Bulan Oktober didedikasikan sebagai bulan Rosario. Mendaras
doa Rosario sama artinya dengan mengenangkan Bunda Maria dan peranannya dalam
sejarah keselamatan. Setiap kali kita mendaras “Salam, Maria” kita membayangkan
sosok Bunda Maria, seringkali dengan bantuan patung atau gambar Maria. Berikut
ini adalah kenangan tentang Maria yang terdapat dalam Kitab Suci dan Tradisi
Kristiani.
Maria Ibu Yesus
Maria isteri Yusuf dari
Nazaret yang tetap perawan dan ibu Mesias keturunan Daud, Yesus Kristus.
Setelah menerima panggilan yang mulia, ia menjadi model teladan yang ideal
untuk iman dan pemuridan Kristen (Luk 1:38.45; 8:21; 11:28). Lebih dari wanita
lain dalam sejarah, Maria adalah orang yang yang padanya Tuhan telah melakukan
“hal-hal yang besar” (Luk 1:49).
I. Maria dalam Injil
dan Kisah Para Rasul
A. Masa Awal Hidupnya
B. Isteri, Ibu, Murid
C. Hidup Selanjutnya
II. Maria Dalam
Sejarah Keselamatan
A.
Tabut Perjanjian Baru
B.
Ibu Suri
C.
Hawa yang Baru
D.
Suatu Tipologi Gereja
I. Maria dalam Injil
dan Kisah Para Rasul
A. Masa Awal Hidupnya
Masa awal hidup Maria tidak
tertulis dalam Kitab Suci. Rincian mengenai latar belakang keluarga dan
pengasuhannya hingga dewasa baru kemudiaan disampaikan oleh tradisi dan
legenda. Salah satu tradisi yang berasal dari abad kedua memperkenalkan Maria
sebagai puteri dari pasangan Yahudi yang saleh bernama Yoakim dan Anna yang
sudah lama tidak mempunyai anak, tetapi sesudah tekun berdoa dan berjanji akan
membaktikan dalam Bait Allah anak yang akan diperoleh, mereka diberkati Tuhan
dengan seorang anak yang mereka namakan Maria. Maria tinggal dengan orangtuanya
sampai berumur tiga tahun, dan kemudian dibawa ke Yerusalem dan hidup di dalam
persaudaraan para perawan Bait Allah sampai usianya dua belas tahun [empat
belas tahun menurut tradisi yang lain, lih. Evangelium de Nativitas Mariae
(5:3-4)]. Lalu ia dipertunangkan dengan Yusuf, seorang pembangun rumah dan duda
yang mempunyai beberapa anak dari perkawinannya yang terdahulu (Proto-evangelium
Iacobi, 1-9).
B. Isteri, Ibu, Murid
Matius dan Lukas
memperkenalkan Maria sebagai perawan yang ditunangkan dengan Yusuf, dari
keluarga keturunan Daud (Mat 1:18-21; Luk 1:26-27). Sebelum pasangan itu
tinggal serumah sebagai suami isteri, Maria dikunjungi oleh malaikat Gabriel
dan padanya disampaikan undangan untuk menjadi ibu Mesias (Luk 1:28-38). Dengan
menyetujui tawaran itu Maria mengandung seorang anak, bukan dari hasil
perkawinannya dengan Yusuf, melainkan dari pekerjaan ajaib Roh Kudus (Mat
1:18). Bisa dimengerti jika Yusuf bingung setelah mengetahui bahwa Maria
mengandung dan bermaksud membatalkan pertunangannya dengan diam-diam sampai
seorang malaikat meyakinkan dirinya bahwa Tuhan menghendaki Yusuf menjadi ayah
menurut hukum dan pengasuh anak itu (Mat 1:19-25). Kemudian, Maria pergi
mengunjungi kerabat sepupunya yang lebih tua, Elisabet (Luk 1:39-45), suatu
perjumpaan yang membuatnya melantunkan nyanyian pujian, Magnificat (Luk
1:46-55).
Diperlukan perjalanan lagi ketika Caesar Augustus
memerintahkan suatu sensus yang membawa Maria ke Betlehem, kota leluhur Yusuf
(Luk 2:1-5). Di sana lahirlah Yesus (Mat 2:1), mungkin di suatu gua yang
dijadikan kandang hewan (Luk 2:6-7), sekalipun pasangan itu bisa membeli sebuah
rumah di masa sesudah ini (Mat 2:11). Sebagai orang Yahudi yang taat hukum,
pasangan ini menyunatkan kanak-kanak Yesus (Luk 2:21) dan kemudian
mempersembahkannya di Bait Allah (Luk 2:22-39). Dua hal yang penting diketahui
dari kejadian ini : satu, pembaca tahu bahwa Maria dan Yusuf secara ekonomi
miskin karena mereka mempersembahkan korban di Bait Allah (Luk 2:24) menurut
ketentuan bagi orang yang tidak bisa membeli hewan korban yang lebih besar (Im
12:6-8); dan kedua, Maria sendiri lalu tahu bahwa Puteranya itu ditentukan akan
menjadi tanda pertentangan, dan bahwa suatu hari nanti suatu pedang akan
menusuk jiwanya (Luk 2:34-35).
Ketika Herodes Agung, Raja Yudea, mengetahui lahirnya anak
itu, ia mengirim tentara untuk memburu dan membunuh kanak-kanak Yesus di
Betlehem (Mat 2:16-18). Tetapi berkat campur tangan malaikat sebelumnya, Yusuf
dan Maria dan anak itu sudah pergi mengungsi ke Mesir dengan selamat dan
tinggal di sana sampai Herodes mati (Mat 2:13-25). Akhirya pulanglah mereka ke
Nazareth di Galilea (Mat 2:19-23), dan dari sana mereka berziarah ke Yerusalem
untuk merayakan Paskah dan perayaan lain setiap tahun (Luk 2:41-51).
Walaupun kisah Masa Kanak-kanak Yesus banyak menggambarkan
Maria, sehingga pembaca dapat dari dekat melihat kesalehannya, doa-doanya,
tindakannya, bahkan kata hatinya (Luk 2:19.51), kemudian ia tidak banyak
disebut dalam karya Yesus. Satu-satunya kekecualian adalah dalam episode
perkawinan di Kana dalam Injil Yohanes (Yoh 2:1-11). Di sini kita temukan Maria
berperan dalam perbuatan ajaib Yesus yang pertama, kesempatan pertama di mana
Yesus mengungkapkan kemuliaan ilahiNya kepada para murid (Yoh 2:11). Maria
memberitahu Yesus bahwa persediaan anggur pesta itu menipis. “Mereka kehabisan anggur.” (Yoh
2:30. Dari segi tata-bahasa kalimat ini bersifat memberitahu (indikatif), namun
ketika diucapkan sifatnya menjadi imperatif (kalimat perintah). Artinya, Maria
meminta Yesus melakukan sesuatu tindakan untuk memerbaiki keadaan. Atas ucapan
Maria itu Yesus menjawab, “Mau apakah engkau daripadaKu, ibu? Saatku belum
tiba!” Kendati jawaban pendek yang bagi telinga modern terdengar seperti suatu
penolakan, namun sebenarnya tidak demikian, sebab nyatanya Maria dengan yakin
berkata kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu” (Yoh
2:5). Tradisi Kristen memandang episode ini sebagai tipologi perantaraan Maria
yang terus berlangsung bagi para murid Kristus.
C. Hidup Selanjutnya
Terakhir kalinya Maria
dimunculkan dalam Perjanjian Baru di ruang atas, di mana ia bersama dengan para
murid Yesus tekun berdoa menyongsong Pentakosta (Kis 1:14). Ia tidak disebutkan
melakukan sesuatu tindakan yang lain sesudah ini; yang diketahui hanyalah bahwa
Yesus, pada saat terakhir hidupNya, memercayakan ibundaNya itu kepada murid
yang dikasihi, yang oleh tradisi dikenal sebagai rasul Yohanes (Yoh 19:25-27).
Tradisi, risalah dan liturgi Kristen awal berbeda-beda
sehubungan dengan hari-hari akhir Maria. Mengenai keberadaannya, suatu tradisi
menyatakan bahwa Maria melakukan perjalanan ke Efesus di Asia Kecil bersama
rasul Yohanes; yang lain menyatakan Maria tetap tinggal di Yerusalem. Mengenai
akhir hidupnya di dunia, salah satu tradisi menyatakan bahwa Maria meninggal
secara wajar, sedang yang lain mengenangkan bahwa ia meninggal dalam tidur.
Namun kedua tradisi itu sepakat, bahwa Maria diangkat ke surga dengan tubuhnya.
Masa awal Kristen sama sekali tidak bicara apa-apa tentang jenazah Maria dan
tentang tempat pemakamannya. “Maria Diangkat ke Surga” ditetapkan sebagai dogma
oleh Paus Pius XII pada tahun 1950 dengan konstitusi apostolik Munificentissimus
Deus.
II. Maria Dalam
Sejarah Keselamatan
A.
Tabut Perjanjian Baru
Tradisi
Kristen menyebut Maria sebagai “tabut Perjanjian Baru”, dengan menarik
kesejajaran antara ibu Yesus itu dengan tabut emas Perjanjian Lama tempat Tuhan
bersemayam di kemah suciNya (Kel 25:10-32). Dasar tipologi Maria ini berakar
pada Perjanjian Baru sendiri, dan yang paling jelas dalam Injil Lukas.
Kisah kunjungannya kepada Elisabet dalam
Injil Lukas mengajak para pembaca melihat kesejajaran antara kedatangan Maria
di rumah Elisabet (Luk 1:39-56) dengan pemindahan tabut perjanjian yang
dilakukan Daud ke Yerusalem, dan menggemakan beberapa detil dari kisah yang
dicantumkan dalam kitab 2 Samuel. Ceritanya dimulai dengan perkataan bahwa
Maria “berangkat dan berjalan” ke daerah pegunungan Yudea (Luk 1:39), seperti
Daud “bersiap lalu berjalan” menuju perbukitan Yehuda untuk mengusung tabut
perjanjian dari sana (2 Sam 6:2). Ketika Maria sampai di tempat tujuannya,
Elisabet rendah hati di hadapan Maria (Luk 1:43), seperti Daud takut di hadapan
tabut Tuhan (2 Sam 6:9). Namun, gembira oleh perjumpaan itu membuat Yohanes Pembaptis
melonjak kegirangan di dalam rahim ibunya, Elisabet (Luk 1:41) mengingatkan
bagaimana Daud menari-nari dengan gembira di hadapan tabut (2 Sam 6:16).
Penulis Injil akhirnya menyatakan bahwa Maria tinggal selama”tiga bulan” (Luk
1:56) di “rumah Zakharia” (Luk 1:40), suatu detil yang mengingatkan bahwa tabut
perjanjian juga “tiga bulan” lamanya tinggal di “rumah Obed-Edom” (2 Sam 6:11).
Lukas juga menjalin hubungan yang sangat
halus dengan kisah tabut dalam kitab 1 dan 2 Tawarikh. Hubungan itu tampak
ketika Elisabet, seorang keturunan Lewi dari Harun (Luk 1:5) “berseru dengan
suara nyaring” memuji berkat yang diterima kerabatnya itu (Luk 1:42). Kata
kerja Yunani yang digunakan si situ, “anaphoneo”, jarang dipakai dan
tidak ada di tempat lain dalam Perjanjian Baru. Kemungkinan sekali Lukas
meminjam kata itu dari bahasa Yunani Perjanjian Lama, di mana kata kerja itu
muncul lima kali dan digunakan untuk melukiskan tetabuhan musik kaum Lewi di
hadapan tabut perjanjian (1 Taw 15:28; 16:4-5; 2 Taw 5:3). Tipologi
penggambaran Maria sebagai tabut perjanjian dari Perjanjian Baru dengan
demikian dikuatkan lagi. Karena di dalam rahimnya tinggallah hadirat ilahi
Allah Israel, maka tanggapan tradisi atas kehadiran ini adalah pernyataan
pujian dengan suara dan tetabuhan musik Lewi.
B.
Ibu Suri
Maria
sering disebut sebagai Ratu dalam tradisi rohani dan liturgi Gereja. Dasar dari
tradisi ini tentu saja adalah hubungan Maria dengan Kristus Raja. Namun mengapa
Ratu dalam Perjanjian Baru adalah ibu Raja, bukannya isteri Raja, sebagaimana
ratu-ratu lain selama berabad-abad? Jawabannya terletak pada pranata status
ratu menurut Kitab Suci di Israel.
Mulai dari zaman Salomo, raja-raja
keturunan Daud dari Yehuda meniru tetangga-tetangga mereka di Timur Dekat yang
memperuntukkan kedudukan Ratu kepada ibunda raja (Ibu Suri). Untuk sebagian,
hal ini merupakan keputusan praktis di dlam dunia di mana lelaki-lelaki kaya
dan terhormat biasanya mempunyai banyak isteri. Ini berarti bahwa ibunda raja
tidak sekedar dihormati dengan adat kerajaan, tetapi dia adalah juga seorang
pejabat istana raja, tokoh pemerintahan yang aktual yang sering sangat besar
wibawa dan kuasanya dalam kerajaan Timur kuno. Tidak ada bedanya dengan Israel.
Ratu bukan sekedar mengenakan tiara mahkota saja (Yer 13:18), tetapi juga
mempunyai tahta di sebelah kanan raja-raja keturunan Daud (1 Raj 2:19), bahkan
dihormati oleh raja sendiri (1 Raj 2:19), yang biasanya mengabulkan apa saja
yang diminta Ratu (1 Raj 2:20). Di antaranya, Ratu dengan demikian menjadi
pembela yang sangat berkuasa bagi kepentingan rakyat (1 Raj 2:13-19). Latar
belakang ini penting ketika kita membaca Perjanjian Baru, karena Maria adalah
ibu Yesus, Mesias rajawi (Mat 1:1-16), yang sudah ditentukan sebelum
kelahiranNya untuk duduk di tahta Daud (Luk 1:32-33; bdk Kis 2:30-36). Dengan
kata lain, Yesus, raja keturunan Daudlah yang menetapkan kedudukan Maria
sebagai Ratu, Ibu Suri.
Mungkin indikasi yang paling jelas
mengenai kedudukan Maria sebagai ratu terdapat dalam kitab Wahyu. Dalam
penglihatan pada bab 12, ibu yang melahirkan Mesias tampak dengan “mahkota dua
belas bintang” di kepalanya (Why 12:1). Jelas dia seorang ratu dan ibu. Tetapi
sama pentingnya, Mesias yang baru lahir dikatakan sebagai raja keturunan Daud
“yang akan menggembalakan semua bangsa dengan gada besi” dan dibawa ke
“tahta”-Nya (Why 12:5, menggambarkan raja yang diurapi dari keturunan Daud
dalam Mzm 2:8-9). Sebagian orang mungkin menganggap aneh bahwa seorang ratu
melahirkan rajanya; tetapi pengertian Ibu Suri itulah yang persis kita temukan
dalam kerajaan Daud di masa Israel Kitab Suci. Dan karena Kristus adalah Mesias
keturunan Daud yang sedang memerintah, maka IbundaNya mengenakan tiara mahkota
Ratu dalam Kerajaan Allah yang baru.
C.
Hawa yang Baru
Sebagai
catatan pinggir dari pandangan Paulus atas Kristus sebagai Adam yang Baru (Rm
5:12-21; 1 Kor 15:45-49), para teolog dari masa awal juga menyebut Maria sebagai
Hawa Baru. Dasar-dasar dari pandangan ini bersifat profetis dan tipologis.
Dari aspek yang profetis, janji masa
depan akan penebusan dalam Kej 3:15 adalah permusuhan antara “perempuan” dan “keturunan”-nya melawan ular setan yang
ditentukan akan diremukkan dalam kekalahan. Jika Kristus adalah Penebus yang
dijanjikan yang mengalahkan musuh itu, maka ibundaNya harus dikatakan punya
peran dalam mewujudkan semuanya itu. Sebagian orang menemukan gema dari janji
ini dalam dua episode Injil Yohanes yang memunculkan pribadi Maria. Di dua
tempat, ia disebut oleh Yesus sebagai “perempuan” [khususnya dalam versi asing antara
lain NIV dalam Yoh 2:4 “dear woman why you involve me?” dan 19:26, “dear
woman, here is your son”, dalam terjemahan Indonesia Alkitab dan Kitab Suci
Komunitas Kristiani woman diterjemahkan menjadi Ibu dan kurang
menunjukkan kaitannya dengan nubuat Kej 3:15]; dan yang lebih penting, kedua
ayat itu menyangkut “saat” Yesus, suatu fase kritis dari tugas perutusanNya
ketika Ia mengalahkan penguasa dunia (Yoh 2:4; 12:27-33). Ahli yang lain
merujuk kitab Wahyu di mana ibunda Mesias disebut sebagai “perempuan” (Why
12:1) dan iblis disebut “si ular tua” dan yang “menyesatkan” (Why 12:9) yang
melancarkan perang terhadap “keturunan” perempuan itu (Why 12:17).
Dari aspek tipologi, sosok Maria dapat
dipandang sebagai gambar-tandingan dari Hawa. Sementara Hawa yang masih perawan
didekati oleh malaikat yang berdosa dan membujuk sehingga Hawa tidak taat (Kej
3:1-6), maka Maria yang perawan ketika didekati oleh Malaikat Agung Gabriel
menyatakan ketaatannya pada kehendak Allah selama hidupnya (Luk 1:26-38). Hawa
memprakarsai dosa Adam, yang membawa bangsa manusia ke dalam kegelapan dosa dan
maut, sedang Maria melahirkan Adam Baru yang menyelamatkan keluarga manusia
dari kungkungan dosa dan kematian (Rm 5:12-21).
D.
Suatu Tipologi Gereja
Maria tidak secara
eksplisit disebut tipologi Gereja dalam Perjanjian Baru. Tetapi telaah yang
cermat atas peran Maria sebagai murid teladan dan penerima Roh Kudus merujuk
pada tipologi itu dan menguatkan perkembangan tema ini dalam Mariologi di
kemudian hari.
Pertama, Maria dengan jelas digambarkan sebagai murid
teladan, salah seorang yang melukiskan dengan teladannya adalah tanggapan yang
ideal dari manusia atas Sabda Allah. Penerimaannya atas tugas perutusan yang
diberikan kepadanya menjadi Ibu Penebus ilahi menunjukkan hal itu, sebab dalam fiat-nya
ia berkata: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku
menurut perkataanmu itu.'' (Luk 1:38). Bahwa tanggapan ini sangat penting sudah
tampak dalam kadar tertentu di dalam Kisah Masa Kanak-kanak, dan semakin
meningkat ketika kita mengingat ajaran Yesus. Ketika Maria datang untuk bertemu
dengan Yesus, dan hal itu diberitahukan kepada Yesus, Ia menggunakan kesempatan
itu untuk mengajar khalayak: “Ibu-Ku dan
saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan
melakukannya” (Luk 8:21). Bagi sebagian orang hal ini terdengar merendahkan
makna hubungan biologis antara Yesus dan Maria, ibundaNya. Tapi bukan itu
maksudnya. Sesungguhnya, dengan mengingat fiat Maria, pembaca Injil Lukas
niscaya menyadari bahwa Maria diberkati menjadi ibunda Yesus justru karena ia
menerima Sabda Allah dan melsanakannya. Sejauh merupakan hakekat dan norma dari
pemuridan yang sejati, maka Maria memberi teladan kepada Gereja apa artinya
menjadi Kristen yang autentik.
Kedua,
tampak dalam teks Yunani Injil Lukas dan Kisah, bahwa status bunda ilahi dari
Maria sesungguhnya terkait erat dengan kelahiran Gereja. Hal ini terlihat jika
kita membandingkan Kabar Sukacita, tentang Kelahiran Yesus oleh Roh Kudus,
dengan amanat terakhir Yesus sebelum Ia naik ke surga, yang menyatakan
kelahiran Gereja oleh Roh Kudus pula. Dalam Kabar Sukacita malaikat Gabriel
berkata kepada Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu (bahasa Yunani: eperchomai)
dan kuasa (bahasa Yunani dynamis) Allah Yang Mahatinggi akan menaungi
engkau” (Luk 1:35). Demikian pula, sebelum Yesus naik ke surga, Ia berkata
kepada para rasul: “Tetapi kamu akan
menerima kuasa (bahasa Yunani dynamis), kalau Roh Kudus turun ke atas
kamu (bahasa Yunani: eperchomai)” (Kis 1:8). Kesejajaran ini sungguh
mencolok, begitu pula implikasinya. Tampak bahwa sudah Maria mengalami
Pentakosta pribadi sebelum kelompok murid-murid Kritus mengalami Pentakosta
eklesial yang melahirkan Gereja. Dalam kedua kesempatan itu, melalui
perkandungan fisik dan kesaksian misioner, Kristus disampaikan kepada dunia.
Maka kejadian yang pertama merupakan antisipasi sekaligus tipologi dari kejadian
yang kedua.
Bambang Kussriyanto (Bahan dari Scott Hahn)