Bambang Kussriyanto
Sesungguhnya saya tidak ingin tahu tentang "suspensi" ketika belajar Hukum Gereja pada 1975. Pada waktu itu yang berlaku adalah CIC 1917. Kanon 2278 hingga kanon 2280 CIC 1917 menjabarkan 11 macam suspensi. Saya membayangkan setiap macam hukuman adalah mengerikan sehingga saya malas memelajarinya. Saya skip saja bagian itu.
Pengalaman saya berkenaan dengan "Suspensi" terjadi sekitar 1979 ketika seorang imam yang saya kenal dekat dan baik hati pada saya menjumpai saya di tempat kerja. "Saya kena suspensi" katanya dengan wajah memelas. Ia imam senior yang tinggal di Kolese Kanisius Menteng Raya Jakarta. Saya tak tahu harus berkata apa padanya sebab saya punya sikap menghindari tema suspensi. "Terus bagaimana?" tanya saya. "Saya harus tinggal di luar Kolese dan bekerja untuk makan". Ketika di Kolese Kanisius, jika saya menginap di sana, ia mengurus kamar untuk saya, mengajak saya potus atau makan di refter dan menawarkan sajian makan yang enak-enak. "Pater ada uang untuk makan?". Ia mengangguk. "Ada sedikit." Saya membayangkan uang saku calon imam di Jakarta waktu itu Rp 10.000 sebulan. Saya tidak tahu uang saku untuk para pastur. "Bisa untuk makan seminggu?" tanya saja karena punya suatu skema untuk membantu. "Yah, bisa lah". Saya lupa bertanya ia tinggal di mana. Saya memberi dia pekerjaan terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia, saya pilihkan yang ringan berkenaan dengan manajemen supervisi. Terjemahan itu di bayar per halaman Rp 1.500 waktu itu. Bekerja delapan jam sehari, jika ia mampu menyelesaikan 8 halaman per hari maka dalam 5 hari kerja ia akan menerima Rp 60,000 (pada waktu itu biaya kos di kamar sederhana di Jakarta Rp 50.000 sebulan, nasi goreng Rp 750 sepiring). Ia menyetujui rancangan itu dan kami bekerja sama. Sebulan berjalan lancar, tapi selanjutnya ia tidak muncul. Saya berdoa semoga hukumannya telah dicabut tanpa tahu apa kesalahannya. Setelah empat puluh tahun saya bertemu dia lagi di Pastoran Purbayan Solo, sudah sepuh dan menggunakan kursi roda, namun tetap imam.
Pengalaman selanjutnya di tahun-tahun berikutnya saya bertemu beberapa teman imam yang terkena suspensi terkait pelanggaran seksual, pelanggaran keuangan, yang berakhir dengan laikisasi. Dikembalikan pada status awam. Namun umumnya mereka punya pekerjaan baik, terhormat dan berpenghasilan cukup. Semuanya masih dalam kerangka CIC 1917. Baru pada 1983 berlaku Kitab Hukum Gereja yang baru, yang mengandung semangat pembaruan Konsili Vatikan II.
Saya memelajari sedikit KHK 1983 mengenai suspensi untuk menjawab pertanyaan teman-teman awam yang ingin tahu seputar imam yang terkena suspensi, yang membuat mereka penasaran. Pada umumnya mereka simpati pada imam yang terkena suspensi, ingin "nanggap misa" dari mereka tapi dilarang, dan mereka ingin tahu. Di pihak lain, ada imam yang terkena suspensi dari daerah sengaja mendatangi para simpatisan mereka di Jakarta dan memberi pelayanan sakramen yang tidak sah demi menerima stipendium dari umat yang umumnya murah hati. Kasihan umat yang bersangkutan.
Proses jatuhnya suspensi tidak sederhana dan menyedihkan. Proses itu makan hati pihak yang melakukan pemeriksaan, sehingga saya tidak pernah menyalahkan mereka yang punya peran dari memberi peringatahn koreksi persaudaraan, memeriksa kasusnya hingga akhirnya "terpaksa" menjatuhkan keputusan suspensi. Saya menghormati mereka. Saya sedih dan menyesalkan suspensi yang akhirnya dialami seseorang imam yang baik. Yang menerima suspensi itu dengan jiwa ksatria dan berusaha memperbaiki diri. Saya mendukung dengan doa semoga pertobatan diterima dan diakui, dan status imam dipulihkan kembali. Kesedihan saya lebih besar pada imam yang terkena suspensi namun "mbalelo" dan akhirnya terkena de-inkardinasi, dicopot dari jabatan dan kuasa keimamannya. Sungguh sulit, lama dan mahal menjadikan seseorang sampai pada imamat.
Beberapa tahun yang lalu teman dekat saya kena suspensi di usia tua, lebih dari 60 tahun dan sakit-sakitan. Ia sudah tak mampu kerrja dan tidak bisa diterima di mana pun. Saya sedih karena tidak bisa membantu, berhubung sudah sama-sama tua.
Akhirnya saya mendengar suspensi atas para imam yang tergolong "selebriti" di kalangan umat. Selebriti apa pun adalah kesempatan besar membagi berkat, namun juga penuh ranjau yang menjatuhkan. Saya berdoa semoga suspensi yang membawa keadilan "salus populi suprema lex" diterima dengan besar hati, dilaksanakan dengan penuh kerendahan hati, mengantar pada pertobatan sejati, hingga kepada pemulihan martabat dan jabatan imamat.
Artikel singkat yang menarik. Makasih.
BalasHapusTerima kasih. Salam🙏
BalasHapus