Ronald Rolheiser OMI
Apakah
Spiritualitas Itu?
Kita dilontarkan ke dalam kehidupan dengan suatu keedanan
yang berasal dari para dewa dan yang membuat kita percaya bahwa kita bisa
memiliki suatu cinta yang agung, yang mengabadikan benih kita, dan
mengkontemplasikan yang ilahi.[i]
Tidaklah sesuatu yang mudah untuk menjelajah bumi dan
mendapatkan kedamaian. Di dalam diri kita tampaknya ada sesuatu yang berjalan
seirama dengan semua hal, dan kita terus menerus merasa gelisah, tidak puas,
frustrasi dan menderita. Kita begitu menggebu oleh hasrat yang sulit diajak
sedikit beristirahat. Hasrat selalu lebih kuat daripada kepuasan.
Pendek
kata, di dalam diri kita ada keresahan yang mendasar, suatu nyala yang tidak
dapat ditaklukkan dan membuat kita di dalam hidup ini serasa tidak mampu
mencapai damai yang sepenuhnya. Hasrat itu terdapat di dalam pusat kehidupan
kita, di dalam sungsum tulang kita dan di dalam relung jiwa kita. Kita ini
bukan manusia yang tenang tenteram yang kadang-kadang resah, kita bukan
orang-orang yang jernih yang sekali waktu jadi terobsesi oleh hasrat. Justru
sesungguhnya kebalikan dari itu. Kita adalah orang-orang yang selalu
terdorong-dorong. Selalu terobsesi, senantiasa resah-gelisah, hidup dengan rasa
putus asa yang tak terucapkan, dan hanya kadang-kadang saja mengalami damai.
Hasrat kita seumpama sedotan yang terus mengaduk minuman kita.
Pada
intinya semua karya sastra yang besar, puisi, lukisan, filsafat, psikologi dan
agama terdapat penamaan dan analisis atas hasrat ini. Demikianlah buku harian
Anne Frank menyatakan pada kita, juga catatan harian Teresa dari Lisieux dan Etty Hillesum.*
Hasrat mendorong kita, membuat jiwa kita menggeliat. Kita menyukai
cerita-cerita tentang hasrat – kisah cinta, seks, nafsu-nafsu, nostalgia yang
pekat, ambisi tiada batas, dan kerugian besar. Banyak pemikir besar sekular
dari zaman kita membuat nyala ini, daya yang mendorong kita, menjadi pusat
pemikiran mereka.
Sigmund Freud misalnya, membicarakan
nyala tanpa fokus yang membakar pusat hidup kita dan mendorong kita keluar
untuk menguber kenikmatan tanpa henti dan tak terpuaskan. Bagi Freud setiap
orang tidak ketulungan lagi dibebani hasrat yang berlebihan akan kehidupan. Karl Jung bicara tentang energi purba
yang tak tergantikan dan sangat dalam yang membentuk susunan jiwa kita dan tak
terbantahkan dalam menuntut perhatian kita. Energi itu, menurut Jung, sifatnya
tidak bersahabat. Setiap kali ketika kita terlalu gelisah untuk dapat
beristirahat di malam hari, kita lalu tahu sesuatu dari apa yang dikatakannya. Doris Lessing bicara tentang tegangan
listrik tertentu dalam diri kita, energi ribuan volt untuk cinta, seks,
kebencian, seni dan politik. James
Hillman berbicara tentang api biru di dalam diri kita dan tentang keadaan
dihantui dan terobsesi sehingga bukan kodrat bukan pula didikan yang
sungguh-sungguh merupakan faktor yang menentukan perilaku kita melainkan
roh-roh dan semangat yang menuntut tiada henti entah dari mana.** Baik kelompok para wanita maupun pria
itu terus bicara tentang energi tertentu yang liar yang perlu kita kendalikan
dan kita pahami lebih penuh. Demikianlah kelompok para wanita bicara tentang
pentingnya berurusan dengan serigala-serigala, dan para pria bicara tentang
petualangan liar para lelaki dan tentang api nafsu di perut mereka. Para guru
gerakan New-Age memetakan gerakan planet-planet dan meminta kita menempatkan
diri di bawah planet yang tepat, sebab kalau tidak, kita niscaya tak bisa merasa
damai.
Apapun
ungkapan yang digunakan, setiap orang pada akhirnya bicara tentang hal yang
sama – suatu api yang tak dapat dijinakkan, suatu kegelisahan, suatu kerinduan,
suatu keresahan, suatu keinginan, suatu perasaan sepi sendiri, suatu kunyahan
nostalgia, suatu kegilaan yang tidak dapat dijinakkan, suatu dorongan yang
menyakitkan yang meliputi segalanya dan terletak di dalam pusat pengalaman
insani dan merupakan sumber daya besar yang mendorong segala sesuatu lainnya. Suatu keresahan
universal. Hasrat yang tidak membuat perkecualian satu pun.
Namun hal
itu punya suasana dan wajah yang berbeda-beda. Kadang-kadang menerkam kita
seperti suatu derita – sakit, kecewa, frustrasi. Kadang-kadang cengkeramannya
sama sekali tidak menyakitkan, namun merupakan energi yang dalam, sesuatu yang
indah, daya tarik yang luar biasa, lebih penting dari apa pun yang ada dalam diri
kita, mengarah pada cinta, keindahan, kreativitas dan masa depan di seberang
batasan masa kini kita. Hasrat dapat menunjukkan diri sebagai duka-lara atau
harapan manis.
Spiritualitas
pada akhirnya berkenaan dengan apa yang akan kita lakukan dengan hasrat itu.
Apa yang akan kita lakukan dengan segala kerinduan kita, baik untuk menyikapi
duka-laranya maupun harapan yang dibawanya kepada kita, itulah spiritualitas
kita. Maka ketika Plato berkata bahwa kita dilontarkan karena jiwa kita berasal
dari seberang sana dan bahwa tempat seberang itu melalui kerinduan dan harapan
kita menarik kita kembali kepadanya, dia sebenarnya memaparkan suatu garis
besar untuk suatu spiritualitas. Seperti itu pulalah Santo Agustinus ketika ia
berkata: “Ya Allah, Engkau menciptakan kami bagiMu sendiri, maka hati kami tak
akan tenang sebelum beristirahat dalam Engkau.”[ii]
Spiritualitas berkenaan dengan apa yang kita lakukan dengan situasi “tidak
tenang”, kegelisahan itu. Namun semua ini masih memerlukan penjelasan lebih
lanjut.
Apakah
Spiritualitas Itu?
Ada beberapa kata yang keliru dipahami dalam bahasa
Inggris, dan salah satunya adalah kata spiritualitas.
Pertama-tama, di dalam bahasa Inggris kata ini relatif merupakan kata baru,
dalam arti yang sesuai dengan maksudnya sekarang ini. Berbeda dengan bahasa
Perancis di mana kata itu sudah lebih lama digunakan dan lebih kaya riwayatnya.
Tetapi jika seseorang pergi ke suatu perpustakaan Inggris dan memeriksa judul
buku-buku, dia akan mendapatkan di luar beberapa kekecualian, bahwa kata spiritualitas baru tampak pada judul
buku-buku itu hanya dalam waktu tiga puluh tahun terakhir. Juga baru dalam
tahun-tahun belakangan itu saja konsep spiritualitas menjadi populer, baik di
dalam lingkungan gereja maupun dalam masyarakat pada umumnya. Toko-toko buku
dewasa ini, entah di kalangan gereja atau pun umum sama saja, tampaknya cukup
akrab dengan buku-buku spiritualitas.
Satu
generasi yang lalu situasinya tidak seperti itu. Dunia sekular nyaris tidak
tampak meminati bidang itu. Begitu juga kebanyakan gereja. Apa yang kita sebut
sebagai spiritualitas sekarang ini, pada waktu itu sudah ada, tetapi wajahnya
berbeda. Di dalam lingkungan gereja-gereja Kristiani, spiritualitas ada
terutama dalam kalangan kelompok doa karismatik tertentu dan teologi gereja
Pentakosta, aksi sosial dari beberapa gereja Protestan, dan kehidupan devosi
dalam Gereja Katolik Roma. Di toko-toko buku umum akan anda dapatkan sedikit
sekali buku di bidang spiritualitas, selain dari suatu bagian mengenai Kitab
Suci dan bidang berpikir positif. Dalam toko-toko buku gereja, karena dianggap
suatu bidang dari teologi akademis yang sangat terbatas dan khas, maka
didapatkan juga sedikit buku saja,
kecuali toko-buku Katolik Roma di mana anda temukan kepustakaan tentang devosi
dan beberapa buku yang diberi label “teologi asketik”.[iii]
Kini di
mana-mana terdapat buku tentang spiritualitas. Namun, kendati terjadi ledakan
yang tampak dalam kepustakaan di bidang ini, dalam dunia Barat sekarang ini,
terutama dalam dunia sekular, ada beberapa kesalah-pahaman utama mengenai
konsepnya. Yang paling utama di antaranya adalah wawasan bahwa spiritualitas
merupakan sesuatu yang eksotis, esoterik (dari dunia lain) dan bukan sesuatu
yang timbul dari keadaan hidup biasa sehari-hari. Maka bagi banyak orang, istilah spiritualitas
berkaitan dengan gambaran-gambaran tentang sesuatu yang paranormal, mistik,
bersifat kegerejaan, suci, saleh, dari dunia-lain, New-Age, sesuatu yang ganjil
dan sesuatu yang sifatnya alternatif. Jarang sekali spiritualitas merujuk pada
sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan kita dan suatu lapisan yang tak boleh
tidak berada di dalam jantung kehidupan kita sendiri.
Ini
merupakan salah pengertian yang tragis. Spiritualitas bukanlah sesuatu yang
asing, juga bukan sesuatu alternatif bagi mereka yang punya minat khusus.
Spiritualitas bukan pilihan, namun suatu keharusan. Setiap orang tentu
mempunyai suatu spiritualitas dan setiap orang sungguh punya spiritualitas yang
memberi kehidupan, atau yang merusaknya. Tak seorangpun punya pilihan istimewa
di sini, karena semua dari kita tepatnya dilontarkan ke dalam kehidupan dengan
kegilaan tertentu yang berasal dari ilah-ilah dan kita harus melakukan sesuatu
dengan itu. Kita tidak mendusin terbangun di suatu dunia yang tenang dan
jernih, dengan hak istimewa untuk memilih apakah akan bertindak atau tidak.
Kita mendusin bangun dan menangis, terbakar oleh hasrat, dengan kegilaan. Dan
apa yang harus kita lakukan dengan kegilaan itulah yang kita namakan
spiritualitas.
Dari sini
spiritualitas tidak berkaitan dengan pemilihan secara jernih dan rasional untuk
kegiatan tertentu seperti pergi ke gereja, berdoa atau merenung, membaca buku
rohani, atau merencanakan sesuatu berdasarkan kebutuhan rohani yang eksplisit.
Namun spiritualitas lebih mendasar daripada semua itu. Jauh sebelum kita
melakukan sesuatu yang benar-benar religius, kita harus melakukan sesuatu
berkenaan dengan nyala yang berkobar-kobar di dalam diri kita. Apa yang kita
lakukan dengan kobaran nyala itu, bagaimana kita menyalurkannya, itulah yang dimaksud
dengan spiritualitas. Maka kita sudah punya suatu spiritualitas, suka atau
tidak suka, bersifat religius atau pun tidak. Spiritualitas lebih berkenaan
dengan soal apakah kita bisa tidur di malam hari atau tidak, ketimbang soal
apakah kita akan ke gereja atau tidak. Spiritualitas adalah mengenai situasi
diri yang utuh atau yang berantakan, tentang berada dalam komunitas atau
menyepi sendiri, tentang berada dalam keadaan selaras dengan dunia atau
terasing darinya. Tidak peduli apakah kita membiarkan diri atau tidak dibentuk
secara sadar oleh sesuatu gagasan religius yang eksplisit, kita dapat bertindak
dengan cara-cara yang tergolong sehat atau tidak sehat, mengasihi atau dalam
kepahitan, dalam komunitas atau terasing darinya. Apa yang membentuk tindakan
kita, itulah spiritualitas kita.
Dan apa
yang membentuk tindakan kita itu pada dasarnya juga membentuk hasrat kita.
Hasrat itu membuat kita melakukan tindakan, dan ketika kita bertindak, kita
mengarah pada suatu keselarasan yang lebih besar atau keretakan di dalam
kepribadian, pikiran dan tubuh kita – dan menuju kepada semakin kokoh atau
semakin longgarnya hubungan kita dengan Tuhan, sesama, dan dengan alam dunia.
Kebiasaan dan disiplin[iv]
yang kita gunakan untuk membentuk hasrat kita membangun suatu dasar untuk suatu
spiritualitas, tanpa peduli apakah ini mempunyai dimensi yang jelas bersifat
keagamaan atau sama sekali tidak.
Spiritualitas
berkenaan dengan apa yang kita lakukan pada hasrat. Sumbernya berasal dari eros yang ada di dalam kita, dan
berkenaan dengan bagaimana kita membentuk dan mendisiplin-kan eros itu. Yohanes dari Salib*, mistikus besar dari Spanyol, mengawali karyanya yang terkenal
mengenai ziarah batin dengan kata-kata berikut: “Suatu malam gelap, diterangi
kerinduan yang mendesak akan cinta’[v]
Baginya adalah suatu kerinduan yang mendesak, eros, yang menjadi titik tolak hidup spiritualnya, dan dalam
pandangannya, spiritualitas pada dasarnya dirumuskan sebagai cara kita
mengendalikan eros itu.
Maka
untuk menyajikan suatu contoh yang jelas mengenai bagaimana spiritualitas
berkenaan dengan cara seseorang menangani eros
yang ada padanya, marilah kita bandingkan kehidupan tiga wanita terkenal : Ibu
Teresa, Janis Joplin, dan Putri Diana.
Kita
mulai dengan Ibu Teresa*. Kiranya
sedikit dari kita yang menganggap Ibu Teresa sebagai seorang wanita yang
erotis. Kita lebih mengingatnya sebagai seorang wanita spiritual. Namun
sesungguhnya Ibu Teresa seorang wanita yang erotis, walaupun bukan dalam
pengertian yang sempit menurut Freud.**
Ibu Teresa itu erotik karena dia merupakan suatu dinamo pembangkit energi.
Walaupun mungkin ia tampak rapuh dan lembut, tapi tanyakanlah pada orang yang
pernah berdiri di dekatnya, apakah kesan dari penampilan seperti itu benar. Dia
seorang manusia buldoser, seorang wanita yang sangat terdorong secara erotis.
Namun dia sungguh seorang yang sangat disiplin, yang membaktikan dirinya kepada
Tuhan dan kepada kaum miskin. Siapapun menganggap dia sebagai orang suci.
Mengapa?
Orang
suci adalah seseorang yang dapat dengan sangat tepat menyalurkan eros dalam suatu cara yang kreatif dan
memberikan hidup. Soren Kierkegard* pernah
menyatakan bahwa orang suci adalah seseorang yang dapat menginginkan satu-satunya hal. Tidak seorang pun
menyangkal bahwa Ibu Teresa justru melakukan hal itu, menginginkan satu-satunya
hal : Tuhan dan kaum miskin. Ia punya suatu energi yang sangat kuat, namun yang
sangat disiplin. Erosnya yang hebat itu tercurah keluar untuk Tuhan dan kaum
miskin. Pengabdiannya yang total atas segala sesuatu untuk Tuhan dan kaum
miskin merupakan tanda dirinya, spiritualitasnya. Itulah yang menjadikan
dirinya.
Menengok
Janis Joplin, bintang rock yang mati karena mengkonsumsi obat bius berlebihan
ketika berumur dua puluh tujuh tahun itu, hanya sedikit orang yang akan
memandangnya sebagai orang yang sangat spiritual. Namun sebenarnya Janis Joplin
juga seorang yang spiritual. Orang mengira dia adalah kebalikan dari Ibu
Teresa, erotis, tapi tidak spiritual. Namun Janis Joplin tidak begitu berbeda
dari Ibu Teresa, bukan karena make-up-nya
yang awut-awutan dan karakternya. Dia juga seorang yang luar biasa, seseorang
dengan eros yang sangat kuat, seorang
pecinta yang hebat, orang penuh dengan energi yang langka. Namun berbeda dari
Ibu Teresa, Janis Joplin tidak bisa hanya menginginkan satu-satunya hal. Dia
mengingini banyak hal. Energinya yang luar biasa meluap ke segala arah dan
akhirnya menciptakan suatu ekses dan suatu kelelahan yang menyebabkan anak muda
itu mati. Namun semua kegiatan itu – suatu totalitas untuk kreativitas, pertunjukan,
narkoba, alkohol, seks, dipadu dengan pengingkaran untuk rehat yang normal –
adalah spiritualitas Janis Joplin. Ini adalah identitasnya. Itulah caranya dia
menyalurkan erosnya. Dalam kasusnya,
yang sering merupakan tragedi di antara para artis yang berbakat, hasil akhir
dalam hidupnya, bukanlah suatu integrasi yang sehat melainkan suatu
kesia-siaan. Pada titik tertentu ia kehilangan hal-hal yang biasanya mengikat
jadi utuh seorang pribadi dan berantakan berkeping-keping karena terlalu banyak
tekanan.
Melihat
kehidupan Janis Joplin dan hidup kita sendiri, ada suatu renungan yang menarik
atas rumusan Kierkegaard tentang orang suci – “yang menginginkan satu-satunya
hal”. Kebanyakan dari kita sungguh berbeda dari pribadi seperti Ibu Teresa
adalah bukan karena (berbeda dari Ibu Teresa) kita tidak menginginkan Tuhan dan
kaum miskin. Kita sungguh menginginkan mereka juga. Masalahnya adalah kita juga
menginginkan segala sesuatu lainnya. Maka, kita ingin menjadi orang suci,
tetapi kita juga ingin merasakan semua hal yang dialami para pendosa; kita
ingin murni tanpa cela, tetapi kita juga ingin mencicipi segala pengalaman
hidup dan berbagai cita-rasa; kita ingin melayani kaum miskin dengan hidup
sederhana, tetapi kita juga menghendaki kenyamanan orang kaya; kita ingin
mendapatkan kedalaman yang diberikan oleh kesunyian, tetapi kita juga tidak
ingin melewatkan segala sesuatu; kita ingin berdoa, tetapi kita juga ingin
melihat televisi, membaca, bicara dengan teman, dan pergi jalan-jalan.
Sementara hidup yang sederhana sering perlu diusahakan, kita sering sampai
letih-lelah dan mengidap penyakit kebablasan.
Filsafat
abad pertengahan mempunyai suatu semboyan yang menyatakan : Setiap pilihan
adalah suatu penyerahan. Memang. Setiap pilihan bisa merupakan ribuan penyerahan.
Kita memilih satu hal, dan untuk itu kita melepaskan banyak hal yang lain.
Memilih menikahi seseorang berarti melepaskan banyak orang yang lain, dan
memiliki seorang anak berarti harus mengorbankan banyak hal lain pula; memilih
berdoa berarti melepaskan keinginan untuk melihat televisi atau mengunjungi
teman-teman. Inilah yang membuat tindakan memilih merupakan hal yang berat.
Maka tidak heran bahwa kita perlu bersusah payah untuk menetapkan suatu
komitmen. Hal itu bukan karena kita tidak ingin melakukan hal-hal tertentu,
tetapi hanya karena kita tahu bahwa jika kita memilih hal-hal itu, kita harus
melepaskan begitu banyak hal yang lainnya. Maka tidak mudah untuk menjadi orang
suci, untuk menginginkan hanya satu-satunya hal, untuk memiliki disiplin Ibu Teresa.
Ada bahaya bahwa kita lebih suka berakhir kurang lebih seperti Janis Joplin :
baik hati, sangat energik, terdorong untuk mereguk sebanyak-banyaknya dari
kehidupan, tetapi berada dalam bahaya tercerai berai dan mati karena kurang
istirahat.
Janis Joplin
mungkin merupakan suatu contoh yang ekstrim. Kebanyakan dari kita tidak mati
karena kurang istirahat pada usia dua puluh tujuh tahun. Kebanyakan dari kita
saya kira sedikit mirip dengan Putri Diana*,
yang separoh Ibu Teresa dan separoh Janis Joplin.
Putri
Diana layak kita renungkan di sini, bukan hanya karena kematiannya menghentikan
dunia dengan cara tertentu yang hingga saat ini belum ada tandingannya, tetapi
karena menarik untuk memerhatikan bahwa dalam memandang dirinya, berbeda baik
dari Ibu Teresa maupun dari Janis Joplin, secara spontan kita melihat adanya
paduan kedua elemen itu : yang erotik dan yang spiritual. Putri Diana
mewujudkan seorang pribadi yang baik erotik maupun spiritual. Ini langka,
berdasarkan pengertian umum mengenai spiritualitas. Biasanya kita memandang
seseorang sebagai yang ini atau yang itu, tapi bukan kedua-duanya – erotik dan
spiritual. Lebih-lebih, dia layak digambarkan seperti itu karena ia memang
dengan cukup jelas mencerminkan kedua dimensi itu.
Sisi
erotik pada dirinya tampak jelas, walaupun tidak selalu dengan cara banyak
orang memahami istilah itu. Pada permukaannya, penilaian itu mudah dilakukan:
Dia adalah wanita yang paling banyak difoto wartawan di dunia ini, sangat
dikagumi karena kecantikan fisiknya, menghabiskan jutaan dolar untuk membeli
pakaian, dan jelas bukan seorang suster yang selibat. Ia punya afair, berlibur
dengan para playboy di atas yacht di Laut Tengah, makan di restoran
terbaik di Paris, dan punya gaya hidup yang sulit diselaraskan dengan mode para
santa klasik. Tetapi semua itu hanya tampak luar, yang tidak selalu menjadi
petunjuk bahwa dia punya eros yang hebat. Banyak orang melakukan banyak hal dan
tetap biasa-biasa saja. Yang lebih penting adalah energinya. Di sini Putri
Diana adalah Ibu Teresa dan Janis Joplin, seseorang yang jelas punya nyala yang
besar – yang oleh Plato si orang Yunani disebut kegilaan, keedanan – dalam
dirinya. Sebagian hal itu dapat dicerap oleh indera, tetapi sebagian yang lain
secara tidak langsung disimpulkan dari setiap gerakannya, dalam setiap
keputusannya, dan dalam setiap guratan yang terbersit di wajahnya. Semua itu
bukan untuk sesuatu yang sia-sia, bukan sekedar karena kecantikan fisiknya atau
karena tujuannya orang begitu kuat tertarik kepadanya. Energinya, jauh melebihi
kecantikan dan maksud-maksudnya, itulah yang membuat Putri Diana luar biasa.
Bagian
yang spiritual pada dirinya juga jelas, jauh sebelum ia berteman dengan Ibu
Teresa dan berusaha dengan serius membantu kaum miskin. Dimensi inilah yang
dibicarakan oleh saudaranya dalam pidato pemakamannya – maksud-maksudnya, ya,
namun yang lebih penting sesuatu yang ada di dalam diri Diana, suatu ambiguitas
moral yang dalam, yang tidak mengizinkan dirinya nyaman-nyaman saja hidup di
kalangan jet-set. Dia biasa gelisah, punya
suatu hasrat yang besar untuk dipuaskan; dia adalah pribadi yang disiplin,
seseorang yang sekalipun tidak sempurna menginginkan apa yang dibicarakan
Kierkegaard, yaitu Tuhan dan orang miskin, sekalipun ia juga menginginkan
banyak hal juga.
Spiritualitas
berkenaan dengan bagaimana kita menyalur-kan eros kita. Dalam usaha Puteri Diana di sini, kita melihat sesuatu
yang kebanyakan dari kita mengenalinya sebagai kompleksitas yang luar biasa,
pergumulan yang penuh derita untuk menjatuhkan pilihan dan memberikan komitmen,
dan suatu kombinasi yang oh-sangat-manusiawi dalam hal dosa dan keutamaan.
Spiritualitas adalah apa yang kita lakukan dengan spirit (jiwa dan semangat)
yang ada dalam diri kita. Maka bagi Puteri Diana, spiritualitasnya adalah baik
komitmennya pada kaum miskin maupun liburan di Laut Tengah... dan segala
kesulitan dan permasalahan di antara keduanya. Spiritualitas Diana itu,
sebagaimana kita lihat, adalah suatu persimpangan jalan. Dia tidak sepenuhnya
menempuhnya jalannya Ibu Teresa, tetapi juga tidak sepenuhnya menempuh jalannya
Janis Joplin. Dia memilih beberapa hal yang membuatnya lebih terintegrasi dalam
badan-dan-jiwanya, dan juga memilih hal-hal lain yang mencerai beraikan
badan-dan-jiwanya. Semacam itulah spiritualitas. Berkenaan dengan integrasi dan
disintegrasi, tentang membuat macam-macam pilihan seperti yang selalu dilakukan
Putri Diana dan hidup dengan menanggung konsekuensinya, seperti itu jugalah
kita.
Dengan
singkat kita dapat merumuskan spiritualitas begini: Spiritualitas adalah apa
yang kita lakukan dengan api yang berkobar dalam diri kita, tentang cara kita
menyalurkan eros kita. Dan bagaimana
kita menyalurkannya, disiplin dan kebiasaan yang kita pilih untuk hidup, yang
akan mengantar kita entah pada integrasi atau entah pada disintegrasi dalam
badan, akal-budi dan jiwa kita, dan menuju suatu integrasi atau disintegrasi
yang lebih besar lagi pada cara kita berhubungan dengan Tuhan, sesama dan alam
semesta. Kita melihat spiritualitas ini dihayati dengan cara tertentu oleh Ibu
Teresa, yang lain dalam diri Janis Joplin, dan dalam cara yang lain pada Puteri
Diana.
Kita
dapat melihat dari semua ini bahwa spiritualitas berkaitan dengan apa yang kita
lakukan dengan jiwa atau semangat kita. Dan kita juga dapat melihat dari semua
ini bahwa semangat yang sehat atau jiwa yang sehat harus melakukan dua tugas:
Di satu pihak memberikan kepada kita energi, api yang menyala supaya kita tidak
memfosil dan kehilangan vitalitas kita, terjerumus ke dalam depresi yang
melumpuhkan, dan kehilangan semua citarasa keindahan dan kegembiraan hidup.
Maka lawan dari manusia spiritual adalah orang yang menolak Tuhan dan hidup
tanpa mengenal Tuhan. Ini adalah orang yang tidak menggereja. Lawan dari
menjadi spiritual adalah (dalam suatu cara bicara) loyo tak bertenaga, yaitu
kehilangan semua daya hidup – berbaring di sofa atau tempat tidur, hanya melulu
melihat sepak bola atau komedi situasi di televisi, dan menenggak bir terus
menerus! Namun memberi energi hanyalah separoh dari tugas jiwa yang sehat. Tugas
yang lain yang sangat vital adalah mengikat diri kita tetap utuh integral
sehingga kita tidak berantakan berkeping-keping dan mati. Dalam segi ini, lawan
dari orang yang spiritual adalah seseorang yang kehilangan jati dirinya, yaitu
orang yang pada titik tertentu tidak tahu lagi siapa dirinya. Jiwa dan semangat yang sehat menjaga kita agar
tetap energik dan utuh terpadu.
Namun,
untuk memahami hal ini secara lebih mendalam, kita perlu melihat lebih dalam
lagi pada jiwa kita, bagaimana pentingnya nyala semangat itu, dan serentak
dengan itu bagaimana ikatan yang memadukan diri kita.
KEDUA FUNGSI JIWA
Jiwa itu apa?[vi]
Niscaya menarik untuk melihat kesan yang timbul dalam benak seseorang secara
spontan ketika mendengar kata “jiwa”. Saya kira, bagi banyak di antara kita,
kata “jiwa” sejauh menyangkut apa saja menghasilkan suatu gambaran sesuatu
seperti kertas tisu yang sangat samar, agak putih, agak tak nampak, yang
melayang jauh di dalam diri kita, dan yang bercak-bercak ketika kita berdosa,
dan yang akan melepaskan diri dari tubuh kita pada waktu kita mati, pergi
menghadap Tuhan untuk diadili. Betapapun tidak tepatnya gambaran itu, namun ada
juga gunanya. Bagaimana pun kita berusaha membayangkan sesuatu yang tak
terbayangkan dan kita perlu membentuk semacam foto darinya.
Yang
keliru dari konsepsi itu adalah bahwa dalam konsepsi itu jiwa begitu
terpisahkan dari inti kepribadian kita, dari kesadaran akan jati diri kita
sendiri. Jiwa bukanlah sesuatu yang kita miliki,
namun lebih merupakan sosok keberadaan
diri kita. Dialah detak sejati dalam kita, yang membuat kita hidup. Maka
kita bicara tentang seseorang yang sedang meninggal dengan tepat ketika jiwa
itu meninggalkan tubuh. Jiwa merupakan prinsip kehidupan di dalam diri seorang
manusia, dan tentu saja menjadi detak kehidupan dalam segala sesuatu yang
hidup. Maka jiwa punya dua fungsi.
Pertama-tama,
jiwa adalah prinsip energi. Hidup ini energi. Hanya ada satu tubuh yang tidak
punya energi atau ketegangan di dalamnya, yaitu mayat. Jiwalah yang memberi
hidup. Di dalamnya ada nyala api, eros, energi yang mendorong kita. Maka kita
hidup sejauh ada jiwa dalam tubuh kita, dan kita mati saat jiwa meninggalkan
tubuh.
Kadang-kadang
menarik ketika kita menggunakan kata “jiwa itu” dan kita mengira menggunakan
kata itu sebagai kiasan, namun sebenarnya kita menggunakannya dengan suatu cara
yang anehnya akurat. Maka misalnya, kita bicara tentang “jiwa musik”. Apa yang
memberikan jiwa pada suatu musik? Ini dapat kita mengerti dengan memelajari
lawannya, kebalikannya. Bayangkanlah musik yang sering Anda dengarkan di
bandara, di supermarket dan dalam lift. Musik itu hanya sekedar pengisi
kesunyian, tanpa jiwa. Tidak berarti bagi Anda. Tidak mengaduk kromosom anda.
Tapi ada musik lain yang melakukan itu dan itulah sebabnya mengapa kita dengan
tepat menyebutnya jiwa musik. Penuh energi, eros, dan membawa segala hal yang
ada padanya : hasrat, kegelisahan, nostalgia, nafsu, keinginan, dan harapan.
Eros adalah jiwa, dan jiwa memberikan energi.
Namun ada
hal lain yang dilakukan jiwa, lebih dari hanya memberikan energi. Jiwa itu juga
mengikat seluruh diri kita menjadi suatu kesatuan, prinsip integrasi dan
individuasi* di dalam diri kita. Pada
tingkatan fisik hal ini bisa dengan mudah kita perhatikan. Tubuh kita ini
secara biologi merupakan gabungan dari bermacam-macam zat kimia. Namun selagi
kita hidup, ada jiwa dalam kita, semua zat kimian ini bekerja sama membentuk
suatu organisme, suatu tubuh, yang di dalamnya semua zat kimia yang
berbeda-beda dan semua proses yang dihasilkannya bersama-sama membuat suatu
kesatuan, sesuatu yang lebih besar daripada sekedar penjumlahan semua
bagiannya. Kita menyebut ini suatu tubuh, dan keberadaan setiap tubuh
bergantung bergantung kepada jiwa. Maka, ketika kita melihat seseorang mati,
kita memerhatikan dengan tepat bahwa sejak saat kematian itu dan selanjutnya
tubuh itu tidak ada lagi. Kita tidak menyebutnya suatu tubuh lagi, melainkan
suatu mayat atau jenasah. Pada saat kematian itu, semua zat kimia berjalan
menurut jalannya sendiri. Zat-zat kimia yang tadinya bekerja sama demi suatu
kesatuan dan menjadi suatu kesatuan tentunya, sekarang terurai terpisah-pisah.
Untuk sesaat sesudah kematian mereka masih memerlihatkan suatu tubuh, tetapi
hanya karena mereka masih saling tumpang tindih. Namun itu akan segera berubah.
Begitu jiwa meninggalkan tubuh, maka yang ada bukan lagi suatu tubuh. Berbagai
zat-zat kimia terurai menempuh jalannya sendiri dan tidak mendukung hidup.
Apa yang
lihat pada sisi bio-kimia itu, juga bisa kita saksikan di tingkat psikologi. Di
hati dan pikiran, jiwa itu merekatkan segalanya dalam kebersamaan. Dari sini,
jika kita menggunakan istilah “kehilangan jiwa”, kita bukannya bicara tentang
keadaan terkutuk secara kekal. Kehilangan jiwa dalam jargon masa kini berarti
cerai berai, kacau, tidak keruan, tidak rekat jadi satu. Kehilangan jiwa sama
dengan berantakan. Maka jika kita merasa batin kita bingung tak ketulungan,
ketika kita tidak tahu lagi siapa diri kita ini, dan ketika saya buru-buru ke
segala arah pada saat yang bersamaan tanpa tahu mau ke mana, maka saya
kehilangan jiwa. Sama dengan pertanyaan tentang keabadian, inilah yang
dikatakan Yesus ketika Ia bertanya, “apa gunanya seseorang memeroleh seluruh
dunia, jika ia kehilangan jiwanya?”
Maka jiwa
yang sehat niscaya melakukan dua hal bagi kita. Pertama, jiwa itu menempatkan
nyala api dalam urat syaraf kita, yang membuat kita tetap energik, gembira,
punya daya hidup, dan penuh dengan harapan karena kita merasakan bahwa hidup
ini akhirnya indah dan layak. Kalau semuanya ini berhenti atau berantakan dalam
diri kita, maka ada yang salah pada jiwa kita. Ketika kita jadi sinis, putus
asa, pahit, atau energi kita jadi lumpuh karena depresi, tentu sebagian dari
jiwa kita terluka. Yang kedua, jiwa yang sehat menjaga agar kita rekat terpadu
dalam suatu kesatuan. Jiwa itu terus menerus memberi kepada kita pengertian
siapa diri kita ini, dari mana kita berasal, ke mana kita akan pergi, dan
segala pengertian lain yang ada di dalamnya. Jika kita berdiri memandang diri
kita sendiri di depan kaca dan bingung, dan bertanya pada diri sendiri apa
gunanya, artinya hidup kita ini (jika ada), maka inilah bagian lain dari jiwa,
prinsip integrasi, penyatuan diri, yang sedang melemah.
Dapat
dikatakan bahwa jiwa punya suatu prinsip kekacauan dan suatu prinsip keteraturan
di dalamnya, dan kesehatannya bergantung pada proporsi (atau bagian) yang
setepatnya diberikan kepada masing-masing prinsip itu. Jika terlalu banyak
keteraturan maka anda mati tercekik atau terbelit; jika terlalu banyak
kekacauan maka anda mati berantakan. Maka setiap spiritualitas ang sehat
niscaya beribadat pada Tuhan pada dua tempat suci, pada tempat suci kekacauan,
dan pada tempat suci keteraturan. Yang satu membuat kita tetap bertenaga, yang
lain memelihara kesatuan diri kita. Kedua fungsi jiwa ini selalu di dalam suatu
ketegangan yang kreatif. Itulah sebabnya kita kadang-kadang mengalami
kontadiksi yang luar biasa dalam diri kita. Antara energi dan integrasi, antara
hasrat yang berkobar-kobar dan kemurnian, api dan air, yang selalu bertempur
satu sama lain, masing-masing punya hak yang sah untuk mewujudkan kesehatan
kita. Tidak mengherankan jika hidup ini bukanlah tugas yang sederhana.
Hal ini
mempunyai pertalian implikasi praktis yang sangat luas pada hidup kita. Apa
yang sehat dan apa yang tidak sehat bagi jiwa kita? Maka misalnya, apakah sehat
melihat film atau tayangan televisi yang memerlihatkan kekerasan dan seks? Apakah
yang ini atau yang itu merupakan pengalaman yang sangat sehat atau tidak sehat
bagi saya sekarang? Berdasarkan latar belakang jiwa seperti ini, kita tahu
bahwa pertanyaan tentang apa yang membuat jiwa kita sehat atau tidak sehat
adalah sangat kompleks karena pada setiap hari tertentu mungkin kita memerlukan
lebih banyak integrasi daripada memerlukan energi, atau sebaliknya. Suatu
contoh yang sederhana: Jika saya merasa sedang berantakan, tidak tahu lagi
siapa saya dan apa artinya hidup saya ini, saya mungkin beristirahat untuk
membaca Jane Austen* ketimbang Robert Waller**, melihat film Sense and Sensibility ketimbang The
Bridge of Madison County, dan meluangkan waktu untuk sendirian ketimbang
untuk bersama teman-teman. Namun sebaliknya, jika saya merasa lumpuh batin saya
dan tidak menemukan semangat hidup, saya mungkin memerlukan hal yang kebalikan
dari keterangan di atas itu. Hal-hal tertentu membantu kita mendapatkan api
energik, sedang hal-hal tertentu lainnya membantu saya menanggung ketegangan
hidup dengan sabar. Keduanya punya tempatnya sendiri-sendiri dalam kehidupan
spiritual.
Itulah
sebabnya unsur-unsur api dan air selalu mendapat tempat sentral dalam
simbolisme keagamaan. Api melambangkan energi, eros, hasrat yang menggebu-gebu.
Air melambangkan suatu penurunan kegiatan, pendinginan, dalam suatu wadah,
rahim keamanan dan keselamatan. Secara mitis, spiritualitas sering dilihat
sebagai pertautan dan pergantian di antara kedua unsur ini, api dan air. Tidak
mengherankan. Di dalam mitologi, jiwa selalu di dalam tempaan, dipanaskan dan
dibentuk dengan api, lalu didinginkan dengan air.
Selaras
dengan pemerian di atas, sangat menakjubkan untuk memelajari betapa di dalam
berbagai kebudayaan ada berbagai cerita legenda mengenai asal-usul jiwa dan
segala sesuatu yang terkait dengan masuknya jiwa ke dalam tubuh kita. Berikut
ini disampaikan beberapa contoh.
Di dalam
budaya Jepang ada suatu gagasan bahwa bayi datang dari suatu tempat yang sangat
jauh sebelum masuk dalam komunitas manusia. Jiwanya begitu asing bagi dunia ini
dan karena itu amat sangat penting bahwa pada mulanya anak harus selalu dekat
dengan ibu atau dengan mereka yang memberi perhatian awal, yang mestinya tidak
meninggalkan bayi itu sendirian. Mahluk asing ini harus dibuat merasa diterima
dengan baik. Ada sesuatu di dalam bayi itu, suatu api, yang berasal dari suatu
tempat-entah-di-mana. Di antara bangsa Norwegia juga ada legenda yang sangat
indah bahwa sebelum suatu jiwa dimasukkan ke dalam tubuh, jiwa itu dicium oleh
Tuhan dan selama masa hidupnya di dunia, jiwa itu memelihara suatu kenangan
yang gelap namun sangat kuat tentang ciuman itu dan menghubungkan segala sesuatu
dengan ciuman itu. Kemudian ada legenda Yahudi yang menyatakan bahwa sebelum
Tuhan menempatkan suatu jiwa ke dalam tubuh, jiwa itu diminta melupakan
kehidupan sebelumnya. Maka tepat ketika jiwa itu masuk ke dalam tubuh, salah
seorang malaikat Tuhan membekap mulut bayi sebagai suatu isyarat agar selama
hidupnya di dunia, ia tidak boleh bicara tentang asal-usulnya yang ilahi.
Lekukan kecil di bawah hidung seseorang adalah bekas jari telunjuk malaikat
yang menyegel bibir anda – itulah sebabnya mengapa jika anda berusaha
mengingat-ingat sesuatu, ketika anda berpikir, secara spontan jari telunjuk
anda naik dan bertengger pada lekukan di bawah hidung itu.[vii]
Legenda-legenda
yang indah ini sungguh menghormati jiwa. Mereka juga hangat akrab, seperti
menunjukkan kepada kita, bahwa api di dalam jiwa yang berasal dari seberang
sana, dan apa yang dilakukan oleh jiwa itu di dalam hidup ini banyak didorong
oleh api itu.
Satu hal
yang terakhir namun penting juga perlu dikatakan tentang jiwa sebelum kita maju
dan ini berkaitan dengan keberadaannya dalam semua alam. Orang-orang kuno dan
zaman pertengahan percaya bahwa bukan hanya manusia saja yang punya jiwa dan
punya spiritualitas. Dalam pandangan mereka, setiap benda hidup, lanet,
serangga, atau binatang, juga punya jiwa. Mereka benar. Lebih-lebih lagi dewasa
ini, berdasarkan pengertian kita akan fisika, kita tahu bahwa bahkan partikel
yang paling kecil pun dari alam semesta ini, dengan muatan positif dan negatif
mereka, mempunyai sesuatu semacam kehendak dan karena itu mereka juga punya
sejenis jiwa sendiri. Hal ini penting untuk kita sadari, bukan demi alasan
romantik atau mitologis, tetapi karena kita semua adalah satu dengan seluruh
alam semesta. Untuk dapat memahami diri kita sendiri dan apa artinya
spiritualitas bagi kita, maka kita perlu menempatkan diri kita dalam suatu
konteks yang seluas mungkin, yaitu seluruh kosmos.
Pierre
Theilhard de Chardin pernah menganggap pribadi manusia sebagai suatu evolusi
yang menjadi sadar akan diri sendiri. Hal itu memberi tahu kita bahwa, sebagai
umat manusia, kita tidak terpisahkan diri dari alam, karena semata-mata
merupakan bagian dari alam yang dapat berpikir, merasa dan bertindak secara
sadar. Alam merupakan suatu kesatuan, suatu garis kontinuum yang tertentu;
sebagian darinya sadar akan dirinya sendiri, sebagian yang lain hanya sadar
saja, dan sebagian yang lain hanya punya kesadaran yang sangat gelap dan
analog. Namun segala itu, termasuk umat manusia, didorong oleh jiwa, semangat,
hasrat, eros, keinginan. Alam juga dilontarkan oleh suatu kegilaan yang datang
dari ilah-ilah. Perbedaannya adalah, sebelum sampai pada tataran kesadaran diri
dan kebebasan manusia, daya yang mendorong alam itu merupakan tekanan yang
gelapdan gelisah, tampaknya tidak punya pengertian, tidak sadar, dan seringkali
brutal. Tidak ada yang pernah diam sama sekali, bahkan pada tataran alam yang
paling dasar sekali pun.
Oksigen
menyatu dengan hidrogen dan gabungan ini selanjutnya terdorong keluar untuk
menyatu juga dengan hal-hal lain dan sebagainya dan sebagainya. Semua benda
dalam alam, persis seperti manusia, pada dasarnya tidak tenang dan terdorong
untuk keluar. Saya sampaikan suatu ilustrasi.
Seorang
teman memberi tahu saya, setelah membeli sebuah rumah ia bermaksud
menghilangkan serumpun bambu tua di jalan masuk rumah itu. Ia memotong tanaman
itu, dengan mengapak akarnya, dan setelah itu, ia menghancurkannya sebisa
mungkin dan menuangkan racun tanaman atas sisa-sisanya. Akhirnya ia menimbun
lubang di tempat tumbuhnya bambu itu dengan pasir dan kerikil yang ditumbuknya
dengan kuat dan kemudian diberi semen.
Dua tahun
kemudian, semen itu terangkat naik dan tanaman bambu itu meretakkan jalan semen
itu. Prinsip hidupnya, tekanan yang buta untuk tumbuh, tidak putus oleh kapak,
racun dan semen.
Kita melihat
semangat yang sama yang sulit dipercaya dan tampaknya tidak mau mengerti di
dalam semua benda. Di dalam segala sesuatu, dari atom hingga manusia, ada
semacam kekuatan buta yang menyatu dengan benda-benda lain dan tumbuh. Tidak
ada yang dapat menghentikannya. Jika anda menaruh suatu lembaran baja dua inci
di atas semangka yang sedang tumbuh, tanaman itu akan meretas baja dan tetap
tumbuh. Segala sesuatu didorong keluar. Batu-batu, tanaman, serangga dan
binatang juga sama erotiknya, dan terdorong sama resahnya seperti manusia. Pada
derajat yang tertentu ada persamaan yang menakjubkan antara tanaman bambu yang
mendesak naik secara membuta menembus jalanan semen, seorang bayi yang sedang
disusui, seorang remaja yang gelisah terdorong oleh hormon-hormon, kegelisahan
kaum lajang di suatu bar, dan Ibu Teresa yang berlutut dengan sadar berdoa di
hadapan Tuhan. Pada masing-masing ada hasrat yang sedang bekerja, kadang-kadang
secara membuta, kadang-kadang secara sadar. Santo Paulus mengatakan bahwa pada
masing-masing kesempatan itu, Roh Kudus berusaha berdoa melalui sesuatu atau
seseorang. Hukum gravitasi dan tarikan obsesi emosional tidak terlalu berbeda.
Teilhard
de Chardin yang adalah ilmuwan sekaligus teolog itu suatu ketika berkata bahwa
Allah bersabda kepada setiap unsur dengan bahasa yang mereka pahami. Maka,
Allah bicara pada hidrogen melalui
ketertarikannya pada oksigen. Allah menarik segala sesuatu lainnya,
termasuk kita masing-masing dengan cara yang sama. Di situ ada satu tujuan,
satu daya, satu semangat yang bekerja dalam seluruh semesta. Zat kimia yang ada
pada tangan kita dan yang ada pada otak kita digodok di tungku yang sama tempat
pengolahan bintang-bintang. Semangat yang sama mendorong oksigen untuk
bergabung dengan hidrogen, membuat bayi menangis ketika lapar, mendorong remaja
keluar dengan keresahan hormonal, dan mendorong Ibu Teresa pergi ke kapel untuk
berdoa. Ada ketidakpuasan, suatu kata lain untuk jiwa dan semangat, dalam semua
benda dan apa yang dilakukan oleh benda-benda itu, atau manusia, terhadap
ketidakpuasan itu, adalah spiritualitas mereka.
Kita
adalah bagian dari suatu semesta, bagian yang menjadi sadar akan diri sendiri,
sementara segala sesuatu lainnya menginginkan sesuatu di luar dirinya sendiri.
Kita mempunyai dalam diri kita semangat, jiwa, dan apa yang kita lakukan pada
jiwa itu adalah spiritualitas.[viii]
Pada tataran yang paling dasar, jauh sebelum semuanya yang jelas bersifat
keagamaan perlu disebutkan, adalah benar untuk mengatakan bahwa jika kita
melakukan berbagai hal yang membuat kita tetap energik dan terpadu, terbakar
bernyala sekaligus terekat menyatu, kita mempunyai spiritualitas yang sehat.
Sebaliknya, jika dorongan besar kita membuat kita melakukan tindakan yang
membebani batin kita dan menyebabkan kita merasa berantakan dan mati, maka kita
mempunyai suatu spiritualitas yang tidak sehat. Sebagaimana kita katakan di
depan, spiritualitas berkenaan dengan apa yang kita lakukan dengan hasrat yang
tak terpuaskan, kegilaan yang datang dari ilah-ilah, yang ada di dalam diri kita.
Setiap
orang tentu punya suatu spiritualitas. Kendati sebagai suatu fakta ini jelas,
namun hal ini tidak begitu jelas dipahami atau diterima dewasa ini di dalam
budaya Barat. Untuk berbagai macam alasan, kita bersusah payah menggumuli
dimensi yang spiritual ini, entah dengan latar belakang kita sebagai orang
Kristiani atau tidak. Kita semua cendreung berjuang dengan dimensi gerejawi
dari spiritualitas ini. Demikianlah maka perjuangan kita baik secara teoretis
maupun secara eksistensial berusaha memahami ini semua.
Diterjemahkan oleh Bambang Kussriyanto (2011)
* Anne Frank menuliskan catatan harian pengalamannya lolos dari
kekejaman Perang Dunia II; Teresa Martin
dari Lisieux , seorang biarawati Karmelit, santa, juga dikenal sebagai
Teresa Kanak-kanak Yesus (1873-1897); Etty
Hilesum , seorang wanita pemikir Yahudi Belanda (lahir 1914), meninggal di
dalam kamp tawanan Jerman di Auschwitz pada
tahun 1943. Meninggalkan tulisan berupa catatan harian An interrupted Life : The Diaries of Etty Hillesum 1941-1943,
terjemahan A.J. Pomerans, London 1996.
** Sigmund Freud, bapak
psiko-analisis dari Austria (1850-1939) yang mengulas tentang libido. Karl Jung, psikiater Swiss, yang juga
pendiri aliran psiko-analisis (1875-1961). James
Hillman terutama bukunya, The Soul’s Code: In Search of Character and
Calling, New York, Random House, 1990.
;
* Yoanes dari Salib (1542-1591), pujangga gereja dari masa reformasi,
menulis banyak buku tentang hidup rohani dan mistik.
* Ibu Teresa, Misionaris
Suster-suster Cinta Kasih dari Kalkuta.
** Sigmund Freud menyusun teori
tentang “instansi-instansi identitas” (superego, ego dan id) sekitar tahun
1915, yang didasari oleh teorinya tentang naluri seksual. Secara popular
psiko-analisis ortodoks dari Freud mengaitkan perkembangan kepribadian dengan
dinamika seksualitas, utamanya dengan pengendalian nafsu libido. Maka erotik dalam pengertian ini berkaitan
dengan libido seksual itu.
* Filsuf
eksistensialis dari dari Denmark (1815-1855).
* Mantan isteri Pangeran Charles
dari Inggris
* Yang membuat kita unik,
terbedakan dari yang lain.
* Jane Austen, novelis wanita dari Inggris (1775-1817) yang
menghasilkan roman-roman yang lembut.
** Robert Waller menghasilkan karya thriller dan suspense
yang energik.
[ii] St Agustine, The Confessions of St Agustine,
terjemahan Frank Sheed, New York, Sheed & Ward, 1943, hal 1.
[iii] Buku-buku klasik yang tergolong
rubrik ini adalah termasuk buku Thomas a Kempis, Imitatio Christi, (pernah
diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Mengikuti Jejak Kristus, dan dalam bahasa Jawa Nderek Pada Dalem Sang Kristus di tahun enam puluhan); Francis de
Sales, An Introduction to the Devout Life;
dan buku pegangan seminari oleh A. Tanquerey, The Spiritual Life.
[iv] Kata bahasa Inggris discipleship (pemuridan) berasal dan
memperoleh maknanya dari kata discipline (sikap
taat ajaran/belajar). Menjadi murid berarti berada di bawah ajaran dan/atau
dalam ketaatan pada cara belajar tertentu. Ini bisa secara eksplisit merupakan
disiplin keagamaan, maka jika kita bicara tentang murid-murid Yesus berada
dalam ajaran Yesus atau dalam ketaatan
belajar pada Yesus, tetapi juga bisa diterapkan pada ajaran lain,
misalnya suatu ideologi, suatu filosofi, suatu ambisi, suatu kepahitan dan
sebagainya.
[v] Puisi Santo Yoanes dari Salib:
“Malam Gelap dari Jiwa”, stansa satu. Lengkapnya stansa itu sebagai berikut:
Suatu
malam gelap
Diterangi
kerinduan yang mendesak akan cinta
Ah,
rahmat sejati
Diam-diam
aku keluar
Rumahku
diliputi sepi.
Lihat The Collected Works of John of the Cross,
terjemahan K. Kavanaugh, Washington DC, ICS Publications, 1991, hal 113.
[vi] Di sini saya menggunakan kata
“jiwa” dalam arti yang klasik, sekurang-kurangnya seperti yang digunakan
dalamkebanyakan filsafat kuno, zaman pertengahan dan modern di Barat. Seperti
yang anda ketahui, di tempat-tempat yang tidak dipengaruhi oleh falsafat
Yunani, dan ini meliputi sebagian besar Kitab Suci, kata itu digunakan
berlain-lainan. Dewasa ini, misalnya, ada suatu aliran pemikiran (misalnya
James Hillman, Thomas Moore, Richard Rohr) yang membedakan jiwa dari semangat.
Pembedaan ini, betapapun valid dan berharga, tidak digunakan di sini. Jiwa sejauh yang digunakan dalam bab dan
sepanjang buku ini juga meliputi semangat.
[vii] Untuk beberapa legenda itu,
termasuk suatu uraian tentang contoh yang terkenal dari Plato, lihat buku James
Hillman, The Soul’s Code – In Search of
Character and Calling, New York: Random House, 1996, hal 41-62.
[viii] Ada beberapa definisi teknis
tentang spiritualitas sebagai berikut;
i). Sandra Schneiders dalam suatu
artikel dalam Theological Studies,
Volume 50, halaman 676-697 menyampaikan dua definisi yang saling melengkapi:
Dalam
merumuskan Spiritualitas sebegai pengertian umum (tidak secara eksplisit
merupakan rumusan yang khas Kristiani) Schneiders mengatakan mengalirnya
istilah itu namun dapat dirumuskan sebagai usaha sadar dan sengaja untuk
mengintegrasikan hidup seseorang, bukan hanya dalam arti integrasi diri dan
pengembangan diri, tetapi dalam arti transendensi diri (menempatkan diri
mengatasi) cakrawala keprihatinan tertinggi.
Dalam
merumuskannya sebagai istilah akademis, ia menyarankan sebagai berikut:
Spiritualitas adalah suatu bidang studi yang berusaha mempelajari melalui suatu
cara inter-disipliner (lintas keilmuan) pengalaman spiritual. Di sini
pengalaman spiritual digunakan untuk menunjukkan bukan hanya pengalaman
keagamaan dalam arti teknis, tetapi juga pengalaman sejenis mengenai makna dan
nilai tertinggi yang transcendent dan daya penyatuan hidup pada
orang-perorangan dan kelompok-kelompok.
ii) Hans Urs von Balthasar
merumuskan spiritualitas sebagai cara seseorang memahami keberadaannya yang
mempunyai komitmen moral dan religius, dan caranya dia cenderung (biasa)
bertindak atau bereaksi atas pengertian ini.
iii) Yohanes dari Salib, salah
seorang guru besar hidup rohani dapat dikatakan (dalam rumusan yang longgar)
memberikan pengertian Spiritualitas sebagai berikut: Spiritualitas adalah usaha
dari seseorang atau suatu kelompok untuk mencari dan berada di hadirat Tuhan,
sesame dan kosmos sedemikian sehingga berada dalam suatu komunitas hidup dan
perayaan dengan mereka. Pola umum dan khusus serta kebiasaan-kebiasaan dalam
interaksi yang berkembang dari ini
selanjutnya membentuk dasar-dasar spiritualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar