Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Tradisi Wahyu Ilahi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tradisi Wahyu Ilahi. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Desember 2022

PENTRADISIAN WAHYU ILAHI

POKOK2 KATEKESE IMAN KITA #6

Bambang Kussriyanto



Pentradisian Wahyu Ilahi

  Allah "menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran" (1Tim 2:4), artinya agar semua orang mengenal Yesus Kristus yang mendatangkan keselamatan. Karena itu Kristus harus diwartakan kepada semua bangsa dan manusia, dan wahyu harus disampaikan ke seluruh pelosok dunia (KGK 74). Allah menghendaki agar “apa yang diwahyukan-Nya demi keselamatan semua bangsa, harus tetap utuh selamanya dan diteruskan kepada segala keturunan” (DV 7). "Maka Kristus Tuhan, yang menjadi kepenuhan seluruh wahyu Allah yang Mahatinggi (lih. 2Kor 1:30; 3:16-4:6), memerintahkan kepada para Rasul, supaya Injil, yang dahulu telah dijanjikan melalui para nabi dan dipenuhi oleh-Nya serta dimaklumkan-Nya sendiri, mereka wartakan kepada semua orang, sebagai sumber segala kebenaran yang menyelamatkan serta sumber ajaran kesusilaan, dan dengan demikian dibagi-bagikan karunia-karunia ilahi kepada mereka" (DV 7; KGK 75).

            Gereja,  dalam pribadi para rasul, mendapat wewenang dari Kristus untuk mengajar; Gereja menjadi pengganti-Nya. “Pergilah, jadikan semua orang muridKu” (Mat 28: 19). ”Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku” (Luk 10: 16).

            Sesuai dengan kehendak Allah, terjadilah pewartaan Injil dengan dua cara:

-- secara lisan “oleh para Rasul, yang dalam pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa yang mereka terima dari mulut, pergaulan, dan karya Kristus sendiri, entah apa yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari”;

-- secara tertulis “oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli, yang atas ilham Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan” dalam Kitab Suci (DV 7; KGK 76).

            Jemaat Kristiani perdana dikisahkan “bertekun dalam pengajaran para rasul” (Kis 2:42), yaitu dalam pengajaran lisan yang diberikan, cukup lama sebelum ajaran-ajaran lisan itu dituliskan, lalu dipilah dan kemudian dihimpun menjadi Kitab Suci Perjanjian Baru. Rasul Paulus memberikan gambaran atas apa sesungguhnya dilaksanakan: “Yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci... Sebab itu, baik aku, maupun mereka, demikianlah kami mengajar, dan demikianlah kamu percaya” (1Kor 15:3.11). Ia juga berkata kepada Timoteus yang kemudian menjadi uskup, “Apa yang telah engkau dengar daripadaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain” (2Tim 2:2). Dengan kata lain, Timoteus, salah seorang pengganti para rasul, harus mengajarkan apa yang dulu dipelajarinya dari pendahulunya, yaitu Paulus. Rasul memuji jemaat: “Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang kepada ajaran yang kuteruskan kepadamu” (1Kor 11:2).

            Gambaran di atas menunjukkan bagaimana tugas para rasul dilanjutkan oleh para pengganti mereka. “Supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup di dalam Gereja, para Rasul meninggalkan Uskup-Uskup sebagai pengganti-pengganti mereka, yang `mereka serahi kedudukan mereka untuk mengajar” (DV 7). Maka, “pewartaan para Rasul, yang secara istimewa diungkapkan dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dilestarikan sampai kepenuhan zaman melalui penggantian-penggantian yang tiada putusnya” (DV 8;  KGK 77). Bagaimana amanat ini dilaksanakan? Dengan berkhotbah, dengan pengajaran lisan. “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus” (Rm 10:17). Gereja selalu tersedia sebagai pengajar yang hidup.

            Allah jauh sebelumnya telah menjanjikan suara yang hidup di dalam jemaat-Nya (Yes 59:21). Nubuat ini tentulah merujuk kepada Gereja yang hidup.

            Dalam KGK 78 dikatakan bahwa: “Penerusan yang hidup ini, yang berlangsung dengan bantuan Roh Kudus, dinamakan ‘Tradisi’, yang walaupun berbeda dengan Kitab Suci namun sangat erat berhubungan dengannya”.

‘Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya..... Ungkapan-ungkapan para Bapa Suci memberi kesaksian akan kehadiran tradisi itu yang menghidupkan, dan yang kekayaannya meresapi praktik serta kehidupan Gereja yang beriman dan berdoa’ (DV 8).

            Perlu dicermati dengan benar apa yang dimaksudkan Gereja Katolik dengan ‘Tradisi’. Istilah Tradisi itu sekalipun bernuansa pengajaran lisan bukan merujuk pada cerita dongeng atau legenda ataupun mitologi; juga bukan kebiasaan-kebiasaan sementara atau praktek-praktek yang bisa datang pergi menurut situasi, misalnya sehubungan dengan pakaian imam, bentuk devosi tertentu kepada para santo, atau bahkan tata upacara liturgis tertentu yang bisa berubah.

Tradisi berarti ajaran-ajaran dan wewenang mengajar dari Yesus dan yang disampaikan-Nya kepada para rasul secara utuh. Inilah yang diteruskan turun temurun dan dipercayakan kepada Gereja (artinya kepada para pengajar yang resmi, yaitu para uskup dalam kesatuan dengan Paus). Adalah penting bagi umat Katolik untuk memercayai dan mengikuti Tradisi ini dan Kitab Suci (Luk 10:16). Kebenaran iman diberikan pertama-tama kepada para pemimpin Gereja (Ef 3:5), yang bersama Kristus merupakan landasan dari Gereja (Ef 2:20). Gereja dibimbing oleh Roh Kudus, yang melindungi ajaran ini (Yoh 14:16).

 

Hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci

Mengenai hubungan antara Tradisi dan Kitab Suci, KGK mengajarkan, pertama-tama dengan mengutip Konsili Vatikan II bahwa: ‘Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama’ (DV 9). “Kedua-duanya menghadirkan dan mendayagunakan misteri Kristus, yang berjanji akan tinggal menyertai umat-Nya ‘sampai akhir zaman’ (Mat 28:20) di dalam Gereja” (KGK 80).

            Demi jelasnya, Konsili Vatikan Kedua membedakan Tradisi Suci dari Kitab Suci, walaupun Perjanjian Baru sendiri merupakan kumpulan tradisi jemaat Kristiani purba tentang Yesus dan tentang ajaran-Nya. Di satu pihak "Kitab Suci adalah pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh ilahi". Sedangkan "Oleh Tradisi Suci, Sabda Allah yang oleh Kristus Tuhan dan Roh Kudus dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka, supaya mereka ini dalam terang Roh kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara, menjelaskan, dan menyebarkannya dengan setia" (DV 9; KGK 81).

            Konstitusi Konsili Vatikan II Dei Verbum menyatakan bahwa “Tradisi Suci dan Kitab Suci membentuk satu khasanah suci Sabda Allah yang dipercayakan kepada Gereja” (DV 10).

            Memang lebih mudah membayangkan keseluruhan Sabda Allah sebagai satu buku yang dibendel rapi : Kitab Suci. Tetapi ada banyak segi hidup Kristiani, nasehat, teladan, ibadat, dan keyakinan yang berasal dari zaman para rasul tidak tertulis dalam Kitab Suci. Semua itu terus dilanjutkan (inilah makna harfiah dari “Tradisi”) oleh rasul-rasul dan para pengganti mereka sebagai bagian yang mendasar dari kehidupan umat Perjanjian Baru dari Allah, Gereja.

Para rasul seraya menyampaikan apa yang telah mereka terima, mengingatkan  umat beriman agar berpegang teguh kepada ajaran-ajaran yang telah mereka terima baik secara lisan maupun secara tertulis (lih 2Tes 2:15), dan berusaha keras memertahankan iman yang telah disampaikan sekali untuk selamanya (lih Yud 3). Apa yang diteruskan oleh para rasul itu meliputi segala sesuatu yang bermanfaat untuk kekudusan hidup dan bagi kemajuan iman umat Allah. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan seluruh dirinya, dan imannya seutuhnya” (DV 8).

 

Telah disebutkan bahwa Allah melalui Nabi Yesaya, telah menjanjikan suara yang hidup di dalam jemaat yang akan didirikan Kristus: “Inilah perjanjian-Ku dengan mereka: RohKu yang menghinggapi engkau dan frimanKu yang Kutaruh dalam mulutmu tidak akan meninggalkan mulutmu dan mulut keturunanmu dan mulut keturunan mereka, dari sekarang sampai selama-lamanya” (Yes 59:21). Nubuat ini tentulah merujuk kepada Gereja yang hidup, yang merupakan pengajar yang hidup. Pengajaran lisan ini akan terus berlangsung sampai akhir zaman. ”Firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya. Inilah firman yang disampaikan Injil kepadamu” (1Ptr 1:25).

            “Dengan demikian maka Gereja”, yang dipercaya untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya [baik tradisi maupun Kitab Suci] harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama” (DV 9; KGK 82).

 

Tradisi Apostolik dan Tradisi Gerejani

KGK 83 menyatakan bahwa: “Tradisi yang kita bicarakan di sini, berasal dari para Rasul, yang meneruskan apa yang mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Generasi Kristen yang pertama ini belum mempunyai Perjanjian Baru yang tertulis, dan Perjanjian Baru itu sendiri memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu.” Ini adalah Tradisi Rasuli atau Tradisi Apostolik.

            “Tradisi ini berbeda dari tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis atau religius, yang dalam perjalanan waktu terjadi di Gereja-gereja setempat.” Yaitu Tradisi Gerejani. “Mereka merupakan ungkapan-ungkapan khas dari Tradisi besar yang disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda. Dalam terang tradisi utama dan di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja, tradisi-tradisi konkret itu dapat dipertahankan, diubah, atau juga dihapus” (KGK 83).

            Katekismus menunjukkan bahwa tidak semua tradisi yang berkembang di dalam Gereja merupakan bagian dari wahyu ilahi yang oleh umat Katolik disebut Tradisi Suci. Ada banyak tradisi manusia yang merupakan bagian dari kehidupan Gereja perlu diubah. Tradisi-tradisi itu mungkin semata-mata adat manusia, tetapi juga mungkin merupakan bagian dari kehendak Allah dan dimaksudkan Gereja untuk situasi khusus atau penggal masa tertentu dalam kehidupan umat Allah, namun tidak dimaksudkan untuk segala masa dan tidak untuk setiap situasi.

            Terhadap tradisi semacam itulah Yesus berkata, ”Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat-istiadat nenek moyangmu?” (Mat 15:3) Paulus mengingatkan, “Hati-hatilah supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol 2:8). Sesungguhnya ayat-ayat ini hanya mengenai tradisi tertentu buatan manusia di tempat dan kurun waktu tertentu yang bertentangan dengan perintah Allah saja, bukan mengutuk kebenaran yang disampaikan secara lisan dan dipercayakan kepada Gereja secara umum di segala masa.

            Perhatikan Mat 15:6-9: “Firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri. Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya  tentang kamu:  Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaku. Percuma mereka beribadah kepadaKu sedang ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.” Di dalam konteksnya. Yesus tidak mengutuk semua tradisi. Ia hanya mengutuk tradisi yang mengabaikan Sabda Allah.

            Di tempat lain, Yesus mengajar para pengikut-Nya agar mengikuti tradisi yang tidak berlawanan dengan perintah Allah. “Ahli-ahli Taurat dan orang Farisi telah menduduki kursi Musa, sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23: 2-3).

            Memang, ada masalah besar untuk menentukan apa yang merupakan Tradisi yang autentik. Bagaimana kita tahu bahwa apa yang diteruskan turun temurun oleh Gereja Katolik adalah ajaran dan praktek yang benar?  Kita tahu bahwa ajaran dan praktek itu benar sebab Kristus berjanji akan melindungi Gereja dari kuasa alam maut (Mat 16:18).  Gereja tak akan hancur, ajarannya tak akan keliru. Untuk itu, melalui Petrus, Kristus memberikan wewenang mengajar (Mat 16:19;  28: 18-20).

            Para Uskup Gereja yang termasuk dalam Magisterium atau “Wewenang Mengajar” dalam Gereja mempunyai tanggungjawab dan karisma untuk merenungkan perbedaan di antara Tradisi Suci yang autentik dengan tradisi-tradisi lainnya. Magisterium dengan setia memelihara, menafsirkan dan menyatakan wahyu Allah hingga sampai kepada kita berkat Roh Kudus, melalui baik Kitab Suci maupun Tradisi Suci.

            Tradisi Suci yang kadang-kadang disebut tradisi apostolik atau singkatnya Tradisi, meliputi semua aspek perwahyuan Allah selain Kitab Suci yang dimaksudkan Allah supaya dipercaya dan diikuti oleh seluruh Gereja di setiap zaman: “seluruh dirinya, dan imannya seutuhnya.” (Beberapa buku yang memberi inspirasi: Yves M.-J. Congar, 1997: Tradition and Traditions: The Biblical, Historical, and Theological Evidence for Catholic Teaching on Tradition; juga Yves M.-J. Congar, 2004: The Meaning of Tradition)

            Sebagian unsur Tradisi Suci disampaikan sepenuhnya dalam bentuk ibadat dan doa-doa untuk memuliakan Allah dalam Gereja, atau cara yang tepat untuk menghormati para malaikat dan orang kudus, termasuk Maria, Bunda Allah. Unsur yang lain dari Tradisi Suci menyatakan kehendak Allah sehubungan dengan cara hidup kita (ajaran tata-kehidupan moral), yang tidak selalu eksplisit atau sepenuhnya dinyatakan dalam Kitab Suci.  Sebagian dari keyakinan Katolik dalam bidang hidup dan moralitas Katolik tercakup dalam kategori ini, misalnya mengenai penolakan aborsi, eutanasia dan pembunuhan anak-anak (GS 27). Sedari awalnya Gereja Kristiani menolak hal-hal ini dan berbagai praktek  pelanggaran moral lainnya.

            Sebagian dari peranan Tradisi Suci adalah memelihara makna yang benar dari Kitab Suci dengan menyampaikan tafsiran pemimpin Gereja atas perikop tertentu dari Kitab Suci.

            Sebagian umat Kristiani mengira umat Katolik mengurangi pentingnya Kitab Suci karena juga mengikuti Tradisi Suci. Sebaliknya, umat Katolik sangat menghargai Kitab Suci, justru dengan mengakui bahwa kita sering harus mengandalkan Tradisi Suci dalam memelihara makna yang benar dari Kitab Suci. Tidak ada elemen Tradisi Suci yang berlawanan dengan ajaran Kitab Suci, karena keduanya merupakan pernyataan kebenaran Allah yang tunggal. Namun, Tradisi Suci kadang-kadang justru memampukan kita menafsirkan perikop tertentu dari Kitab Suci secara tepat (terutama ayat-ayat yang tampaknya sulit dipahami).

            Roh Kudus juga menggunakan Tradisi Suci untuk menyampaikan kepada Gereja pemahaman yang lebih penuh dan mendalam akan Kitab Suci. Beberapa tema tertentu yang hanya secara singkat disebut atau dinyatakan dalam Kitab Suci disampaikan dengan lebih penuh dan mendalam melalui Tradisi Suci. Sebagai contoh adalah ajaran tentang Tritunggal Mahakudus. Ajaran itu tidak tercantum secara eksplisit dalam halaman-halaman Kitab Suci, bukan hanya karena istilah Tritunggal tidak pernah digunakan – sebab istilah itu mula-mula digunakan oleh Teofilus dari Antiokia pada tahun 181 (Teofilus dari Antiokia, Ad Autolycum, 2, 15) – namun juga karena dari halaman-halaman naskah Kitab Suci tidak jelas apakah Roh Kudus adalah juga Pribadi Allah. Kemudian juga keyakinan Katolik mengenai Maria yang dikandung tanpa noda dan Maria yang diangkat ke surga, yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Kitab Suci, namun mengalir keluar darinya.

            Dalam Kitab Suci tidak diajarkan bahwa hanya Kitab Suci saja yang dilhami oleh Allah. Mengenai Tradisi Suci dan tempatnya dalam Gereja, Dei Verbum mengajar:

Tradisi yang berasal dari para rasul ini berkembang dalam Gereja dengan pertolongan Roh Kudus. Di sanalah bertumbuh pemahaman akan kenyataan dan Sabda yang telah disampaikan turun termurun. Ini terjadi berkat kaum beriman yang menyimpannya dalam hati (lih Luk 2:19 dan 51), merenungkan dan mempelajarinya, melalui pemahaman yang mendalam akan hal-hal rohani yang mereka alami, dan melalui pewartaan dari mereka yang berdasarkan pergantian jabatan Uskup telah menerima karisma kebenaran yang pasti. Karena, ketika abad demi abad berganti, Gereja terus menerus maju ke depan menuju  kepenuhan kebenaran ilahi sampai Sabda Allah mencapai terlaksana sepenuhnya dalam dirinya (DV 8).  

 

            Walaupun Gereja telah menerima ”wahyu umum” yang mendasar selama masa hidup Yesus dan para rasul-Nya, namun Roh Kudus terus bekerja di dalam Gereja, sebagaimana dijanjikan oleh Yesus, untuk memberikan kepada kita pemahaman yang lebih penuh dan lebih lengkap akan kebenaran Allah. Hal ini dilakukan Allah melalui Tradisi Suci.

 

Kitab Tradisi?

Satu pertanyaan terakhir yang sering diajukan adalah di mana Tradisi Suci Gereja itu bisa ditemukan. Tidak ada satu buku yang secara lengkap dan menyeluruh memuat apa yang oleh Gereja Katolik dianggap Tradisi Suci, karena Tradisi ini meliputi sebagian besar kehidupan umat Allah, seperti tata-cara ibadat, devosi, ajaran moral dan kebijaksanaan, dan penafsiran Kitab Suci. Tradisi Suci dapat dikatakan sebagai semua unsur yang mendasar dan tidak berubah dari “cara hidup” Gereja, dan rumusan doktrin yang diberikan oleh Magisterium kepada kita sebagai pemahaman autentik atas semua keyakinan dan praktek Gereja.

            Ada buku-buku yang mengikhtisarkan ajaran resmi dari berbagai Konsili Ekumenis dan ajaran para Paus Gereja Katolik. Mereka menyampaikan sebagian besar dari Tradisi Suci di mana rumusan formal dari keyakinan dan praktek Katolik disusun oleh Magisterium sepanjang sejarah. Tetapi Tradisi Suci juga meliputi hal-hal yang secara konsisten diajarkan oleh para Bapa Gereja, para Pujangga Gereja dan para orang kudus, yang oleh Magisterium dianggap tidak perlu dirumuskan secara formal.