Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Penanganan Perkara Pelecehan Seksual Anak-anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penanganan Perkara Pelecehan Seksual Anak-anak. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 September 2022

PENANGANAN PERKARA PELECEHAN SEKSUAL OLEH KLERUS

 Bambang Kussriyanto



Tuduhan pelecehan seksual oleh Uskup Mgr Belo dari Timor Leste dua hari ini viral di media.

Dari pedesaan Australia di belahan bumi selatan sampai sekolah-sekolah Irlandia di belahan utara, hingga di kota-kota di Amerikat Serikat di belahan barat, Gereja Katolik menerima gempa besar guguran kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak dalam tiga-empat dasawarsa terakhir.  

Kasus yang melibatkan petinggi Gereja, kesaksian yang mengalir sampai penyelidikan pidana sipil terus menerus menjadi berita utama di koran-koran.

Suatu penelitian di Perancis menemukan sekitar 216,000 anak-anak mengalami pelecehan seksual oleh para imam sejak 1950. Media di AS dan Kanada mulai menaruh perhatian besar pada kasus pelecehan yang dilakukan klerus pada tahun 1980an. Isyu itu bertambah besar dalam dasawarsa  1990an dengan cerita-cerita dari Argentina, Australia dan tempat-tempat lain. Pada 1995, Uskup Agung Vienna, Austria, jatuh oleh tuduhan pelecehan seksual, mengguncangkan Gereja di sana.

Paus Fransiskus sangat terpukul oleh temuan-temuan pidana itu dan mengharapkan dapat menemukan “lorong penebusan". Ia berusaha keras mengatasi persoalan pelecehan seksual para klerus dengan mengadakan penyelidikan atas paedophilia dalam Gereja, dan mengubah hukum kanonik Gereja dengan mempidanakan pelecehan seksual.

Dari 1990 hingga 2018, laporan pelecehan seksual melibatkan 382 imam dan 625 anak korbannya, yang umumnya di bawah usia 16 tahun. Suatu laporan komisi Gereja pada 2004 menyatakan lebih dari 4,000 imam AS menghadapi tuduhan pelecehan seksual dalam rentang waktu 50 tahun terakhir melibatkan 10,000 anak yang menjadi korban, terutama anak laki-laki.

Kongregasi Ajaran Iman (KAI) Vatikan pada 2020 menerbitkan panduan penanganan laporan tentang pelecehan seksual oleh klerus. Pedoman itu tidak menggantikan hukum kanon maupun sipil, tetapi menunjukkan langkah-langkah awal yang perlu diambil Gereja di seluruh dunia dengan penuh kesungguhan.


Apa yang harus dilakukan ketika laporan tentang kemungkinan t


indak pidana (notitia de delicto) diterima?

a/ apa yang dimaksud dengan istilah notitia de delicto?

9. Notitia de delicto (bdk. kan. 1717 § 1 Kitab Hukum Kanonik (KHK); kan. 1468 § 1 KKGKT (Kitab Kanon Gereja Katolik Timur); art. 16 SST (Motu Proprio Scramentum Sanctitationis Tutela); art. 3 VELM (Motu Proprio Vos Estis Lux Mundi)), yang kadang disebut notitia criminis, adalah informasi apapun tentang tindak pidana yang mungkin dilakukan, dengan suatu cara sampai kepada pengetahuan Ordinaris atau Hirarki. Hal ini tidak harus merupakan laporan formal.

10. Notitia ini bisa datang dari berbagai macam sumber: dapat disampaikan secara formal kepada Ordinaris atau Hierarki, secara lisan atau tertulis, oleh terduga korban, walinya, atau orang lain yang menyatakan memiliki pengetahuan mengenai hal itu; dapat diketahui oleh Ordinaris atau Hierarki melalui pelaksanaan tugas pengawasannya; dapat dilaporkan kepada Ordinaris atau Hierarki oleh otoritas sipil melalui saluran-saluran yang diatur oleh legislasi lokal; dapat disebarluaskan melalui media komunikasi (termasuk media sosial); dapat sampai kepadanya lewat desas-desus, atau dengan cara lain apapun yang memadai.

11. Kadang-kadang notitia de delicto dapat berasal dari sumber yang anonim, yaitu dari orang yang tidak dikenal atau tidak bisa diidentifikasi. Anonimitas sumber tidak boleh secara otomatis mengarahkan orang untuk menganggap suatu laporan tidak benar (palsu). Namun demikian, untuk alasan yang mudah dimengerti, kehati-hatian besar harus dilakukan dalam mempertimbangkan notitia seperti itu, dan laporan anonim tentu saja tidak disarankan. 12. Begitu juga, ketika notitia criminis datang dari sumber yang kredibilitas orangnya tampak meragukan sejak semula, sebaiknya tidak ditolak secara a priori.

13. Kadang-kadang, notitia de delicto tidak dilengkapi dengan rincian khusus (nama, tanggal, waktu…). Meskipun tidak jelas dan tidak pasti, informasi itu haruslah dinilai secara wajar dan, sejauh memungkinkan, diberi perhatian semestinya.

14. Harus ditegaskan bahwa laporan mengenai delictum gravius (tindak pidana sangat berat) yang diterima dalam pengakuan dosa ditempatkan dibawah ikatan paling ketat dari rahasia sakramental (bdk. kan 983 § 1 KHK; kan. 733 § 1 KKGKT; art. 4 § 1, 5ยบ SST). Seorang bapa pengakuan yang diberitahu adanya delictum gravius sewaktu perayaan sakramen hendaknya berusaha meyakinkan peniten agar informasi diberitahukan dengan cara lain sehingga otoritas yang terkait dapat mengambil tindakan atas hal itu.

15. Tanggung jawab pengawasan yang melekat pada Ordinaris atau Hierarki tidak menuntut bahwa ia secara terus-menerus memantau klerikus yang menjadi bawahannya, namun juga tidak mengizinkannya untuk menganggap diri bebas dari upaya memperoleh informasi mengenai perilaku mereka dalam hal-hal ini, khususnya apabila ia menyadari hal-hal yang mencurigakan, perilaku keji, atau tindakan tidak senonoh yang serius.

b/ Tindakan apa yang harus diambil setelah notitia de delicto diterima?

16. Art. 16 SST (bdk. juga kan. 1717 KHK dan 1468 KKGKT) menyatakan bahwa, ketika notitia de delicto diterima, hendaknya segera diikuti penyelidikan awal, asalkan laporan itu “saltem verisimilis,” (setidak-tidaknya ada kemungkinan kebenaran). Apabila kemungkinan kebenaran terbukti tak berdasar, notitia de delicto tidak perlu ditindak-lanjuti, walaupun perhatian mesti dilakukan untuk menyimpan dokumen bersama dengan penjelasan tertulis mengenai alasan-alasan diambilnya keputusan itu.

17. Bahkan dalam perkara-perkara di mana tidak ada kewajiban hukum yang eksplisit untuk melakukannya, otoritas gerejawi hendaknya membuat laporan kepada otoritas sipil yang berwenang apabila dinilai perlu untuk melindungi orang yang terlibat atau anak-anak lain dari bahaya tindak-tindak kejahatan berikutnya.

18. Mengingat hakikat perkaranya yang sensitif (misalnya, kenyataan bahwa dosa melawan perintah ke-6 Dekalog jarang terjadi dengan kehadiran saksi), penentuan bahwa notitia de delicto itu tidak memiliki kemungkinan kebenaran (yang dapat mengarah pada peniadaan penyelidikan awal), dapat dilakukan hanya dalam perkara yang ketidakmungkinannya untuk melanjutkan proses sesuai dengan norma hukum kanonik nyata. Misalnya, jika ternyata bahwa pada saat tindak pidananya didakwakan, orangnya belum menjadi klerikus; jika menjadi jelas bahwa terduga korban bukan seorang anak (tentang hal ini, bdk. no. 3); jika merupakan kenyataan yang diketahui umum bahwa orang yang disangka tidak ada di tempat kejadian perkara ketika tindak kejahatan yang disangkakan terjadi).

19. Namun, dalam perkara demikian, disarankan bahwa Ordinaris atau Hierarki menyampaikan kepada KAI notitia de delicto dan keputusan untuk tidak melakukan penyelidikan awal dengan alasan kurangnya kemungkinan ke arah kebenaran yang nyata itu.

20. Di sini hendaknya ditegaskan bahwa dalam perkara perilaku yang tidak pantas atau tidak bijak, meskipun tidak ada tindak pidana yang melibatkan anak-anak, apabila dinilai perlu untuk melindungi kebaikan umum dan menghindari skandal, Ordinaris atau Hierarki berwenang untuk mengambil langkah-langkah administratif lain terhadap orang yang disangka (misalnya, pembatasan pelayanannya), atau menjatuhkan remedium poenale seperti yang disebut dalam kan. 1339 KHK dengan maksud mencegah tindak pidana (bdk. kan. 1312 §3 KHK) atau memberikan teguran umum seperti disebut dalam kan. 1427 KKGKT. Dalam perkara tindak pidana yang tidak berat (non graviora), Ordinaris atau Hierarki hendaknya menggunakan sarana-sarana yuridis yang cocok dengan keadaannya.

21. Sesuai kan. 1717 KHK dan kan. 1468 KKGKT, tanggung jawab untuk penyelidikan awal dimiliki Ordinaris atau Hierarki yang menerima notitia de delicto, atau orang yang tepat yang dipilihnya. Kelalaian atas tugas ini dapat merupakan tindak pidana prosedur kanonik sesuai dengan KHK, KKGKT dan Motu Proprio Come una madre amorevole, juga art. 1 §1, b VELM.

22. Tugas ini menjadi tanggung jawab Ordinaris atau Hierarki dari klerikus yang disangka atau, jika tidak, Ordinaris atau Hierarki tempat tindak pidana yang disangkakan terjadi. Dalam hal yang terakhir itu, secara umum akan sangat membantu apabila ada komunikasi dan kerja sama antara para Ordinaris yang terlibat, untuk menghindari konflik kewenangan atau duplikasi pekerjaan, khususnya bila klerikus itu seorang religius.

23. Apabila Ordinaris atau Hierarki menemui kesulitan dalam memulai atau melaksanakan penyelidikan awal, hendaknya ia segera menghubungi KAI untuk mendapatkan nasihat atau bantuan dalam mengatasi masalah.

24. Dapat terjadi bahwa notitia de delicto sampai langsung kepada KAI dan tanpa melalui Ordinaris atau Hierarki. Dalam hal ini KAI dapat memintanya untuk melaksanakan penyelidikan awal, atau sesuai art. 17 SST, dapat melakukannya sendiri.

25. KAI, sesuai dengan penilaiannya sendiri, karena permintaan yang jelas atau kebutuhan, dapat juga meminta Ordinaris atau Hierarki lain untuk melaksanakan penyelidikan awal.

26. Penyelidikan kanonik awal harus dilaksanakan dengan bebas dari penyelidikan serupa oleh otoritas sipil. Dalam perkara di mana undang-undang Negara melarang penyelidikan yang serupa dengannya, otoritas gerejawi yang berwenang hendaknya menahan diri untuk tidak memulai penyelidikan awal dan melaporkan indikasi pelanggaran kepada KAI dengan menyertakan dokumen yang perlu. Apabila dinilai tepat menunggu konklusi penyelidikan sipil untuk memperoleh hasilnya, atau karena alasan lain, Ordinaris atau Hierarki sebaiknya meminta nasihat mengenai hal ini kepada KAI.

27. Penyelidikan hendaknya dilaksanakan dengan menghormati hukum sipil tiap negara (bdk. art. 19 VELM).

28. Untuk tindak pidana yang dimaksudkan di sini, hendaknya diperhatikan adanya perbedaan penting batas daluwarsa tindak kejahatan dari waktu ke waktu. Batas waktu yang sekarang berlaku ditetapkan dalam art. 7 SST.[1] Namun demikian, karena art. 7 § 1 SST mengizinkan KAI menghapus daluwarsa itu kasus demi kasus, Ordinaris atau Hierarki yang sudah menentukan bahwa batas daluwarsa telah lewat harus tetap menanggapi notitia de delicto dan melaksanakan penyelidikan awal yang mungkin, dengan menyampaikan hasilnya kepada KAI, yang berwenang untuk memutuskan apakah daluwarsa tetap dipertahankan atau memberikan penghapusan baginya. Dalam menyampaikan berkas, akan bermanfaat bila Ordinaris atau Hierarki menyatakan pendapat pribadinya mengenai penghapusan yang mungkin dilakukan itu, dengan memberikan alasan berdasarkan keadaan konkret (contohnya, keadaan kesehatan atau usia klerikus, kemampuan klerikus menggunakan haknya untuk membela diri, kerugian yang disebabkan oleh tindak kejahatan yang disangkakan, skandal yang terjadi).

29. Dalam tindakan-tindakan awal yang sensitif ini Ordinaris atau Hierarki dapat meminta nasihat KAI (yang dapat terjadi di setiap saat penanganan perkara) dan juga dengan bebas berkonsultasi kepada ahli dalam masalah pidana secara kanonik. Namun demikian, dalam berkonsultasi, harus diperhatikan agar dihindari penyebaran informasi yang tidak semestinya dan tidak licit kepada publik, yang dapat merugikan penyelidikan selanjutnya atau memberi kesan bahwa telah ditentukan secara pasti fakta atau kesalahan klerikus yang bersangkutan.

30. Harus diperhatikan bahwa sudah dari tahap ini ada kewajiban untuk memegang rahasia jabatan. Akan tetapi, harus diingat bahwa kewajiban untuk diam mengenai indikasi kejahatan tidak dapat dikenakan pada orang yang melaporkan perkara, pada orang yang menyatakan dirinya telah dirugikan, dan saksi-saksi.

31. Sesuai dengan art. 2 § 3 VELM, Ordinaris yang telah menerima notitia de delicto harus segera meneruskannya kepada Ordinaris atau Hierarki tempat perkara yang dikatakan telah terjadi, juga kepada Ordinaris atau Hierarki dari orang yang dilaporkan, yaitu, dalam perkara seorang religius, kepada Pemimpin Tinggi Tarekat, jika ia adalah Ordinarisnya sendiri, dan dalam perkara seorang klerikus diosesan, kepada Ordinaris keuskupannya atau Uskup Eparkial penginkardinasiannya. Apabila Ordinaris atau Hierarki setempat dan Ordinaris atau Hierarkinya bukan orang yang sama, sebaiknya mereka saling menghubungi untuk menentukan siapa di antara mereka akan melaksanakan penyelidikan. Dalam hal laporan mengenai seorang anggota Lembaga Hidup Bakti atau Serikat Hidup Kerasulan, Pemimpin Tinggi Tarekat juga akan memberitahukannya kepada Moderator Tertinggi dan bila Lembaga dan Serikat itu berhukum diosesan, juga kepada Uskup masing-masing.

Langkah-langkah awal ini akan ditindak-lanjuti menurut Pedoman tahap berikutnya.



Petikan dari: Kongregasi Ajaran Iman, VADEMECUM PENANGANAN PERKARA PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK-ANAK OLEH KLERIKUS, Roma, 16 Juli 2020. Penerjemah : R.D. Yohanes Driyanto. ©Dokpen KWI.