkatan Pemuda
Indonesia, Pos Telegram dan Telepon (Api Postel), Barisan Berani Mati (BBM),
Angkatan Muda Pembangunan Indonesia (AMPI), Taman Kanak-Kanak Melati, Panti
Pengetahuan Rakyat, Balai Pengetahuan Rakyat, Mimbar Pengetahuan Rakyat,
Ichwanul Muslim, Lembaga Pendidikan Nasional (LPN), Gerpi (Veteran), Angkatan
Pemuda Pembangunan Indonesia (APPI), dan Persatuan Pamong Desa Indonesia
(PPDI).
Karena yang diyakini sebagai
dalang G30S adalah PKI maka PKI
dianggap harus bertanggung jawab, demikianlah selanjutnya peristiwa “G30S”
diberi tambahan jadi “G30S/PKI”; dan pihak pemerintah khususnya militer
kemudian mengadakan netralisasi menyeluruh dari pengaruh anggota dan simpatisan
PKI .
Di dalam kerangka pembersihan anasir PKI itu kondisi
kehidupan sosial masyarakat Jawa Timur berubah menjadi aksi saling teror. Pembakaran
dan pembunuhan terjadi di mana-mana. Para buronan politik nasional yakni
anggota dan simpatisan PKI di Jawa Timur seperti di Banyuwangi, Bondowoso,
Blitar, Jember, Kediri, Kertosono, Malang, Madura, Surabaya, Situbondo, dan
lain-lain, ditangkap; para anggota
organisasi sayap pendukung PKI di berbagai daerah Jawa Timur yang kebanyakan
tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, juga terpaksa ikut menanggung
peristiwa G30S yang menewaskan enam jenderal itu.
Gereja Katolik di tengah kekacauan politik dengan kerja
keras melalui para pastor paroki di daerah berusaha mengendalikan situasi setempat. Umat paroki diminta terutama menjaga
prasarana Gereja dari pihak-pihak mana pun dan
tidak melibatkan diri pada tindak kekerasan. Umat Katolik didorong untuk
ikut aktif mengatasi masalah utama kemanusiaan
yang dialami masyarakat luas, yaitu bahaya kelaparan. Kegagalan panen di
mana-mana karena bencana banjir pada paruh terakhir 1965 selain telah menyebabkan
wabah kelaparan dan juga membangkitkan wabah penyakit cacar air, tipus, kolera
dan disentri. Gereja mengulurkan tangan dengan membagikan sumbangan pangan dan
obat-obatan bantuan luar negeri.
PKI adalah paham atau ideologi yang menyebarkan ajaran
ateisme. Untuk membendung bahaya laten dari infiltrasi ideologi PKI di tengah
masyarakat, pemerintah melalui Angkatan Darat “mengharuskan” setiap rakyat
Indonesia wajib memeluk atau menganut salah satu agama yang diakui oleh
pemerintah. Dasar dari kewajiban ini sering dikaitkan dengan TAP MPRS No.
XXVII/1966, meskipun kalau dicermati baik-baik ketetapan ini sebenarnya lebih
memberi tekanan bahwa agama harus menjadi mata pelajaran wajib dari sekolah
dasar sampai dengan universitas-universitas negeri. Adapun bunyi lengkap dari Tap
MPRS No. XXVII/1966 BAB I Tentang Agama Pasal 1 adalah sebagai berikut: Mengubah
diktum Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 Bab II Pasal 2 ayat (3), dengan
menghapuskan kata "... dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak
ikut serta, apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatannya......"
sehingga kalimatnya berbunyi sebagai berikut "menetapkan pendidikan agama
menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai
dengan universitas-universitas negeri".
Tap MPRS tersebut adalah revisi dari Tap MPRS No. II/MPRS/1960
khususnya Pasal 1 tentang Bidang Mental/Agama/Kerohanian/Penelitian pada ayat
ke 3 yang berbunyi: “Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di
sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-universitas
Negeri dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila
wali murid/murid dewasa menyatakan keberatannya”.
Akibat dari pelarangan ideologi PKI, penafsiran yang
berkembang dalam masyarakat tentang Tap No. XXVII/MPRS /1966, dan karena rasa
takut dituduh sebagai pendukung PKI atau dianggap ateis maka banyak masyarakat
Indonesia berbondong-bondong memeluk agama-agama yang diakui oleh pemerintah.
Mengikuti ketetapan MPRS tentang pemulihan hubungan
luar-negeri yang bebas aktif diadakan normalisasi hubungan Indonesia dan
Malaysia dimulai dengan perundingan Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang
menghasilkan Kesepakatan Bangkok. Inti kesepakatan itu adalah: Rakyat Sabah diberi kesempatan
menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia. Pemerintah
kedua belah pihak Indonesia dan Malaysia menyetujui pemulihan hubungan
diplomatik. Permusuhan di antara kedua belah pihak dihentikan.
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur
Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura juga dipulihkan kembali. Pada
tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas
Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Dan pemerintah
Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan
diplomatik dengan Indonesia.
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 menugaskan Letjen Soeharto
untuk membentuk Kabinet Ampera demi kelancaran pemerintahan. Dengan Keputusan
Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 maka dibentuklah Kabinet Ampera. Namun
ternyata di dalam pelaksanaannya timbullah dualisme kepemimpinan nasional. Di dalam
kabinet baru itu Soekarno secara hukum tetap sebagai presiden sekaligus menjabat
sebagai pimpinan kabinet, sedang dalam kenyataannya yang menjadi pemimpin
sebagai ketua presidium kabinet adalah Letjen Soeharto, yang merangkap jabatan Menteri Utama Bidang
Pertahanan Keamanan dan Menteri Panglima Angkatan Darat.
Tugas Pokok Kabinet Ampera ialah Dwi Darma, yaitu : (1)
Menciptakan kestabilan sosial politik. (2) Menciptakan kestabilan sosial ekonomi.
Untuk itu Kabinet Ampera melaksakan Program Catur Karya, yaitu : (a) Memperbaiki
peri-kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan; (b) Melaksanakan Pemilihan Umum dalam batas
waktu seperti yang dicantumkan dalam Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 bertanggal
5 Juli 1966; (c) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk
kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor XII / MPRS / 1966; dan
(4) Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya.
Frans Seda, Ketua Umum Partai Katolik, menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Ampera
I, menghadapi masalah inflasi yang
sangat tinggi, harga barang naik sekitar 500 persen setahun. Kurs pasar gelap
untuk rupiah terhadap dolar Amerika Serikat jatuh dari Rp 5.100 awal tahun 1965
menjadi Rp 50.000 pada awal tahun 1966. Defisit saldo neraca pembayaran dan
defisit keuangan pemerintah sangat besar bahkan jumlah pendapatan pemerintah 1
berbanding 3 dengan pengeluaran.
Frans Seda berusaha membawa ekonomi Indonesia ke arah yang
lebih stabil dengan menerapkan kesatuan penganggaran Pemerintah serta model
anggaran penerimaan dan belanja yang berimbang. Haluan kebijakan dari
pencetakan uang dalam menyiasati defisit diubah menjadi anggaran berimbang.
Anggaran pengeluaran (rutin dan pembangunan) disesuaikan dengan penerimaan
negara. Penerimaan didongkrak dengan menaikkan harga bahan bakar minyak. Semua
langkah ini dilakukan setelah pemerintah melakukan pemotongan nilai uang dalam
upaya mengendalikan hiperinflasi yang terjadi.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 menindaklanjuti Persetujuan
Bangkok dilakukan penandatangan
persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta
oleh Menteri Utama Bidang Politik Adam Malik (Indonesia) dan Menteri Tun Abdul
Razak (Malaysia).
Heru Atmodjo, Letkol Udara, wakil komandan G30S/1965, dalam
sidang pengadilan Mahmilub G30S 1965 dinyatakan bersalah dan mendapat hukuman seumur
hidup dengan Putusan Mahkamah No. PTS-010/MLB-VII/H.A/1966, tanggal 12 Agustus
1966.
Secara umum, untuk mengatasi kondisi ekonomi yang kacau diambil
langkah-langkah: membarui kebijakan
ekonomi, keuangan, dan pembangunan menurut Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966. Yakni program
penyelamatan ekonomi nasional, terutama dengan stabilisasi dan rehabilitasi
ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi adalah mengendalikan inflasi
supaya harga barang-barang tidak terus meningkat. Sedang rehabilitasi ekonomi
adalah perbaikan secara fisik fasilitas dan prasarana ekonomi. Hakikat dari
kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin
berlanjutnya demokrasi ekonomi menuju
terwujudnya masyarakat adil dan makmur sesuai Pancasila.
Untuk itu perlu
dobrakan atas kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang
menyebabkan kemacetan: yaitu rendahnya penerimaan negara; tingginya dan tidak efisiennya pengeluaran
negara; banyaknya dan tidak efisiennya
ekspansi kredit bank; banyaknya
tunggakan utang luar negeri; penggunaan
devisa bagi impor yang kurang mendukung kebutuhan prasarana; debirokrasi untuk memperlancar perekonomian;
memerhatikan kebutuhan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tsb, maka
pemerintah menempuh cara-cara :
operasi pajak; memperbarui
sistem pemungutan pajak, dengan memerhatikan keadilan atas pajak pendapatan maupun kekayaan pribadi dengan
cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang; penghematan pengeluaran pemerintah (untuk pengeluaran
konsumtif dan rutin), menghapus subsidi bagi perusahaan negara; membatasi kredit bank dan menghapus kredit impor.
Paus Paulus VI pada 6 Agustus 1966 menerbitkan surat Motu
Proprio Ecclesiae Sanctae tentang
pedoman pelaksanaan Konsili Vatikan II sehubungan dengan dokumen-dokumen Dekrit
tentang pelayanan Pastoral para Uskup dalam Gereja “Christus Dominus”, Dekrit
tentang pelayanan dan hidup para imam “Presbiterorum Ordinis”, Dekrit tentang penyesuaian dan pembaruan hidup
religius “Perfectae Caritatis”, dan
Dekrit tentang kegiatan misioner Gereja “Ad Gentes”.
Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan
"bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali.
Pada 28 September 1966 Indonesia secara
resmi kembali diterima dan aktif dalam keanggotaan PBB, setelah tahun
sebelumnya Presiden Soekarno menyatakan keluar dari organisasi internasional
tersebut. Duta Besar L.N. Palar menjadi Wakil Tetap RI untuk PBB.
Ulung Sitepu, Brigjen TNI, dinyatakan bersalah dalam sidang
Mahmilub Medan dengan Putusan Mahkamah No. PTS-012/I/MHL/1966, tanggal 18
September 1966 dan dijatuhi hukuman mati. Ulung Sitepu adalah Gubernur Sumatera
Utara yang diusung PKI sejak 1963. Sitepu menyatakan dukungannya terhadap G30S 1965
dengan mengucapkan selamat kepada pemimpinnya, Untung Syamsuri, dan bersumpah
setia kepada gerakan tersebut. Setelah penumpasan G30S, Sitepu melarikan diri dari Medan, ibu
kota Sumatera Utara, ke Kabanjahe di Karo. Ia ditangkap dan dibawa ke Jakarta
pada tanggal 4 November 1965. Ia dibawa kembali ke Medan untuk diadili.
Selain kondisi ekonomi yang sangat parah, Indonesia terbebani
utang luar negeri yang jumlahnya
mencapai Rp 2,2-2,7 miliar dari masa
lalu, sedang keuangan negara tidak memungkinkan pembayaran utang yang jatuh
tempo, maka pemerintah perlu mendapatkan persetujuan dari negara-negara kreditor untuk menunda dan
mengatur kembali jadwal pembayaran kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20
September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan negara-negara
kreditor di Tokyo. Pemerintah mengusahakan agar perolehan devisa ekspor digunakan untuk membayar angsuran
utang, dan nilai yang sama itu sekaligus
menjadi kredit impor bahan baku dari
negara kreditor. Selama masa penjadwalan pembayaran utang diharapkan Indonesia
tidak dibebani bunga utang. Permintaan ini diharapkan mendapat persetujuan dari negara-negara kreditor.
Perundingan pun dilanjutkan di Paris bulan Desember 1966,
Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut: (1) Pembayaran pokok utang dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970
sampai dengan 1999; (2) Pembayaran dilaksanakan
secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya; (3) Selama masa pembayaran angsuran utang tidak
dikenakan bunga; (4) pembayaran utang
dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor
maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.
Walaupun ikut mengalami dinamika situasi bangsa, masyarakat
dan negara, namun secara umum hirarki Gereja Katolik di Indonesia masih
disibukkan kegiatan memelajari kembali, sosialisasi dan upaya menerapkan
hasil-hasil Konsili Vatikan II. Seperti
telah dikatakan di depan, dalam kekacauan akibat G30S pada umumnya umat katolik
di akar rumput sehari-hari bersama
gembala rohani mereka lebih bersikap menjaga diri, menjaga prasarana gereja,
menjaga kesejahteraan umat sendiri ketika kesulitan ekonomi datang
bertubi-tubi, dan ikut membagikan sumbangan pangan bantuan dari luar negeri untuk
masyarakat umum di sekitar gereja paroki demi melawan bahaya kelaparan, nutrisi
untuk bayi dan anak-anak, pakaian bekas layak pakai serta obat-obat sederhana
untuk mengatasi wabah penyakit kulit, kolera dan disentri. Mereka bekerja dalam
diam, dalam keprihatinan atas keadaan umum yang sulit dan kacau, yang di
sebagian wilayah Keuskupan lokal malah ditandai dengan kekejaman dan penumpahan
darah.
Di wilayah-wilayah Keuskupan tertentu itu keprihatinan
sedemikian mendalam di tengah masyarakat yang juga dicekam rasa ngeri dan
ketakutan sehingga tidak memberikan peluang untuk sesuatu yang menonjol. Jika
oleh sebagian orang sikap demikian dianggap “pengecut”, umat katolik menilai
sikap mereka sendiri lebih sebagai pelaksanaan keutamaan iman untuk berhati-hati dalam
situasi yang tidak jelas, namun tetap mengulurkan kasih berpihak kepada mereka
yang miskin dan membutuhkan karena menjadi korban keadaan. Di pihak lain secara nasional, belum ada koordinasi
di antara keuskupan-keuskupan yang tersebar di seluruh Indonesia dan
berbeda-beda kondisinya, sementara kepemimpinan tertinggi ada pada Uskup
masing-masing.
Dalam sidang Mahmilub Jakarta, Dr. Soebandrio, Wakil Perdana
Menteri I/Menteri Luar Negeri RI, disebut sebagai anggota Presidium Dewan
Revolusi Indonesia, dinyatakan bersalah
dan mendapat hukuman mati dengan Putusan Mahkamah No. PTS-013/MLB-XI/BDR/1966,
tanggal 23 Oktober 1966. (Akan tetapi vonis itu dikemudian hari dikurangi
menjadi hukuman seumur hidup. Pada tahun 1995, ia dibebaskan karena alasan
kesehatan. Ia meninggal dunia pada tahun 2004).
Sidang MAWI baru diselenggarakan di Girisonta tanggal 15-26
Oktober 1966. Para Uskup menanggapi
situasi baru di dalam negeri memberikan resolusi (seruan) kepada kaum awam,
organisasi Katolik, dan para rohaniwan. Awam didorong tetap terlibat dalam karya kemasyarakatan dan
ikut membangun masyarakat sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Gereja,
sehingga kerasulan awam semakin nyata dan dirasakan terutama di bidang politik,
sosial, ekonomi, dan sebagainya. Awam dalam keterlibatannya di bidang-bidang
itu adalah atas nama organisasi atau atas nama pribadi, bukan atas nama Gereja.
Organisasi yang menyandang nama Katolik, khususnya Wanita Katolik dan Pemuda Katolik
diharapkan bekerjasama dengan baik dan pertama-tama berjuang untuk kepentingan
umum menurut norma-norma ajaran Gereja. Sedangkan kepada para rohaniwan
diserukan agar memerankan diri sebagai moderator bagi organisasi-organisasi
Katolik dengan tugas utama menyemangati, menasehati, dan membantu, tidak
menguasai, memimpin dan mengambil alih fungsi pengurus awam.
Sikap dan perhatian umat Katolik selama kekacauan politik
dan dampak sosial pembersihan unsur komunisme dalam masyarakat mendapat simpati
dan tanggapan positif dari rakyat kebanyakan. Banyak orang ingin memeluk agama
Katolik, belajar dan mau dibaptis. Jumlah umat katolik hampir di semua daerah
bertambah dengan pesat. Para katekis dan pastor kewalahan menerima banyaknya
katekumen yang terus mengalir, mengajar agama
dan menyiapkan mereka agar layak menerima baptis, terutama di daerah yang dihuni oleh
sejumlah besar orang Tionghoa dan etnis Jawa.
Dalam hal ini indikator tambahan umat katolik yang paling
tepat adalah jumlah baptisan baru
yang tercatat. Angka jumlah orang katolik di suatu wilayah pada tahun tertentu
dalam masa antara 1965-1970 misalnya di Jakarta, walaupun sering dikutip, tidak dapat dijadikan indikator mutlak karena
di dalamnya juga termasuk angka urbanisasi, atau mobilisasi perpindahan umat
dari daerah ke daerah termasuk ibukota, yang dalam masa itu sangat signifikan.
Sekedar contoh berikut catatan jumlah angka baptisan baru di Gereja Katedral
Malang antara 1962-1971:
1962 |
1963 |
1964 |
1965 |
1966 |
1967 |
1968 |
1969 |
1970 |
1971 |
304 |
199 |
212 |
244 |
260 |
405 |
409 |
348 |
258 |
227 |
Di paroki-paroki lain terutama di Jawa Tengah, di Nusa
Tenggara Timur, angka baptisan baru antara 1967-1970 jauh lebih besar. Tambahan
umat membawa tekanan pada karya pelayanan pastoral, baik sumber daya manusia,
prasarana maupun dana yang diperlukan.
Ordo Saudara Dina Fransiskan (OFM) mendirikan Lembaga
Biblika Saudara-saudara Dina, suatu
lembaga untuk menerjemahkan dan menerbitkan Kitab Suci dan buku-buku
mengenai Kitab Suci dalam bahasa Indonesia. Didirikannya Lembaga Biblika itu dimaksudkan
untuk menanggapi imbauan Konsili Vatikan II: “Bagi kaum beriman kristiani,
jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar” (Dei Verbum 22). Dengan demikian, kaum beriman dapat memenuhi
anjuran untuk “sering kali membaca Kitab Suci dan memperoleh pengertian yang
mulia akan Yesus Kristus … Sebab, tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak
mengenal Kristus” (Dei Verbum 25).
Uskup Ende Gabriel
Manek SVD dan Paul Sani SVD Uskup
Denpasar setelah Konsili Vatikan
II meluncurkan gagasan Indonesianisasi pendekatan pastoral dan tenaga
pelaksananya, terutama melalui silabus pendidikan seminari. Karena belum cukup
sosialisasi hasil-hasil Konsili, dan kesempatan belum leluasa untuk mencerna
dan memahami prinsip-prinsip pembaruan dari Konsili, mereka mendapat tentangan kuat dari para
misionaris yang berasal dari negara lain baik pria dan wanita yang bersifat
konvensional dan mengalami guncangan budaya akibat gebrakan kedua Uskup dan
belum siap menerima pembaruan. Imam-imam
putra daerah asli yang mendukung ide Indonesianisasi dijauhkan dari pusat
pendidikan calon imam.
Gereja lokal di Irian Barat ditingkatkan menjadi hirarki
mandiri pada 3 Desember 1966, ketika
Vikariat Apostolik Merauke ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Merauke,
Vikariat Apostolik Soekarnopura ditingkatkan menjadi Keuskupan Soekarnopura dan
Prefektur Apostolik Manokwari ditingkatkan menjadi Keuskupan Manokwari. Ketiga
keuskupan baru, sesuai dengan sejarahnya merupakan pemekaran dari Vikariat
Apostolik Batavia di awal abad keduapuluh, berada dalam kesatuan Majelis
Waligereja Indonesia, MAWI. Sejalan dengan perubahan status ini, semangat,
jiwa, dan ajaran Konsili Vatikan II mulai diusahakan agar dimiliki setapak demi
setapak oleh para petugas pastoral baik imam maupun awam dan biarawan-biarawati.
Seraya melengkapi infrastruktur fisik diusahakan membangun infrastruktur Umat Allah menurut paham dan
ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja.
Omar Dani, Laksamana Madya Udara, Menteri/Panglima Angkatan Udara,
mendapat hukuman mati setelah dinyatakan bersalah dalam sidang Mahmilub
G30S/PKI, dengan Putusan Mahkamah No. PTS-017/MLB/XIV/OD/1966, tanggal 23
Desember 1966. Sebagai Panglima Angkatan Udara Omar Dhani membolehkan kawasan
militer Halim Perdana Kusuma dijadikan pangkalan dan memberi fasilitasi G30S
1965. (Nanti pada tahun 1980 hukumannya diubah
menjadi seumur hidup. Setelah itu, bersama dengan Soebandrio, ia mendapat grasi
yang dikeluarkan pada 2 Juni 1995. Akhirnya, ia dapat menghirup udara bebas
pada 15 Agustus 1995 setelah meringkuk dalam penjara selama 29 tahun)
Pada 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap
pidato pertanggungjawaban presiden yang disebut “PelNawaksara”, namun tidak
diterima oleh MPRS sesuai Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. “Keputusan”
MPRS berbeda dengan “ketetapan” MPRS karena keputusan MPRS itu hanya bersifat
internal MPRS. Penolakan atas pidato Pelengkap Nawaksara berasal dari beberapa
pimpinan MPRS, bukan hasil sidang paripurna. Selanjutnya pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang
penyerahan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966.
Supardjo, Brigjen TNI, dengan Putusan Mahkamah
No.PTS-19/MLB-II/SPD/1967, tanggal 12 Maret 1967 mendapat hukuman mati setelah
dinyatakan bersalah dalam Mahmilub G30S/PKI.
Sidang Istimewa MPRS tanggal 7-12 Maret 1967 mengakhiri
dualisme pemerintahan setelah tanggal 22
Februari 1967 di mana Presiden menyerahkan kekuasaannya sebagai pengemban
amanat MPRS. Hasil sidang MPRS : Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan
Presiden RI Soekarno; Menarik kembali
mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD
1945; Mengangkat pengemban Tap Nomor IX
/ MPRS / 1966 tentang supersemar sebagai “pejabat” presiden hingga terpilihnya
presiden baru menurut hasil pemilihan umum. Keputusan ini dituangkan dalam Tap
No. XXXIII/MPRS/1967. Berdasarkan keputusan itu Soekarno dan keluarganya harus
meninggalkan Istana Negara Jakarta. Hingga Desember 1967 Soekarno masih boleh
tinggal di Istana Bogor, namun kemudian pindah di kediamannya sendiri di Jl.
Batutulis, Bogor, konon untuk karantina berhubung “kesehatan yang makin
memburuk”.
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di
Amsterdam, Belanda, membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar
negeri dan kemungkinan penyediaan
bantuan hibah maupun pinjaman dari kalangan negara-negara donor dengan syarat
lunak, yang selanjutnya dikenal sebagai
IGGI (Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia
mengambil langkah itu untuk memenuhi kebutuhannya dalam rangka program-program
stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta persiapan pembangunan.
Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967 menerbitkan Ensiklik
Populorum Progressio (PP) tentang perkembangan bangsa-bangsa. Gereja peduli
pada usaha bangsa-bangsa untuk membebaskan dri dari kelaparan, kemiskinan,
wabah penyakit dan kebodohan; pada upaya bangsa-bangsa memperbaiki peradaban
dan mutu kehidupan; pada perjuangan mewujudkan pengembangan di segala bidang.
Paus menyerukan upaya terpadu dalam pembangunan demi mendorong perkembangan
masyarakat manusia secara terorganisasi. Bangsa-bangsa diharapkan lebih solider
membantu sesama bangsa lainnya yang sedang berkembang melalui kerjasama
ekonomi, teknologi dan sosial. Ada butir-butir yang inspiratif disandingkan
dengan situasi Indonesia semasa: (31). Akan tetapi siapa pun tahu, bahwa
pemberontakan-pemberontakan revolusioner – kecuali bila jelas-jelas ada tirani
yang berlangsung lama dan banyak merugikan hak-hak asasi pribadi, serta
menimbulkan kerugian yang membahayakan kepentingan umum nasional – akan
mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran baru terhadap keadilan, bentuk-bentuk
ketidakadilan yang baru, dan bencana-bencana yang baru. Situasi kejahatan yang
ada, dan memang itu jahat, jangan ditangani dengan cara yang menimbulkan situasi
yang justru lebih buruk lagi”. (32)
“Dalam hal ini kami ingin dimengerti
dengan jelas: situasi zaman sekarang harus ditanggapi dengan berani, dan
pelbagai bentuk ketidakadilan yang menyertainya harus ditantang dan diatasi.
Perkembangan yang berkelanjutan memerlukan langkah-langkah pembaharuan yang
berani dan akan menghasilkan perubahan-perubahan yang mendalam. Keadaan kritis
harus segera sungguh diperbaiki Siapa pun wajib bersedia membantu demi
terlaksananya tugas itu, khususnya mereka yang mampu berbuat banyak sekali
karena pendidikan, jabatan atau kewenangan mereka. Mereka wajib memberi teladan
baik dengan menyumbangkan sebagian harta-milik mereka, seperti telah dijalankan
oleh berbagai rekan Uskup kami. Dengan
begitu mereka akan tanggap terhadap aspirasi-aspirasi sesama dan setia terhadap
Roh Kudus, karena “ragi Injil pun telah dan masih membangkitkan dalam hati
manusia tuntutan tak terkendali akan martabatnyas.” (33)”
Prakarsa perorangan melulu dan ikut berperannya persaingan tidak akan menjamin
perkembangan yang memuaskan. Kita tidak dapat terus saja meningkatkan kemewahan
dan kekuasaan kaum kaya, sementara mereka yang dalam kemiskinannya serba
kekurangan justru kita langgar hak-haknya dan mereka yang tertindas kita
perberat penderitaannya. Program-program yang diatur dengan baik sungguh
dibutuhkan untuk “mengarahkan, mendorong, mengkoordinasi, melengkapi dan
mengintegrasikan” usaha orang-orang perorangan maupun organisasi-organisasi antara. Termasuk tugas-kewenangan pemerintah:
menetapkan dan meng-gariskan sasaran-sasaran yang diinginkan, rencana-rencana
yang perlu dilaksanakan, dan metode-metode
yang harus digunakan untuk mewujudkannya. Termasuk tugasnya pula mendorong
usaha-usaha mereka yang melibatkan diri dalam kegiatan bersama itu. Akan tetapi
pemerintah harus mengusahakan juga, supaya prakarsa perorangan dan
organisasi-organisasi antara melibatkan
diri dalam usaha itu. Dengan demikian pemerintah akan menghindari terwujudnya
kolektivitas yang menyeluruh dan bahaya-bahaya perekonomian berencana, yang
dapat mengancam kebebasan manusiawi dan merintangi pelaksanaan hak-hak asasi
manusia.”
Yayasan Sosial Tani Membangun (YSTM) didirikan di Jakarta
pada 24 Mei 1967 oleh Ikatan Petani Pancasila, dimaksudkan sebagai badan hukum
dan pengelola proyek-proyek dari Ikatan Petani Pancasila (IPP). IPP sendiri adalah
bagian dari Gerakan Sosial Pancasila (GSP) yang didirikan pada 1955 setelah Kongres
Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) tanggal 27 Desember 1954. Dalam GSP ini
kemudian sejumlah organisasi dilahirkan: (1) Ikatan Buruh Pancasila (1954); (2)
Ikatan Petani Pancasila (1958); (3) Ikatan Paramedis Pancasila (1959); (4)
Ikatan Usahawan Pancasila (1959) dan (4) Ikatan Nelayan Pancasila (1964). Oleh
Gereja Katolik, GSP dan
organisasi-organisasi di dalamnya termasuk IPP didorong dan didukung keberadaannya
bukan sebagai Organisasi Kemasyarakatan Katolik yang berasaskan kekatolikan,
melainkan Organisasi Kemasyarakatan Umum yang berasaskan Pancasila dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Maka anggota dan pengurusnya bisa beragama apapun,
sejauh punya niat memberdayakan dan
memperjuangkan kepentingan Buruh, Petani, Nelayan dan kelompok-kelompok rentan
lain, yang independen dari aliran politik partai, agama dan ikatan primordial
lain. Dasarnya adalah prinsip solidaritas
dan subsidiaritas, yang ditekankan dalam
Ajaran Sosial Gereja Katolik terutama dalam Ensiklik Mater et Magistra dari Paus Johannes XXIII (15 Mei 1961). Gereja Katolik
pada awalnya mengutus Rm. Albrecht Karim Arbi SJ sebagai pendamping. YSTM
mengawali kegiatan dengan mengelola dua kegiatan yaitu : Pertama, pengembangan
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) /Self
Help Group (SHG) ke arah pemberdayaan ekonomi rakyat lemah dan miskin.
Kedua, penyebaran informasi pertanian yang kemudian nanti berkembang menjadi Majalah Trubus (1969), media komunikasi
pembangunan pertanian.
Paus Paulus VI mengangkat Uskup Agung Semarang Mgr Yustinus
Darmoyuwana menjadi Kardinal Indonesia
pertama pada Konsistori 26 Juni 1967. Konsistori adalah pertemuan kolegium para
kardinal, yang adalah para penasehat Paus. Setiap kardinal dalam Gereja Katolik
jika Paus wafat berhak mengikuti konklaf pemilihan Paus baru, dengan hak untuk
memilih dan dipilih dengan syarat usianya kurang dari 80 tahun. Mgr Yustinus
Darmoyuwana dilantik menjadi Kardinal di
Kapel Sistina Vatikan bersama dengan 26 lainnya, antara lain Mgr Karol Wojtila,
yang dikemudian hari akan terpilih menjadi Paus (Paus Yohanes Paulus II).
Sebagai Kardinal, Yustinus Darmoyuwana mendapat tugas khusus membantu Paus di bidang Inkulturasi Liturgi dan
Hubungan dengan umat non-kristiani.
Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor
SE-06/Pres.Kab/6/1967, tanggal 28 Juni 1967 mengatur penggunaan istilah
“Tionghoa” dan “Cina” yang lazim digunakan dalam masyarakat untuk menyebut negara
dan warga yang punya hubungan primordial
dengan kawasan Asia Timur itu. “...untuk mencapai uniformitas dari
efektivitas, begitu pula untuk menghindari dualisme di dalam peristilahan di
segenap aparat Pemerintah, baik sipil maupun militer, ditingkat Pusat maupun
Daerah kami harap agar istilah ‘China’ tetap dipergunakan terus, sedang istilah
‘Tionghoa/Tiongkok’ ditinggalkan." Bagi masyarakat yang bersangkutan,
sebutan bukan masalah. Ada yang senang disebut Tionghoa, ada juga yang lebih
suka disebut Cina. Namun bagi yang mengetahui sejarah kata, ‘China’ atau Cina
mengandung konotasi merendahkan; kata itu dipopulerkan oleh Inggris ketika
mengalahkan Tiongkok dalam Perang Candu. Secara budaya dengan demikian mulai
dirasakan diskriminasi atas warga keturunan Tionghoa.
Yayasan Pendidikan dan Pelatihan Manajemen (Yayasan PPM) didirikan
pada 3 Juli 1967 di Jakarta atas prakarsa Rm Dr AM Kuylaars Kadarman SJ dan FG
Hendricks. Pada tahun 1966 Indonesia
kekurangan manajer yang profesional mampu mengelola perusahaan. Hanya ada satu
lembaga saja yang berusaha memenuhi
kebutuhan itu, yaitu Lembaga Manajemen Universitas Indonesia (LMUI) dari
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tentu saja kurang memadai. Kemudian Rm Dr AM Kuylaars Kadarman SJ mengembangkani
ide untuk mendirikan sekolah bisnis di Indonesia seperti Harvard Business
School di Amerika Serikat. Yayasan PPM kemudian mendirikan organ operasional,
yaitu Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Manajemen, yang lazim disebut PPM. Yayasan PPM kendati timbul dari gagasan Rm AM
Kuylaars SJ, dari awal didesain sebagai
suatu lembaga terbuka yang dijiwai Pancasila, maka dari saat
pendiriannya sudah didukung oleh TB Simatupang (mantan Jendral TNI yang waktu
itu menjadi Ketua Dewan Gereja-gereja Indonesia/DGI) mewakili komponen Kristen
Protestan, dan Prof Dr Bahder Djohan, mewakili komponen Islam. PPM (atau
Lembaga PPM) menyelenggarakan kursus-kursus manajemen singkat (40 jam) dengan
pendekatan studi kasus modern yang
praktis, aplikatif dan terstruktur (baik untuk level supervisor, level
manajemen madya/manajer fungsional dan departemen atau divisi, maupun manajemen
puncak/para direktur) untuk utusan-utusan perusahaan dalam rangka meningkatkan
kemampuan manajerial, profesionalisme dan kepemimpinan para manajer dan calon manajer, demi kemajuan
bisnis dan keberhasilan proyek-proyek pembangunan ekonomi. Selain itu PPM juga
menyediakan layanan konsultansi manajemen, atau pembinaan manajemen, berupa
jasa pendampingan penerapan manajemen modern dan pemecahan masalah manajemen di
perusahaan-perusahaan, baik badan usaha swasta, badan usaha milik negara maupun
koperasi.
PPM mengambil bagian dalam usaha pembangunan menuju
tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui pengembangan dan
pengamalan manajemen berdasarkan ilmu pengetahuan dan nilai sosial budaya yang
luhur dijiwai Pancasila.
Indonesia bersama dengan Filipina, Malaysia, Singapura, dan
Thailand menandatangani Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 yang
berisi kesepakatan untuk membentuk ASEAN (Asosiasi Bangsa-bangsa Asia
Tenggara).
Sementara kerjasama damai dijalin di Asia Tenggara, di
beberapa tempat di Asia terjadi konflik-konflik. Gerakan Naxalite di Bengala Barat, India, yang pada mulanya
adalah perjuangan bersenjata dalam rangka reforma agraria antara suku-suku
bersenjata yang didukung Partai Komunis India aliran Marxist melawan para tuan
tanah, berbenturan dengan sesama komunis dari suku-suku Bengala timur yang
dipengaruhi paham Mao Zedong (RRT) dan didukung kaum muda perkotaan.
Perseteruan kedua kelompok berideologi komunisme yang berbeda menimbulkan
huru-hara yang mengundang operasi polisi, militer dan para-militer
berkepanjangan. Sementara itu terjadi
perang antara Israel dengan
negara-negara tetangga, Mesir, Jordan, dan Suria. Perang yang disebut Perang
Enam Hari itu melibatkan campur tangan negar-negara Arab: Iraq, Saudi Arabia,
Sudan, Tunisia, Maroko and Aljazair. Di
Afrika meletus perang saudara Nigeria.
Dari sidang Mahmilub G30s/PKI Singaraja, Tamuri Hidajat,
Peltu, seorang penggerak G30S 1965 di Bali, dengan Putusan Mahkamah No.
PTS-026/MLB-IX/SPD/1967, tanggal 30 September 1967 dijatuhi hukuman mati
setelah dinyatakan bersalah. Dalam persidangannya terungkap, setelah gagal
bergerak, antara Oktober-Desember 1965 sekitar 95% anggota PKI telah
“dihabisi”, diperkirakan jumlahnya sekitar 50.000 orang. Sumber di luar
persidangan memberi perkiraan sekitar 80.000.
Sidang Biasa Sinode Para Uskup Sedunia untuk yang pertama
kalinya diselenggarakan di Roma
pada 29 September - 29 Oktober
1967 dengan tema “pemeliharan dan penguatan Iman Katolik, keutuhannya,
dayakuasanya, pengembangannya, jalinan erat ajaran dan kesejarahannya”. Sinode
Uskup ini melaksanakan Konsili Vatikan II berkenaan dengan Kegembalaan
Universal Paus dalam kolegialitas dengan para Uskup (CD 5 dan AG 29). Sinode Uskup Sedunia ditetapkan
Paus Paulus VI dengan Surat Apostolik Motu Proprio Apostolica sollicitudo, 15
September 1965. Tujuan umum Sinode Uskup adalah
a) mempererat kesatuan dan memajukan kerjasama antara Paus dan para
Uskup sedunia; b) untuk mendapatkan informasi yang akurat dan langsung tentang
hal-hal dan situasi yang memengaruhi hidup rohani Gereja dan menentukan langkah
yang tepat di dunia masa kini; c) untuk
kesepakatan menyangkut pokok-pokok ajaran dan langkah tindakan yang diambil
dalam hidup Gereja (Bab II, Apostolica sollicitudo). Adapun tujuan khusus dan
langsungnya adalah a) pertukaran informasi yang bermanfaat dan b) membahas
topik khusus yang merupakan tema undangan Sinode pada waktu tertentu (Bab III, Apostolica sollicitudo). Hasil Sidang
Sinode Para Uskup Sedunia kali ini adalah kumpulan proposisi para Uskup berkenaan dengan “pemeliharan dan
penguatan Iman Katolik, keutuhannya, dayakuasanya, pengembangannya, jalinan
erat ajaran dan kesejarahannya” yang diserahkan untuk keperluan Paus. Proposisi
para Uskup Sedunia itu berkaitan dengan maraknya ateisme, krisis iman dan
berkembangnya opini-opini teologis yang keliru, dan menyarankan didirikannya
suatu komisi teologi internasional untuk membantu Kongregasi Pewartaan Iman dan
untuk meluaskan diskusi mengenai pendekatan-pendekatan penelitian teologi. Paus Paulus VI menindaklanjuti proposisi para
Uskup Sedunia dengan mendirikan Komisi Teologi Internasional pada 1969.
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia
membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan
itu diambil karena RRT dianggap
mencampuri urusan dalam negeri Indonesia ketika memberikan bantuan kepada G 30
S PKI untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan.
Pada 30 Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara formal menutup Kedutaan Besar
RI di Beijing.
Diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa semakin tegas
lagi sebagai dampak putusnya hubungan diplomatik Indonesia-RRT dengan keluarnya Inpres no. 14 tahun 1967
pada bulan Desember, yang melarang peragaan “agama, kepercayaan dan adat-istiadat
Cina” berdasar pertimbangan “bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di
Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat
menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap
warganegara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi,
perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar”. Inpres
berisi tiga poin utama: (1) Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama
dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas
culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan
secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. (2) Perayaan-perayaan
pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan
umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga saja. (3) Penentuan
katagori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama,
kepercayaan dan adat istiadat Cina diatur oleh menteri Agama setelah mendengar
pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM). Adapun pelaksanaan penertiban diserahkan
dalam wewenang Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung. Sejak itu agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah; kelenteng praktis ditutup. Perayaan hari raya Imlek secara publik
dilarang. Kesenian barongsai, tari naga liong, wayang potehi menghilang; pemakaian bahasa dan aksara Mandarin dilarang
di ranah publik.
Satu-satunya surat kabar yang menggunakan bahasa dan aksara
Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diamati oleh militer
Indonesia.
Situasi ini berdampak pada tambahan umat Katolik di
Indonesia. Semakin banyak warga Tionghoa dibaptis, gelombang demi gelombang,
memeluk agama Katolik.
Perkembangan umat
Katolik dan Kristen setelah G30S 1965 pada umumnya menimbulkan isyu
Kristenisasi di kalangan masyarakat Islam, yang memicu tindak kekerasan. Pada 1
Oktober 1967 terjadi “Peristiwa Makassar” di mana sejumlah besar anak muda
merusak 14 bangunan gereja, tiga sekolah, satu biara, kantor PMKRI, dan melukai
beberapa anak muda kristen. Sementara
itu Dewan Gereja-gereja Kristen Indonesia (DGI) sedang menyiapkan Sidang Raya
VI DGI di Makasar 29 Oktober – 8 November 1967 dan mendapat tentangan keras dari
masyarakat Islam setempat, yang menganggap rencana itu sebagai tindakan
provokasi Kristen terhadap mereka. Pemerintah berusaha mendinginkan situasi
dengan mengusahakan Musyawarah Antar Umat Beragama pada 30 November 1967 dihadiri
Presiden Soeharto dan Menteri Agama M. Dahlan. Musyawarah itu gagal membuat
kesepakatan apa pun karena tidak menemukan titik temu dalam soal “melarang
menjadikan sasaran pengajaran atau dakwah orang-orang yang sudah menjadi
penganut agama lain”, sebab baik Islam, Kristen maupun Katolik sama-sama
bersifat misioner. Mengacu pada Piagam Hak-hak Asasi Manusia PBB, orang bebas
untuk pindah agama.
Gerakan Koperasi direvitalisasi dan sesuai dengan Ketetapan
MPRS No. XIX/ MPRS/1966 dianggap perlu
untuk mencabut dan mengganti Undang-undang No. 14 tahun 1965 tentang
Perkoperasian yang dinilai a) menempatkan fungsi dan peranan koperasi sebagai
abdi langsung dari politik, sehingga mengabaikan Koperasi sebagai wadah
perjuangan ekonomi rakyat; b). menyelewengkan landasan-landasan azas-azas dan
sendi- sendi dasar Koperasi dari kemurniannya. Di lapangan unsur-unsur politik
sangat dominan dalam koperasi, dan
koperasi menjadi alat perjuangan
partai-partai politik yang mendirikannya. Anggota kehilangan kepercayaan
kepada Pengurus, karena Pengurus tidak lebih dari kendaraan yang digerakkan
oleh Partai Politik untuk kepentingan Partai, alih-alih memperjuangkan
kepentingan anggota.
Undang-undang baru
yang menggantikannya harus benar-benar dapat menempatkan Koperasi pada fungsi
yang semestinya yakni sebagai alat pelaksana dari Undang-undang Dasar 1945,
yaitu a) sebagai wadah organisasi perjuangan ekonomi rakyat yang berwatak
sosial dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional; dan b) menempatkan Koperasi
bersama-sama dengan sektor ekonomi Negara
dan Swasta bergerak di segala sektor kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa
dalam rangka memampukan dirinya bagi usaha-usaha mewujudkan masyarakat
Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila yang adil dan makmur.
Secara ideal, Koperasi Indonesia digadang menjadi satu-satunya wadah untuk menyusun perekonomian
rakyat berazaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan yang merupakan ciri khas tata kehidupan bangsa Indonesia. Koperasi
sebagai alat demokrasi ekonomi nasional dilaksanakan
dalam rangka politik umum perjuangan Bangsa Indonesia. Secara organisasi
Koperasi Indonesia menjamin hak-hak individu serta memegang teguh azas-azas
demokrasi di mana Rapat Anggota merupakan kekuasaan tertinggi dalam tata kerja Koperasi, demi menjaga geraknya pada aktivitas ekonomi, dan setia
pada azas kekeluargaan dan gotong-royong.
Dengan berpedoman kepada Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 Pemerintah memberikan
bimbingan kepada Koperasi dengan sikap seperti tersebut di atas, serta
memberikan perlindungan agar Koperasi tidak mengalami kekangan dari pihak
manapun, sehingga Koperasi benar-benar mampu melaksanakan pasal 33
Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya.
Untuk itu maka diterbitkanlah Undang-undang No 12/1967 pada
18 Desember 1967 yaitu Undang-undang tentang Pokok- pokok Perkoperasian sebagai
dasar hukum yang tetap bagi gerakan koperasi. Dengan Undang-undang ini hendak dihidupkan lembaga-lembaga koperasi berbadan hukum yang disokong
pemerintah sebagai prasarana pendukung program pembangunan pertanian dan
pedesaan, dalam bentuk Koperasi Unit Desa (KUD). Selanjutnya koperasi harus
bekerja berdasarkan ketentuan undang-undang umum mengenai organisasi usaha
(perseorangan, persekutuan, dsb.) serta mengikuti hukum dagang dan hukum pajak.
Pada akhir tahun 1967 jumlah koperasi di Indonesia mencapai
sekitar 64.000, dan dari jumlah itu sekitar 45.000 berbadan hukum. Namun setelah penertiban
sesuai dengan ketentuan UU No.12 tahun 1967, jumlah koperasi yang sah dan operasional menyusut tinggal sekitar 15.000 saja.
Dari awal tahun 1968 Perang Vietnam meluas. Australia,
Thailand, Laos dan Kampuchea ikut terlibat dengan alasan masing-masing. Di
Kampuchea timbul gerakan Khmer Merah yang didukung Vietnam Utara. Vietnam
Selatan menjadi arena pertempuran yang sengit.
Manuver Ofensif Tet
mengerahkan 70.000 pasukan dari Utara menyerbu 100 kota di Selatan secara
mendadak pada bulan Januari 1968. Vietnam Selatan bertahan dengan gigih terutama
di Khe Sanh dan menjadikan pertempuran menahan gerak maju Ofensif Tet sebagai pertempuran paling parah, dibantu AS yang
menempatkan sekitar 500.000 pasukan.
Hingga sejauh itu AS sudah kehilangan lebih dari 15.000 prajurit dan
lebih dari 100.000 luka-luka dan menimbulkan gerakan anti-perang di negeri asal. Banyaknya korban sipil menjadi
perhatian dunia, terutama dengan terjadinya Tragedi (pembunuhan massal) di Phong Nhi, Phong Nat, Ha My dan My
Lai. Perang Vietnam pada tahap ini mulai menyebabkan masalah pengungsi
lintas-batas negara menjadi keprihatinan internasional.
Kamaruzzaman bin Achmad Mubaidah alias Syam, Kepala Biro
Khusus PKI yang dianggap otak G30S/PKI, dalam sidang Mahmilub dinyatakan
bersalah dan dihukum mati dengan Putusan Mahkamah No. PTS-27/MLB/I/K/1968, tanggal
9 Maret 1968. Sejak G30S 1965 ia buron dan dicari aparat. Syam memiliki lima
nama alias, yaitu Djimin, Syamsudin, Ali Mochtar, Ali Sastra, dan Karman. Biro
khusus yang dipimpinnya mempunyai tugas rahasia mendekati, merekrut, memelihara
dan menghubungi anggota PKI di kalangan TNI. Karena itu ia tak pernah
mengungkapkan jati diri yang sebenarnya. Orang sulit memastikan apa pekerjaan
dan yang dilakukannya. Bahkan keluarga
dan lingkungan sekitarnya hanya mengenal dia sebagai seorang pengusaha pemilik
perusahaan genteng, bengkel, dan batu kapur. Ia berhasil ditangkap Maret 1967. Sam menjadi
saksi dalam banyak persidangan Mahmilub G30S/PKI, dan dari kesaksiannya disimpulkan
bahwa Syam adalah penggerak yang sebenarnya dari peristiwa G30S 1965. Ia
dieksekusi pada tahun 1986.
Di Jakarta 11 Maret 1968 Romo Wolters Daniels SJ secara
resmi mendirikan Sanggar Prathivi (kependekan dari Pecinta Radio Theater,
TV/AV/Film) sebuah studio (rumah produksi) yang bergerak di bidang pelayanan komunikasi sosial budaya. Romo Daniel pada 1 Desember
1967 dengan teknologi sederhana berhasil membuat pemancar radio yang
terprogram. Ini merupakan sebentuk
pelaksanaan dari Dekrit Inter Mirifica
Konsili Vatikan II (1963). Pada 1969 nanti banyak anak muda tergerak membuat
studio radio pemancar dengan teknologi mutilasi, artinya memreteli lampu-lampu
dan komponen dari pesawat radio yang sudah rusak untuk digunakan dalam rakitan
diagram radio pemancar. Sanggar Prathivi kemudian memproduksi drama radio yang
disiarkan banyak pemancar radio di luar RRI yang mengudara sejak 1969 di
seluruh Indonesia.
Dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 pada tanggal 27
Maret 1968 “Mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS Nomor
IX/MPRS/1966 sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya Presiden
oleh MPR hasil Pemilihan Umum”. Alasan yang dikemukakan mendasari ketetapan itu
adalah: (a). Bahwa sebagai akibat
gerakan kontra-revolusi G-80-S/PKI dan kegiatan subversif lainnya, Negara dan
Bangsa Indonesia tetap ada dalam keadaan gawat yang membahayakan keselamatan
Bangsa, Negara dan tujuan Nasional; (b). Bahwa karena kegiatan subversif
tersebut tugas pokok Kabinet Ampera dibawah pimpinan Pejabat Presiden, Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX,
Jenderal Soeharto, belum terlaksana selengkap-lengkapnya; (c). Bahwa tugas
pokok Kabinet Ampera ini ialah kestabilan Politik dan Ekonomi; (d). Bahwa
kestabilan Politik, sesuai dengan cita-cita Orde Baru, hanya dapat tercapai
melalui perubahan struktur kehidupan Politik yang secara radikal berlainan dan
pada struktur yang dipakai selama Orde Lama masih jaya; (e). Bahwa kestabilan
Ekonomi hanya dapat direalisir setelah tercapai kestabilan Politik; (f). Bahwa
kestabilan Politik, Ekonomi dan Pertahanan Keamanan hanya dapat diusahakan di
bawah Pimpinan Nasional yang kuat, yang mempunyai Program yang tegas dan
keleluasaan kerja yang cukup luas; (g). Bahwa kemantapan psikologis Rakyat dan
kepercayaan Luar Negeri akan bertambah besar, jikalau Pejabat Presiden dengan
segala kekuasaannya diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Musyawarah Umum Warga I diselenggarakan ISKA setelah di
berbagai daerah terbentuk Dewan Pimpinan Cabang pada 11-14 April 1968 di
Surabaya. Musyawarah menegaskan tugas-tugas ISKA yaitu: (1) memelopori dan
meluaskan sikap memecahkan masalah secara konsepsional, profesional, dan
operasional; (2) sesuai profesi kesarjanaan dan kemampuan intelektual
memelopori perubahan sikap masyarakat dari sikap mementingkan status dan
simbol-simbol, menjadi sikap mengutamakan prestasi; (3) membuka dan meluaskan
kesadaran sarjana katolik sebagai warga negara yang bertanggungjawab seraya
memupuk kenberanian moral dalam mengemukakan pendapat dan membela kebenaran.
Selain para pendiri, Drs. Loo S.H. Ginting, Drs Anton M. Moeliono dan Lim Peng
Liong SH, tampil para penggerak seperti K. Sindhunata SH, Drs Que Sian Koen,
Drs Jacob Oetama, Drs, J, Adisubrata, Auwjong Peng Koen SH, Drs. Djoko
Soekaryo, Oetoro SH, dr. Soerojo, Dr. J. Riberu, Ir Leo Soesilo, Drs Leo
Rahdian dan lain-lain. Para pendiri dan penggerak ISKA terlibat aktif dalam
mendirikan dan mengembangan universitas-universtas Katolik, dalam menerbitkan
artikel-artikel dan buku-buku ilmiah serta dalam kegiatan penyiaran. ISKA juga
menjalin hubungan dengan International
Catholic Movement for Intelectual and Cultural Affairs (ICMICA)- Pax
Romana, Jenewa, Swiss.
Gerakan sosialis dan komunis marak berkembang di banyak
negara Eropa terutama Prancis dan Italia, melibatkan komponen mahasiswa
beraliran kiri-baru (student-based new
left). Revolusi mahasiswa sepanjang bulan Mei 1968 di Paris menuntut hak-hak pendidikan
mereka, didukung dan ditindaklanjuti
aksi mogok sepuluh juta pekerja yang
digerakkan oleh serikat-serikat buruh menuntut perbaikan nasib; pada waktu itu Presiden Charles de Gaulle sedang berada di Jerman
untuk mengunjungi dan memeriksa kondisi pasukan Prancis yang berada di sana.
Aksi dan demo kiri baru di Prancis surut ketika serikat buruh mendapat konsesi untuk
kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja.
Dalam melaksanakan pembaruan menurut hasil Konsili Vatikan
II beberapa keuskupan (misalnya Keuskupan Surabaya) sejak 1968 melengkapi struktur dalam semangat kolegial
dan sinodal sesuai petunjuk Dekrit Christus
Dominus dengan membentuk Dewan (Konsultor) Keuskupan menggantikan
“capitulum cathedrale” atau senat Uskup.
“Di antara rekan-rekan sekerja Uskup dalam pimpinan keuskupan termasuk
juga imam-imam, yang merupakan senat atau dewannya, misalnya Kapitel Katedral,
Dewan para penasihat, atau panitia-panitia lain, sesuai dengan situasi atau
sifat berbagai daerah. Lembaga-lembaga itu, terutama Kapitel Katedral,
hendaknya sejauh perlu ditata secara baru, untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan
zaman sekarang” (CD 27). Ketentuan
kanonik mengenai Dewan (Konsultor) Keuskupan masih menggunakan dasar landasan
Kitab Hukum Gereja CIC 1917 kan 391 de capitulis canonicarum dan kan.
423-428. Dewan Imam juga dibentuk
menurut Dekrit Presbiterorum
Ordinis 7 dan Motu Proprio Ecclesiae
Sanctae I 15-17. “Hendaknya para Uskup dengan senang hati mendengarkan para
imam, bahkan meminta nasihat mereka, dan merundingkan dengan mereka hal-hal,
yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan karya pastoral dan kesejahteraan keuskupan.
Agar supaya itu sungguh dilaksanakan, hendaknya dengan cara yang sesuai dengan
situasi dan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang, menurut bentuk dan norma-norma
yang ditetapkan oleh hukum, dibentuk dewan atau senat para imam, yang mewakili
semua imam, untuk dengan nasihat-nasihatnya membantu Uskup secara efektif dalam
memimpin keuskupannya.... Adapun para imam hendaknya memandang kepenuhan
Sakramen Imamat yang ada pada para Uskup, dan dalam diri mereka menghormati
kewibawaan Kristus Gembala Tertinggi. Hendaknya mereka berpaut pada Uskup
mereka dengan cinta kasih yang tulus dan sikap patuh-taat. Kepatuhan para imam
itu, yang diresapi semangat kerja sama, berdasarkan partisipasi mereka dalam
pelayanan Uskup, yang diberikan kepada para imam melalui Sakramen Tahbisan dan
perutusan kanonik “ (PO 7).
Konsili Vatikan II tidak secara langsung membahas katekese,
tetapi membawa banyak unsur baru masuk dan mewarnai katekese, misalnya,
konsepsi baru tentang Wahyu (Dei Verbum),
kesadaran baru tentang Gereja (Lumen
Gentium), tentang lbadat (Sacrosanctum
Concilium), tentang hubungan Gereja dan Dunia (Gaudium et Spes), tentang perutusan Pewartaan Iman (Ad Gentes), sikap baru terhadap manusia
dan kebebasan beragama (Dignitatis
Humanae), baik yang dekat (Unitatis
Redintegratio, Ekumene), maupun jauh dari iman kristiani (Nostrae Aetate).
Berdasarkan hakikatnya, katekese merupakan bagian penting
dari Kerugma Gerejawi, yaitu bagian dari Pelayanan Sabda atau Tugas kenabian
yang sama, seperti evangelisasi, kotbah, pendalaman iman, dan seterusnya. Maka Komisi
Kateketik didirikan di banyak Keuskupan untuk memenuhi kebutuhan setempat dan melengkapi
struktur masing-masing Keuskupan. Sebelumnya,
persoalan katekese lebih banyak digeluti secara nasional dalam PWI
Kateketik MAWI di Jakarta yang terdiri
dari seorang Ketua, 7 wakil provinsi Gerejawi (Keuskupan Agung), dua ahli dan seorang
sekretaris.
Katekese mengalami perubahan dari katekese yang tadinya terpusat
pada ajaran iman kepada katekese yang berpusat pada hidup dan peranan iman di
dalmnya. Dengan demikian terjadi hubungan keberlanjutan antara ajaran iman
dengan pelaksanaan hidup. Kerasulan kitab suci mulai diperkenalkan. Kitab Suci
Perjanjian Baru untuk umat telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dicetak dan diterbitkan, bahkan
disebarkan secara gratis dengan bantuan Kementerian Agama.
Peranan awam mulai ditingkatkan dalam paroki-paroki. Wakil-wakil awam secara teratur diundang rapat
untuk membahas situasi pastoral setiap bulan kendati belum dilembagakan. Mulai terdengar istilah “Awamisasi” untuk
peningkatan peran serta awam dalam Gereja. Sementara itu Indonesianisasi menjadi topik yang mengarah pada upaya kemandirian
dalam iman, tenaga pastoral dan keuangan.
Indonesia memulai babak baru dalam mengusahakan stabilisasi
ekonomi. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) menjadi satu-satunya alat untuk merencanakan, melaksanakan dan
mengendalikan situasi perekonomian. Jika di masa sebelumnya digunakan kebijakan
anggaran defisit, di mana pengeluaran
negara lebih besar dari pendapatan dan kekurangannya ditutup dengan
pencetakan uang baru sehingga menimbulkan dampak inflasi yang amat tinggi,
pemerintah sejak 1967 menerapkan kebijakan anggaran berimbang yang rasional di
mana pendapatan setara dengan pengeluaran.
Untuk keperluan anggaran pembangunan
yang membuka lapangan kerja bagi banyak orang dan menambah aset
produktif bangsa seperti pembangunan jalan dan saluran irigasi, pemerintah
menyambut uluran tangan bantuan kerja sama internasional berupa bantuan teknik
dan utang dengan bunga lunak, dalam APBN
anggaran pembangunan dijadikan lokomotif untuk pemulihan ekonomi bangsa
yang terpuruk sejak bertahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1967 Anggaran
Pendapatan dipatok Rp 83,7 milyar (dibanding Rp 13.142,3 milyar tahun 1966),
pengeluaran Rp 87,6 milyar (dibanding Rp
29.077,0 milyar tahun 1966), dan defisit Rp 3,9 milyar (dibanding Rp 15.934,7
milyar tahun sebelumnya) ditutup dengan
kredit bank. Di luar pengeluaran rutin, belanja negara dialihkan dari
proyek=proyek mercusuar kepada proyek-proyek yang memberi manfaat pada
peningkatan kapasitas produksi . Upaya pemerintah ditekankan pada stabilisasi
ekonomi dan pengendalian inflasi. Pada
tahun 1966 inflasi menggila hingga 650% dan pemerintah mengadakan kebijakan
pemotongan nilai uang dari Rp 1000,- menjadi Rp 1,-
Kabinet Pembangunan I dibentuk tanggal 6 Juni 1968 dan
dilantik pada tanggal 10 Juni 1968 untuk masa kerja 1968-1973. Tugas pokok
Kabinet Pembangunan ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XLI/MPRS/1968 dan
dikenal dengan Panca Krida yang meliputi (1)
Menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak
berhasilnya pelaksanaan Repelita dan Pemilu. (2) Menyusun dan melaksanakan
Rencana Pembangunan Lima Tahun. (3) Melaksanakan Pemilihan Umum
selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971. (4) Mengembalikan ketertiban dan
keamanan dengan mengikis habis sisa-sisa G30S/PKI dan setiap rongrongan,
penyelewengan serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. (5)Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur
negara baik di tingkat pusat maupun daerah.
Drs Frans Seda menjadi Menteri Perhubungan dalam Kabinet
Pembangunan I. Ketua Umum Partai Katolik (1961-1968) itu alumnus Katolieke Economische Hogeschool,
Tilburg Belanda dan berhasil menjadi Doktorandus Ekonomi pada tahun 1956. Ia
pernah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), mewakili golongan Katolik (1960-1964).
Dalam pemerintahan, ia juga pernh menjadi Menteri Perkebunan dalam Kabinet
Kerja IV (1963-1964) dan Menteri Keuangan dalam Kabinet Ampera (1966-1968).
Drs Frans Seda juga dimasukkan sebagai anggota Tim Ahli
Ekonomi Presiden yang pada 15 Juni 1968, dibentuk Presiden Soeharto dan terdiri dari Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof
Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr
Soebroto, Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro. Tim ahli
ekonomi bertugas mengikuti perkembangan
keadaan ekonomi, membahas masalah-masalah ekonomi dan mengajukan
pertimbangan-pertimbangan masalah ekonomi kepada Presiden baik karena diminta ataupun
tidak.
Program stabilsasi ini dilaksanakan dengan cara membentung
laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada
belakang tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan inti naik melonjak.
Sesudah diproduksi susunan Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah
mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak
harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak ketika itu
ekonomi nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan inti dan
valuta asing sejak tahun 1969 dapat dikelola pemerintah.
Program rehabilitasi dilaksanakan dengan berupaya memulihkan
kemampuan menghasilkan. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde
Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan
ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan
disalahgunakan dan diproduksi susunan sebagai peralatan kekuasaan oleh
kelompokan dan kelompokan kebutuhan tertentu. Hasilnya lembaga (negara) tidak
dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun perbaikan atur kehidupan rakyat.
Paus Paulus VI pada tanggal
25 Juli 1968 menerbitkan Ensiklik Humanae
Vitae. Dalam persidangan keempat Konsili Vatikan ketika membahas bagian
dari Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes
sehubungan dengan Keluarga, di atas dikatakan “tentang martabat perkawinan dan
keluarga... soal penting tentang penjarangan kelahiran diambil Paus menjadi bahasan
tersendiri di luar Konsili”. Sebelum Paus Yohanes XXIII wafat, suatu tim khusus
sudah dibentuk untuk membahas soal itu di luar Konsili. Tampaknya hasil bahasan
itu kemudian diserahkan kepada Paus Paulus VI dan kemudian setelah diperbaiki,
diterbitkan sebagai Ensiklik Humanae
Vitae (Hidup Manusia).
Dalam Humanae Vitae Paus Paulus VI menyatakan bahwa Allah telah menentukan
hakekat cinta perkawinan seturut Kitab
Suci dan Tradisi. Bahwa cinta perkawinan itu sepenuhnya manusiawi (sepenuh jiwa dan raga). Bersifat , setia, dan
berbuah (HV, 9).
Cinta perkawinan “berbuah” berkat karunia Allah berupa
kesuburan pada suami-isteri. “Melalui pemberian diri timbal balik yang
personal, khas dan eksklusif, pasangan suami-istri mempererat persekutuan
pribadi mereka, yang dengannya mereka saling menyempurnakan, untuk bekerja sama
dengan Allah dalam melahirkan dan mendidik kehidupan baru” (Kej. 1:26-28; HV,
8). Karunia ini langsung berkaitan dengan penciptaan manusia oleh Allah,
laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka menurut citraNya (dijadikan untuk
persekutuan dengan Allah dan dengan satu sama lain dalam kasih yang memberi
hidup). Anak-anak adalah karunia dari Allah. Mereka adalah bagian dari ikatan
kasih perkawinan. Maka suami-isteri harus terbuka pada keturunan dengan penuh
cinta dan berusaha mengasuh mereka dalam keluarga. Prokreasi dan tugas
membesarkan anak-anak berjalan bersama!
Humanae Vitae menyatakan:
“Kami sekali lagi harus menyatakan bahwa secara mutlak harus dilarang
penghentian secara langsung proses kehamilan yang telah dimulai, khususnya
aborsi langsung, bahkan jika dilakukan untuk alasan-alasan terapeutik.
Sterilisasi langsung, baik yang tetap maupun sementara, baik pada laki-laki
maupun perempuan, harus dikutuk, sebagaimana telah berulangkali dinyatakan oleh
magisterium Gereja. Juga harus ditolak setiap tindakan, baik sebelum, selama,
maupun sesudah hubungan intim suami-istri dengan kelanjutan konsekuensi
alamiahnya, yang dimaksudkan, sebagai tujuan atau sebagai sarana, untuk
mencegah prokreasi. Juga, pembenaran atas hubungan intim yang dilakukan dengan
sengaja supaya tidak berbuah, tidak dapat diajukan sebagai alasan yang sah” (HV
14).
Lalu bagaimana dengan Program Keluarga Berencana? “Cinta
kasih suami-istri menuntut pasangan untuk mengetahui dengan benar misi mereka
sebagai orang tua yang bertanggung jawab, yang kini benar-benar ditekankan dan
harus dipahami dengan tepat. Hal itu harus dipertimbangkan dalam berbagai aspek
yang benar dan saling berkaitan “ -- “Pelaksanaan
tanggung jawab sebagai orangtua menuntut bahwa pasangan suami-istri mengakui
kewajiban mereka terhadap Allah, diri mereka sendiri, keluarga dan masyarakat,
dalam tatanan nilai yang adil.... mereka tidak bebas untuk melanjutkannya atas
kehendak mereka sendiri, seakan-akan mereka secara otonom dapat menentukan
sendiri cara-cara jujur yang harus diikuti; sebaliknya, mereka harus
menyesuaikan tindakan mereka dengan maksud dari Allah, Sang Pencipta, yang
diungkapkan dalam hakikat perkawinan dan tindakannya dan yang terus menerus
ditunjukkan oleh ajaran Gereja (HV 10).
Yaitu bahwa mereka dipanggil untuk melaksanakan rencana Allah, bukan
untuk menolaknya melalui penggunaan metode kontrasepsi atau sterilisasi. Dalam
konteks “menyesuaikan tindakan mereka dengan maksud dari Allah, Sang Pencipta”
(HV 10) itu, maka yang dapat diterima adalah metode Keluarga Berencana Alamiah
(KBA) karena metode itu tetap
menghormati rencana Allah atas perkawinan: “pengalaman membuktikan bahwa tidak
semua hubungan intim suami-istri akan menghasilkan keturunan(kehidupan baru).
Secara bijaksana Allah telah mengatur hukum alam dan irama kesuburan yang sudah
dengan sendirinya memberi jarak antara
kelahiran satu dengan kelahiran berikutnya” (HV 11).
Uskup Agung Semarang, Kardinal Yustinus Darmojuwana, memprakarsai
upaya menjadikan Seminari Tinggi Yogyakarta sebagai pusat pendidikan imam
diosesan, dan imam dari ordo dan tarekat
religius. Pada tanggal 23 September 1968, beliau bersama dengan Provinsial
Serikat Yesus Provinsi Indonesia mendirikan konsorsium Driyarkara sebagai badan
hukum yang menaungi Institut Filsafat–Teologi (IFT) Yogyakarta. Maka Fakultas
Teologi FKIP Sanata Dharma kemudian menjadi Institut Filsafat-Teologi (IFT)
Yogyakarta. Dari tahun 1968, para mahasiswa yang belajar di Institut Filsafat
dan Teologi (IFT) Yogyakarta adalah mahasiswa dari berbagai ordo, tarekat
religius, dan beberapa Keuskupan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali
dan Nusa Tenggara.
Sidang Mahmilub G30S/PKI menyatakan bersalah atas Moeljono
bin Ngali alias Bono Walujo, Pimpinan Biro Khusus PKI, dan dengan Putusan
Mahkamah No. PTS-028/MLB-II/W/1968, tanggal 9 Oktober 1968 menjatuhkan hukuman
mati.
Tanggal 17 Oktober 1968 didirikanlah LKBN yaitu Lembaga
Keluarga Berencana Nasional sebagai lembaga semi Pemerintah. Pelopor gerakan
Keluarga Berencana di Indonesia adalah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
atau PKBI yang didirikan di Jakarta tanggal 23 Desember 1957 dan diikuti
sebagai badan hukum oleh Depkes tahun 1967 yang bekerja secara “silent operation”. Dalam rangka membantu
masyarakat yang memerlukan bantuan secara sukarela, usaha Keluarga Berencana
terus meningkat terutama setelah pidato Presiden pada tanggal 16 Agustus 1967
di mana gerakan Keluarga Berencana di Indonesia memasuki era peralihan. Jika semula
program gerakan Keluarga Berencana dilakukan sekelompok tenaga sukarela yang bekerja
secara diam-diam karena pimpinan negara pada waktu itu anti kepada Keluarga
Berencana, maka dalam masa baru gerakan Keluarga Berencana diakui dan
dimasukkan dalam program pemerintah.
Keluarga berencana adalah suatu usaha untuk menjarangkan
atau merencanakan jumlah anak dan jarak kehamilan dengan memakai alat
kontrasepsi. Keluarga Berencana membatasi jumlah anak dalam satu keluarga, dibatasi
dua atau tiga anak saja. Keikutsertaan dalam program Keluarga Berencana (KB) haruslah pertama-tama
didasarkan atas kesepakatan suami istri dalam tanggungjawab pengaturan keturunan. Istilah Keluarga Berencana
dan pengertiannya diserap dari istilah yang umum dipakai di dunia internasional
yakni Family Planning atau Planned Parenthood. KB dimaknai tindakan
sadar pasangan suami istri dalam rangka tanggungjawab untuk mendapatkan kelahiran yang diinginkan,
mengatur interval kelahiran dan menentukan jumlah anak sesuai dengan kemampuan
serta sesuai dengan situasi masyarakat dan negara. Dalam artian itu KB berbeda dari
“birth control” yang semata-mata membatasi atau menolak kelahiran keturunan. Istilah “birth control”
berkonotasi negatif karena lebih terarah pada praktek aborsi, penggunaan alat kontrasepsi atau sterilisasi (pemandulan) sebagai
penghindaran tanggungjawab.
Perencanaan keluarga walaupun menyangkut penggunaan aneka metode
kontrasepsi oleh suami istri yang sah berdasar kesepakatan bersama di antara
mereka, untuk mengatur kesuburan dengan tujuan menghindari kesulitan kesehatan,
kemasyarakatan dan ekonomi demi memungkinkan mereka memikul tanggung jawab atas
anak-anak dan perkembangan masyarakat,
dengan: a) Menjarangkankelahiran anak
untuk memungkinkan masa penyususan yang optimal dan penjagaan kesehatan ibu dan
anak; b) Pengaturan masa hamil agar terjadi pada waktu yag aman; c) Mengatur
jumlah anak, bukan saja untuk keharmonisan hubungan keluarga tetapi juga membangun
kemampuan fisik, finansial, pendidikan dan pemeliharaan anak.
Sidang MAWI 14-24
Oktober 1968 di Sangkalputung, Klaten, Jawa Tengah. Dalam sidang ini fokus pembicaraan adalah pertambahan
penduduk, Gerakan Keluarga Berencana Nasional sekaligus tanggapan atas Ensiklik Humanae Vitae yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI. Dari hasil
pembicaraan ini, MAWI mengirim tiga buah surat yang masing-masing tertuju
kepada Paus, kepada para imam, dan umat Katolik. Dalam sidang ini diputuskan
perrubahan struktur di mana PWI
Universitas dihapuskan dan tugas diambil alih oleh Bagian Pendidikan. Struktur
Sekretariat Jenderal dibentuk meliputi: Bagian Umum, Bagian Pendidikan, Bagian
Pastoral. Ditambahkan pula suatu lembaga baru yaitu: Lembaga Penelitian dan
Pembangunan Sosial (LPPS).
Pada bulan Januari 1969, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi
Katolik (STF/TK ) Ledalero secara resmi berdiri sebagai salah satu bagian dari
“Seminari Tinggi St. Paulus” Ledalero. STFK Ledalero merupakan peningkatan dari
Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, yang didirikan oleh Serikat Sabda
Allah (SVD: Societatis Verbi Divini)
sebagai pelaksanaan ensiklik Maximum
Illud Paus Benediktus XV 30
November 1919. Pada tanggal 20 Mei 1937
Tahta Suci memberikan pengesahan untuk Seminari Tinggi St Paulus Ledalero.
Tanggal itulah yang kini dijadikan sebagai tanggal resmi berdirinya STFK
Ledalero.
Pada tanggal 2 Februari 1969, di sebuah ruang tamu di
Susteran Theresia Jalan H Agus Salim, Jakarta, Prof. Dr. Fuad Hassan, Prof. Dr.
Slamet Iman Santosa teman-teman kerja dan sahabat Rm Prof Dr N. Driyarkara SJ yang
wafat tepat dua tahun sebelumnya (2 Februari 1967) mengadakan pertemuan untuk
mendirikan sebuah institut filsafat di Indonesia yang terbuka untuk umum,
berdiri sendiri, dan merupakan pusat yang mampu menarik dosen untuk lebih
memantapkan usaha pengembangan filsafat di Jakarta. Inilah Dies Natalis pertama
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di tahun 1969. Diputuskan untuk menamakan
lembaga baru ini “Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara” (STF Driyarkara) untuk
mengungkapkan keikatannya pada cita-cita almarhum Prof. Dr. N. Driyarkara SJ.
STF Driyarkara didirikan atas kerjasama Serikat Jesus (SJ),
Saudara-saudara Dina OFM, dan Keuskupan Agung Jakarta untuk tempat belajar
calon-calon imam dari ketiga lembaga di bidang filsafat, dan untuk
mengembangkan pemikiran filsafat dalam masyarakat.
Di Keuskupan Jayapura, Akademi Teologi Katolik (ATK) di
Abepura pada tanggal 15 Februari 1969 memulai perkuliahan dengan tiga orang
tenaga pengajar pertama yakni P. Dr. Herman Peters OFM sebagai Rektor, P. Dr.
Andreas van Meegeren OSA dan P. Drs. Theo Janssen OFM. Para pendiri ATK adalah Uskup Agung Merauke Mgr. Herman
Tillemans MSC; Uskup Jayapura, Mgr. Dr.
Rudolf Staverman OFM, dan Uskup Manokwari-Sorong, Mgr. Petrus van Diepen OSA.Pada
masa awal ini, ada dua belas orang mahasiswa yang berasal dari ketiga wilayah
Keuskupan itu sendiri. Tujuan pendidikan
di Akademi yang baru ini adalah mendidik para petugas Gereja, baik awam (pria
dan wanita), biarawan-biarawati maupun rohaniwan, baik untuk pelayanan Gereja
pada masyarakat maupun pelayanan umat Katolik sendiri.
Setelah relatif berhasil memulihkan kondisi politik bangsa
Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah baru di bawah
Presiden Soeharto adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pada tahun 1969
pemerintahan menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Pertama
(1969-1974). Program ini mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
yang disusun untuk jangka waktu 25 tahun. Repelita I (1969-1974) yang digagas
pemerintah diharapkan menjadi landasan pembangunan selanjutnya, terutama
menjadi awal pembangunan pertanian. Tujuan yang ingin dicapai adalah
pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran utama cukup pangan, cukup
sandang, dan perbaikan prasarana penunjang pembangunan pertanian. Hal ini
berperan penting mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaruan
bidang pertanian, karena perekonomian mayoritas penduduk Indonesia masih
mengandalkan hasil pertanian.
Rencana-rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
selanjutnya diharapkan dapat disusun oleh Bappenas. Setiap Repelita
mengamanatkan misi pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan warga Indonesia
dengan indikator-indikator target pelbagai bidang secara rinci, dengan bertolak
dari data hasil capaian tahun-tahun terakhir.
Dengan demikian diusahakan jenjang-jenjang tahapan yang berkesinambungan
dalam Pembangunan Jangka Panjang pertama yang meliputi periode 25 tahun. dalam
upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:
(1) Melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah Indonesia. (2) Meningkatkan kesejahteraan umum. (3)Mencerdaskan kehidupan bangsa. (4) Ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang sesuai kemerdekaan, perdamaian dan keadilan
sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan
Delapan jalur Pemerataan. Trilogi Pembangunan yang dimaksud adalah : (1) Pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi. (2) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. (3) Stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis.
Sedang yang dimaksud dengan
Delapan Jalur Pemerataan adalah: (1) Pemerataan pemenuhan kebutuhan inti
rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan. (2) Pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan. (3) Pemerataan pembagian
pendapatan. (4) Pemerataan kesempatan
kerja. (5) Pemerataan kesempatan berusaha. (6) Pemerataan kesempatan
berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
(7) Pemerataan penyebaran pembangunan di
seluruh wilayah Tanah Air. (8) Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pola dasar rencana pembangunan disusun dengan pokok-pokok
pikiran: (1) Pertumbuhan ekonomi diukur dari tingkat pendapatan nasional per
kepala dengan memperhatikan pertambahan penduduk untuk menanggulangi
kemiskinan. Pada laju pertumbuhan penduduk 2,4% setahun, maka sasaran
pertumbuhan ekonomi dipatok 5% setahun. (2) Sektor pertanian, terutama produksi
pangan, mendapat prioritas, namun dalam jangka panjang secara bertahap akan
diseimbangkan dengan sektor-sektor ekonomi agraria dan sektor industri.
“Sasaran Pembangunan Lima Tahun yang sekarang ini, sangat sederhana, yaitu :
pangan, sandang, perbaikan prasarana, penyediaan perumahan rakyat, perluasan
lapangan pekerjaan dan kesejahteraan rohani. Dalam melaksanakan pembangunan
itu, maka titik beratnya dipusatkan pada bidang pertanian. Bidang ini
mendapatkan perhatian yang paling besar, oleh karena sebagian besar rakjat
adalah petani dan kebutuhan kita akan pangan masih lebih besar daripada apa
yang dapat kita hasilkan. Dengan pembangunan di bidang pertanian ini, -dengan
makin luasnya persawahan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan,
berarti makin banyak terbuka lapangan
pekerjaan dan makin naik penghasilan rakyat”. (3) Diusahakan pemerataan ekonomi antara pusat dan
daerah demi pemerataan pendapatan. (4) Menjaga keseimbangan moneter demi
stabilitas ekonomi, keseimbangan neraca pembayaran antara eskpor dan impor,
jangan sampai terjadi defisit berlebihan.
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
1969/1970 yang berlaku dari bulan April sebagai titik tolak dan lokomotif
penggerak sekali gus alat tunggal perencanaan dan pengendalian ekonomi tahun pertama Repelita I dipatok berimbang
antara penerimaan dan pengeluaran pada
Rp 327.41 milyar. Di dalamnya anggaran pembangunan Rp 123.37 milyar dibagi Rp
94.43 milyar untuk bidang ekonomi, Rp
19.60 milyar untuk bidang sosial, dan Rp 9.33 milyar untuk bidang umum.
Anggaran berimbang tidak a priori membatasi pengeluaran,
yang diutamakan adalah yang diprioritaskan dan yang dicegah adalah pengeluaran
yang melampaui penerimaan seperti
yang terjadi dimasa lampau di mana pengeluaran untuk anggaran khusus dan
subsidi-subsidi yang tidak produktif dalam waktu 4 tahun saja, yakni mulai
tahun 1960 sampai tahun 1965, telah meningkat hingga 60 kali sedangkan
penerimaan hanya bertambah 16 kali.
Menurut pemerintah: “Dengan sistimatika yang dipergunakan
sampai sekarang pada hakekatnya anggaran terutama dipergunakan sebagai alat
untuk mempertanggungjawabkan uang rakyat yang dipergunakan oleh Pemerintah guna
keperluan pembiayaan rencana kerjanya. Dengan menjunjung tinggi atas
pertanggungan jawab tersebut di atas, maka di samping itu anggaran harus dapat
dipergunakan sebagai alat pengukur pelaksanaan secara fisik dari pembangunan-pembangunan
yang sedang dilaksanakan dan sekaligus sebagai alat pengelolaan dan pengawasan
keuangan negara.” (Rancangan APBN 1969/1970, Nota Keuangan hal. 20)
Di bidang Agama, Pemerintah akan memberikan bantuan /
fasilitas untuk menambah sarana-sarana pelaksanaan agama, sesuai dengan
kepercayaannya masing-masing, seperti kitab-kitab suci, rehabilitasi tempat
peribadatan dan sebagainya.
Beberapa
pemikir dan aktivis katolik tampil ke permukaan dari tahun 1969 membela dan
menulis tentang etika sosial, hak-hak asasi manusia dan pembebasan kaum miskin
dan tertindas dalam derap pembangunan. Melalui koran-koran mereka secara
berkala menulis kolom secara populer dan banyak diikuti pembaca. Terutama Rm YB Mangunwijaya di koran Indonesia
Raya dan Kompas. Juga Rm MAW Brouwer OSC di koran Pikiran Rakyat dan Kompas.
Dari Cape
Kennedy di Florida A.S, pada 16 Juli 1969 diluncurkan pesawat luar angkasa Apollo 11 membawa antariksawan Buzz
Aldrin, Neil Armstrong, Michael Collins untuk pendaratan di bulan. Pada 20 Juli Apollo 11 berhasil mendarat di
bulan pada pkl 20:17 UTC. Dengan menggunakan kendaraan Lunar Module Eagle para
astronot pada 21 Juli pada pkl 02:56 UTC berkendara di permukaan bulan,dan
ditonton sekitar 650 juta pirsawan televisi di seluruh dunia astronot Neil Armstrong menapakkan kaki di
permukaan bulan. Pada 24 Juli Apollo 11 kembali ke bumi setelah sukses
melakukan pendaratan di bulan.
Terjadi
konflik perbatasan yang membawa konsekuensi perang antara Uni Soviet dan RRT
pada 13 Agustus 1969. Konflik
menyebabkan mobilisasi tentara hingga 500.000 di pihak RRT dan 650.000 di pihak
Uni Soviet hingga Oktober 1969. RRT
menyatakan kehilangan 68 personil tewas. Di pihak Uni Soviet 50 tewas dan 90
luka-luka. Konflik surut tanpa penyelesaian yang jelas. Namun di mata dunia
konflik di antara kedua negara berideologi komunis itu di mata dunia
menunjukkan bahwa komunisme tidak satu, dan antara yang satu dan yang lain
dapat terjadi kekerasan bersenjata.
Ketua MAWI
(Majelis Agung Waligereja Indonesia) membuat “Surat kepada Rakyat Indonesia”.
Dalam suratnya, Mgr. Darmajuwana menyerukan beberapa hal. Pertama, pentingnya
mengedepankan dan menjunjung tinggi martabat kehidupan dan harkat kemanusiaan
berhadapan dengan peristiwa G30S. Kedua, menjunjung tinggi prinsip keadilan,
yakni, yang bersalah diadili secara adil, jangan melanggar prinsip kemanusiaan
secara membabi buta.
MAWI juga menerbitkan
Surat Edaran sehubungan dengan Repelita I: “Negara kita yang sedang berkembang
mengemban tugas besar dan berat pada dewasa ini. Untuk memajukan rakyat yang
lebih dari seratus juta banyaknya, untuk membebaskan mereka dari kepapaan dan
kemiskinan dan memberikan penghidupan yang layak sesuai martabat manusia, untuk
meningkatkan hidup bangsa dan hidup manusiawi seutuhnya, jalan rencana
pembangunan negara harus kita dukung
sepenuhnya!”
Ketua MAWI
pada waktu itu adalah Uskup Agung Semarang, Kardinal Yustinus
Darmoyuwana.
Dengan
demikian sejak 1968 masyarakat dan Gereja Katolik Indonesia sudah siap memasuki
era Pembangunan Nasional.
Dalam Dokumen Konstitusi
Liturgi SC sebenarnya jelas bahwa mayoritas para Bapa Konsili
menginginkan baik pemeliharaan warisan liturgi berbahasa Latin Gereja maupun
kemungkinan bagi para Uskup dan Konferensi Uskup menggunakan bahasa lokal untuk
pelayanan pastoral. Namun tanggapan para
Uskup sesudah Konsili amat sangat condong pada penggunaan bahasa lokal. Sacrosanctum
Concilium mengakui keanekaragaman daerah dan sebab itu menyilakan inkulturasi
resmi ke dalam budaya dan bahasa lokal. Para Bapa Konsili menghendaki untuk menghadirkan Misteri Paskah dalam
ibadat seluruh Tubuh Kristus. “Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua
orang beriman dibimbing pada keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif
dalam perayaan-perayaan Liturgi. Keikutsertaan seperti itu dituntut oleh
hakikat Liturgi sendiri" (Sacrosanctum
Concilium 14). Dengan penggunaan
bahasa dan budaya lokal diharapkan memudahkan partisipasi baik secara batiniah
maupun secara lahiriah dan juga memudahkan pemahaman liturgi..
Pemugaran liturgi yang meningkatkan lebih banyak peran-serta
aktif umat awam denga inkulturasi terus berlanjut.. Ekaristi selain dihayati
sebagai upacara sakral juga perayaan iman yang khusyuk dan meriah karena lebih
dipahami. Setelah penterjemahan Doa
Syukur Agung (1968), selanjutnya tatalaksana perayaan ekaristi dan tata letak gereja berangsur-angsur disesuaikan. Demikian pula
nyanyian-nyanyian Proprium I, II,
III, IV (1967-1969), Empat Belas Misa
Umat (1969), dan sebagian Ordinarium.
Selain pemugaran liturgi, sebagai konsekuensi dari pendirian
hirarki Indonesia mandiri (1961) dan paham Gereja Umat Allah menurut penafsiran
Konsili Vatikan II (Lumen Gentium
1964; Christus Dominus 1965),
dikembangkanlah swadaya dan swasembada umat setempat baik dalam pendewasaan
rohani, tanggungjawab pendanaan hidup dan karya Gereja serta penyelenggaraan
aneka pelayanan pastoral dengan mendayagunakan sumber-sumber setempat. Kerasulan
awam disemangati dan dikembangkan (berdasarkan Dekrit Apostolicam Actuositatem dari Konsili Vatikan 1965).
Rukun umat, mulanya disebut “keluarga umat katolik”, “potas”
atau “paguyuban umat” yang dikaitkan dengan kawasan tempat tinggal,
diselenggarakan pada akar rumput secara komunal, dengan semangat persaudaraan
seiman, kerukunan dan gotong-royong. Sebagian menggunakan istilah Kring.
Diselenggarakanlah badan-badan wadah kerjasama umat yang
bersifat tetap di paroki-paroki. Di Sumatera, dikembangkan struktur Dewan
Gereja meniru Gereja-gereja Protestan. Di tempat lain dikembangkan Presidium
umat paroki yang walaupun dipimpin pastor paroki sebagai gembala utama, salah
seorang ketuanya adalah awam. Dewan Gereja atau Presidium Umat Paroki ini
membuat renacana-rencana terstruktur pelayanan liturgi, katekese dan sosial,
mulanya dengan trial and error, coba-dan-ralat, dilengkapi panitia-panitia ad hoc untuk Perayaan Paskah dan
Perayaan Natal. Nantinya, struktur Dewan Gereja dan Presidium Umat Paroki yang
terhadap Pastor Paroki bersifat konsultatif namun terhadap umat bersifat
pelaksana eksekutif pelayanan, pada tahun 1970-an nanti berkembang menjadi
Dewan Paroki, dan kemudian Dewan Pastoral Paroki.
Pada 1969, Kardinal Darmoyuwono - kardinal pertama dari
Indonesia - mengusulkan pembentukan Program Sosial Kardinal untuk menolong para
tahanan politik yang mengalami kekerasaan dan pemenjaraan yang tidak manusiawi.
Program itu adalah tanggapan pada laporan beberapa pastor bersama tim dari
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang menunjukkan fakta adanya hukuman kurungan
penjara disertai penyiksaan, membuat kelaparan dan bahkan pemiskinan; proses
demikian justru akan mempermudah orang-orang komunis mendapat simpatisan dan
pengikut baru.
Kardinal Yustinus Darmojuwana menghadap Presiden Soeharto
bersama I.J. Kasimo, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), minta agar Pemerintahan Soeharto memperlakukan
orang-orang yang dianggap sebagai PKI dan keluarganya secara adil dan tidak
melanggar martabat kemanusiaan. Kardinal
Darmojuwana setuju dengan pemerintah bahwa PKI sebagai organisasi dibubarkan dan
dilarang demi Pancasila dan NKRI, namun, dengan tegas menolak pelbagai bentuk siksaan
dan penelantaran anggota-anggota keluarga para tahanan politik PKI. Setelah
mendapat persetujuan Presiden Soeharto, dimulailah Program Sosial Kardinal. Atas
nama kemanusiaan, Mgr. Darmojuwana mendorong para pastor dan lembaga-lembaga
Katolik untuk menolong para tapol PKI dan sanak kerabat mereka, bukan karena Pro-PKI, melainkan Pro-Kemanusiaan.
Program Sosial Kardinal ini memberikan bantuan tidak hanya
bagi tahanan politik tapi keluarganya. Penangkapan masif dan pembunuhan massal
terhadap simpatisan komunis pada kenyataannya telah mengakibatkan banyak orang
kehilangan anggota keluarga: perempuan-perempuan menjadi janda, anak-anak
terlantar karena yatim-piatu. Mereka perlu dibantu. Bantuan yang diberikan berupa pangan,
sandang, layanan kesehatan termasuk kesehatan mental, pelatihan ketrampilan
atau kerja, korespondensi dengan keluarga, dan juga pendidikan bagi anak-anak
tahanan politik. Program ini melayani tahanan politik dari agama apa pun di
seluruh Nusantara: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Relawan
yang digerakkan termasuk pekerja sosial, pengacara, dokter, dan mahasiswa.
Mereka mencatat informasi tentang orang-orang yang meminta bantuan. Catatan ini
mendokumentasikan informasi dari individu dan keluarga serta keadaan mereka.
Pelaksanaan Program Sosial Kardinal menunjukkan sikap gereja
Katolik yang lebih membuka diri terhadap umat agama lain setelah reformasi
gereja pascaKonsili Vatikan II pada Desember 1965. Sebelum Konsili Vatikan II,
gereja tampil sebagai institusi yang ekslusif dan pelayanan gereja hanya
diperuntukkan bagi umat Katolik. Dalam penilaian ahli tentang Indonesia Rémy
Madinier dari Ecole Normale Supérieure (ENS) Lyon, di Indonesia Konsili Vatikan
II membawa cara pandang baru terhadap peran gereja dalam mendukung keadilan. Pelayanan
gereja yang mulanya hanya diperuntukkan bagi umat Katolik, kini terbuka bagi
semua orang dari latar belakang apa pun.
Dalam bulan Agustus 1969, pada waktu konggres gabungan
religius (KONGGAR) dilangsungkan di Bandung, ditarik perhatian kepada satu hal
yaitu : bahwa diantara mereka yang bekerja disalah satu usaha medis, baik
kuratif maupun preventif, tidak terdapat komunikasi/koordinasi/kerjasama apapun
juga. Oleh karena itu mereka usulkan mengadakan suatu konggres medis gabungan
religius, sebagai kesempatan untuk bertemu satu sama lain dan membahas hal-hal
penting berhubung dengan pekerjaan di bidang medis itu. KONGGAR sendiri dilaksanakan sebagai
penerapan hasil Konsili Vatikan II (LG 43-47; PC; CD 33-35; Ecclesiae Sanctae
22-40) dengan norma-norma CIC 1917 487-681.
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera, "Act of Free
Choice") di Irian Barat dilaksanakan pada bulan Agustus 1969, sebagaimana
dipersyaratkan UNTEA ketika menyerahkan Irian Barat dari Belanda kepada
Indonesia pada tahun 1963. Pepera dilakukan di bawah pengawasan PBB, di mana
1.025 wakil kepala-kepala daerah Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam
bahasa Indonesia. Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan
IndonesiaUtusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB Duta Besar Ortis Sanz mendukung
hasil Pepera sepenuhnya, mendukung bergabungnya kembali Irian Barat ke
Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan perpindahan
kekuasaan kepada Indonesia. September
1969 Menyusul hasil pendapat rakyat Irian Barat yang sepenuhnya
mendukung penggabungan kembali dengan Indonesia, Dewan Perwakilan (DPR) RI
mengesahkan undang-undang pembentukan Provinsi Irian Barat.
Perubahan politik ini menimbulkan banyak masalah di pelbagai
bidang baik dalam masyarakat maupun Gereja. Pasokan bahan kebutuhan primer
berkurang terutama di pedalaman karena kendala transportasi. Perbedaan
pandangan politik antara pro Indonesia dan pro Papua merdeka menempatkan karya
pastoral kerohanian terjepit. Karenanya beberapa imam misionaris OSA memilih
pulang ke Belanda. Usaha inkulturasi “Indonesianisasi” harus dilakukan secara
sangat hati-hati dalam konteks “papuanisasi”. Belum lagi tantangan menuju
kemandirian Gereja Umat yang juga berlaku di bidang keuangan mengingat kondisi
ekonomi masyarakat dan umat setempat masih
amat sangat ketinggalan jauh.
Dalam rangka mengupayakan perdamaian dan memperjuangkan
kepentingan umat Islam di dunia, Indonesia turut mendirikan Organisasi
Konferensi Islam (OKI/ OIC) dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Rabat, Maroko.
Pada 1 September 1969, sekelompok kecil perwira militer dipimpin oleh Kolonel Muammar
Gaddafi merebut kekuasaan dan menumbangkan pemerintahan monarki Libya, melengserkan Raja Idris. Gaddafi
mengubah Libya menjadi sebuah republik yang diperintah oleh Dewan Komando
Revolusioner.
Dalam konteks mewujudkan kerukuan antara umat beragama serta
berupaya menghindari terjadinya konflik konflik antaragama, maka pemerintah
Indonesia mengeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1/1969 tanggal 13 September 1969 tentang cara cara Mendirikan Rumah
Ibadah dan Cara cara Penyiaran Agama. Pada pasal 4 SKB No 1/1969 aturan
pendirian rumah ibadah adalah sbb: (1) Setiap pendirian rumah ibadat perlu
mendapatkan ijin dari Kepala Daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang
dikuasakan untuk itu. (2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini memberikan ijin yang dimaksud, setelah mempertimbangkan: a.
pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat. b. planologi; c. kondisi
dan keadaan setempat. (3) apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat
yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi
keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat.”
Diktum yang paling menimbulkan masalah adalah ayat 3 yang
sangat kabur, sehingga dapat ditafsirkan berbeda-beda. Dalam prakteknya, pasal
ini dapat dipakai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan organisasi
keagamaan untuk menghalangi pendirian rumah ibadah (dan kenyataannya demikian).
DGI dan MAWI menyampaikan Memorandum, tertanggal 10 Oktober 1969, yang meminta
pemerintah untuk meninjau kembali SKB itu. Memorandum yang ditandatangani oleh
Ds. W. J. Rumambi (Sekretaris Departemen Gereja dan Masyarakat DGI) dan Pastor
F.X. Danuwinata, SJ (MAWI) dengan tegas meminta “agar Keputusan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 itu ditinjau kembali.”
Memorandum itu tidak ditanggapi.
Sejak berlangsungnya penangkapan massal anggota PKI yang
dimulai pada pertengahan tahun 1965 dan berlanjut hingga tahun 1969, jumlah para
tahanan politik bertambah besar; mereka dikurung berjubel di dalam penjara-penjara di Jakarta (misalnya
di Salemba dan Cipinang), Tangerang, Surabaya (Kalisosok), Jawa Tengah
(Nusakambangan dan Solo), serta Yogyakarta selama beberapa tahun dan membebani
anggaran keuangan pemerintah. Seluruh
tahanan menjalani tes psikologi yang hasilnya menempatkan tahanan dalam kategori A, B dan C. Golongan A adalah
mereka yang terindikasi terlibat langsung dan dikenai hukuman mati . Tapol
golongan B adalah mereka yang dinilai
terlibat tidak langsung dan dianggap hanya sebagai kader. Sedangkan tapol
golongan C dianggap tapol PKI yang ikut-ikutan. Wawancara dan tes psikologi seleksi itu yang
dilakukan terus menerus selama tahun 1968 dan seterusnya. Atas dasar seleksi
itu golongan B menjadi lebih banyak ketimbang golongan A maupun golongan C.
Jumlah keseluruhan Golongan B yang ditahan mencapai 12.000 orang.
Penpres 3 tahun 1968 yang menjadi Undang-Undang Nomor 5
tahun 1969 memberi Wewenang kepada Jaksa Agung melakukan pengawasan dan
pengusiran seseorang. Atas dasar itu kemudian PangKopkamtib mengeluarkan keputusan
No 009/Kopkam/2/1969 dan No 017/Kopkam/1969 yang menunjuk Jaksa Agung agar
menyelenggarakan penampungan pemeliharaan, dan pemanfaatan tahanan G30S PKI
golongan B di Pulau Buru.
Pemilihan Pulau Buru didasarkan pertimbangan, (1) Pulau Buru
terletak jauh dari suhu politik ibu kota yang sangat peka (2) untuk meringankan
beban keuangan pemerintah demi suksesnya program Pelita. Di Pulau Buru
diharapkan para tahanan akan bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri,
tanpa tergantung kepada anggaran keuangan Negara mengikuti pola transmigrasi,
(3) meneruskan pembangunan pemerintah sejak tahun 1954 yang mengusahakan
bendungan irigasi pertanian di sana.
Dalam
pelaksanaannya dilakukan prosedur sebagai berikut: a). Penampungan meliputi (1)
penelitian, penelahaan, dan penentuan tempat-tempat penampungan yang memenuhi
syarat keamanan rohani dan jasmani, kesehatan, dan tersedianya kemungkinan
untuk pemanfaatan tenaga para tahanan serta keluarganya, (2) penelitian dan
pembinaan tahanan di tempat pemanfaatan, (3) penelitian dan pembinaan anggota
keluarga para tahanan yang kelak akan disusulkan, sesuai dengan perkembangan
keadaan, (4) pembangunan tempat penampungan, (5) penentuan jadual
pemberangkatan secepat-cepatnya, tempat dan fasilitas yang diperlukan, (6)
pemberangkatan para tahanan ke tempat pemanfaatan, serta tindakan pengamanan
selama dalam perjalanan.
b).
Pemeliharaan meliputi (1) penyediaan dan perawatan alat-alat serta fasilitas
lainnya yang diperlukan untuk pemanfaatan para tahanan, (2) pemeliharaan tempat
pemanfaatan serta alat dan fasiltasnya, (3) perawatan para tahanan serta
keluarganya, (4) perawatan perorangan dan satuan-satuannya yang
menyelenggarakan pengamanan intern dan administrasi tempat pemanfaatan, (5)
pemeliharaan alat dan fasilitas yang diperlukan untuk administrasi dan
pengamanan intern tempat pemanfaatan.
c). Pemanfaatan meliputi (1) perencanaan, persiapan, dan
pengaturan pelaksanaan pemanfaatan para tahanan, (2) pengawasan terus menerus
atas kegiatan pemanfaatan itu sendiri.
Adapun prinsip yang digariskan pemerintah untuk pelaksanaan
tindakan tersebut, ialah tidak menggangu keamanan nasional, sesuai dengan
perundangan yang berlaku, dan tahanan harus memproduksi sendiri kebutuhannya,
sebagai penunjang pelaksanaan pembangunan lima tahun.
Mengingat terbatas waktu dan biaya, tim survey awal
dilakukan pada tahun 1969 yang dipersiapkan untuk 2500 tapol gelombang pertama
yang menempati areal seluas 2500 ha. Pengiriman tapol dilakukan dengan beberapa tahap, bulan Agustus
1969 dikirim sebanyak 850 orang dari Pelabuhan Sodong, Nusakambangan, dengan
menggunakan kapal perang ALRI. Desember 1969 sebanyak 1.650 orang; tahun selanjutnya
akan dikirim sebanyak 5.000 orang, mulai bulan Juli, Agustus hingga September.
Di banyak tempat alam rangka modernisasi desa dilakukan
pendidikan non formal dengan program do school untuk membentuk kader-kader
pembangunan desa dan peningkatan mutu penyuluhan pertanian. Di Grisonta Ungaran
didirikan suatu do school. Di desa Sidomulyo Ungaran didirikan suatu upaya
mixed farming untuk membina para pemuda yang tidak melanjutkan pendidikan umum
menjadi kader usaha pertanian/perkebunan/peternakan.
Sejalan dengan perkembangan sosial budaya yang sejak 1965
selalu tegang dan menimbulkan kehausan akan sarana hiburan, dan ditopang oleh
berkembangnya sekolah-sekolah kejuruan teknik menengah dan penyebaran teknologi
dengan maraknya produksi dan penggunaan pesawat radio penerima transistor, dari
sekitar 1967 anak-anak muda berusaha merakit radio-radio pemancar sendiri dan
bermunculanlah radio siaran amatir (radam) yang bersifat radio eksperimen (radeks)
di mana-mana. Pemancar-pemancar ini lebih mengutamakan aspek bongkar pasang
rakitan teknik dan karenanya bersifat eksperimen; program siaran sangat
sederhana, hanya menyiarkan hiburan, terutama lagu-lagu pilihan pendengar saja,
namun di akar rumput berhasil membuyarkan monopoli siaran RRI. Mereka pada 1969
marak berjubel memenuhi saluran udara gelombang pendek (SW, short wave) dan gelombang menengah (MW, medium wave), dipancarkan dari studio seadanya, misalnya
garasi atau gudang. Karena tidak terdaftar sebagai radio siaran, sebagian besar
disebut radio gelap, walau sebenarnya diketahui dan diterima umum karena antena
mereka menjulang tinggi dan tidak disembunyikan. Setiap jam siaran banyak anak
muda datang berkerumun di halaman studio. Anak-anak katolik di lokasi
pendidikan dan di kampus-kampus di banyak kota mengikuti kegiatan baru di
bidang radio ini, dan setelah diadakan penertiban oleh pemerintah dengan alasan
mengganggu penerbangan pada 1970 dan setelah seleksi dengan keharusan berbadan
hukum, sebagian menjadi cikal bakal keberadaan studio-studio radio pemancar
siaran katolik.
Bersambung Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1970