Bambang Kussriyanto
Tuduhan pelecehan seksual oleh Uskup Mgr Belo dari Timor Leste dua hari ini viral di media.
Dari pedesaan Australia di belahan bumi selatan sampai
sekolah-sekolah Irlandia di belahan utara, hingga di kota-kota di Amerikat Serikat
di belahan barat, Gereja Katolik menerima gempa besar guguran kasus pelecehan
seksual terhadap anak-anak dalam tiga-empat dasawarsa terakhir.
Kasus yang melibatkan petinggi Gereja, kesaksian yang
mengalir sampai penyelidikan pidana sipil terus menerus menjadi berita utama di
koran-koran.
Suatu penelitian di Perancis menemukan sekitar 216,000 anak-anak
mengalami pelecehan seksual oleh para imam sejak 1950. Media di AS dan Kanada mulai
menaruh perhatian besar pada kasus pelecehan yang dilakukan klerus pada tahun 1980an.
Isyu itu bertambah besar dalam dasawarsa 1990an dengan cerita-cerita dari Argentina,
Australia dan tempat-tempat lain. Pada 1995, Uskup Agung Vienna, Austria, jatuh
oleh tuduhan pelecehan seksual, mengguncangkan Gereja di sana.
Paus Fransiskus sangat terpukul oleh temuan-temuan pidana
itu dan mengharapkan dapat menemukan “lorong penebusan". Ia berusaha keras
mengatasi persoalan pelecehan seksual para klerus dengan mengadakan
penyelidikan atas paedophilia dalam Gereja, dan mengubah hukum kanonik Gereja
dengan mempidanakan pelecehan seksual.
Dari 1990 hingga 2018, laporan pelecehan seksual melibatkan 382
imam dan 625 anak korbannya, yang umumnya di bawah usia 16 tahun. Suatu laporan
komisi Gereja pada 2004 menyatakan lebih dari 4,000 imam AS menghadapi tuduhan
pelecehan seksual dalam rentang waktu 50 tahun terakhir melibatkan 10,000 anak
yang menjadi korban, terutama anak laki-laki.
Kongregasi Ajaran Iman (KAI) Vatikan pada 2020 menerbitkan
panduan penanganan laporan tentang pelecehan seksual oleh klerus. Pedoman itu
tidak menggantikan hukum kanon maupun sipil, tetapi menunjukkan langkah-langkah
awal yang perlu diambil Gereja di seluruh dunia dengan penuh kesungguhan.
Apa yang harus dilakukan ketika laporan tentang kemungkinan t
indak pidana (notitia de delicto) diterima?
a/ apa yang dimaksud dengan istilah notitia de delicto?
9. Notitia de delicto (bdk. kan. 1717 § 1 Kitab Hukum Kanonik (KHK); kan. 1468 § 1
KKGKT (Kitab Kanon Gereja Katolik Timur); art. 16 SST (Motu Proprio Scramentum Sanctitationis Tutela); art. 3 VELM (Motu Proprio Vos Estis Lux Mundi)), yang kadang disebut notitia criminis, adalah
informasi apapun tentang tindak pidana yang mungkin dilakukan, dengan suatu
cara sampai kepada pengetahuan Ordinaris atau Hirarki. Hal ini tidak harus
merupakan laporan formal.
10. Notitia ini bisa datang dari berbagai macam sumber:
dapat disampaikan secara formal kepada Ordinaris atau Hierarki, secara lisan
atau tertulis, oleh terduga korban, walinya, atau orang lain yang menyatakan
memiliki pengetahuan mengenai hal itu; dapat diketahui oleh Ordinaris atau
Hierarki melalui pelaksanaan tugas pengawasannya; dapat dilaporkan kepada
Ordinaris atau Hierarki oleh otoritas sipil melalui saluran-saluran yang diatur
oleh legislasi lokal; dapat disebarluaskan melalui media komunikasi (termasuk
media sosial); dapat sampai kepadanya lewat desas-desus, atau dengan cara lain
apapun yang memadai.
11. Kadang-kadang notitia de delicto dapat berasal dari
sumber yang anonim, yaitu dari orang yang tidak dikenal atau tidak bisa
diidentifikasi. Anonimitas sumber tidak boleh secara otomatis mengarahkan orang
untuk menganggap suatu laporan tidak benar (palsu). Namun demikian, untuk
alasan yang mudah dimengerti, kehati-hatian besar harus dilakukan dalam
mempertimbangkan notitia seperti itu, dan laporan anonim tentu saja tidak
disarankan. 12. Begitu juga, ketika notitia criminis datang dari sumber yang
kredibilitas orangnya tampak meragukan sejak semula, sebaiknya tidak ditolak
secara a priori.
13. Kadang-kadang, notitia de delicto tidak dilengkapi
dengan rincian khusus (nama, tanggal, waktu…). Meskipun tidak jelas dan tidak
pasti, informasi itu haruslah dinilai secara wajar dan, sejauh memungkinkan,
diberi perhatian semestinya.
14. Harus ditegaskan bahwa laporan mengenai delictum gravius
(tindak pidana sangat berat) yang diterima dalam pengakuan dosa ditempatkan
dibawah ikatan paling ketat dari rahasia sakramental (bdk. kan 983 § 1 KHK;
kan. 733 § 1 KKGKT; art. 4 § 1, 5ยบ SST). Seorang bapa pengakuan yang diberitahu
adanya delictum gravius sewaktu perayaan sakramen hendaknya berusaha meyakinkan
peniten agar informasi diberitahukan dengan cara lain sehingga otoritas yang
terkait dapat mengambil tindakan atas hal itu.
15. Tanggung jawab pengawasan yang melekat pada Ordinaris
atau Hierarki tidak menuntut bahwa ia secara terus-menerus memantau klerikus
yang menjadi bawahannya, namun juga tidak mengizinkannya untuk menganggap diri
bebas dari upaya memperoleh informasi mengenai perilaku mereka dalam hal-hal
ini, khususnya apabila ia menyadari hal-hal yang mencurigakan, perilaku keji,
atau tindakan tidak senonoh yang serius.
b/ Tindakan apa yang harus diambil setelah notitia de
delicto diterima?
16. Art. 16 SST (bdk. juga kan. 1717 KHK dan 1468 KKGKT)
menyatakan bahwa, ketika notitia de delicto diterima, hendaknya segera diikuti
penyelidikan awal, asalkan laporan itu “saltem verisimilis,” (setidak-tidaknya
ada kemungkinan kebenaran). Apabila kemungkinan kebenaran terbukti tak
berdasar, notitia de delicto tidak perlu ditindak-lanjuti, walaupun perhatian
mesti dilakukan untuk menyimpan dokumen bersama dengan penjelasan tertulis
mengenai alasan-alasan diambilnya keputusan itu.
17. Bahkan dalam perkara-perkara di mana tidak ada kewajiban
hukum yang eksplisit untuk melakukannya, otoritas gerejawi hendaknya membuat
laporan kepada otoritas sipil yang berwenang apabila dinilai perlu untuk
melindungi orang yang terlibat atau anak-anak lain dari bahaya tindak-tindak
kejahatan berikutnya.
18. Mengingat hakikat perkaranya yang sensitif (misalnya,
kenyataan bahwa dosa melawan perintah ke-6 Dekalog jarang terjadi dengan
kehadiran saksi), penentuan bahwa notitia de delicto itu tidak memiliki
kemungkinan kebenaran (yang dapat mengarah pada peniadaan penyelidikan awal),
dapat dilakukan hanya dalam perkara yang ketidakmungkinannya untuk melanjutkan
proses sesuai dengan norma hukum kanonik nyata. Misalnya, jika ternyata bahwa
pada saat tindak pidananya didakwakan, orangnya belum menjadi klerikus; jika
menjadi jelas bahwa terduga korban bukan seorang anak (tentang hal ini, bdk.
no. 3); jika merupakan kenyataan yang diketahui umum bahwa orang yang disangka
tidak ada di tempat kejadian perkara ketika tindak kejahatan yang disangkakan
terjadi).
19. Namun, dalam perkara demikian, disarankan bahwa
Ordinaris atau Hierarki menyampaikan kepada KAI notitia de delicto dan
keputusan untuk tidak melakukan penyelidikan awal dengan alasan kurangnya
kemungkinan ke arah kebenaran yang nyata itu.
20. Di sini hendaknya ditegaskan bahwa dalam perkara
perilaku yang tidak pantas atau tidak bijak, meskipun tidak ada tindak pidana
yang melibatkan anak-anak, apabila dinilai perlu untuk melindungi kebaikan umum
dan menghindari skandal, Ordinaris atau Hierarki berwenang untuk mengambil
langkah-langkah administratif lain terhadap orang yang disangka (misalnya, pembatasan
pelayanannya), atau menjatuhkan remedium poenale seperti yang disebut dalam
kan. 1339 KHK dengan maksud mencegah tindak pidana (bdk. kan. 1312 §3 KHK) atau
memberikan teguran umum seperti disebut dalam kan. 1427 KKGKT. Dalam perkara
tindak pidana yang tidak berat (non graviora), Ordinaris atau Hierarki
hendaknya menggunakan sarana-sarana yuridis yang cocok dengan keadaannya.
21. Sesuai kan. 1717 KHK dan kan. 1468 KKGKT, tanggung jawab
untuk penyelidikan awal dimiliki Ordinaris atau Hierarki yang menerima notitia
de delicto, atau orang yang tepat yang dipilihnya. Kelalaian atas tugas ini
dapat merupakan tindak pidana prosedur kanonik sesuai dengan KHK, KKGKT dan
Motu Proprio Come una madre amorevole, juga art. 1 §1, b VELM.
22. Tugas ini menjadi tanggung jawab Ordinaris atau Hierarki
dari klerikus yang disangka atau, jika tidak, Ordinaris atau Hierarki tempat
tindak pidana yang disangkakan terjadi. Dalam hal yang terakhir itu, secara
umum akan sangat membantu apabila ada komunikasi dan kerja sama antara para
Ordinaris yang terlibat, untuk menghindari konflik kewenangan atau duplikasi
pekerjaan, khususnya bila klerikus itu seorang religius.
23. Apabila Ordinaris atau Hierarki menemui kesulitan dalam
memulai atau melaksanakan penyelidikan awal, hendaknya ia segera menghubungi
KAI untuk mendapatkan nasihat atau bantuan dalam mengatasi masalah.
24. Dapat terjadi bahwa notitia de delicto sampai langsung
kepada KAI dan tanpa melalui Ordinaris atau Hierarki. Dalam hal ini KAI dapat
memintanya untuk melaksanakan penyelidikan awal, atau sesuai art. 17 SST, dapat
melakukannya sendiri.
25. KAI, sesuai dengan penilaiannya sendiri, karena
permintaan yang jelas atau kebutuhan, dapat juga meminta Ordinaris atau
Hierarki lain untuk melaksanakan penyelidikan awal.
26. Penyelidikan kanonik awal harus dilaksanakan dengan
bebas dari penyelidikan serupa oleh otoritas sipil. Dalam perkara di mana
undang-undang Negara melarang penyelidikan yang serupa dengannya, otoritas
gerejawi yang berwenang hendaknya menahan diri untuk tidak memulai penyelidikan
awal dan melaporkan indikasi pelanggaran kepada KAI dengan menyertakan dokumen
yang perlu. Apabila dinilai tepat menunggu konklusi penyelidikan sipil untuk
memperoleh hasilnya, atau karena alasan lain, Ordinaris atau Hierarki sebaiknya
meminta nasihat mengenai hal ini kepada KAI.
27. Penyelidikan hendaknya dilaksanakan dengan menghormati
hukum sipil tiap negara (bdk. art. 19 VELM).
28. Untuk tindak pidana yang dimaksudkan di sini, hendaknya
diperhatikan adanya perbedaan penting batas daluwarsa tindak kejahatan dari
waktu ke waktu. Batas waktu yang sekarang berlaku ditetapkan dalam art. 7
SST.[1] Namun demikian, karena art. 7 § 1 SST mengizinkan KAI menghapus
daluwarsa itu kasus demi kasus, Ordinaris atau Hierarki yang sudah menentukan
bahwa batas daluwarsa telah lewat harus tetap menanggapi notitia de delicto dan
melaksanakan penyelidikan awal yang mungkin, dengan menyampaikan hasilnya
kepada KAI, yang berwenang untuk memutuskan apakah daluwarsa tetap
dipertahankan atau memberikan penghapusan baginya. Dalam menyampaikan berkas, akan
bermanfaat bila Ordinaris atau Hierarki menyatakan pendapat pribadinya mengenai
penghapusan yang mungkin dilakukan itu, dengan memberikan alasan berdasarkan
keadaan konkret (contohnya, keadaan kesehatan atau usia klerikus, kemampuan
klerikus menggunakan haknya untuk membela diri, kerugian yang disebabkan oleh
tindak kejahatan yang disangkakan, skandal yang terjadi).
29. Dalam tindakan-tindakan awal yang sensitif ini Ordinaris
atau Hierarki dapat meminta nasihat KAI (yang dapat terjadi di setiap saat
penanganan perkara) dan juga dengan bebas berkonsultasi kepada ahli dalam
masalah pidana secara kanonik. Namun demikian, dalam berkonsultasi, harus
diperhatikan agar dihindari penyebaran informasi yang tidak semestinya dan
tidak licit kepada publik, yang dapat merugikan penyelidikan selanjutnya atau
memberi kesan bahwa telah ditentukan secara pasti fakta atau kesalahan klerikus
yang bersangkutan.
30. Harus diperhatikan bahwa sudah dari tahap ini ada
kewajiban untuk memegang rahasia jabatan. Akan tetapi, harus diingat bahwa
kewajiban untuk diam mengenai indikasi kejahatan tidak dapat dikenakan pada
orang yang melaporkan perkara, pada orang yang menyatakan dirinya telah
dirugikan, dan saksi-saksi.
31. Sesuai dengan art. 2 § 3 VELM, Ordinaris yang telah
menerima notitia de delicto harus segera meneruskannya kepada Ordinaris atau
Hierarki tempat perkara yang dikatakan telah terjadi, juga kepada Ordinaris
atau Hierarki dari orang yang dilaporkan, yaitu, dalam perkara seorang
religius, kepada Pemimpin Tinggi Tarekat, jika ia adalah Ordinarisnya sendiri,
dan dalam perkara seorang klerikus diosesan, kepada Ordinaris keuskupannya atau
Uskup Eparkial penginkardinasiannya. Apabila Ordinaris atau Hierarki setempat
dan Ordinaris atau Hierarkinya bukan orang yang sama, sebaiknya mereka saling
menghubungi untuk menentukan siapa di antara mereka akan melaksanakan
penyelidikan. Dalam hal laporan mengenai seorang anggota Lembaga Hidup Bakti
atau Serikat Hidup Kerasulan, Pemimpin Tinggi Tarekat juga akan memberitahukannya
kepada Moderator Tertinggi dan bila Lembaga dan Serikat itu berhukum diosesan,
juga kepada Uskup masing-masing.
Langkah-langkah awal ini akan ditindak-lanjuti menurut
Pedoman tahap berikutnya.
Petikan dari: Kongregasi Ajaran Iman, VADEMECUM PENANGANAN PERKARA
PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK-ANAK OLEH KLERIKUS, Roma, 16 Juli 2020. Penerjemah
: R.D. Yohanes Driyanto. ©Dokpen KWI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar