Realitas
yang dengan tepat dipahami manusia atau diungkapkan oleh Tuhan melalui wahyu.
Di dalam Kitab Suci, kebenaran sering dikaitkan dengan keyakinan Israel atau
iman Kristen. Kebenaran agama meliputi gagasan tentang “sifat faktual”
(faktanya demikian, facticity) maupun “sifat bisa dipercaya” (fidelity).
Dengan kata lain, dalam peristilahan Kitab Suci (kata Ibrani emet, dan
kata Yunani aletheia), kebenaran menyatakan kepada kita hal-hal
sebagaimana adanya, baik sehubungan dengan Tuhan, dengan manusia, atau tata
ciptaan seluruhnya, dengan cara sedemikian hingga sepenuhnya terandalkan dan
dapat dipercaya. Pengenalan akan kebenaran mempunyai daya yang membebaskan kita
dari sikap sinis dan skeptis serta gangguan gelombang ketidakpastian yang
melanda dunia (Yoh 8:31-32).
1. Dalam Perjanjian Lama
“Kebenaran”
dalam Perjanjian Lama menunjukkan sifat tetap terus menerus, setia, dan sesuatu
yang berharga bagi iman dan harapan kita (Kej 24:27; 47:29; Yos 2:14; 2 Sam
2:6; 15:20; 2 Raj 20:19; Hos 2:20). Perjanjian Lama menyatakan bahwa Tuhan
adalah sumber segala kebenaran dan menjamin segala perkataan, janji dan
kesetiaan, yang “dari angkatan ke angkatan turun temurun” (Mzm 119:90; bdk Mzm
31:5; 119:142; Yer 10:10). Sabda/firman Tuhan adalah benar; sesungguhnya,
sabda/firman Tuhan merupakan norma kebenaran
(2 Sam 7:28; Mzm 119:89). Kebenaran adalah hikmatNya dan perintahNya dan
pemerintahanNya atas segala ciptaan (Ams 8:7; bdk Keb 13:1-9).
Karena Tuhan adalah kebenaran, barangsiapa
hidup dalam kesetiaan pada |Dia dikatakan hidup dalam kebenaran dan menjadi
saksi kebenaran. Maka perintah yang kedelapan melarang “bersaksi dusta” (Kel
20:16; Ul 5:20) (KGK 2471-2473). Ada kebenaran yang harus dipamahi melalui
pemeriksaan fakta dan kejadian (Ul 17:4; 1 Raj 10:6). “Benar” juga merupakan
ciri seorang pribadi. “Suruhlah seorang dari padamu untuk menjemput adikmu itu,
tetapi kamu ini harus tinggal terkurung di sini. Dengan demikian perkataanmu
dapat diuji, apakah benar” (Kej 42:16).
II. Dalam Perjanjian Baru
Dalam
Perjanjian Baru kebenaran mempunyai makna yang sama, seperti dalam Perjanjian
Lama, namun dipengaruhi oleh filsafat Yunani sehingga lebih bersifat
intelektual; yaitu suatu realitas yang dipahami oleh pikiran. Pemahaman konkret
akan kebenaran sebagai yang bersifat stabil dan dapat diandalkan masih tetap
ada (2 Kor 7:14), terutama dalam kaitan dengan Tuhan (Rm 3:7; 15:8; 1 Ptr
5:12). Namun pengertian abstrak dari “kebenaran”, persepsi yang tepat atas
realitas, juga sangat penting bagi para penulis Perjanjian Baru (Mrk 5:33; Yoh
5:34; 16:7.13; 19:35; Kis 26:25; Rm 9:1; 2 Kor 12:6; Ef 4:25).
Perjanjian Baru menyatakan bahwa dalam
Yesus Kristus seluruh kebenaran Allah diungkapkan, sebab Yesus adalah kebenaran
(Yoh 1:14; 8:12). “Akulah jalan, dan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6). Dengan
mengikuti Yesus, para murid dibimbing oleh Roh Kudus pada seluruh kebenaran, “Ia
akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata
dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan
dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang” (Yoh
16:13).
Iman Kristen adalah kebenaran (Gal 2:5; Ef
1:13) dan kaum beriman dituntut supaya hidup sepadan dengan iman atau kebenaran
itu, -- sebab, “Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan
Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak
melakukan kebenaran” (1 Yoh 1:6). Untuk menemukan kebenaran ini, seseorang
hanya perlu percaya kepada Injil (1 Tim 2:4), “dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran
itu akan memerdekakan kamu.'' (Yoh 8:32; bdk Yoh 17:17) (KGK 1741). Kemerdekaan
ini adalah niscaya oleh kekuatan Kristus, dab kemerdekaan itu menimbulkan
transformasi batin pada seseorang dalam perjumpaan kemerdekaan itu dengan
kebenaran (Yak 1:18; 1 Ptr 1:22; 2 Ptr 1:12) (KGK 215-217; 2465-2492).
Sumber: Scott Hahn, Catholic Bible Dictionary,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar