Untuk memperkaya latar informasi renungan bacaan Injil hari ini: Mrk 2:23-28
Sabat
Hari ketujuh
dalam pekan Yahudi, dari matahari tenggelam hari Jumat hingga matahari
tenggelam hari Sabtu (Kel 20:8-11). Dalam Hukum Taurat, hari Sabat dihormati
sebagai hari istirahat dan suatu tanda perjanjian di antara Tuhan dan Israel
(Kel 31:12-17). Di antara umat Kristen Sabat dipindahkan dari hari ketujuh
dalam pekan menjadi hari pertama dalam pekan, yaitu Minggu, sebagai pengakuan
pada ciptaan baru yang ditandai dengan Kebangkitan Kristus pada hari Minggu
(KGK 2168-2176).
I. Dalam
Perjanjian Lama
A. Hukum
Dasar Bagi Umat Allah
B. Tanda
Perjanjian Tuhan
C. Seruan
Nabi agar Sabat Diindahkan
II. Dalam
Perjanjian Baru
A. “Sabat
Diadakan Untuk Manusia”
B. Hari
Minggu, Sabat Umat Kristen.
I. Dalam
Perjanjian Lama
A. Hukum Dasar
Bagi Umat Allah
Istilah Ibrani
sabat muncul lebih dari seratus kali dalam Perjanjian Lama, empat puluh
di antaranya dalam Pentateukh, dan berasal dari akar Ibrani yang berarti
“berhenti atau beristirahat”. Pentingnya Sabat berawal dari Penciptaan (Kej
1:1-2|:4), di mana Sabat merupakan puncak pekerjaan Allah, ketika Ia
beristirahat (Ibrani: sabat). Sabat juga sangat penting karena
mengindahkan sabat berarti melaksanakan salah satu dari Sepuluh Perintah
Allah (Kel 20:8-10; Ul 5:12-15). Sabat adalah hari yang suci dan penuh
berkat (Kej 2:3; Yes 58:13).
B. Tanda
Perjanjian Tuhan
Tuhan tidak
hanya beristirahat pada hari ketujuh; Ia juga memberkati dan menguduskan hari
itu (Kej 2:2-3). Ia tidak beristirahat karena kecapaian, tetapi karena
bermaksud menetapkan hari Sabat sebagai tanda perjanjian-Nya (Kel
31:12-17). Hari Sabat bukan sekedar suatu waktu untuk beristirahat tetapi juga
saat untuk merenungkan karya Allah sebagai Pencipta. Dalam terang ini, dalam
konteks Perjanjian Lama Sabat menimbulkan rasa syukur dan kebergantungan serta
iman kepada Tuhan (KGK 345-347).
Sesudah membebaskan Israel dari Mesir pada
waktu Keluaran, Sabat juga menjadi tanda bagi karya penebusan
Tuhan: yaitu campurtangan Tuhan dalam sejarah yang memberikan kepada Israel
istirahat dari beban perbudakan. Maka perintah mengenai hari Sabat di dalam
kitab Keluaran terkait dengan Sabat bersama Tuhan Sang Pencipta, dan Sabat dari
kitab Ulangan terkait dengan Sabat bersama Tuhan Sang Penebus.
Sabat kemudian mendapat tempat dalam inti
Hukum Israel; bersama dengan sunat, kepatuhan pada ketentuan-ketentuan itu
menjadi tanda lahiriah bagi keanggotaan seseorang dalam Israel (bdk Yeh 20:13;
Neh 13:17-18). Sabat merupakan hari keagamaan untuk berhimpun dan beribadat (Im
23:1-3). Hukum Perjanjian (Kel 21-23) memuat berbagai
ketetapan dan syarat perjanjian, termasuk istirahat pada hari Sabat, “hari yang
ketujuh” (Kel 23:12). Jelas bahwa ini merupakan hukum yang ramah dan praktis,
namun tujuan utama Sabat adalah mengenangkan Tuhan dan tindakanNya yang
menyelamatkan (Ul 5:15): “haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di
tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh Tuhan, Allahmu dengan
tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya Tuhan, Allahmu,
memerintahkan engkau merayakan hari Sabat.”
Semua bentuk pekerjaan yang tidak wajib
dilakukan dilarang dikerjakan pada hari Sabat. Bahkan pelayan dan hewan-hewan
pun harus mendapatkan istirahat (Kel 20:8-10; 31:13-17). Berbagai peraturan
khusus dikeluarkan sehubungan dengan memasak (Kel 16:23), membajak dan menuai
(Kel 34:21), mengumpulkan kayu (Bil 15:32-36), menyalakan api (K|el 35:3),
perdagangan dan pertukaran (Neh 13:15-22), mengangkut beban (Yer 17:21-27), dan
membebani binatang (Neh 13:15). Karena pekerjaan dilarang, makanan harus
disiapkan pada hari sebelum Sabat; maka hari sebelum Sabat dikenal sebagai hari
persiapan (Mat 27:62; Mrk 15:42).
Pelanggaran
atas hari Sabat bisa dikenai hukuman mati (Kel 31:14-15; Bil 15:32-36), namun
kendati ada hukuman seperti itu, ketidakpatuhan pada peraturan Sabat sudah
menjadi masalah baik sebelum maupun dalam masa Pembuangan (Yer 17:19; Yeh
20:13.16.21.24; 22:8; 23:38). Amos menggambarkan keadaan kepatuhan hukum yang
menyedihkan dalam kerajaan Israel dengan menunjukkan bergairahnya perdagangan
untuk hari Sabat sampai matahari terbenam (Am 8:5). Para nabi dengan demikian
menekankan kepatuhan yang tepat (Yes 1:13; 56:6; Yeh 20:12). Yesaya memandang
Sabat bukan sebagai beban, melainkan sebagai kegembiraan dan sukacita:
Apabila
engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat dan tidak melakukan urusanmu pada hari
kudus-Ku; apabila engkau menyebutkan hari Sabat "hari kenikmatan",
dan hari kudus Tuhan "hari yang mulia"; apabila engkau menghormatinya
dengan tidak menjalankan segala acaramu dan dengan tidak mengurus urusanmu atau
berkata omong kosong, maka engkau akan bersenang-senang karena Tuhan, dan Aku akan
membuat engkau melintasi puncak bukit-bukit di bumi dengan kendaraan
kemenangan; Aku akan memberi makan engkau dari milik pusaka Yakub, bapa
leluhurmu, sebab mulut Tuhanlah yang mengatakannya (Yes 58:13-14)
Dengan kepulangan dari pembuangan Babilon,
Sabat terus dipatuhi secara longgar, suatu sumber keprihatinan bagi Nehemia.
Dalam reformasi selanjutnya, suatu komitmen yang teguh atas Sabat menjadi
tulang punggung pengakuan keaslian jati diri Yahudi (Neh 13:15-22). Namun pada
akhirnya kepatuhan pada Sabat diwarnai oleh kekakuan yang berlebihan melampaui Hukum.
Pada masa Makabe, sebagian orang Yahudi membiarkan diri dibantai oleh pasukan
Seleukus ketimbang bertempur dan membela diri pada hari Sabat (1 Mak 2:35-38; 2
Mak 8:26). Yang lain, seperti Matatias dan teman-temannya, memilih
membela diri dan mengikuti pendekatan yang tidak terlalu ketat walaupun mereka
berhenti melakukan penyerangan musuh pada hari Sabat (1 Mak 2:39-41).
A. “Sabat
Diadakan Untuk Manusia”
Dalam
Perjanjian Baru kepatuhan pada hukum Sabat menjadi topik perbantahan, paling
sering di dalam Injil-injil. Pada umumnya dikatakan bahwa Yesus sebagai seorang
Yahudi yang saleh pasti terbiasa mengikuti aturan-aturan Sabat, karena kita
lihat Ia sering hadir di sinagoga di Galilea (Mrk 1:21; 3:1; Luk 4:16). Tetapi
tindakanNya pada hari Sabat menjadi sumber ketegangan dengan para ahli kitab
dan kaum Farisi, karena Yesus sering memilih melakukan penyembuhan dan
mujizat-mujizat pada hari suci untuk istirahat itu (mis Mat 12:9-14; Mrk
1:21-28; Luk 14:1-16; Yoh 5:1-9). Menurut para pemimpin agama, ini merupakan
pekerjaan yang melanggar hukum, dan Yesus harus dikecam atau disingkirkan (Mat
12:14; Yoh 5:1-9). Bagi para ahli kitab dan kaum Farisi, ketidakpatuhan Yesus
merupakan bukti bahwa “''Orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak
memelihara hari Sabat.” (Yoh 9:16).
Yesus menanggapi tuduhan ini dengan cara
yang mengungkapkan misteri yang lebih dalam dari jatidiriNya dan makna yang
lebih mendalam dari Sabat sendiri juga. Di satu pihak, ia menyatakan diriNya
sebagai “Tuhan atas hari Sabat” (Mat 12:8; Mrk 2:28). Karena Bapa-Nya di surga
adalah Pencipta hari Sabat, dan Bapa sendiri terus bekerja pada hari Sabat,
Putera ilahi hanya dapat melakukan apa yang dilakukan Bapa (Yoh 5:8). Orang
Yahudi menangkap pernyataan ini sebagai usaha Yesus “menyamakan diri dengan
Allah” (Yoh 5:18). Di pihak lain, Yesus menanggapi tuduhan bahwa dirinya
melanggar Sabat dengan menyatakan sebaliknya, bahwa Ia memenuhi maksud
Sabat yang sebenarnya (Luk 13:10-17). Dengan kata lain, dengan menyembuhkan dan
memulihkan, ia mengangkat beban dari kehidupan orang-orang, dan memberikan istirahat,
membebaskan mereka dari beban fisik dan rohani yang mereka tanggung selama
bertahun-tahun. Maka Sabat adalah membebaskan, bukan membelenggu (Luk
13:10-17). Sabat “dibuat untuk manusia”, bukan sebaliknya (Mrk 2:27). Tindakan amal
kasih dan yang wajib dilakukan dengan demikian selaras dengan pentingnya Sabat
dalam pengertian yang paling dalam (Mat 12:1-6; Luk 6:9).
Paulus
menggolongkan Sabat di antara kepatuhan ritual |yahudiyang tidak lagi wajib
dilakukan umat Kristen (Kol 2:16; Gal 4:9-10; Rm 14:5). Namun Paulus biasa
menghadiri ibadat Sabat di sinagoga bukan karena ia berkewajiban melakukannya,
melainkan karena ia mengambil kesempatan untuk mewartakan Injil di kalangan
sesama orang Israel. Tampaknya Sabat tidak dibicarakan dalam Konsili Yerusalem, tetapi kaum beriman yang berasal dari bangsa lain berhimpun pada
hari Minggu (Kis 20|:7-12; 1 Kor 16:2), yang kemudian menjadi hari ibadat
Kristen mengenangkan Kebangkitan Tuhan (KGK 349.2174-2176).
Akhirnya dalam Ibr 4 ada kaitan antara
Sabat dengan warisan kekal dalam Perjanjian Baru. Istirahat dalam Perjanjian
Lama yang ditandai oleh istirahat Sabat di akhir penciptaan (Kej 2:2), juga
oleh istirahat yang diberikan Yosua kepada Israel di Tanah Terjanji.
Abyatar
Seorang keturunan Itamar,
anak bungsu Harun, dan anak Ahimelekh dari keluarga Eli (1 Sam 22:2-23; 1 Raj
2:27; 1 Taw 24:3). Abyatar menjadi imam di Nob bersama Ahimelekh. Ia memberi roti sajian untuk Allah kepada Daud yang kelaparan untuk makan (1 Sam 21:1-6; Mrk 2:23-26). dan
satu-satunya yang selamat dari pembantaian para imam yang diperintahkan oleh
Saul di Nob (1 Sam 22:20). Ia
melarikan diri kepada Daud dengan membawa efod
(1 Sam 23:6), dan selanjutnya menjadi imam
utama Daud selama masa dikejar-kejar Saul. Tugasnya pada masa itu tidak
menentu, tetapi ia teguh setia kepada Daud selama pemberontakan Absalom (2 Sam
15:1-12). Sesudah pemberontakan, Abyatar tetap mengabdi kepada Daud bersama
dengan Zadok di Yerusalem. Selama
pemerintahan Daud, Abyatar terbilang sebagai salah seorang imam kepala (bdk 1
Taw 15:11; 2 Sam 20:25).
Ketika Daud hampir mati, Abyatar memberikan dukungannya bukan
kepada Salomo, melainkan kepada Adonia,
sedang Zadok membela Salomo (1 Raj 1-2, 19,25; 2:22). Begitu dinobatkan, Salomo
mencopot jabatan iman Abyatar dan mengasingkannya ke Anatot; Abyatar tidak
dihukum mati karena pengabdiannya selama banyak tahun kepada Daud (1 Raj
2:26-27). Zadok mendapatkan jabatan Abyatar (1 Raj 2:35). Berakhirnya masa
jabatan imam Abyatar memenuhi ramalan yang dibuat 150 tahun sebelumnya (1 Sam
2:27-36) bahwa keluarga imam Eli akan berakhir karena ketidaksetiaan.
Lihat juga: Anak Manusia