Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label korban Musa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label korban Musa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Januari 2023

PERSEMBAHAN KORBAN

 


PERSEMBAHAN KORBAN merupakan tindakan upacara ibadat yang dilakukan hampir secara universal di mana-mana dalam agama-agama kuno. Begitu meratanya persembahan korban dalam sejarah budaya manusia sehingga teologi Kristen memandangnya sebagai sesuatu bagian dari hukum alam (mis St Tomas Aquinas, Summa Theologiae II-II. Q 85., a1). Agama Kitab Suci didominasi oleh praktek korban dalam banyak dan beragam bentuk. Sepanjang Perjanjian Lama dan Baru korban merupakan salah satu cara pokok untuk ratifikasi, pembaruan dan perbaikan ikatan hubungan di antara Tuhan dan manusia.

 

I. Praktik Persembahan Korban

A. Pada  Zaman Bapa Bangsa

B. Pada Zaman Musa

II. Tujuan Persembahan Korban

A. Persembahan Korban dan Perwakilan

B. Korban dan Perjanjian

C. Korban dan Penyembahan Berhala

III. Penyempurnaan Korban

A. Korban Kristus

B. Korban Umat Kristen

 

I. Praktik Persembahan Korban

Korban mempunyai bentuk yang berbeda-beda di zaman yang berlainan sepanjang sejarah Kitab Suci yang panjang berabad-abad. Pembedaan bagaimana praktiknya dapat dibuat di antara zaman-zaman bapa bangsa, Musa dan Kristen. Dua fase yang pertama akan dibahas di bawah ini, sedangkan fase yang ketiga dibahas dalam bagian III nanti.

 A. Pada  Zaman Bapa Bangsa

Seperti yang disaksikan dalam Kitab Kejadian, doa dan korban menandai bentuk-bentuk ungkapan keagamaan pada zaman para bapa bangsa. Doa biasanya diperikan dengan idiom “berseru kepada nama Tuhan” (Kej 4:26; 12:8; 21:33; 26:25). Korban digambarkan dalam sejumlah cara. Misalnya mendirikan mezbah atau altar menandakan adanya ritus upacara persembahan kepada Tuhan (Kej 12:7-8; 13:18; 22:9; 26:25; 35:7). Obyek korban termasuk hewan ternak seperti domba dan kambing (Kej 4:4; 22:13), burung-burung (Kej 8:20), hasil panen ladang (Kej 4:3) hasil pemerasan minyak dan anggur (Kej 28:18; 35:14) dan pada satu-satunya ketika, roti dan anggur (Kej 14:18).

      Korban pada zaman para bapa bangsa merupakan praktik yang tidak diatur. Kitab Kejadian tidakmemberikan petunjuk bahwa para bapa bangsa mengikuti suatu kalender agama untuk hari-hari perayaan (walaupun musim-musim pertanian tampaknya memainkan peran di dalam penetapan waktunya), atau bahwa mereka mengikuti daftar prosedur ibadat tertentu, atau bahwa mereka merasa harus beribadat di suatu tempat suci agama tertentu. Soal kapan, bagaimana dan di mana korban akan dipersembahkan diserahkan kepada keputusan orang yang beribadat. Bukan hanya itu, semua ibadat korban umum dilakukan oleh kepala keluarga – para bapa bangsa sendiri – bukan oleh seorang imam profesional atau fungsionaris kultus yang dikhususkan untuk tugas ini. Agama bapa bangsa dengan demikian merupakan agama keluarga aseli yang sangat berbeda dari kultus korban yang ditetapkan oleh Musa dan tampak di sepanjang tulisan Perjanjian Lama.

 B. Pada Zaman Musa

Praktik korban menjadi sangat formal dan dibakukan pada zaman Musa. Korban bukan lagi merupakan tanggapan sekehendak hati menurut hukum alam, melainkan diberi rumusan yang persis dalam Hukum yang diwahyukan Tuhan kepada Israel. Sebagai bagian dari perjanjian Sinai, praktik kurban begitu diatur dengan sangat rinci sehingga diuraikan dengan berbagai bentuknya, bahannya dan prosedurnya. Begitu juga waktu-waktu dan pelayan pelaksana untuk persembahan korban tidak lagi dipercayakan kepada para bapak dan bapa bangsa sehubungan dengan kebutuhan masing-masing puak atau keluarga mereka, tetapi diatur menurut suatu kalender tahunan perayaan agama (Im 23:4-44) dan petugas pelaksananya diserahkan terbatas pada imam-imam dari garis keturunan Harun dan anak-anaknya (Kel 40:12-15). Ibadat korban kemudian juga dipusatkan pada tempat suci tertentu dalam masa ini – mula-mula di Kemah Pertemuan yang didirikan Musa (Im 17:1-7) dan kemudian di Bait Allah Salomo (Ul 12:1-11).

      Obyek persembahan korban adalah kepala hewan ternak (sapi, domba, kambing) dan beberapa macam burung (merpati, tekukur) – yaitu hanya hewan-hewan yang menurut Hukum dinyatakan “bersih” dan diperbolehkan dimakan atau tidak haram (Im 11:1-47; Ul 14:3-21). Binatang yang tidak bersih, yag terutama meliputi binatang-binatang liar tidak boleh ditempatkan di altar ibadat. Di antara persembahan makanan, korban dibuat dari tepung gandum, jelai, minyak dan anggur, dan tepungnya harus diperciki dengan garam (Im 2:13). Rempah-rempah seperti dupa wewangian juga dipersembahkan sebagai ungkapan ibadat (Kel 30:7-8).

      Kebanyakan prosedur korban berdasarkan Taurat ditetapkan dalam Im 1-7. Dalam bab-bab itu uraian dasar diberikan untuk lima macam korban persembahan Israel zaman Kitab Suci. Semua jenis persembahan korban harus dilakukan di tempat suci utama, walau masing-masing jenis kurban mempunyai aturan liturgi yang khusus bagi imam yang melaksanakan, awam yang beribadat dan persembahan yang disampaikan.

      1. Korban Bakaran (Kata Ibrani, ‘ola). Korban api-apian atau yang baunya membubung naik digariskan dalam Im 1:3-7 dan 6:8-13. Dalam persembahan korban ini, hewan korban harus ditiriskan dari darahnya, yang dipercikkan di sisi-sisi altar, isi perutnya dibersihkan dan kemudian diberikan kepada imam pelaksana. Hewan korban kemudian dipotong-potong menurut bagian-bagiannya dan diletakkan di atas api perbaraan altar, dan dari situ naik kepada Tuhan dalam rupa asap dan dupa wewangian. Karena tidak ada bagian dari hewan korban yang dikembalikan kepada orang yang beribadat, korban bakaran dianggap sebagai persembahan terbaik – persembahan murni kepada Tuhan. Buahnya adalah pendamaian dosa (Im 1:4; bdk Ayb 1:5). Korban bakaran bisa saja dipersembahkan menurut keinginan orang, namun diwajibkan bagi perayaan tahunan Israel dan untuk ibadat dua-kali sehari di tempat suci (Kel 29:38-42).

      2. Korban Sajian  (Bahasa Ibrani minha). Persembahan gandum diuraikan dalam Im 2:1-16 dan 6:14-23. Dalam korban ini, tepung gandum atau jelai dicampur atau direciki minyak dan diberikan kepada imam di tempat suci; bisa dalam bentuk bahan saja, untuk dibakar dalam pembakaran roti, dipanggang atau dimasak dalam wajan. Imam akan mengambil segenggam dari korban sajian itu dan menaburkannya ke dalam api mezbah untuk bagian ingat-ingatan, dan yang selebihnya untuk dimakan imam-imam Harun. Tampaknya korban sajian dikonsepsikan sebagai semacam “upeti” bagi Tuhan, sebab kata Ibrani yang digunakan untuk korban itu di tempat lain dalam Kitab Suci digunakan untuk pembayaran upeti rakyat jajahan kepada raja besar (Hak 3:15; 2 Sam 8:2). Bukti menunjukkan bahwa korban sajian tak berdarah bukanlah berdiri sendiri, melainkan merupakan pelengkap bagi berbagai korban hewan bakaran.



      3. Korban untuk Damai Sejahtera (Bahasa Ibrani ‘selamim). Juga disebut persembahan korban keselamatan demi persatuan dan kebersamaan keluarga, puak atau komunitas, yang diuraikan dalam Im 3:1-17 dan 7:11-36. Dalam persembahan korban ini, hewan korban dibawa ke tempat suci dan dibagi dalam beberapa bagian: darahnya ditampung dan dipercikkan di sisi-sisi mezbah, gemuk dan ginjal dibakar di mezbah; dada dan paha kanan diberikan kepada imam-imam untuk makanan sajian, dan yang selebihnya untuk orang yang beribadat beserta keluarganya untuk makan bersama. Pada umumnya,  korban damai sejahtera dipandang sebagai perayaan jamuan makan bersama dengan Tuhan dan dimaksudkan untuk mempererat hubungan. Mungkin korban ini dimaksudkan juga untuk menguatkan ikatan persahabatan dan perdamaian di antara Tuhan dan umat, karena nama yang diberikan pada korban ini berkaitan dengan syalom, artinya damai dan sejahtera. Dari jenis korban ini terdapat turunannya, yaitu korban syukur (tola), korban spontanitas karena keinginan bebas (nedaba) dan kurban pelunasan kaul/nadar (neder).

      4. Korban Penghapus Dosa. (Bahasa Ibrani hatta’t). Korban pentahiran/penyucian yang diuraikan dalam Im 4:1-5:13 dan 6:24-30. Dalam korban ini, hewan korban ditentukan menurut orang yang membutuhkan pentahiran/penyucian, apakah seorang imam (mengorbankan lembu), seluruh jemaat (lembu), seorang pejabat (kambing jantan) atau orang biasa (kambing betina, domba, tekukur atau merpati). Bagian gemuk dan jantung hewan korban adalah untuk Tuhan dan dipersembahkan melalui perbaraan mezbah; sebagian daging adalah untuk imam-imam sebagai makanan sajian; selebihnya dibakar di luar perkemahan. Yang merupakan bagian pokok dari korban penghapus dosa adalah darah hewan korban yang dianggap sebagai unsur pembersih/penyucian dan digunakan imam dengan berbagai cara (disiramkan, dioleskan, dipercikkan). Ritus ini adalah demi pengampunan perorangan (Im 4:20.26.31) walau banyak ahli menyatakan bahwa maksud dasarnya adalah untuk menghapus noda-noda Israel dan tempat sucinya. Maka, dalam konteks ini, dosa dipahami bukan sebagai kesalahan moral dan sesal yang menyertainya, tetapi juga demi pelanggaran agamis atas ketentuan hukum ibadat penyucian yang digariskan menurut Taurat. Situasi yang membutuhkan penyucian meliputi antara lain persalinan (Im 12:6), kusta (Im 14:19) dan lelehan tubuh (Im 15:1-33).

      5. Korban Penebus Salah (Bahasa Ibrani ‘asam). Korban silih untuk memulihkan hubungan yang diuraikan dalam Im 5:14-6:7 dan 7:1-7. Dalam persembahan korban ini, seekor damba jantan yang mulus tak bercela dibawa ke tempat suci, darahnya disiramkan di sekeliling mezbah, jantung dan lemaknya dibakar diperbaraan mezbah, dagingnya diberikan kepada imam pelaksana sebagai makanan suci. Selain itu, orang yang beribadat mengakukan kesalahannya kepada imam dan membayar seperlima nilai korban untuk tempat suci. Maksud dari korban penebus salah adalah meluruskan kekeliruan profanisasi hal-hal kudus serta kekeliruan ketidakadilan peruntukan hak milik pribadi. Pelanggaran-pelanggaran yang termasuk di sini juga dosa-dosa yang terlupakan atau yang baru diingat kembali setelah korban selesai dilakukan.

Di satu pihak, jenis-jenis korban pokok ini, bersama dengan bentuk-bentuk penunjang seperti korban minuman sajian (mis Bil 15:5.10), merupakan korban-korban yang dipersembahkan pada kesempatan tertentu karena tuntutan keadaan dalam kehidupan bangsa. Namun pada umumnya, korban-korban ini diwajibkan sebagai bagian dari acara perayaan-perayaan menurut penanggalan ibadat Israel. Rangkaian korban ada  yang disajikan setiap hari di tempat suci, mingguan pada hari Sabat, dan tahunan pada masa-masa perayaan, seperti yang disampaikan dalam Bil 28-29.

 

II. Tujuan Persembahan Korban

A. Persembahan Korban dan Perwakilan

Korban mempunyai banyak dimensi dan tingkatan makna di dalam Kitab Suci. Pada umumnya, persembahan korban merupakan tindakan simbolis. Mereka adalah ritus ibadat yang merupakan ungkapan lahiriah dan umum dari bakti rohani seseorang kepada Tuhan. Dengan melalui persembahan korban, manusia mengakui ketergantungan yang sepenuhnya kepada Tuhan dan mengakui kuasa mutlak Tuhan atas hidupnya. Hubungan di antara orang yang melakukan persembahan korban dan korban yang ia persembahkan sangat tepat dipahami dengan istilah “perwakilan”. Artinya, korban yang dipersembahkan pada Tuhan di mesbah dan dikirimkan ke surga sebagai asap [dan bau] mewakili diri orang yang mempersembahkannya kepada Tuhan. Ada yang menafsirkan pembedaan antara orang yang mempersembahkan dan korban yang dipersembahkan sebagai “substitusi” (pengganti), sehingga hewan yang dikorbankan “menggantikan” atau “menjadi ganti” dari orang yang melakukan ibadat. Ada semacam kebenaran dalam pengertian ini, karena sejauh ini imam dan korban selalu dibedakan dalam Perjanjian Lama; namun pengertian ini merupakan penyusutan sebagaimana teori umum mengenai simbolisme korban. Yang lebih mungkin adalah teori repesentasi, perwakilan, yang memandang orang yang beribadat mengorbankan miliknya “atas nama” dirinya sendiri dan orang lain. Bagaimana pun, sesungguhnya Tuhan tidak menghendaki daging hewan ataupun makanan lainnya (Mzm 50:12-13); yang dikehendaki Tuhan adalah hidup dan hati kita dalam bentuk kepatuhan, syukur dan tobat (1 Sam 15:22; Mzm 51:16-17; 107:22). Inilah yang kemudian ditampakkan secara simbolik dalam persembahan korban di masa Perjanjian Lama.

 B. Korban dan Perjanjian

Pentingnya korban di dalam Kitab Suci sejalan berdampingan dengan pentingnya tema perjanjian di sepanjang Kitab Suci. Tentu saja perjanjian sering diratifikasi (disahkan) dan diperbarui dengan ibadat korban (Mam 50:5). Alasannya sudah cukup jelas. Di satu pihak, perjanjian-perjanjian di Israel maupun di wilayah Timur Dekat yang lebih luas merupakan aliansi suci, bukan sekedar transaksi dagang atau politik. Maksudnya, perjanjian-perjanjian ini dibuat di hadapan Tuhan (atau dewa-dewa) bersama dengan pihak-pihak dengan menyerukan Tuhan sebagai saksi atas berbagai sumpah yang diucapkan dan sebagai penjamin atas sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas pihak yang setia (dalam rupa berkat) dan yang tidak setia (dalam rupa kutuk atau laknat). Pada tataran tertentu, korban dengan demikian menyucikan atau merayakan suatu peristiwa di mana komitmen yang semata-mata manusiawi dibuat dalam nama Tuhan, di hadapan Tuhan, dan mengandalkan Tuhan.

      Namun sifat kesucian peristiwa itu hanya sebagian saja menjelaskan mengapa persembahan korban memainkan peran pokok dalam upacara-upacara perjanjian. Demi penjelasan yang lebih lengkap perlu dipikirkan juga simbolisme dari korban sendiri; karena darah yang dicurahkan di dalam ratifikasi menyimbolkan baik berkat maupun kutuk yang diserukan atas pihak-pihak dalam perjanjian. Dari segi yang positif, darah kehidupan yang dilepas dari hewan korban menyimbulkan hubungan baru yang mengikat pihak-pihak yang terkait bersama-sama. Di Israel dan seluruh Timur Dekat kuno, perjanjian memperluas hak-hak dan kewajiban “puak atau kekeluargaan” kepada orang-orang lain yang secara genetik/silsilah tidak ada kaitannya. Dengan menyembelih hewan korban dan menggunakan darahnya bagi pihak-pihak yang berjanji, diciptakan suatu hubungan darah yang baru. Maka sesudahnya, orang-orang yang terlibat dalam perjanjian tidak lagi pikah-pihak yang terpisah dalam suatu kontrak; mereka sekarang sama-sama menjadi anggota keluarga yang sah secara hukum dan dalam tataran hubungan seperti saudara-saudara atau warga satu puak atau sesuku. Namun dari segi yang negatif, ritus penyembelihan hewan juga menyimbolkan kutuk atau laknat kematian yang merupakan ancaman sanksi perjanjian atas pihak manapun yang berani melanggar ketentuan-ketentuannya. Para ahli menyebut bal ini sebagai syarat kutuk-diri atau laknat-diri. Maksudnya, dalam tindakan menjanjikan kesetiaan satu sama lain, pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian menempatkan diri di bawah suatu sanksi kutuk/laknat yang siap dipicukan terhadap pihak manapun yang terbukti tidak setia. Isi sumpah sanksi ini ditampakkan dalam ritus korban: jika ada pihak manapun yang berniat melanggar perjanjian maka ia sudah tahu nasibnya akan menjadi seperti hewan yang disembelih dan dihabiskan di atas mezbah.

      Ratifikasi perjanjian Sinai dalam Kel 24 menyampaikan suatu contoh yang jelas. Di sini perjanjian antara Tudan dan Israel dimeteraikan dengan upacara korban di kaki gunung. Hewan korban disembelih dan darahnya ditampung dalam bejana. Kemudian dilakukan upacara pemberlakukan perjanjian: separoh dari darah itu dipercikkan pada orang-orang, yang lain disiramkan di altar, mewakili Tuhan (Kel 24:4-8). Pertama-tama ini menandakan berkat karena Tuhan menjadi keluarga ilahi dari bangsa Israel, yang telah dinyatakan sebagai anak sulungNya (Kel 4:22). Serentak dengan itu, baik Tuhan maupun umat sama-sama menjanjikan kesetiaan pada perjanjian di bawah bayang-bayang penderitaan sanksi kutuk. Ini diperlihatkan dengan penyembelihan hewan korban, dan curahan darah yang digunakan untuk mengikat pihak-pihak yang bersumpah setia.

 C. Korban dan Penyembahan Berhala

Sebagai tambahan pada fungsi-fungsi dan tataran simbolisme ini, korban dalam Hukum Musa menuntut penjelasan khusus mengenai maksud dan tujuannya. Sebab suatu dimensi makna yang belum dikemukakan pada masa Keluaran adalah kaitan korban dengan persoalan Penyembahan Berhala. Analisis isi kisah kelima kitab Musa, Pentateukh (Taurat), menunjukkan bahwa kode hukum mengenai korban dalam kitab Imamat bukan merupakan bagian dari perjanjian asli yang dimeteraikan di Gunung Sinai; namun ditambahkan sebagai amandemen atau perubahan hukum yang sah atas perjanjian Sinai sesudah terjadinya kekejian Israel dalam melakukan penyembahan berhala anak lembu emas (Kel 32:1-6). Dengan kata lain, persembahan korban menjadi bagian dari perjanjian Sinai hanya dalam bentuknya yang telah mengalami pembaruan, setelah bentuk yang asli dilanggar. Perhatikan jalannya kisah: Ketika Israel bersiap-siap untuk melaksanakan perjalanan Keluaran mereka dari Mesir, Tuhan memerintahkan kepada bangsa itu untuk melakukan perayaan korban di Sinai (Kel 5:1-3) yang akan mengesahkan perjanjian Sinai (Kel 24:4-8). Perhatikan bahwa perintah untuk menyelenggarakan korban di gunung ini bukan suatu hukum yang permanen mengenai korban yang diberlakukan bagi Israel sepanjang hayat mereka sebagai suatu bangsa. Dalam kerangka perjanjian yang asli, yang dinyatakan dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:1-7) dan Ketentuan Perjanjian (Kel 21-23), ibadat Israel kurang lebih dipandang sama dengan pola yang dilakukan para Bapa Bangsa – yaitu dengan mezbah yang terbuat dari bahan-bahan alamiah dan ditempatkan di berbagai lokasi (Kel 20:24-26), bersama dengan kalender pesta-pesta sederhana mengikuti irama musim pertanian (Kel 23:14-17). Dalam ketetapan peraturan ini tidak ada yang menentukan atau menyatakan jenis-jenis dan tata cara persembahan korban kepada Tuhan. Nabi Yeremia menyadari situasi asli ini ketika ia membahas persoalan ini berabad-abad kemudian: “Pada waktu Aku membawa nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir Aku tidak mengatakan atau memerintahkan kepada mereka sesuatu tentang korban bakaran dan korban sembelihan” (Yer 7:22. Demikian pula Musa sendiri mengingatkan bangsa itu bahwa sesudah hukum Sinai yang asli diberikan, Tuhan “tidak menambahkan lagi” ketetapan-ketetapan (Ul 5:22).

      Namun struktur perjanjian Sinai berubah dramatis sekali sesudah insiden berhala anak lembu emas. Dibuat beberapa revisi atas ketetapan-ketetapan perjanjian yang asli, misalnya mengenai status anak-anak sulung Israel (bdk Kel 22:29 dan 34:20). Tetapi yang terutama Hukum diperluas dengan begitu banyak tuntutan dan ketetapan baru mengenai ibadat. Israel setelah menistakan diri sendiri di hadapan patung anak lembu emas kini diperintahkan untuk membangun suatu tempat suci (Kemah Pertemuan), untuk menahbiskan golongan imam-imam profesional untuk menjadi pengantara hubungan antara Tuhan dan awam anggota suku (Imam-imam dari puak Harun dibantu oleh kaum Lewi yang bukan imam), untuk mematuhi penanggalan perayaan ibadat yang rinci berdasarkan suatu siklus tahunan (Im 23:4-44), untuk memelihara norma-norma kemurnian ritual sebagai suatu kondisi untuk serta dalam ibadat Israel (Im 11-15) dan untuk mengikuti suatu daftar (kanon) liturgi korban, sambil memperhatikan dengan baik-baik dan memastikan ketepatan tata upacara (Im 1-7). Konteks di mana hukum-hukum tambahan diberikan – yaitu sesudah Israel melanggar tatanan perjanjian Sinai yang asli – menunjuk pada hubungan langsung dan kausal dengan apa yang mendahului tragedi ini. Dengan kata lain di dalamnya tersirat bahwa Tuhan tanggap pada kelemahan Israel dalam hal yang berhubungan dengan berhala dengan memberikan pedoman yang ketat untuk beribadat kepada Tuhan yang sejati. Dipandang demikian, sistem persembahan korban Musa, bersama dengan ketetapan ritual yang menyertainya merupakan kuk koreksi yang dirancang untuk membuat Israel menjauhi penyembahan berhala dan menata doa-doa, pujian dan permohonan mereka tertuju kepada Tuhan saja. Berfungsi sebagai pengaman terhadap penyembahan berhala, sistem ibadat ini memperkuat doktrin Musa mengenai monoteisme. Latar pemikiran bagi korban ini diakui dalam tradisi Yahudi (mis. Moses Maimonides, Guide for the Perplexed 3.32) dan dengan bagus diiktisarkan dalam suatu tafsir Kristen dari Tomas Aquinas:

Maka salah satu alasan yang mungkin bisa diterima  sehubungan dengan upacara-upacara korban itu adalah fakta bahwa orang lalu dijauhkan dari praktek menyajikan korban pada berhala. Namun juga bahwa aturan-aturan tentang korban itu memang tidak diberikan kepada bangsa Yahudi sampai sesudah mereka terperosok dalam penyembahan berhala dengan beribadat kepada patung anak lembu emas: seolah-olah peraturan korban-korban itu sengaja ditetapkan demikian, sehingga sesudah bangsa itu siap dengan persembahan korban, agar menyampaikan persembahan korban itu hanya kepada Tuhan, bukan pada berhala (Summa theologiae, I-II. Q 102 a.3).

 

      Tafsir dasar yang sama juga disampaikan oleh teolog yang lebih terdahulu seperti Santo Yustinus Martir (Dial. 19), St Atanasius (Epistula Festivalis. 19.4) dan St Yohanes Krisostomus (Wacana Melawan Orang Kristen yang Memaksakan Cara Hidup Yahudi 4.6.5). Juga dibahas dalam tulisan-tulisan gerejawi seperti Konstitusi Para Rasul yang Kudus 4.6.5. dan Didascalia Apostolorum 26.

      Maka dari sudut sejarah, peraturan korban itu dipandang sebagai “pengalihan arah” menjauhi penyembahan berhala. Namun pandangan lama tidak terhenti hanya di situ saja. Korban dalam masa Musa juga dipandang sebagai “penggusuran” berhala sendiri. Dengan kata lain, hewan yang dijadikan korban oleh orang Israel adalah binatang-binatang yang dihormati di dalam agama Mesir sebagai gambaran para dewa atau dewi. Minevis misalnya, dihormati dalam rupa sapi jantan, Apis dalam rupa anak lembu. Hathor dalam rupa lembu betina, dan Khum dalam rupa domba jantan. |Menyembelih binatang-binatang itu untuk korban sama saja dengan memaklumkan perang pada agama Mesir. Semua yang dihormati Mesir dalam kultus berhala, dianggap dewa palsu oleh Israel, dan ini dilakukan dalam kerangka ibadat yang sesungguhnya kepada Allah yang benar.

      Dasar tafsiran ini terdapat pada kisah yang kanonis dalam Kitab Suci. Hal itu menyangkut pertama-tama pandangan pada situasi Israel sebelum Keluaran, dan yang kedua dengan menelaah dialog antara Musa dan Firaun.

      Kitab Keluaran menggambarkan masa ketika Israel  berada di Mesir sebagai masa penindasan yang menyedihkan dan perbudakan yang disponsori negara (Kel 1:8-14). Namun tidak ada pernyataan langsung yang diberikan untuk memberitahu pembaca mengenai kondisi rohani Israel pada masa pra-Keluaran. Pengertian tentang hal ini baru sampai di kemudian hari dari tradisi kitab suci. Misalnya, Yosua mengungkapkan pernyataan yang memancing rasa ingin tahu bahwa leluhurnya di Mesir melayani dewa-dewa asing dari negeri itu (Yos 24:14). Ini merupakan pernyataan bahwa bangsa Israel, karena tekanan kuk penguasa Mesir, juga menempatkan diri di bawah kuk dewa-dewa Mesir. Mereka tidak hanya menjadi budak yang membutuhkan pembebasan, tetapi juga penyembah berhala yang membutuhkan pembaruan rohani. Hal yang sama juga dilakukan oleh Nabi Yehezkiel, yang mengungkap fakta bahwa Israel ketika masih dalam perbudakan itu, tidak mau “menyingkirkan berhala-berhala Mesir” (Yeh 20:7). Tidaklah mengherankan jika dengan kesaksian-kesaksian dari Kitab Suci seperti itu, keterikatan Israel pada berhala-berhala Mesir dikemukakan juga dalam beberapa karya tulisan Yahudi (misalnya Leviticus Rabbah, 22.5) dan tradisi Kristen (misalnya Eusebius, Demonstation of the Gospel).

      Sisi lain dari krisis ini muncul ketika Musa melakukan tawar menawar dengan Firaun untuk pembebsan Israel. Sebelum Mesir dipukul dengan tulah-tulah yang akhirnya dapat melepaskan belenggu Israel, Musa hanya bisa meminta suatu hari libur di mana bangsanya bisa mempersembahkan korban kepada Tuhan di Sinai (Kel 5:1). Mengingat asimilasi Israel pada budaya Mesir, ini merupakan kesempatan untuk kembali pada iman lama mereka pada Tuhan dan menyingkirkan berhala-berhala Mesir, sekali untuk selamanya. Tetapi sebelumnya Musa juga sudah membayangkan suatu kesulitan jika Firaun mengizinkan mereka menyampaikan korban di dalam tanah Mesir. “tidak mungkin kami berbuat demikian, sebab korban yang akan kami persembahkan kepada Tuhan, Allah kami, adalah kekejian bagi orang Mesir. Apabila kami mempersembahkan korban yang menjadi kekejian bagi orang Mesir itu, di depan mata mereka, tidakkah mereka akan melempari kami dengan batu?” (Kel 8:25-26). Alasan yang tidak dikemukakan adalah bahwa Tuhan menyuruh bangsanya mengorbankan binatang-binatang yang mewakili dewa-dewi Mesir. Seandainya Israel melakukan hal itu di negeri Mesir sendiri, niscayalah mereka akan menghadapi kekerasan seluruh bangsa yang disulut amarah mereka atas tindakan yang mereka anggap sebagai penistaan hal-hal yang suci bagi mereka.

      Diakui, pandangan tafsir ini belum banyak diketahui atau diakui kalangan para ahli modern. Namun, beberapa teks kuno persis menunjukkan hal ini: bahwa Musa memahami korban kepada Tuhan menjadi pembinasaan kultus atas berhala-berhala Mesir. Perhatikan kutipan-kutipan berikut dari tulisan kuno Yahudi yang memperluas ayat kitab Keluaran yang berkaitan dalam suatu parafrasa:

Lalu Firaun memanggil Musa dan Harun serta berkata: "Pergilah, persembahkanlah korban kepada Allahmu di negeri ini." Tetapi Musa berkata: "Tidak mungkin kami berbuat demikian, sebab hewan yang disembah rakyat Mesirlah yang akan kami persembahkan sebagai korban kepada Tuhan, Allah kami. Apabila kami mempersembahkan korban hewan yang menjadi sesembahan orang Mesir di sini, di depan mata mereka, tidakkah mereka akan melempari kami dengan batu?” (Targum Onqelos pada Kel 8:25-26)

 Lalu Firaun memanggil Musa dan Harun serta berkata: "Pergilah, persembahkanlah korban kepada Allahmu di negeri ini." Tetapi Musa berkata: "Tidak tepat kami berbuat demikian, sebab berhala yang disembah rakyat Mesir yang merupakan kekejian bagi kami itulah yang akan kami persembahkan sebagai korban kepada Tuhan, Allah kami. Sesungguhnya, apabila kami mempersembahkan berhala-berhala orang Mesir itu di depan mata mereka, mustahil jika mereka tidak akan melempari kami dengan batu?” (Targum Neofiti pada Kel 8:25-26).

 Tetapi Musa berkata bahwa tidak tepat berbuat demikian, sebab rakyat Mesir menyembah hewan ternak itu sebagai dewa-dewa (Exodus Rabbah 11:3)

 

Pernyataan serupa dapat ditemukan dalam teks Kristen kuno yang memahami korban seperti itu. Sekali lagi, perhatikan kutipan di bawah ini:

Perlu kamu ketahui...bahwa karena Tuhan telah mengambil keputusan mengenai mereka, yaitu bahwa mereka tidak boleh beribadat kepada anak lembu, dewa-dewa orang Mesir, yang dijadikanNya makanan bagi mereka dan Ia justru memerintahkan mereka supaya memberikan sebagai korban hewan yang mereka takuti di tanah Mesir itu. Sebab Tuhan tidak memerlukan korban dan persembahan. Tetapi dalam rangka menghentikan orang Yahudi dari praktik memberikan korban dan sajian itu, supaya mereka tidak beribadat kepada berhala-berhala rakyat Kanaan setelah mereka nanti memasuki negeri itu dan bergaul dengan rakyat Kanaan, sebagaimana mereka telah menyembah berhala-berhala Mesir setelah mereka memasuki Mesir dan bergaul dengan rakyat Mesir. Maka Tuhan melarang dan menghentikan praktek itu di kalangan orang Yahudi (St Afrahat, Demonstrations 15.6)

 Dalam semua hal yang telah disebutkan, ada alasan yang tepat bagi pemilihan hewan-hewan itu, bukan yang lain, untuk dijadikan korban pada Tuhan. Yang pertama untuk mencegah penyembahan berhala. Karena praktik penyembahan berhala mempersembahkan korban semua hewan lain pada dewa-dewa mereka, atau memanfaatkan hewan-hewan itu dalam praktik sihir mereka: sementara orang Mesir (di tengah-tengah mereka itulah bangsa Israel tinggal) menganggap kekejian untuk menyembelih hewan-hewan  yang tidak pernah mereka gunakan sebagai hewan korban pada dewa-dewa mereka....Sebeb mereka menyembah domba; mereka menghormati  domba jantan (karena dewa mereka menampakkan diri dalam rupa itu); sementara itu mereka memanfaatkan lembu untuk pertanian, suatu bidang yang dianggap suci. (St Tomas Aquinas, Summa theologiae I-II, q 102. a 3).

 Izinkanlah kiranya kami pergi ke padang gurun tiga hari perjalanan jauhnya” (Kel 3:18). Tidak dikatakan satu atau dua hari, karen tidak akan cukup jauh dari orang Mesir, yang dapat melempari mereka dengan batu seandainya mereka melihat orang Israel menjadikan korban hewan-hewan yang mereka hormati sebagai dewa-dewa (Nikolas dari Lyra, Postilla super totam Bibliam, pada Kel 3:18)

 

      Sejarah mengungkapkan bahwa bahwa para penulis bukan Yahudi dan bukan Kristen pun melihat antagonisme yang tersirat dalam praktik persembahan korban di Israel dengan kultus di Mesir. Kutipan pertama di bawah ini berasal dar Manetho, seorang imam Mesir dari zaman Helenistik, yang karyanya hanya bisa diselamatkan dalam bentuk fragmen-fragmen (potongan-potongan) saja. Kutipan yang kedua berasal dari sejarawan Roma yang terkenal, Tacitus. Kedua pemulis itu melihat, bahwa agama Musa tampaknya sengaja dan secara diametris berlawanan dengan segala yang berciri Mesir.

Maka ia [Musa] pertama-tama membuat undang-undang bagi mereka, bahwa mereka tidak boleh menyembah dewa-dewa Mesir dan harus tidak harus pantang memakan hewan-hewan suci itu, yang sangat mereka hargai, tetapi mereka binasakan semuanya; bahwa mereka tidak boleh berbaur dengan bangsa lain kecuali konfederasi mereka sendiri. Setelah ia membuat peraturan hukum itu, dan banyak lagi aturan-aturan yang terutama bertentangan dengan adat kebiasaan Mesir, ia memberi perintah supaya mereka menggunakan tenaga mereka yang banyak itu untuk membangun tembok-tembok kota mereka sendiri (Manetho, dikutip dalam Yosephus, C.Ap 1.26)

 

Musa yang mau mengamankan wibawanya atas bangsa itu di masa depan, memberi mereka suatu ibadat baru, yang bertentangan dengan praktek orang-orang lain. Hal-hal yang suci bagi kita, tidak suci bagi mereka, sementara mereka mengijinkan apa-apa yang bagi kita terlarang... Mereka menyembelih domba jantan, tampaknya untuk menyingkirkan Hammon, dan mereka mengurbankan lembu, karena orang Mesir mendewakan lembu di Apis (Tacitus, Hist. 5.4).

 

Pada akhirnya harus diakui bahwa persembahan korban dalam masa Perjanjian Lama tidak saja mengambil bermacam-macam bentuk dan melakukan berbagai-bagai fungsi, namun juga mengandung berlapis-lapis perlambangan dan maknanya. Secara positif praktik dan peraturan itu berfungsi mendekatkan umat perjanjian kepada Allah, sementara secara negatif menjauhkan mereka dari dosa, terutama kebobrokan penyembahan berhala.

 


III. Penyempurnaan Korban

Korban menemukan maknanya yang definitif dan penuh pada masa Perjanjian Baru. Penyempurnaannya bukan terutama dikaitkan dengan perbaikan kultus model Musa sendiri, melainkan dalam persembahan hidup Yesus Kristus sebagai kurban penebusan dunia. Secara luas, pesan Kristen juga mengajak kaum beriman untuk menghayati pelayanan korban itu dengan meneladan Tuhan.

 A. Korban Kristus

Sekilasan, kisah Injil tampaknya menggambarkan wafat Kristus sedikit lebih dari sekedar pidana mati atas seorang penjahat. Pengkhotbah dari Nazaret itu berasal dari suku Yehuda yang tidak  punya hubungan dengan keimaman. Ia dihukum mati oleh imam besar Yahudi karena hujat, darahNya ditumpahkan oleh suatu regu tentara Roma, dan Ia melepaskan nyawaNya di luar tembok-tembok Yerusalem, agak jauh dari lokasi Bait Allah. Berdasarkan fakta ini adalah sah untuk mempertanyakan bagaimana penyaliban Yesus bisa ditafsirkan sebagai suatu korban, apalagi sebagai korban yang paling sempurna. Pertanyaan ini perlu diperhatikan karena demikianlah pandangan umum atas kematianNya dalam Kekristenan yang paling awal.

      Asal-usul  pandangan korban itu dapat dilacak dari Yesus sendiri. Pada malam Ia dikhianati, Yesus sudah lebih dahulu menyatakan kematianNya yang akan tiba, dan memberitahukan sifat kematianNya itu sebagai korban. Perhatikan wacanaNya dalam Perjamuan Terakhir. Dalam kata-kata konsekrasi, ketika mengangkat cawan Ekaristi Ia berkata: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat 26:28). Tentu saja penumpahan darah melukiskan kematian yang dahsyat, suatu pembantaian dan perampasan nyawa. Namun di telinga orang Yahudi, kata-kata itu juga menggemakan implikasi korban. Penalaran ini berakar dalam kisah Keluaran dan dan nubuat-nubuat dalam kitab Yesaya.

      Ada dua ungkapan yang berlatar belakang kitab Keluaran. Yang pertama adalah ungkapan “darah perjanjian”, yang mencerminkan kata-kata Musa di Gunung Sinai. Pada waktu pengesahan perjanjian Musa, yang dimeteraikan dengan suatu ibadat korban, digunakanlah kata-kata ini: “Inilah darah perjanjian yang diadakan Tuhan dengan kamu” (Kel 24:8). Bagi Yesus, penerapan ungkapan ini pada diriNya sendiri menunjukkan bahwa penumpahan darahNya akan merupakan suatu upacara korban dan menjadi saat pengesahan suatu perjanjian yang baru. Yang kedua, karena Kristus berbicara mengucapkan perkataan ini di dalam acara perjamuan makan Paskah, harus diingat bahwa penyembelihan domba Paskah yang membentuk inti dari jamuan Seder digambarkan dalam kitab Keluaran sebagai suatu “korban” (Kel 12:27). Implikasi dari latar belakang kultis ini [sebagai korban demi perjanjian] untuk pemahaman baik atas wafat Kristus maupun sakramen Ekaristi yang diantisipasi, lalu tidak terhindarkan lagi.

      Hal yang sama dapat dikatakan sehubungan dengan pengaruh Yesaya atas perkataan Yesus. Dengan memandang konsekrasi Ekaristi, beberapa ahli mengenali suatu rujukan pada Lagu Hamba yang keempat dri Yesaya (Yes 52:13-53:12). Ini merupakan syair mengenai Mesias yang Menderita, visiun yang mengiris hati tentang Hamba Tuhan yang terkasih, yang menyerahkan diri pada hinaan dan penolakan umatNya bahkan sampai mati. Mengapa ini penting? Karena lagu itu mencapai klimaksnya pada pengorbanan jiwa Hamba itu sebagai korban demi dosa manusia. Jelas bahwa Yesus mengingat nubuat ini ketika Ia mengucapkan kata-kata konsekrasi:  Ia menyebut darah kehidupanNya “ditumpahkan” [poured out], sebagaimana sang Hamba “menyerahkan [poured out] nyawanya ke dalam maut” (Yes 53:12); Ia memberikan diriNya bagi “banyak” orang, seperti sang hamba yang dikatakan untuk “membenarkan banyak orang” (Yes 53:11) dan menanggung dosa “banyak” orang (Yes 53:12); dan karena korban itu dihasilkan penghapusan dosa, persis seperti keseluruhan tugas sang hamba yang menjadikan dirinya “korban penebus salah” (Yes 53:10).

      Mengingat tradisi Injil mengenai Perjamuan Terakhir itu, tidak heran kalau penyaliban Kristus lalu ditafsirkan sebagai suatu persembahan korban. Tradisi ini tampak di dalam Paulus, di mana kenangan akan Yesus yang disalibkan adalah kenangan akan anak domba Paskah yang disembelih sebagai korban (1 Kor 5:7). Begitu pula ketaatan Kristus sang Hamba yang hasilnya membuat “banyak orang” lalu “dibenarkan” (Rm 5:19), adalah seperti yang kita lihat dalam lagu Hamba yang Menderita (Yes 53:11).  Paulus beberapa kali berusaha melampaui motif-motif tradisional ini dan menggambarkan penyaliban dengan kata-kata yang  beraal dari ayat-ayat korban dalam Perjanjian Lama, ketika ia berkata: “Kristus Yesus telah menyerahkan diriNya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah” (Ef 5:2, mengingat versi Yunani dari Kej 8:20-21 dan Kel 29:18). Rasul Yohanes juga mengikuti jalur tafsir ini dengan pernyataannya bahwa “darah” Yesus “menyucikan kita dari segala dosa” (1 Yoh 1:7). Perkataan ini, perlu diperhatikan, adalah bahasa korban penebus salah, di mana darah korban dicurahkan untuk penghabusan dosa (bdk 1 Yoh 2:2; 4:10). Ayat-ayat yang lain yang juga dapat dikutip sebagai kesaksian akan tafsiran wafat Kristus sebagai korban di masa Perjanjian Baru, misalnya Yoh 1:29; 2 Kor 5:21; 1 Ptr 1:18-19; Why 5:6-10.

      Tak ada yang lebih luas dari renungan Surat Ibrani sehubungan dengan korban Kristus ini. Kristologi Surat Ibrani seluruhnya menyoroti pentingnya imamat dan ibadat melalui korban Kristus ini. Ditunjukkan bahwa Yesus, dengan menyerahkan hidupNya yang tak kenal dosa pada Bapa, Ia secara definitif menyampaikan korban yang melampaui segala korban yang lain, dan dengan itu Ia mengesahkan perjanjian yang baru dan kekal (Ibr 8:6-7; 13:20). Secara khusus persembahan “tubuh” (Ibr 10:10) dan “darah” (Ibr 9:12) Kristus merelatifkan seluruh sistem korban menurut Musa. Ini karena korban Kristus sungguh menghasilkan penyucian dosa yang membersihkan suara hati para penyembah (Inr 9:14; 10:22) dan tidak perlu diulangi lagi (Ibr 9:25-26; 10:14-18). Maka sifatnya sangat kontras dengan darah hewan korban, yang tidak mampu membersihkan dosa-dosa (Ibr 10:1-4) ataupun tidak memurnikan apapun selain aspek jasmaniah dari orang yang melanggar tata upacara (Ibr 9:9-10.13). Dari sudut yang sangat khusus, Surat Ibrani melebarkan jangkauan korban Kristus melampaui wafatNya di salib dan meliputi kenaikanNya ke surga ke dalam tempat suci Surgawi (Ibr 4:14; 9:24). Tipologi yang mendasari teologi ini adalah liturgi Hari Pendamaian, di mana darah hewan korban diarak ke dalam Ruang Mahakudus (Ibr 9:6-14; bdk Im 16:1-19). Sejauh tempat suci yang paling dalam dari Kemah Pertemuan adalah merupakan gambaran tempat suci surgawi di dunia (Ibr 9:24) gagasannya adalah bahwa Yesus, dengan berperan sebagai imam agung dan korban, telah membawa darahNya sendiri sekali untuk selamanya ke dalam Ruang Mahakudus Allah di surga, dan di situ Ia mendapatkan “penebusan kekal” bagi kita (Ibr 9:12).



 B. Korban Umat Kristen

Tema korban tidak hanya terbatas pada tindakan Kristus di dalam Perjanjian Baru, tetapi juga diterapkan pada jemaat Kristen juga. Dalam arti tertentu, hal ini tersirat dalam ajaran Kristus, yang mengajak para pengikut untuk “memanggul salib” meneladan Dia (Mat 10:38; Mrk 8:34; Luk 14:24). Setelah Ia melukiskan penyaliban diriNya dalam kerangka ibadat dan korban, selanjutnya hidup para murid Kristen juga mempunyai ciri-ciri ini.

      Tema ini dikembangkan terutama di dalam surat-surat Paulus, yang menggunakan gambaran-gambaran dan gagasan korban untuk melukiskan pelbagai kegiatan Kristen. Misalnya, ia mendorong umat beriman agar mempersembahkan “tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah” (Rm 12:1). Ini merupakan himbauan pada hal-hal seperti kemurnian, kegigihan, mati-raga dan tindakan moralitas dan kerohanian injili lainnya yang mempersembahkan tubuh dan keindahannya pada kehendak Allah. Bentuk korban yang lain meliputi uang, seperti pemberian yang diterima Paulus dari jemaat Filipi, yang disebutnya “suatu persembahan yang harum, suatu korban yang disukai dan yang berkenan kepada Allah” (Flp 4:18). Pekerjaan misioner juga digambarkan dalam kerangka yang sama, karena Paulus memandang pekerjaannya di antara bangsa-bangsa lain sebagai sebentuk “pelayanan keimaman” di mana pertobatan dari dunia dijadikan suatu “persembahan korban” pada Allah (Rm 15:16). Begitu pula khotbahnya digambarkan sebagai meluaskan “harumnya” pesan Kristus kepada dunia, seperti dupa wewangian yang mengalir dari tempat kudus (2 Kor 2:15). Akhirnya, prospek kemartiran dalam pandangan Paulus adalah prospek untuk “darah yang dicurahkan pada korban dan ibadat iman” (Flp 2:17; bdk 2 Tim 4:6).

      Dorongan semangat yang sama diberikan lebih kemudian dalam Perjanjian Baru, ketika pembaca diajak “senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yng memuliakan namaNya” (Ibr 13:15). Ditegaskan bahwa “korban-korban demikianlah yang berkenan kepada Allah” (Ibr 13:16).

      Walaupun kadang-kadang tidak dikenali, ciri-ciri hidup Kristen yang berkorban juga tersirat dalam gambaran Gereja sebagai Bait Allah (1 Kor 3:16-17; 2 Kor 6:16; Ef 2:19-22). Penalarannya adalah bahwa dalam dunia Kitab Suci kuno, Bait Allah (atau kuil dalam agama lain) bukan sekedar tempat Allah bersemayam (atau dewa lain), tetapi juga rumah untuk melakukan ibadat korban. Sebagai contoh, Petrus mengingat hubungan yang dekat antara Bait Allah dan korban yang dilakukan imam ini ketika ia menyerukan: “Biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani, yang karena Yesus Kristus berkenn kepada Allah” (1 Ptr 2:5).

      Mendasari tema ini adalah suatu teologi peran-serta (participation).  Sejauh berkaitan dengan ajaran Perjanjian Baru, Kristus tidak dipandang sebagai korban pengganti (silih) yang tindakanNya di kayu Salib menghapus perlunya atau kekhasan korban lain yang dipersembahkan oleh umat Kristen yang beriman. Sebaliknya, kaum beriman oleh Injil diajak untuk meneladan hidup Kristus sejauh mungkin dengan pertolongan Tuhan. Korban merupakan bagian utama dalam hal ini. Lain dari korban dalam Perjanjian Lama yang terdiri dari korban hewan dan makanan sajian yang mewakili orang yang beribadat di hadapan Allah. Sekarang dengan persembahan korban yang sempurna oleh Kristus, kepada dunia ditunjukkan makna yang paling luhur dari korban : suatu persembahan berupa ketaatan kasih yang menyerahkan segenap diri – hati, pikiran dan tubuh – pada kehendak Allah.