Bambang Kussriyanto
Pilot yang melakukan penerbangan malam menyebut teknik “terbang
buta”. Mereka tidak melihat semua yang di luar pesawat, melainkan fokus pada
alat-alat navigasinya. Mereka memastikan untuk mencapai tujuan dengan cara itu.
Begitu pula masinis kereta api yang membawa rangkaian keretanya memasuki
terowongan panjang. Visi terowongan hanyalah menjaga alat navigasi membawa
perjalanan ke mulut terowongan di depan sana di mana terang memancar memberi
cahaya cerah untuk semua.
Kepahitan hati atas rangkaian kemalangan dalam hidup dapat
membawa kita pada penyelesaian yang mudah: mati saja. Kita bisa berandai-andai
bahwa lebih baik mati dalam kandungan ibu dan jangan pernah dilahirkan dan
melihat cahaya, hanya untuk mengalami hidup penuh derita. Tetapi nyatanya kita
lahir dan hidup dan mendapatkan pengalaman hidup melalui penderitaan. Kita
mengalami gelap malam dan terowongan panjang dalam perjalanan hidup kita.
Sesungguhnya perjalanan hidup yang dikaruniakan pasti mempunyai tujuan, maka
yang diperlukan adalah berpegang pada tujuan itu. Perjalanan bergerak ke depan
dan tidak ada jalan berputar atau titik balik untuk kembali pada permulaan,
berandai-andai tidak dilahirkan. Pengalaman kegelapan hidup dan terowongan
derita memang bisa melahirkan sikap pesimis. Tetapi pilot dan masinis memberi
inspirasi kepada kita untuk terbang buta dan memberi visi terowongan yang fokus
pada tujuan perjalanan, selebihnya diserahkan kepada penyelenggaraan ilahi.
Yang diperlukan adalah kesabaran, yang tak jarang sangat luar biasa, ditopang
pengharapan iman yang menguatkan, dalam menanggung kegelapan dan lorong panjang
derita, agar sampai pada Sang Cahaya yang memberi hidup, Tuhan. Dalam kesabaran
dan pengharapan itu, kepahitan hati dapat dibuat tawar. Kegalauan jadi
ketenangan.
“Jangan takut. Ini Aku”, kata Yesus ketika para murid di
dalam perahu yang terombang-ambing dalam kegelapan, diancam badai dan
gelombang. Tuhan pada waktunya menenangkan badai dan membuat air menjadi
tenang, dan pagi datang membawa cahaya.