Daftar Blog Saya

Tampilkan postingan dengan label Indonesianisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesianisasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 September 2022

1970 Pembangunan dan Perubahan

 


Bambang Kussriyanto

Sejarah Gereja Katolik Indonesia Pasca 1970

 

BAB I

GEMURUH PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN

(1970-1979)

Kemajuan yang sejati terwujudkan dalam tata-ekonomi yang dimaksudkan demi kesejahteraan pribadi manusia, bila rezeki sehari-hari yang diterima setiap orang memantulkan kehangatan kasih persaudaraan dan uluran tangan Allah” (St Paulus VI, Populorum Progressio 86)


Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1970

“Manusia berziarah ke depan, melangkah maju dalam menguasai dunia: pikiran, studi dan pengetahuan mengantarkan penguasaan atas dunia itu; kerja, alat dan prasarana serta teknologi menjadikan penguasaan ini kenyataan yang indah. Apa gunanya kemajuan ini bagi manusia? Untuk membantu agar hidup lebih baik dan lebih penuh. Manusia mencari kepenuhan hidup dalam waktunya yang terbatas  - dan sedang berusaha mencapainya. Kepenuhan hidup itu haruslah universal, artinya, diperuntukkan bagi semua orang. Maka manusia mengusahakan pemerataan hasil kemajuan bagi semua orang; mengusahakan kesatuan, keadilan, keseimbangan dan kesempurnaan, yang kita sebut Perdamaian.

Mereka yang memelajari gagasan besar perdamaian dunia tentu akan mendapati bahwa sekarang ini diperlukan pendidikan ideologis baru, pendidikan perdamaian. Ya, perdamaian yang bertumbuh dari hati. Pertama-tama kita sendiri harus mengenal perdamaian itu, menghendakinya dan mencintai perdamaian; selanjutnya perdamaian kita nyatakan, dan kita resapkan dalam pembaruan moralitas dan peri-kemanusiaan,; dalam filsafah, dalam sosiologi, dalam politik.” (St Paulus VI,  Pesan Hari Perdamaian Sedunia, 1 Januari 1970).

Ketika PBB mencanangkan dasawarsa 1950-an sebagai masa pembangunan dan rekonstruksi pasca Perang Dunia, Indonesia sedang menikmati  euforia kemerdekaan dan dalam tahap mengusahakan  jalan konsolidasi  politik nasional untuk pembangunan negara bangsa (nation building).  Ketika selanjutnya PBB mencanangkan dasawarsa 1960-an sebagai masa pertumbuhan ekonomi dengan sasaran laju rata-rata 5% per tahun, ekonomi  Indonesia yang terbengkelai oleh hiruk pikuk politik justrru terjun bebas merosot hingga pertengahan dasawarsa, dan baru selanjutnya dengan sistem baru bebenah untuk mengejar pertumbuhan pada 1967 dengan menerapkan rencana pembangunan sistematis. Pada awal 1970-an Indonesia praktis dalam perintisan masa pembangunan dan mengejar pertumbuhan ekonomi.

Tidak semua harus disikapi serius. Anak-anak muda ikut derap pembangunan dengan lagak dan lagunya sendiri. Setelah fenomen  radio amatir (radam), radio eksperimen (radeks), radio gelap ditertibkan pemerintah harus berbadan hukum, mereka tetap mengudara dengan penuh gaya, dan pemancar radio mereka setelah terdaftar berbadan hukum  disebut “broadcasting system” atau “broadcasting enterprise”.  Tahun 1970 disambut dengan lagu-lagu Led Zeppelin “A Thunder of Drums” menandai suatu hingar bingar. Termasuk hingar bingar revolusi tawa, dengan timbulnya banyak kelompok lawak. Juga lawakan intelektual para mahasiswa.

Paroki adalah orang-orang beriman (umat katolik) yang tinggal di suatu kawasan dan berada dalam reksa pastoral (penggembalaan rohani) seorang Uskup. Untuk mewakili Uskup melaksanakan tugas pastoralnya, maka Uskup mengutus seorang imam menjadi pastor paroki tertentu. Karena sudah selayaknya seorang pekerja mendapat upahnya, maka dalam pandangan lama (Hukum Gereja 1917) terkesan bahwa paroki adalah sumber nafkah pastor. Pandangan itu berubah setelah Konsili Vatikan II. Paroki adalah komunitas umat beriman yang didirikan Uskup yang mempunyai hak dan melaksanakan kewajiban sehubungan dengan imannya. “Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Kehidupan umatnya yang beriman dalam Kristus bersumber dan tergantung dengan cara tertentu dari padanya. Maka dari itu semua orang harus menaruh penghargaan amat besar terhadap kehidupan Liturgi keuskupan di sekitar Uskup, terutama di gereja katedral. Hendaknya mereka yakin, bahwa penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh umat kudus Allah dalam perayaan Liturgi yang sama, terutama dalam satu Ekaristi, dalam satu doa,pada satu altar, dipimpin oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para pelayan lainnya... Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau di mana-mana memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk kelompok-kelompok orang beriman, di antaranya yang terpenting yakni paroki-paroki, yang di setiap tempat dikelola di bawah seorang pastor yang mewakili Uskup. Sebab dalam arti tertentu paroki menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan. Maka dari itu hendaknya kehidupan Liturgi paroki serta hubungannya dengan Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman serta para rohaniwan. Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan dalam paroki berkembang, terutama dalam perayaan Misa umat pada hari Minggu” (SC 41-42). Sehubungan dengan itu sukacita persekutuan umat Allah terwujud dengan berdirinya paroki-paroki baru pada 1 Januari 1970 antara lain di Malino, sebagai hasil pemekaran Katedral Makassar. Juga di Mangkutana/ Maleku, yang merupakan pemekaran paroki Palopo. Menurut statistik Vatikan pada 1970 terdapat 50.908 umat katolik di Keuskupan Agung Makassar, yang dilayani oleh 54 imam diosesan dan 51 imam CICM. Sebelum 1970 mereka tersebar di 25 paroki yang berada di Provinsi Selawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) pada tahun 1970 paroki baru didirikan di Duren Sawit dan Rawa Mangun (keduanya hasil pemekaran dari paroki Matraman yang berdiri sejak 1909).  Menurut statistik Vatikan pada 1970 umat Katolik di KAJ 59.846 jiwa tersebar di 24 paroki, dilayani  8 imam diosesan dan 92 imam religius dari berbagai ordo/tarekat.

Dua paroki baru juga didirikan di Blora (pemekaran dari paroki Cepu) dan Pare (pemekaran dari paroki Kediri/Vincentius a Paulo), dan di Ponorogo (pemekaran dari paroki Madiun), di Keuskupan Surabaya, dalam tahun 1970. Menurut statistik Vatikan pada 1970 umat Katolik di Keuskupan Surabaya berjumlah 56.966 jiwa, dilayani 55 imam Lazaris (CM), tersebar di 21 paroki. 

Dari paroki Katedral Ambon pada 1970 yang dimekarkan, didirikan paroki Benteng/Ambon dan paroki Namlea di Pulau Buru. Menurut statistik Vatikan pada 1970 umat Katolik di Keuskupan Amboina berjumlah 61.700 jiwa dan tersebar di 24 paroki, dilayani seorang imam diosesan dan 28 imam religius (MSC).

Beberapa paroki baru lainnya yang didirikan pada 1970 adalah paroki Genteng (Keuskupan Malang), paroki Perdagangan (Keuskupan Agung Medan), Delta Kapuas (Keuskupan Agung Pontianak), Hepuba (Keuskupan Jayapura), dan Wonda (Keuskupan Agung Ende).

Ada nada sumbang yang masih terdengar dari jalinan peristiwa pahit di masa lalu. Mahkamah militer luarbiasa (Mahmilub) dilaksanakan atas perkara Abdullah Alihami, Sekretaris I CBD PKI Riau, dan vonis hukuman mati dijatuhkan menurut Putusan Mahkamah No. PTS-PK-032/MLB-I/AA/70, tanggal 16 Februari 1970.

Gereja-gereja di Kecamatan Donggo di Bima dibangun kembali  pada tahun 1970. Pada 1969 Donggo yang saat itu merupakan  stasi dari Paroki Raba, Bima, Keuskupan Weetebula, mengalami kejadian memprihatinkan, menggoyangkan iman umat dan bangunan gereja. Umat katolik dianiaya dan gereja-gereja  di Tolonggeru, Mbawa dan Nggerukopa Donggo dirobohkan dan dibakar. Umat katolik dipaksa masuk ke agama lain. Pastor Heribertus Kuper,CssR nyaris dibunuh. Namun beberapa umat katolik berhasil menyelamatkannya. Masalah itu dapat diselesaikan oleh pemerintah Kabupaten Bima. Pemerintah bahkan menyediakan dana untuk membangun kembali gereja yang dibakar massa. Sedangkan umat katolik yang dipaksa masuk agama lain dikembalikan ke pangkuan gereja Katolik atas upaya Bimas Katolik Nusa Tenggara Barat.

Sebagai langkah menuju perdamaian suatu kata baru yang viral di ujung awal 1970 adalah “detente” di antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sementara konflik dan perang masih membara di beberapa daerah, terutama di Vietnam dan Indo-China.

Ada letupan kegembiraan pada  23 Februari 1970 tentang lahirnya Republik Guyana. Namun hal itu masih menyiratkan keprihatinan universal sebab sebagian bangsa masih berada dalam penderitaan iklim penjajahan kolonial, dan menghendaki kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri. Sebagian penindasan bukan dilakukan bangsa lain, melainkan oleh bangsa sendiri melalui pemerintahan yang tidak adil. Upaya pembebasan rakyat dari penderitaan untuk mengembangkan hidup yang lebih penuh dan lebih adil menjadi wacana di banyak tempat, dan dalam pigura iman kristiani diberi label teologi pembebasan.

Pembajakan pesawat terbang yang menjadi marak menjelang akhir 1969, di awal tahun 1970 dirasakan menjadi ancaman umum. Pembajakan pesawat terbang yang mulanya bermotivasi pribadi dan ekonomis oleh perorangan (misalnya kasus TWA 85 Los Angeles oleh pemuda 19 tahun yang ingin menengok keluarganya yang sakit di negara lain; atau kasus Delta Airlines Cincinnatti-Chicago oleh remaja 14 tahun yang belum cukup umur untuk diadili) tanpa menimbulkan korban, pada bulan-bulan terakhir 1969 berubah menjadi bahasa tuntutan politik karena dilakukan dan dimainkan oleh kelompok-kelompok politik (KAL /YS-11 dari Gangneung ke Seoul-Gimpo dilarikan ke Korea Utara membawa 50 penumpang dan kru. Empat kru dan 6 penumpang dinyatakan hilang. Yang lain ditahan Korea Utara).  Pada 1 Januari  1970 pesawat Cruzeiro do Sul Sud Aviation SE-210 Caravelle VI R dalam perjalanan dari Montevideo ke Rio de Janeiro membawa 33 penumpang ddibajak oleh 6 orang yang meminta diterbangkan ke Cuba. Penerbangkan dialihkan ke  Lima, Panama City dan tiba di Havana dua hari kemudian.

   

A. Nama Lain Perdamaian adalah Pembangunan

(Populorum Progressio 87)

Suatu langkah maju perdamaian tersirat dalam peristiwa 16 Maret 1970 ketika dengan niat menjalin hubungan baik dengan negara tetangga, Presiden Soeharto melakukan kunjungan pertama Presiden Republik Indonesia ke Malaysia pasca konfrontasi. Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman  berdialog dengan Presiden Soeharto soal Selat Malaka dalam kunjungan itu. Tunku Abdul Rahman memuji Soeharto karena komitmennya mewujudkan perdamaian antara Indonesia dan Malaysia.

Indonesia memasuki tahun kedua Pembangunan Lima Tahun pada tahun 1970. Menurut Garis Besar Haluan Pembangunan yang berlaku saat itu, diusahakan pola pertumbuhan yang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dalam keseimbangan. “Di samping meningkatkan pendapatan nasional, sekaligus harus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat  sesuai dengan rasa keadilan, sehingga di satu pihak pembangunan tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi, melainkan sekali gus mencegah melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin dengan menumbuhkan azas hidup sederhana; bukan saja untuk mencapai masyarakat yang makmur, melainkan juga untuk mewujudkan masyarakat yang adil”.

Usaha penurunan inflasi telah dilakukan sejak awal paroh kedua 1960-an melalui kebijakan moneter yang melarang pendanaan domestik dalam bentuk utang domestik ataupun pencetakan uang, hingga tercapai stabilitas harga. Bergabung kembali dengan International Monetary Fund (IMF), Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia dalam pertengahan akhir tahun 1960an membuka  aliran bantuan keuangan dan bantuan asing masuk ke Indonesia dari negara-negara Barat dan Jepang. Kemudian mekanisme pasar bebas dipulihkan dengan tindakan-tindakan membebaskan kontrol pasar, diikuti dengan implementasi Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing (1967) dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968). Kedua undang-undang ini mengandung insentif-insentif yang menarik bagi para investor untuk berinvestasi di negara ini dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% di tahun 1968.

Jika rumusan rencana kerja pemerintah pada tahun pertama Pelita I 1969/1970 adalah murni gagasan pemerintah dan bersifat darurat, rencana kerja  pada tahun kedua 1970/1971 adalah hasil dari Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) maksudnya diharapkan lebih teliti, logis, sistematis dan adil. 

Untuk pembangunan kehidupan politik, pada 7 Januari 1970 Presiden Soeharto pertemuan konsultatif  dengan para pimpinan dan tokoh-tokoh 9 partai untuk membahas rencana pemerintah mengurangi jumlah partai. Dalam kesempatan ini Presiden melontarkan gagasan pengelompokan parpol ke dalam dua kelompok, masing-masing dipandang dari aspek material dan spiritual. Atau, jika diberi bobot orientasinya, akan terbentuk dua kelompok, yang menekankan material-spiritual dan yang menekankan spiritual-material. Idepengelompokan ini  berkaitan dengan keinginan Presiden untuk menciptakan stabilitas yang menjadi “tanggung-jawab bersama”, terutama untuk meredam konflik menjelang pemilu 1971.

Pertemuan lanjutan yang  lebih khusus dengan lima parpol yang dianggap mewakili “kelompok material-spiritual” dilakukan Presiden pada 27 Pebruari 1970. Di samping menyampaikan kembali  pokok-pokok pikiran pertemuan pertama, juga  ditegaskan perlunya “penyederhanaan cara kerja dan berpikir” dengan mengambil bentuk “up-konfederasi parpol” (ide pokoknya  tidak ada kepengurusan baru, selain bentuk “dewan ketua-ketua umum parpol” yang dibantu suatu “badan pekerja” sebagai brain trust). Dalam perkembangannya, gagasan Presiden itu  melahirkan polarisasi parpol. Ada yang mendukung karena dinilai sebagai “tuntutan obyektif” ataupun sebagai “pilihan taktis”, tapi ada yang menolak. Di antara yang menerima bahkan ada yang siap dengan usulan konkrit.

Selepas konsultasi itu berkembang isu santer bahwa Presiden akan membubarkan parpol-parpol sebelum 11 Maret 1970 jika mereka gagal merealisasikan ide Presiden. Menanggapi  rumor ini, para tokoh dari  lima parpol, antara lain, Hardi dan Gde Djaksa (PNI), Akhmad Sukarmadidjaja (IPKI), VB Da Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan (Partai Katolik), Maruto Nitimihardjo dan Sukarni (Murba), dan M. Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo) melakukan pertemuan pada 7 Maret 1970 untuk membicarakan “soal-soal sekitar pengelompokan partai-partai”. Dalam  pertemuan selanjutnya pada 9 Maret 1970 di tempat yang sama (ruang kerja wakil ketua MPR, Siregar, Jl. Teuku Umar No. 5 Jakarta) dimatangkan draft “Pernyataan Bersama” yang telah disiapkan Hardi dan draft-draft perbaikan dan tambahan yang disiapkan Murba dan IPKI. Untuk itu pertemuan 9 Maret 1970 menyepakati pembentukan Panitia Perumus yang terdiri dari Mh. Isnaeni (PNI), M. Supangat (IPKI), Murbantoko (Murba), Lo Ginting (Partai Katolik), dan Sabam Sirait (Parkindo) yang berhasil  menyelesaikan rumusannya hari  itu juga.

Akhirnya para tokoh kelima parpol mengeluarkan “Pernyataan bersama”, yang dilaporkan pada Presiden pada 12 Maret 1970 (dalam pertemuan ini Presiden menampik adanya rencana pembubaran parpol). Pernyataan Bersama memuat dua hal, yakni : (1) Kesediaan untuk melakukan kerjasama demi  kepentingan nasional. (2) Hal-hal yang menyangkut dasar, sifat, pengorganisasian, program kerja, prosedur dan nama kerjasama, akan ditentukan dalam waktu sesingkat-singkatnya

Pada tanggal 24 Maret pertemuan para tokoh kelima parpol kembali digelar di ruang kerja Siregar. Hadir antara lain, Hardi dan Usep Ranuwidjaja (PNI), M. Siregar, JCT Simorangkir dan Sabam Sirait (Parkindo), VB Da Costa, Lo Ginting dan Doeriat (Partai Katolik), Maruto Nitimihardjo (Murba) serta Akhmad Sukarmadidjaja dan Mustafa Supangat (IPKI). Pertemuan ini berusaha memformulasi secara lebih kongkrit butir kedua pernyataan bersama. Soal nama kelompok muncul banyak gagasan, misalnya “Kelompok Demokrasi Kesejahteraan”, “Kelompok Kesejahteraan Kerakyatan” (usulan partai Katolik), “Kelompok Gotong Royong” (usulan Murba), “Kelompok Pembangunan” (usulan IPKI), “Kelompok Nasionalis (usulan PNI). “Kelompok Demokrasi dan Pembangunan (usulan Parkindo)”. Sedangkan mengenai bentuk dan sifat kerjasama muncul ide mulai dari konfederasi, aliansi, koalisi, liga, ataupun badan kerjasama. Setelah melalui perdebatan melelahkan, akhirnya disepakati nama kelompok adalah “Demokrasi Pembangunan” dalam rangka perwujudan Badan Kerjasama yang isinya konfederasi. Dengan demikian nama resmi yang diberikan adalah “Badan Kerja Sama Demokrasi Pembangunan” atau lebih dikenal sebagai “Kelompok Demokrasi Pembangunan”. Pertemuan juga menetapkan dua kontak person kelompok, masing-masing Hardi dan Siregar.

Selama pertemuan tokoh lima parpol, muncul kecemasan besar akan terjadinya polarisasi politik nasional ke dalam dua kubu. Terjadi silang pendapat bagaimana mengeliminir tendensi ini, termasuk gagasan menyertakan salah satu parpol Islam dalam pengelompokan yang ada. Tetapi akhirnya ditemukan jalan keluar, yakni dengan menempatkan “prinsip keterbukaan bagi semua kekuatan sospol dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan nasional” sebagai prinsip dasar pengelompokan.

Pertemuan  menghasilkan pembentukan dua kelompok koalisi di dalam DPR pada bulan Maret 1970 yaitu Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik; dan Kelompok Persatuan Pembangunan, yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti.

Sesuatu yang  belum disadari pada waktu itu adalah bahwa setelah belajar dari masa lalu ketika partai-partai digerakkan oleh ideologi masing-masing dan menyebabkan kekacauan politik, gagasan pengelompokan partai-partai yang dilontarkan Presiden Soeharto dengan maksud untuk menciptakan stabilitas yang menjadi “tanggung-jawab bersama”, terutama untuk meredam konflik menjelang pemilu, merupakan langkah de-ideologisasi. Partai-partai dilucuti dari ideologinya yang menyebabkan perseteruan satu sama lain. Yang tidak terduga sebagai akibatnya adalah bahwa para anggota partai kemudian kehilangan pegangan juga. Oleh karena itu dalam kehidupan politik mulai terbentuk “massa mengambang” di kalangan masyarakat umum. Dan populasi “massa mengambang” ini bertambah besar dengan meningkatnya “kelas menengah” yang  kemudian fenomenal sebagai hasil ikutan dari proses pembangunan ekonomi.

Penyederhanaan partai dirintis oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Jumlah partai politik yang ada pada waktu itu kira-kira 25, dikurangi berdasar perolehan suara dalam Pemilu 1955 hingga tinggal 10 partai saja, yaitu PNI, Partindo, IPKI, NU, PSII, Perti, Parkindo dan Partai Katolik, PKI serta Murba yang sesungguhnya representasi dari ideologi Nasionalis, Islam, Kristen dan Marxisme.

Gereja Katolik Indonesia menyambut dasawarsa 1970-an dengan membenahi diri sejalan dengan pembaruan menurut semangat dan hasil-hasil Konsili Vatikan II. Serentak dengan itu ia juga berusaha menempatkan diri sebaik-baiknya dalam dinamika masyarakat dan bangsa mendayung usaha pembangunan di segala bidang. Gereja hendak menampilkan diri sebagai hati nurani masyarakat. Dan untuk itu berusaha belajar menggali kekayaan budaya Indonesia agar dapat mengungkapkan iman secara otentik menjadi bagian integral dari keindonesiaan.

Umat Katolik Indonesia dalam satu dasa warsa mengalami pertumbuhan hampir 100% dari 1,2 juta pada tahun 1960 menjadi sekitar 2,3 juta pada 1970. Pertumbuhan umat yang sangat signifikan yang sekaligus membawa tuntutan besar dalam penyediaan sarana, prasarana dan metode serta petugas pastoral.

Membangun Manusia Pembangun

Suatu kerja sama ekumenis antara DGI dan MAWI di awal tahun 1970 di Cipayung Bogor diselenggaran sekretariat Sodepaxi mencetuskan gagasan utama “Membangun Manusia Pembangun”. Gagasan ini bergaung panjang terutama di gereja-gereja kristen dan keuskupan yang berkarya di daerah yang terbilang terbelakang dalam banyak hal termassuk  kekurangan tenaga pastoral, atau tenaga pastoralnya mengalami kelebihan beban tugas sehingga tidak punya waktu untuk merenungkan karyanya, sekaligus menjadi gelombang baru untuk sosialisasi semangat dan ajaran Konsili Vatikan II.

Pada awal tahun 1970-an  jumlah imam yang berkarya di Indonesia 1.447 orang, sebagian besar adalah misionaris asing, dan 507 imam asli Indonesia (32%), di antaranya 130 orang imam diosesan.

Untuk para imam yang sudah lama bekerja diselenggarakan “refresher course” . Tetapi juga diperlukan forum-forum pertemuan untuk para imam yang lebih muda agar sering bertukar pikiran dan tukar pengalaman saling memperkaya dalam semangat Konsili Vatikan II (PO 7; DH 28 al 2). Dianggap baik juga jika forum=forum itu diikuti para bruder dan suster. Diperlukan lebih banyak  Institut Pastoral yang membantu para imam paroki dalam upaya pendewasaan umat, up-grading dewan paroki, para katekis dan diakon awam dalam semangat dan keterampilan kerja pelayanan. Sementara Institut Pastoral yang sudah ada di Yogyakarta, Surakarta, Malang dan Ende diharapkan agar dioptimalkan, dan agar melengkapi tim yang dikirim dengan pengetahuan yang cukup mengenai keadaan dan budaya setempat di mana mereka memimpin lokakarya pastoral.

Kesejahteraan para petugas pastoral  dalam hal kesehatan juga memerlukan perhatian. Medan tugas yang berat, beban pelayanan berlebih, kondisi rohani dan fisik yang aus menimbulkan gejala merosotnya keseimbangan mental sebagian imam. Mereka yang mengalami gangguan psikologis memerlukan tempat perawatan yang layak dan menjamin pemulihan. Beberapa kota besar mempunyai sanatorium jiwa, sebagian besar daerah tidak memiliki fasilitas itu.

Sebagian imam, bruder dan suster misionaris “sudah tak bertenaga” setelah bekerja keras lima belas tahun, atau sepuluh tahun, menurut ketahanan fisik, mental dan tohani masing-masing. Diperlukan pola liburan yang menyegarkan dan membantu mereka mengkristalkan pengalaman bekerja, agar mereka diremajakan setelah liburan dan masih dapat menyumbangkan dirinya lagi. Selain itu dipikirkan juga tempat bagi mereka yang sudah sungguh-sungguh tidak dapat aktif bekerja lagi, terutama yang sudah tua, dengan jaminan hidup yang pantas.

Di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Mgr Adrianus Djajasepoetra SJ, memasuki  usia 76 tahun dan pensiun mengundurkan diri pada 21 Mei 1970. Ia sudah memimpin Keuskupan Agung Jakarta selama 17 tahun sejak 1953. Untuk menggantikannya Paus Paulus VI pada hari yang sama 21 Mei 1970, mengangkat Mgr Leo Sukoto SJ yang sudah cukup mengenal situasi Jakarta.  Antara 1966-1967 Leo Sukoto SJ adalah sekretaris KAJ.  Kemudian ia menjadi Vikaris Jendral dari 1967 hingga 1970. KAJ pada awal 1970 mempunyai 23 paroki dengan jumlah umat mendekati  60.000 orang menurut statistik Annuario Pontifico 1971.

Dewan Waligereja Pusat (Dewap) Harian dalam pertemuan pada 25-27 Mei 1970 melakukan persiapan untuk Sidang Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) yang akan diselenggarakan November-Desember 1970 nanti.  Dalam pertemuan Dewap Harian itu timbul gagasan agar MAWI membicarakan juga persoalan-persoalan aktual  yang dihadapi bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat katolik khususnya. Gereja wajib ikut memperhatikan, terlibat dan berperan memecahkan persoalan bangsa, menjadi inspirator dan memberi dorongan pelaksanaan pembangunan demi perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia.

Oleh pemerintah, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditempatkan sebagai suatu rencana operasional tahunan sekaligus alat pemantauan dan pengendalian (pengawasan dan koreksi) dari pembangunan lima tahunan (Repelita) serta diarahkan untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN).  APBN disusun menurut suatu sistem yang dicangkok dari teori-praktek Amerika Serikat dan dikenal dengan nama PPBS (Planning, Programming and Budgeting System).  Planning atau perencanaan adalah paradigma naratif sistematis apa saja sasaran  yang mau dicapai dalam masa tertentu. Programming adalah langkah penentuan program atau rincian pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai  sasaran. Budgeting atau peranggaran menerjemahkan kebutuhan seluruh program dalam nilai keuangan atau rupiah.Sistem adalah paduan menyeluruh dari bagian-bagian yang saling berinteraksi. Di dalam sistem ini aktivitas PPB disusun setiap tahun menggunakan konsep bottom-up dan top-down sekaligus. Bottom-up maksudnya bahan rencana-rencana berasal dari bawah agar mencerminkan aspirasi harapan dan kehendak rakyat melalui peran Bappeda, baik Tk.II maupun Tk. I  dan sektoral. Konsep top-down maksudnya setelah rencana-rencana disusun dalam paradigma pembangunan menyeluruh, pemerintah pusatlah, di sini maksudnya Bappenas dan Departernen Keuangan, yang kemudian menentukan rencana mana saja yang disetujui untuk diprogramkan dan berapa besaran anggarannya, dengan memerhatikan prioritas-prioritas.

Dalam pasal 23 ( I ) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dinyatakan bahwa "Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Undang Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka pemerinlah menjalankan anggaran tahun lalu." Menurut ketentuan ini DPR yang terdiri dari wakil-wakil rakyat ikut menentukan baik seluruh rencana, maupun program yang akan dilakukan pemerintah yang dituangkan dalam APBN dan jika sudah didapat persetujuan dengan mekanisme yang berlaku, APBN  itu ditetapkan menjadi Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi aktivitas pemerintah. Pada tahun 1970 sekitar 30 orang umat katolik duduk dalam Parlemen atau DPR. Melalui mereka umat Katolik boleh berharap menyalurkan aspirasi, harapan dan kemauan terkait pembangunan yang dilakukan pemerintah. Secara teoritis dan  teknis di sini seluruh umat katolik sebagai warga negara sudah ikut terlibat dan berperan-serta dalam pembangunan.

Dasar teologi untuk keterlibatan membangun masyarakat adalah kesatuan umat dengan Yesus Kristus Tuhan. Usaha menemukan kebahagiaan dan kesejahteraan hanya mungkin oleh pertolongan Allah, melalui perantaraan Yesus Kristus. Yesus Kristus dalam menyelamatkan manusia seluruhnya bekerja melalui kita dengan memberikan Roh Kudus, yaitu sumber tenaga ilahi yang menggerakkan dengan menyingkirkan hambatan dosa egoisme dan mengembangkan ikatan  kesatuan melalui cinta kasih, sehingga kendati ada perbedaan-perbedaan semua gerak usaha terkoordinasi membangun kesejahteraan untuk semua.

Pandangan yang khas adalah berkenaan dengan makna “pembangunan menyeluruh” (bukan hanya ekonomi saja), sekaligus berkenaan dengan pelbagai daya yang memungkinkan dan mendorong pembangunan semesta. Dasar iman ini tidak bertentangan dengan Pancasila, bahkan dengannya memeroleh jalan pelaksanaan melalui kerja sama dengan umat beragama lain dalam persaudaraan, bagai musafir bergerak menuju dunia baru yang menjamin kesejahteraan umum dan keadilan sosial.  Pedoman lalu menyampaikan bagian petunjuk praktis dalam hal keluarga, pendidikan, politik, ekonomi. Dilanjut petunjuk hubungan dengan umat beragama lain. Kemudian petunjuk mewartakan dan merayakan ekaristi. Dalam bagian akhir, Pedoman memaparkan tanggung jawab berbagai kelompok dalam Gereja.

Sistem PPB (Planning, Programming, Budgeting)  dilaksanakan berdaur, bergulir setiap September hingga Desember  sampai  Rencana APBN mendapat persetujuan DPR dan kemudian dijadikan Undang-undang, untuk dilaksanakan dari awal masa anggaran tiap bulan April. Berulang setiap tahun. Beberapa Keuskupan misalnya Keuskupan Ende dan Uskup Donatus Djagom SVD, dalam rangka membangun kemandirian nantinya memerhatikan cara kerja pemerintah itu dan belajar darinya, lalu dengan niat baik kendati segala keterbatasan berusaha mempraktekkannya mutatis-mutandis. Maksudnya disesuaikan dengan keadaan gerejawi yang masih terbiasa dengan program untuk lingkaran perayaan Paskah dan Natal saja, ke arah kegiatan pastoral sepanjang tahun. Tentu dengan mengingat organisasi Gereja juga belum serapi pemerintah, terdiri dari panitia-panitia ad hoc, juga bukan suatu garis komando, karena bersifat suka rela. Sifat Gereja institusional yang masih pekat membuat pola komunikasi Gereja pada umumnya top-down, maka sedang dalam tahap belajar untuk mengubah sikap menjadi lebih luwes terbuka, mendengarkan aspirasi dan menampung harapan dari bawah, bottom-up, untuk menjadi Gereja Umat Allah sesuai Konsili Vatikan II. Aneka halangan dan kesulitan bahkan kegagalan  dijumpai, tetapi pembelajaran harus berlanjut, dengan trial and error. Atau coba dan ralat.

Dengan nada obyektif dan positif, disiapkan oleh Dewap MAWI naskah Pedoman keterlibatan umat katolik dalam pembangunan yang walaupun bersifat umum namun cukup konkret untuk disahkan pada Sidang Majelis Waligereja Indonesia November 1970 berkat arahan Mgr Leo Sukoto SJ. Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia akan  diumumkan bertepatan dengan kunjungan Paus Paulus VI di Indonesia pada bulan Desember 1970. Pedoman Kerja Untuk Umat Katolik Indonesia (PKUKI) ditandatangani Waligereja dari 33 keuskupan di Indonesia, mengacu pada petunjuk Konsili Vatikan II (dokumen Lumen Gentium, Sacrosanctum Concilium, Gaudium et Spes, Orientalium Ecclesiarum dan Ad Gentes). Maka dapat dikatakan PKUKI menerjemahkan Konsili Vatikan II dalam realisme sosial Indonesia.

Para Uskup di Indonesia pada awal 1970: Mgr A.v.d. Hurk OFMCap (Keuskupan Agung Medan); Mgr. R. Bergamin SX (Keuskupan Padang); Mgr. J. Soudant SCJ (Keuskupan Palembang); Mgr. N.v.d. Westen SSCC (Keuskupan Pangkalpinang); Mgr. A. Hermelink SCJ (Keuskupan Tanjung Karang); RP. B. Willing OFMCap (Pro-Prefek Apost. Sibolga); Mgr. H.v.d. Burgt OFMCap (Keuskupan Agung Pontianak); Mgr. W. Demarteau MSF (Keuskupan Banjarmasin);  Mgr. G. Sillekens CP (Keuskupan Ketapang); Mgr. J. Romeijn MSF (Keuskupan Samarinda); Lambertus van Kessel SMM (Keuskupan Sintang); Mgr. M. Di Simone CP (Prefek Apost. Sekadau); Mgr. L. Soekoto SJ (Keuskupan Agung Jakarta); Mgr. P. Arntz OSC (Keuskupan Bandung); Mgr. N. Geise OFM (Keuskupan Bogor); Justinus Kardinal Darmoyuwono (Keuskupan Agung Semarang); Mgr A.E.J. Albers O.Carm (Keuskupan Malang); Mgr. W. Schoemaker MSC (Keuskupan Purwokerto); Mgr. J. Klooster CM (Keuskupan Surabaya); Mgr. N. Schneider CICM (Keuskupan  Agung Makassar); Mgr. A. Sol MSC (Keuskupan Amboina); Mgr. Th. Moors MSC (Keuskupan Manado); Mgr. D. Djagom SVD (Keuskupan Agung Ende); Mgr. Th.v.d. Tillaart SVD (Keuskupan Atambua); Mgr. P. Sani SVD (Keuskupan Denpasar); Mgr. G. Manteiro SVD (Keuskupan Kupang); Mgr. A. Thijssen SVD (Keuskupan Larantuka); Mgr.W.v. Bekkum  SVD (Keuskupan Ruteng);  Mgr. W. Wagener CSSR (Prefek Apost. Weetebula); Mgr. H. Tillemans MSC (Uskup Agung  Merauke); Mgr. A. Sowada OSC (Keuskupan Agats); Mgr. A. Staverman OFM (Keuskupan Jayapura); P.M. van Diepen OSA (Keuskupan Manokwari). Baru enam nama putera Indonesia asli berada di jajaran para Uskup. Dalam beberapa tahun kemudian banyak putera Indonesia asli menggantikan para Uskup misionaris dari mancanegara.

Indonesianisasi merupakan suatu proses yang disadari para Uskup untuk melanjutkan tahap penanaman Gereja Katolik di Indonesia bergerak setahap lebih maju lagi sesuai petunjuk Konsili Vatikan II (AG 19-22) mewujudkan Gereja Katolik Indonesia. Jalan yang ditempuh di satu pihak melalui proses budaya akulturasi, inkulturasi, dan kontekstualisasi, yaitu meresapkan Injil dan iman ke dalam budaya hidup umat Katolik di Indonesia. Di pihak lain percepatan pengadaan imam-imam putera asli Indonesia mendampingi para misionaris asing. Tenaga luar negeri perlu secepatnya diganti oleh imam-imam putera Indonesia asli. Proses Indonesianisasi tidak mudah karena memerlukan persiapan sungguh-sungguh, di samping menghadapi keengganan berubah sementara pihak. Ada pendapat “sejelek-jeleknya misionaris asing, masih lebih baik ketimbang pastur Indonesia”. Ada indikasi seorang Uskup asli Indonesia dipaksa pensiun oleh kalangannya sendiri karena terlalu bersemangat melancarkan Indonesianisasi (Mgr Gabriel Manek SVD, 1968). Seorang Uskup lainnya, seorang misionaris asing, sedang dalam sorotan karena ditentang dalam hal yang sama.

Para Uskup berangsur-angsur membarui semangat karya keuskupan dan melengkapi prasarana penggembalaan menurut Konsili Vatikan II berdasar mandat (LG 23; CD 11). Keuskupan dipahami sebagai gereja setempat yaitu persekutuan umat Allah, orang beriman yang dipanggil dan dihimpun Sabda dan sakramen dalam iman, kasih dan harapan (LG 8; SC 13, 42)  yang dipercayakan kepada Uskup dalam kesetaraan martabat, persaudaraan dan kebersamaan melaksanakan tugas perutusan (LG 10-13, 31-32) dan dalam kesatuan dengan Uskup (LG 23). Kuria Keuskupan, yaitu orang-orang yang membantu Uskup memimpin keuskupan dengan mendapatkan wewenang jabatan menjalankan tugas tertentu seperti Vikaris Jenderal, Vikaris Yudisial, Sekretaris dan Bendahara Keuskupan berdasar Hukum Gereja, diperbarui dengan semangat kolegial.  Suatu jabatan baru diadakan untuk melengkapi kebutuhan Uskup dalam penggembalaan umat untuk wilayah tertentu dalam Keuskupan, yaitu Vikaris Episkopalis (Vikep), “agar Uskup dengan rekan kerja yang baru dapat menggembalakan keuskupannya dengan lebih baik” (Motu Proprio Ecclesiae Sanctae 14).  Struktur Kevikepan antara lain coba diselenggarakan pada 1970 oleh Mgr. Schneiders CICM di Keuskupan Agung Makasar dengan mendirikan Kevikepan Toraja-Luwu. Uskup juga dibantu Dewan Konsultor sebagai senat dan penasehat yang memberi pertimbangan-pertimbangan menurut norma-norma Hukum Gereja.

Dewan Imam Keuskupan diatur dengan semangat baru untuk membantu karya pastoral Uskup (PO 7, MP Ecclesiae Sanctae 15-17, Surat Edaran Kongregasi para Imam 11/4/1970 juga sebelumnya 10/10/1969). Mengenai para imam, Uskup-uskup di Indonesia merasakan begitu besar kebutuhan untuk menyediakan imam-imam untuk melayani umat. Diadakan penelitian mengenai Seminari, pendidikan calon imam, dan pembinaan para imam. Perbandingan antara imam dan umat yang dilayani begitu besar melampaui kapasitas sehingga pelayanan semakin kurang optimal. Pada tahun 1970 seorang imam melayani sekitar 2000 jiwa. Walaupun jumlah imam bertambah namun belum sebanding dengan pertambahan jumlah umat. Sedang pendidikan seminari untuk melahirkan imam yang dibutuhkan meminta waktu lama.

Menimbang kenyataan itu, pada tahun 1970 para uskup yang terhimpun dalam MAWI mengajukan permohonan kepada Tahta Suci, agar diizinkan untuk menahbiskan bapak keluarga yang telah teruji dalam pelbagai tugas pelayanan pastoral menjadi imam bagi jemaat Katolik di wilayah terpencil. menjelang akhir 1970, ketika Dewan Paroki se-Kota Makassar bersepakat menulis surat ke MAWI. Mereka mengusulkan agar MAWI mengajukan permohonan ke Vatikan supaya diberi kemungkinan ditahbiskannya imam-imam berkeluarga untuk keuskupan-keuskupan tertentu di Indonesia, termasuk Keuskupan Agung Makassar.

Tentang imamat dan martabatnya dan selibat sejak akhir Konsili Vatikan II makin banyak kajian yang dilakukan oleh Vatikan dengan kesimpulan bahwa selibat di Gereja Latin tetap dipertahankan. Bahkan tentang tahbisan pria berkeluarga diangkat dalam Sinode Uskup dengan pemungutan suara untuk memilih pernyataan atas dua modi: (a)  Dengan mengecualikan hak khusus Paus, tahbisan pria berkeluarga dilarang meskipun dalam hal-hal khusus; (b) Terserah kepada Paus untuk mengizinkan tahbisan pria berkeluarga menjadi imam karena hal-hal khusus, kebutuhan pastoral dan kebaikan Gereja asal calon sudah mapan dan baik hidupnya. Para bapa sinode memilih rumusan A dengan 107 suara, sedang rumusan B 87 suara. Maka yang berlaku adalah rumusan A. Maka Vatikan semakin kuat melarang segala diskusi sekitar imam berkeluarga; diskusi mengenai jabatan gaya baru itu tidak hidup di Indonesia dan penyelesaian praktis berorientasi pada gagasan memenuhi keperluan akan imam untuk sakramen, terutama ekaristi dan pengampunan dosa secara darurat mengandung pelbagai efek negatif yang tidak bisa diterima.

Pada tanggal 23 Agustus 1970 “Panitia Persiapan Konggres Medis Gabungan Religius” dibentuk yang terdiri dari atas biarawati-biarawati lima konggregasi yang bekerja dilapangan medis, ditambahkan dengan seorang penasehat dari  Konggar (Kongres Gabungan antar Religius). Pada tanggal 16 Oktober 1970 diadakan suatu rapat khusus oleh Panitia Persiapan Konggres tersebut menghadirkan  Fr J.Tong, SJ, Presiden dari “The Catholic Hospital Association of India” untuk memberi gambaran ringkas mengenai pekerjaan dan susunan Association itu di India. Pada rapat itu diambil resolusi sebagai berikut: a). Akan diminta pada MAWI supaya ada tempat yang dapat disediakan untuk bagian assosiasi medis/paramedis itu di Kantor MAWI. B). Fr Tong mengusulkan supaya seorang dibebaskan dari tugasnya supaya dapat kerja untuk biro medis dan persiapan konggres sebagai full-timer (Sr.Tilde van Mook). Konferensi para Uskup dalam Sidang MAWI memberi tanggapan positif untuk rencana itu.  Usaha karyawan medis dengan konggres dan pelaksanaan selanjutnya berdiri autonom, tetapi berada dalam hubungan tetap dengan konferensi para Uskup. Tugas-tugas di bidang medis yang untuk selanjutnya diseragkan kepada  Sekretariat Panitia Konggres Medis dan diberi tempat ruangan di kantor MAWI dengan tenaga dan biaya sendiri.

Ting! Tersiar lagi berita miring, hukuman mati dijatuhkan atas Ranu Sunardi, Letkol Laut, dalam sidang Mahmilub G30/1965 dengan Putusan Mahkamah No. PTS-033/MLB/X/RS/1970, tanggal 18 Oktober 1970.

Terjadi banyak perubahan dalam struktur dan cara kerja MAWI tahun 1970 untuk penyusunan Statuta MAWI. Sidang MAWI sejak saat itu akan diadakan setiap tahun sebagai "sidang tahunan" dan biasanya jatuh pada bulan November di Jakarta. Selain sidang tahunan juga akan diadakan  "sidang sinodal" setiap tiga tahun sekali. DEWAP dihapuskan dan diganti oleh Presidium MAWI, yang menjadi kepemimpinan tertinggi setelah Sidang MAWI.Dibentuk badan baru, yaitu Bagian Penerangan. Struktur Sekretariat Jenderal dibagi dua kelompok:

1. Kantor Waligereja Indonesia (Kawali): Bagian Umum/Keuangan, Bagian Personalia, Bagian Pendidikan, Bagian Penerangan.

2. Panitia-panitia Waligereja Indonesia/PWI: PWI Ekumene, PWI Seminari, PWI Komunikasi Sosial (pengganti PWI Pers dan Propaganda), PWI Sosial dan Ekonomi (pengganti PWI Sosial), PWI Kateketik, PWI Kerasulan Awam, PWI Liturgi, PWI Pendidikan.

 

Kateketik

Sesudah Konsili Vatikan II, terutama dalam tahun 1970 istilah evangelisasi menjadi sangat terkenal di dalam kegiatan Gereja; banyak dokumen, karya, pertemuan, dan program pastoral, yang membahas tema Evangelisasi dalam dunia modern. Karena itu di dalam kerugma Gerejawi katekese harus selalu memikirkan kembali tugas misi dan artinya.

Pada Tahun 1970 MAWI menyatakan sikapnya, sehubungan dengan adanya kurikulum agama di sekolah, bahwa: Tidak nyatalah keharusan memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum sekolah. Tidak nyata pulalah bahwa Pemerintah dapat mengharuskan pelajaran agama (sebagai usaha pengembangan iman) di sekolah-sekolah. Pelajaran agama katolik adalah kompetensi Uskup setempat. Tugas Gereja ialah untuk membantu orang tua dalam pendidikan iman anak-anaknya. Namun nanti pada tahun 1972, MAWI menyetujui adanya Kurikulum Nasional Agama Katolik pada SD, SLTP, SLTA, Universitas. Disetujui oleh sidang bahwa PWI Kateketik yang mengerjakannya.

Dari tahun 1969 keuskupan-keuskupan telah menyelenggarakan Komisi Kateketik, yang pada umumnya setelah berbagai penyempurnaan aktif bekerja pada pertengahan tahun 1970-an. Komisi Kateketik Keuskupan bertugas membantu Uskup mengembangkan karya pastoral katekese yaitu menanam dan mengembangkan pengertian iman Kristiani di wilayah yurisdiksi masing-masing. Pada tingkat nasional PWI Kateketik MAWI yang terdiri dari seorang Ketua dan tujuh wakil provinsi Gerejawi merupakan badan konsultatif sekaligus pelaksana kebijakan katekese MAWI, memprakarsai Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan Se-Indonesia (PKKI) dan rapat-rapat serta lokakarya-lokakarya kateketik termasuk pelajaran agama di sekolah dan Universitas.

Aksi Puasa Pembangunan

Sekitar tahun 1969, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang (Vikjen KAS), Pastor C. Carri SJ menggulirkan gagasan Aksi Puasa di KAS. Gagasan ini sebenarnya juga sudah diusulkan oleh Kardinal Justinus Darmojuwono (1914-1994), yang kala itu menjabat sebagai Uskup Agung Semarang sekaligus Ketua PWI Sosial (MAWI).

Pada tahun 1970, gagasan yang telah dilemparkan oleh Pastor Carri SJ ditangkap oleh Pastor Gregorius Utomo Pr selaku Delegatus Sosial (Delsos) KAS kala itu. Hal tersebut menjadi konsen para pelayan pastoral bidang sosial ekonomi, yang pada saat itu sedang hangat membicarakan isi Ensiklik Populorum Progressio (PP), Ajaran Sosial Gereja dari Paus Paulus VI yang terbit pada 26 Maret 1967. Ensiklik itu mengatakan, “nama lain perdamaian adalah pembangunan” (PP 87).

Sebenarnya, gagasan Aksi Puasa sudah telah muncul dua dekake sebelumnya, sekitar tahun 1955. Pada waktu itu, Sekretaris PWI Sosial MAWI, Pastor Johanes Baptista Dijkstra SJ (1911-2003) telah menanggapi ASG dalam karya kerasulannya. Dijkstra dengan pelbagai upaya telah berusaha memberi warna tersendiri terhadap gerakan pemberdayaan ekonomi masyarakat Indonesia. Misionaris Jesuit kelahiran Amsterdam, Belanda, 26 Oktober 1911 ini telah berkiprah dengan ikut membidani lahirnya kelompok Pilot Project  Aksi Puasa Pembangunan (APP). Aksi kelompok umat Katolik ini sangat sederhana. Mereka dengan sukarela menyisihkan sebagian uang hasil penghematan belanjanya di masa puasa untuk solidaritas bagi sesama yang membutuhkan pada Masa Prapaskah.

Seusai hasil Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) Pastor Dijkstra SJ pada tahun 1955 dengan bantuan teman-temannya – salah satunya adalah Romo Josephus Gerardus Beek SJ (1917-1983)– membentuk gerakan yang bersifat umum, tidak berafiliasi pada Gereja Katolik, dinamakan Gerakan Pancasila. Gerakan Pancasila inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Ikatan Buruh Pancasila (IBP), Ikatan Petani Pancasila (IPP), Ikatan Para Medis Pancasila (IPMPS), dan Ikatan Usahawan Pancasila (IUI). Di dalam Gerakan Pancasila inilah cikal bakal “Aksi Puasa” untuk membangun hidup bersama diluncurkan. Namun kemudian, Aksi Puasa itu ternyata bergaung dan dikontekstualisasikan secara kreatif oleh Pastor Carri bersama Pastor Utomo dalam Pilot Project  APP.

Menurut pemikiran Romo Carri, umat Katolik perlu menjalankan Aksi Puasa untuk menjembatani jurang antara kaya dan miskin dengan berpedoman pada Ensiklik Populorum Progressio dari Paus Paulus VI.

Kontekstualisasi kegiatan Masa Prapaskah tersebut akhirnya menelorkan Aksi Puasa Prapaskah, yang dimulai pertama kali pada Masa Prapaskah tahun 1970. Aksi Puasa ini ditetapkan menjadi kegiatan selama Masa Prapaskah dalam Sidang Pleno PWI Sosial MAWI di Purworejo, Jawa Tengah, pada 1970. Dalam Sidang Pleno tersebut, para peserta juga menyusun suatu Pedoman Aksi Puasa, yang kemudian disahkan oleh para Uskup dalam Sidang Tahunan MAWI pada November 1970.

Dalam sidang MAWI  tahun 1970, para uskup Indonesia meresmikan dan mengangkat Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina yang telah dirintis dari tahun 1965 sebagai usaha Ordo Saudara Dina Fransiskan (OFM) untuk menerjemahkan dan menerbitkan Kitab Suci dan buku-buku mengenai Kitab Suci menjadi lembaga MAWI yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci. Berdasar surat sekretaris presidium MAWI tanggal 19 Februari 1971, lembaga ini selanjutnya bernama Lembaga Biblika Indonesia.

Didirikannya LBI dimaksudkan untuk menanggapi imbauan Konsili Vatikan II: “Bagi kaum beriman kristiani, jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar” (Dei Verbum 22). Dengan demikian, mereka dapat memenuhi anjuran untuk “… sering kali membaca Kitab Suci dan memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus … Sebab, tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus” (Dei Verbum 25). Untuk itu selanjutnya diadakan kerja sama dengan berbagai pihak dalam hal menerjemahkan dan menyebarkan Kitab Suci. Juga diadakan bahan-bahan yang mendukung karya kerasulan Kitab Suci di lapangan.

Adalah kegembiraan besar bahwa Paus Paulus VI mampir mengunjungi Indonesia dalam program lawatan apostolik ke beberapa negara Asia dan Pasifik (26 November sampai  5 Desember 1970). Sebelum ke Indonesia, Paus terlebih dahulu  mengunjungi Teheran (Iran), Dakka (Bangladesh), Manila (Filipina), Samoa Barat (Pasifik), Sydney (Australia), Papua New Guinea, Indonesia (3-4 Desember), untuk kemudian Paus Paulus VI melanjutkan kunjungan  ke Hongkong dan Colombo (Sri Lanka). Menjelang keberangkatannya Paus Paulus VI menyatakan: “Paus berkunjung bukan sebagai wisatawan, atau sebagai undangan perayaan dan upacara, tetapi sebagai Uskup dan kepala Dewan Uskup, sebagai imam dan misionaris, sebagai penjala manusia (lih. Mat 4: 19), yaitu, penjala manusia dan bangsa-bangsa di dunia dan zaman kita; kami akan menghadiri serangkaian pertemuan, yang akan menggambarkan adegan dan kata-kata pewartaan injil, mengunjungi saudara-saudara dan putera-puteri, untuk menghimpun orang-orang dan lembaga-lembaga, untuk menyampaikan hormat kepada mereka yang layak mendapatkannya: mereka yang memikul tanggung jawab, kaum miskin, kaum muda, mereka yang lapar akan keadilan dan perdamaian, yang menderita, dan yang tersisih.

Di sana ada orang yang telah mendengarkan, dan terus mendengarkan dan menyadari bahwa di dalam kata-kata yang samar dan sama itu terdapat dua nada tunggal dan sangat manis, yang keras bergema di relung jiwa mereka: nada kebenaran dan nada kasih. Mereka menyadari bahwa perkataan hanyalah  sarana dari Dia yang mengucapkannya: yaitu Sang Firman sendiri, Firman dari Bapa. Di mana dulu dan sekarang Bapa berada? Siapa Dia dulu dan sekarang? Dia tak lain dan tak bukan adalah Dia yang hidup, Pribadi yang adalah Firman, Firman yang menjadi manusia, Firman Allah. Di mana dulu dan sekarang Firman Allah yang menjadi manusia itu berada? Karena sekarang Dia yang dahulu ada dan jelas bahwa sekarang pun Dia ada, Dia hadir! Dialah Pribadi Ketiga yang kini berada di panggung dunia: Pribadi yang tinggal dan berada di semua tempat di mana ia disambut, melalui jalan yang khas, tetapi tidak asing bagi pengertian manusia, melalui iman.... Demikianlah gambaran abadi yang terjadi selama berabad-abad, yang dalam perjalanan Kami hendak mendapatkan momentum realitas yang tak terperikan”.

Ketika Paus Paulus VI mengunjungi Manila November 1970 dan sebagian Uskup dari Asia wakil-wakil Konferensi Waligereja masing-masing ikut menyambut, disampaikanlah gagasan sesuai Konsili Vatikan II untuk mendirikan Federasi Konferensi Uskup Asia (Federation of Asian Bishop Conference, FABC) kepada Paus, yang olehnya disambut dengan gembira.  Momen itu dianggap sebagai kelahiran Federation of Asian Bishop Conference, FABC.

Kunjungan Paus Paulus VI

Kunjungan Paus Paulus VI ke Indonesia pada tahun 1970 “hanya” diliput oleh TVRI dalam tayangan hitam-putih. Walau begitu, semua media cetak memberitakan kunjungan bersejarah ini di halaman utamanya. Ketika kedatangannya disambut dengan upacara di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta, Paus Paulus VI menyampaikan pidato yang hampir sepenuhnya bertolak dari ajaran-ajaran Konsili Vatikan II: “Adalah fakta bahwa pada tahun 1546 seorang santo terbesar kita, Fransiskus Xaverius, setelah menyusuri pantai Sumatera dan Jawa, tinggal sebentar di Amboina dan Ternate, menanamkan dasar untuk dikerjakan selanjutnya oleh saudara-saudaranya dan para pengganti.

Meninggalkan keluarga dan negaranya untuk datang ke sini, hamba Tuhan itu tidak didorong oleh ambisi politik. Ia juga tidak mencari kekayaan dengan berdagang, atau mencari kemuliaan atau mengejar kenikmatan dengan melihat hal-hal yang baru dan membicarakan semua itu pada dunia. Harapannya adalah untuk melakukan kebaikan, sebesar mungkin untuk sesamanya di sini, karena ia tahu itulah yang dikehendaki Tuhan darinya,

Kami sendiri pun tak punya keinginan lain dalam perjalananan kami ke seluruh penjuru bumi. Yang hendak kami lakukan sekuat tenaga adalah bekerja untuk perbaikan hidup sesama manusia, dengan tujuan mewujudkan perdamaian dan menegakkan keadilan, sebab tanpa keadilan tak ada perdamaian yang lestari.

Ketika kami mendekati kepulauan ini, dari angkasa kami takjub pada kekayaan alam negeri yang terdiri dari rangkaian pulau-pulau yang indah, negara kepulauan yang terpanjang di dunia. Begitu luasnya, negeri ini juga mempunyai banyak suku bangsa, dengan berbagai budaya dan agama yang hidup berdampingan. Semua agama dunia bertemu di sini: Muslim, Buddhis, Hindu, Konfusianis dan Kristen; semuanya diakui sebagai agama resmi dalam Konstitusi negeri ini, lebih-lebih lagi ditetapkan sebagai salah satu pilar dari Pancasila, yaitu iman kepada “Tuhan yang Mahakuasa”.

Paus Paulus VI menyampaikan penghargaan atas kerukunan umat beragama di Indonesia, “Maka sudah sepantasnya dan suatu sukacita bagi kami untuk menyampaikan penghargaan kepada  Pemerintah dan bangsa Indonesia atas contoh yang sangat baik yang diberikan kepada dunia atas cita rasa keagamaan yang tinggi, kerja sama dan saling memperkaya di dalam keberagaman. Dengan gembira kami tegaskan lagi di sini: «Kami mengakui dengan penuh hormat nilai-nilai spiritual dan moral berbagai agama non-kristen, sebab kami bermaksud untuk bersama-sama dengan mereka memajukan dan membela cita-cita yang sama dalam kebebasan beragaman, pengajaran dan pendidikan persaudaraan sesama manusia, kesejahteraan sosial dan ketertiban umum” (Ecclesiam suam, AAS., LVI (1963), p. 655). Gereja tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama-agama. «Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara bertindak dan cara hidup, kaidah-kaidah serta ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar Kebenaran yang menaungi semua orang» (Nostra Aetate, 2).

«Gereja menghargai umat Islam, yang menyembah Allah esa, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia» (Ibid., 3). Gereja juga mengagumi umat Hindu yang «mencari pembebasan dari kekesakan keadaan kita entah melalui bentuk-bentuk hidup berulah tapa atau melalui permenungan yag mendalam, atau dengan mengungsi kepada Allah yang penuh kasih dengan penuh keyakinan» (Ibid., 2).

Gereja mengakui bahwa umat Buddha «mengakui bahwa dunia yang fana sama sekali tidak mencukupi dan mengajarkan kepada manusia jalan untuk dengan jiwa penuh bakti dan kepercayaan memeroleh kebebasan yang sempurna, entah dengan usaha sendiri, entah berkat bantuan dari atas, mencapai pencerahan yang paling luhur (Nostra Aetate, 2).

Atas dasar semua ini kami menegaskan: “Gereja harus melakukan dialog dengan dunia di mana ia hidup. Maksudnya ada pesan yang perlu disampaikan, dan menjalin komunikasi” (Ecclesiam suam, A.A.S., LVI (1964), p. 639).


Pada sore hari, Paus Paulus VI memimpin misa di Gereja Katedral Jakarta. Mgr.Leo Soekoto yang baru saja dilantik menjadi Uskup Agung Jakarta, mendampingi Paus. Gereja Katedral Jakarta tidak bisa menampung umat yang mengikuti misa yang dipersembahkan Paus. Setelah misa di Katedral Jakarta pada 3 Desember 1970 Paus Paulus VI menjumpai para Uskup, imam, biarawan, biarawati dan awam termasuk tokoh-tokoh seperti IJ Kasimo, Doeriat dan Frans Seda.

“Anda tahu bahwa keprihatinan kami  tertuju pada Gereja seluruhnya. Dan bahwa hati dan pikiran kami penuh doa tanpa henti keluar dari Roma tertuju pada setiap saudara seiman. Hari ini kami menerima sukacita boleh berbicara pada Anda, saudara-saudara para Uskup, para imam dan biarawan, yang mewakili dengan cara istimewa misi evangelisasi yang dipercayakan kepada setiap murid Kristus ( Lumen Gentium, 17). Kami tahu saudara-saudara mengasihi Yesus Kristus dan GerejaNya. Kami menghargai semangat Anda mewartakan Injil. Kami menyampaikan harapan untuk menyaksikan kebenaran akan keselamatan tersebar lebih luas lagi di Asia: Injil juga ditujukan untuk benaua ini, karena Injil harus diwartakan kepada segenap mahluk ( Mrk. 16: 16). Semoga Tuhan menopang keberanian Anda. Semoa Ia terus menerus menambah kasih Anda.

“Kalian para imam hendaklah menghargai keluhuran imamat Anda, yang menjadikan Anda serupa dengan Kristus imam agung yang kekal ( Ibr. 5: 1-10). Seperti dia, pergilah melakukan kebaikan, didorong oleh kasihNya (2 Kor. 5: 14), wartakanlah Sabda Allah, kuduskanlah jemaat beriman dan sampaikanlah kepada Tuhan segala keperluan dan doa-doa mereka ( Ibr. 5: 1-10).

Kalian para rohaniwan hendaklah hidup dalam iman dan dalam sukacita membaktikan diri sepenuhnya bagi kebaikan seluruh Gereja. Semoga Tuhan membantu Anda dalam karya, masing-masing sesuai dengan kemampuannya dan menurut bentuk panggilannya, dalam menanamkan dan mengukuhkan kerajaan Kristus dalam jiwa-jiwa dan meluaskan kerajaan itu di semua negeri  (Lumen Gentium, 44).

Kami menyampaikan salam kasih kebapaan kepada segenap umat beriman kristiani. Di hadapan dunia kalian adalah saksi-saksi hidup dari pesan Injil untuk segala bangsa. Gereja yang diutus mewartakan pesan Injil tidak terikat pada satu bangsa atau budaya saja; setiap orang menemukan di dalam pesan itu prinsip-prinsip yang mengangkatnya, sebab Gereja dalam melaksanakan misinya bekerja sama dan memajukan karya-karya peradaban (Gaudium et spes, 58).

Semoga Allah melimpahkan rahmatNya pada kalian. Dengan sepenuh hati kami sampaikan kepadamu berkat apostolik kami. Semoga Tuhan selalu melindungi Saudara-Saudara sekalian!”

Sesudah beristirahat di Nunsiatur dan melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Republik Indonesia, Paus merayakan Misa Kudus di Stadion Senayan. Dalam Perayaan Ekaristi di Gelanggang Olah Raga Senayan, Paus Paulus VI menyampaikan homili:

 “Kami percaya dengan seluruh kekuatan jiwa kami, bahwa umat manusia mempunyai kebutuhan utama dan pertama-tama yang tak tergantikan, yang hanya dapat dipuaskan melalui Yesus Kristus, yang sulung di antara manusia, kepala keluarga manusia yang baru, yang padaNya setiap orang mencapai kesempurnaan diri.  Sebab «hanya dalam misteri Firman yang menjadi manusia sajalah misteri manusia menjadi jelas» (Gaudium et spes, 22).

Walaupun Ia Putera Allah, Yesus Kristus menghendaki demi penebusan kita menjadi salah seorang di antara kita. Ia mengalami situasi kemanusiaan kita, menjadikan diriNya bagian dari dunia pada zamanNya, berbicara dengan bahasa negeriNya, dan mengambil dari kehidupan setempat contoh-contoh untuk menerangkan ajaranNya tentang keadilan, iman, harapan dan kasih.  Sekarang ajaranNya tersebar di seluruh dunia. Disesuaikan dengan ungkapan-ungkapan segala bahasa, semua tradisi dan peradaban. Tak ada buku lain yang diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain sebanyak Injil. Tak ada doa yang diucapkan dalam begitu banyak bahasa seperti doa Bapa Kami, yang diajarkan oleh Yesus sendiri. Dengan cara yang sama umat Kristiani tidak asing satu sama lain. Mereka berbagi kebiasaan-kebiasaan yang luhur di antara sesamanya.

Sebagai warga negara yang baik, ia harus mencintai tanah airnya. Namun ia mengakui iman katolik sepenuhnya, iman yang sama dengan yang diakui bangsa-bangsa di Afrika, di Amerika, di Eropa. Bagaimana bisa begitu? Itu karena manusia historis yang bernama Yesus dari Nazaret adalah juga Anak Allah.  Karena manusia diciptakan Allah untuk Allah, dan dalam keberadaannya yang sesungguhnya ia ditarik oleh Dia yang memberi hidup kepadanya.  Ini merupakan elemen pribadi yang paling dasar, sehingga orang yang menolak Allah akan segera pula menolak sesamanya sebagai saudaranya.

Yesus Kristus datang ke hati kita menjawab seruan kerinduan yang benihnya sudah ditanamkan Allah di hati kita masing-masing (Ad Gentes, 11). Sang Sabda, yang adalah wahyu kasih Allah, dan rahmat karuniaNya, yang membagikan hidup ilahi sendiri melalui Roh Kudus dan sakramen-sakramen, membentuk komunitas Umat Allah, yaitu Gereja. Komunitas yang dipersatukan oleh satu ©baptisan, satu iman dan satu Tuhan, dan hidup untuk “Satu Allah, yaitu Bapa dari semuanya, untuk semuanya, dalam segalanya” (Ef. 4: 5-6).

Bagaimana kita para anggota umat suciNya harus menyampaikan tanggapan  kepadaNya? Sepatutnyalah kita menanggapi rahmat Allah dengan kesetiaan iman kepada Sang Sabda yang menyelamatkan, dengan perilaku manusia baru yang sepatutnya. Kekudusan Allah yang tiada terbatas yang disampaikan kepada kita meminta tanggapan kita dalam bentuk kekudusan terbatas dengan meneladan Yesus Kristus. Maka semuanya akan dubah dan dicerahkan: hidup pribadi, hidup keluarga, penggunaan benda-benda duniawi, hubungan kita dengan liyan sesama, hidup masyarakat; sebab Kristus membebaskan, menegakkan dan menyelamatkan seluruh umat manusia.

Para putra dan putriku, inilah yang Kami wartakan dalam kedatangan Kami ke sini: Yesus Kristus. Dia adalah Penyelamat kita, dan sekaligus Dia adalah Guru kita. Dia adalah: “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh 14: 6). Barang siapa mengikut Dia tidak akan berjalan dalam kegelapan (Yoh 8: 12). Inilah kenangan yang hendak Kami ukir pada jiwa Anda untuk selamanya.”

©©©

Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia (PKUKI) yang ditandatangani para Uskup 3 Desember 1970 dan dipublikasikan bersamaan dengan kunjungan Paus Paulus VI pertama-tama mengingatkan tugas dari keluarga katolik dalam kemasyarakatan.  Kesejahteraan umum masyarakat erat bertalian dengan kesejahteraan keluarga, maka sangat penting membina keluarga sebaik-baiknya. Perlu dikuatkan dasar keluarga sebagai ikatan cinta suami-isteri, di mana kedua pihak saling menyerahkan diri, memberi diri sepenuhnya, saling menghormati, saling menerima dalam keadaan bagaimana pun juga. Dengan demikian membangun dasar yang kuat untuk menerima anak sebagai buah cinta. Membangun keluarga adalah usaha insani merencanakan dan memupuk kesejahteraan keluarga agar tidak kekurangan secara ekonomis, perhatian dan afektif, pendidikan dan pengajaran, maka perlu juga merencanakan jumlah anak. Membangun keluarga secara berencana diserahkan kepada tanggungjawab hati nurani suami-isteri dengan menanggapi hukum Tuhan dengan selalu memperhatikan: kesejahteraan dan kebahagiaan fisik, mental dan rohani suami-isteri; kesejahteraan dan kebahagiaan fisik, mental dan rohani anak-anak; kesejahteraan orang lain juga, dan keadaan masyarakat (kepadatan penduduk dan lain-lain). Pendidikan dalam keluarga dengan teladan orang tua menjadi dasar pengembangan perilaku anak terhadap masyarakat, menjadi latihan sikap memerhatikan keperluan orang lain, menghormati kepribadian dan keyakinan orang lain dalam masyarakat. Perhatian, kehangatan dan suasana penuh cinta kasih dalam keluarga merupakan bekal perkembangan pribadi anak-anak dan sumber inspirasi dalam pertumbuhannya menjadi manusia dewasa. Struktur keluarga perlu dikuatkan dengan kebiasaan-kebiasaan positif dalam berbagi peran dan tugas serta pengaturan ekonomi  dalam pola hidup sederhana, hemat, gemar menabung dan memerhatikan prioritas apa yang perlu bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Keluarga-keluarga perlu terbuka pada keadaan masyarakat, negara dan Gereja. Untuk yang terakhir  dalam kedewasaan sikap ikut mendukung dan mengusahakan berkembangnya panggilan untuk membaktikan hidup sebagai imam, rohaniwan atau rohaniwati; keluarga adalah seminari pertama untuk panggilan.  (PKUKI no 8-15).

Gambaran perkembangan  keadaan perekonomian Indonesia dalam hal Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri yang dimulai sejak tahun 1968 yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 6, menunjukkan gerak perkembangan  yang menggembirakan. Jumlah permohonan yang sampai akhir tahun 1969/1970 baru mencapai  373 proyek dengan nilai investasi Rp 145,91 milyar, pada akhir tahun t970 telah mencapai jumlah 779 proyek dengan nilai investasi Rp 348,71 milyar.

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang   nomor 6 tahun 1967, kegiatan di bidang penanaman modal asing juga menunjukkan kenaikan. Antara 1967-1969 telah diterima permohonan PMA 217 proyek dengan nilai investasi sebesar AS $ 1.493.219. Pada tahun 1970 diterima tambahan  permohonan PMA 157 proyek dengan nilai investasi  AS $ 438,433.

Bersama dengan besaran APBN, investasi baik modal dalam negeri dan modal asing diharap dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Besaran APBN 1969 adalah Rp 263,7 milyar, meningkat jadi Rp 344,6 milyar untuk tahun 1970. Di dalamnya besaran penerimaan untuk pembangunan pada 1969 adalah Rp 65,7 milyar, naik 13,2% menjadi Rp 78,9 milyar pada tahun 1970. Dari jumlah itu komponen Tabungan Pemerintah dari  1969 dan 1970 masing-masing sebesar Rp 27,2 milyar dan Rp 56,4 milyar. Selebihnya bantuan luar negeri baik grant (hibah) maupun pinjaman lunak.

Revolusi hijau di Indonesia dalam rangka meningkatkan hasil tanaman pangan mulai menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Angka Produk Domestik Bruto yang menjadi ukuran pertumbuhan ekonomi pada tahun 1969 adalah Rp 2,7 trilyun menurut harga yang berlaku. Dihitung menurut harga konstan diwujudkan laju pertumbuhan 4,8% terhadap tahun sebelumnya. Pada tahun 1970 besaran Produk Domestik Bruto Indonesia Rp 3,2 trilyun. Laju pertumbuhan yang dicapai 5,2% dibanding tahun 1969 menurut harga konstan. Artinya Indonesia berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi yang disarankan PBB untuk dasawarsa 1960-an, pada awal dasawarsa baru 1970-an.

Geliat perkembangan perekonomian juga tampak dari jumlah pertumbuhan kendaraan jalan raya yang ada di seluruh Indonesia. Bertambahnya jumlah mobil mengisyaratkan meningkatnya kemudahan untuk mobilitas orang dan kegiatan, serta distribusi barang. Juga dari peningkatan jumlah armada laut dan penggunaannya

Situasi politik pada tahun 1970 diwarnai persiapan pemilihan umum yang akan diadakan tahun depan, 1971. Partai-partai politik membenahi diri dan menjalankan mesin kampanye.

Dalam ketetapan MPRS No.XI/MPRS/1966 sebenarnya pemerintah diamanatkan  melaksanakan Pemilihan Umum paling lambat tanggal 5 Juli 1968. Akan tetapi karena undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan Umum ini tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah bersama DPRGR tepat pada waktunya, maka pemilihan umum pun tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. MPRS dalam Sidang Umumnya yang kelima tahun 1968 selanjutnya menentukan agar Pemilihan Umum harus diselenggarakan dengan pemungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971 yang dituangkan dalam Tap MPRS No. XLII/MPRS/1968 dan pelaksanaannya diamanatkan kepada Presiden/Mandataris MPRS.

Pemilu 1971 akan menjadi Pemilu kedua dalam sejarah Indonesia; yang pertama kali diadakan di bawah UUD 1945, dan Pemilu pertama pada masa pemerintahan Orde Baru.

Presiden dengan Surat Keputusan No.43  tanggal 23 Mei 1970, telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam Pemilu legislatif dan anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi politik yang dapat ikut dalam Pemilu ialah partai politik yang pada saat Pemilu sudah ada dan diakui serta mempunyai wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu ialah 1. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), 2. Murba, 3. Nahdatul Ulama (NU), 4. Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam (PI Perti), 5. Partai Katolik, 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), 7. Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), 8. Partai Nasional Indonesia (PNI), 9. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Ditambahkan selain partai, organisasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam Pemilu ialah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Beberapa parpol pada Pemilu 1955 tak lagi ikut serta karena dibubarkan, seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Berbeda dari Pemilu 1955 yang menggunakan sistem proporsional, Pemilu legislatif 1971 menggunakan sistem tak langsung. Dengan demikian partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk sesuatu daerah. Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak dapat dijumlahkan dengan suara partai yang terkumpul di daerah lain. Dalam Pemilu 1971 diperebutkan 360 kursi, sedangkan 100 kursi disediakan untuk ABRI dan golongan serta utusan daerah  yang keanggotaannya dilakukan dengan pengangkatan. Dengan demikian seluruh anggota DPR pasca Pemilu 1971 nanti berjumlah 460 anggota.

Dalam bidang sosio-politik Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia (PKUKI) mengingatkan bahwa umat katolik mempunyai kewajiban yang sama dengan umat-umat yang lain, namun dengan cara memohon bimbingan Roh Kudus, dengan semangat Kristus mencintai semua orang, bekerja sama dengan pemerintah berusaha menyehatkan struktur-struktur politik agar dapat melancarkan pembangunan demi kesejahteraan segenap rakyat. Itu dikerjakan melalui peran masing-masing baik sebagai aparat negara (eksekutif dan yudikatif), sebagai anggota parlemen (legislatif, DPR/MPR), entah dalam organisasi atau golongan, dengan memperjuangkan kepentingan umum. Peranan itu terkait dengan semangat kewargaan yang baik atas nama pribadi dan kelompok, bukan atas nama Gereja. Orang katolik yang bekerja dalam pemerintahan diharapkan memperjuangkan manajemen terbuka dengan pengendalian secara teratur dan baik, membantu melancarkan proyek-proyek Pelita di bidang sosial-ekonomi produktif, mencegah dan mengatasi kemacetan  dengan penuh tanggungjawab. Dalam memperjuangkan kepentingan umum di atas kepentingan golongan, semua orang katolik diharapkan memperjuangkan tertib hukum sebagai kewajiban warga yang luhur demi ketertiban dan kelancaran hidup bersama dan pembangunan. Sikap main hakim sendiri tidak dibenarkan. Pemilihan umum adalah alat demokrasi untuk tujuan mencapai kesejahteraan umum. Diharapkan alat itu digunakan bersama-sama dengan baik, dilaksanakan sedemikian untuk kelancaran pembangunan  politik, menomor duakan golongan, demi tujuan primer kesejahteraan umum. Pemberantasan korupsi perlu menjadi prioritas dimulai dengan memper baiki mentalitas dan sikap pribadi, jujur dalam tindakan, tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan tidak melayani orang-orang yang mengajak berbuat korupsi.  Perlu diperjuangan kondisi yang tidak konduif bagi tindak korupsi dengan sistem gaji yang baik dan prosedur pengawasan dan pengendalian yang cukup memadai.  Pemerintah perlu didorong segera menyelesaikan masalah tahanan politik, mengikuti tertib hukum dan keadilan serta perikemanusiaan, jangan sampai orang menderita terlalu lama tanpa pemeriksaan apalagi keputusan yang adil. Sebagian menjadi tahanan hanya karena indikasi yang tidak mempunyai kekuatan hukum atau kenyataan faktual. Mereka menderita, keluarga mereka juga ikut menderita. Atas dasar kemanusiaan umat katolik di mana pun diharapkan tergerak oleh kasih memerhatikan nasib para tahanan politik dan keluarga mereka. Pemberantasan komunisme lebih tepat dilakukan dengan membangun masyarakat yang berkeadilan dan berperikemanusiaan tanpa kemunafikan. (PKUKI  27-36). 


(Bersambung Historiografi Gereja Katolik Indonesia 1971)