Sebelum
lahirnya filsafat, orang Yunani kuno mengkristalkan sebagian besar kebijakan
keagamaan dan psikologis ke dalam rangkaian mitologi. Salah satunya adalah
mitos tentang Narsisus.
Narsisus adalah putera dewa
sungai, Kefisus, dan seorang pemuda yang luarbiasa cakap dan tampan. Seorang
peri gunung, Ekho, jatuh kasmaran kepadanya, namun Narsisus dingin-dingin saja
sikapnya kepadanya. Pada akhirnya Ekho hanya melepaskan gaung suaranya sendiri
saja, karena cintanya tidak memeroleh tanggapan. Karena itu dewa Nemesis
bermaksud menghukum Narsisus karena ketampanannya dan membuat pemuda itu minum
di suatu kolam yang airnya seperti cermin memperlihatkan kepada Narsisus
bayangan dirinya sendiri.
Melihat
rupa dirinya sendiri, Narsisus begitu kagum sehingga iapun jatuh cinta pada
ketampanannya sendiri dan terobsesi pada keindahan dirinya. Maka, karena
terarah ke dalam dan lumpuh oleh obsesinya kepada diri sendiri, Narsisus
akhirnya menyusut dan menjadi sekuntum bunga yang dinamakan bunga Narsisus.
Psikologi aliran Freud mengolah
mitos ini dan sekarang menggunakan nama Narsisus itu menjadi suatu istilah
teknis di dalam psiko-analisis, narsisisme. Secara singkatnya, narsisisme
berarti kesibukan atas diri sendiri (mematut diri) yang berlebihan.
Kurang lebih ada kesepadanan
yang dengan tepat melukiskan sikap batin zaman sekarang ini sebagai suatu narsisisme.
Kendati mungkin bukan suatu generasi yang jatuh cinta pada diri sendiri secara
berlebihan, tak dapat disangkal, kita adalah generasi yang kenes centil
terobsesi pada diri sendiri. Ada banyak sekali bacaan yang menganalisis secara
sangat detil masalah ini namun tidaklah perlu kita buat ikhtisarnya di sini.
Untuk kepentingan kita cukupnya disajikan suatu contoh saja.
Pertama-tama kita lihat
narsisisme ini berada dalam kecenderungan kita kepada individualisme, dan yang
berhubungan dengan itu adalah ketidakmampuan kita menyadari secara sehat dan prihatin
akan realitas di luar hidup pribadi. Suatu ilustrasi yang sederhana berkenaan
dengan kegiatan bimbingan kursus persiapan perkawinan. Kursus ini bagi mereka
yang mengikuti, merupakan prasyarat untuk menikah di dalam gereja. Maka, banyak
di antara peserta kursus itu bukan karena keinginan mereka sendiri. Di dalam
sesi kami, kami harus berjuang mengatasi berbagai keberatan mereka. Kebanyakan
dari keberatan mereka tidak menyangkut topik pembicaraannya, yaitu hakekat
perkawinan. Namun yang kemudian tampak, keberatan utama mereka (seringnya
dengan sikap bermusuh) selalu mengenai kursus itu: “Mengapa kami harus
mengikuti kursus ini? Mengapa gereja dan masyarakat campur tangan dalam urusan
perkawinan-ku? Perkawinan-ku adalah urusan-ku, bukan urusan mereka. Ini hidup-ku, cinta-ku, seks-ku, bulan madu-ku, masa depan-ku,
urusan-ku sendiri!”
Pertanyaan dan keberatan itu sebenarnya
tidak salah; muncul karena kursus itu dirasa bertabrakan dengan sikap individualistis,
suatu sikap-rasa yang kurang memerhitungkan kebersamaan, kurangnya cita-rasa
akan realitas di luar masalah pribadi, yang pada ujungnya sangat tidak sehat.
Keberatan seperti itu banyak terdengar dari mereka yang lebih mengikuti sikap filsuf
rasionalis René Descartes dari pada sikap dari murid-murid Yesus Kristus.
Ketika René Descartes, 1596-1650, mencari-cari suatu titik tolak yang tak dapat
dibantah untuk filsafatnya, ia meragukan realitas apapun dan sampai pada suatu
realitas yang tak terbantahkan : “Aku
berfikir, karena itu aku ada!” (Cogito,
ergo sum). Dalam pemikiran Descartes, yang paling pasti, yang kita ketahui
sebagai yang kenyataan, adalah diri kita sendiri. Kita pasti hanya mimpi
tentang yang lain-lain.
Mendengarkan keberatan anak-anak
muda itu rasanya bagaikan mendengar suara gema, gaung, ekho, suara kesepian
dari Descartes yang sedang meragukan realitas apa pun di luar dunia pribadinya
sendiri: “Aku berpikir, maka aku ada... sakit hati-ku, pusing kepala-ku,
luka-ku, masalah-ku, kekurangan uang-ku
yang kronis, kredit rumah-ku,
pekerjaan-ku, kecemasan-ku adalah nyata. Kehidupan orang lain
dan komunitas yang lebih besar serta persoalan mereka adalah tidak nyata!”
Pemusatan perhatian pada diri
sendiri seperti ini tidak mengherankan dan bukan sesuatu yang khas dari zaman
kita. Struktur kepribadian manusia sebagai suatu pusat dari kesadaran-diri
telah membuat kita pada dasarnya bersifat narsistis. Kebanyakan pengalaman masa
kecil kita menambah sifat ini lebih jauh lagi. Realitas diri kita sendiri
selalu paling utama. Bagi diri kita, kitalah yang selalu amat sangat sungguh
nyata. Namun sekarang, ada sekumpulan hal yang membantu mengintensifkan
kecenderungan alamiah kita untuk bersibuk-sibuk dengan diri sendiri hingga kita
secara tidak sehat terobsesi dengan (dan terjebak di dalam) diri kita sendiri.
Narsisisme ini, dalam kaitan dengan
pengaruhnya yang merugikan, kini disifatkan oleh empat fitur pokok:
i)
Ketidakmampuan mengenali secukupnya realitas dari yang
lain.
Sifat
ini sangat jelas dalam contoh di atas. Anak-anak muda dengan berbagai keberatan
mereka (Ini adalah perkawinan-ku, ini
bukan urusan orang lain!), adalah anak-anak dari budaya kita, inkarnasi dari
sikap-sikap dasarnya. Pada mereka itu kita melihat pergumulan kita sendiri
untuk memerhatian yang lain, dunia di luar diri kita, yang sama nyatanya dengan
diri kita sendiri.
ii)
Naluri “yuppie” bagi mutu kehidupan
Sudah
dari akhir 1980-an kita menyaksikan fenomena yang disebut yuppie*. Istilah in terkesan
bukan sesuatu yang serius. Gejala ini tadinya merupakan perkembangan yang makin
penting dalam budaya Barat. Tetapi kemudian mendunia. Apa itu yuppie?[i]
Kita mengarahkan hidup lebih
dengan mitos tanpa sadar dan condong dengan perasaan, ketimbang dengan siatu
sikap rasional, dan dengan demikian kita memahami istilah yuppie dari empat slogan yang berasal dari gaya hidup lapisan
masyarakat ini, yaitu: Mutu Hidup,
Mobilitas ke Atas, Pengejaran Keunggulan, dan Kenyamanan Material.
Mitologi yang tidak disadari itu
(namun dalam banyak kasus disadari juga) menggerakkan orang, agar sukses, naik
pangkat dengan cepat, menjadi kaya, punya tubuh yang indah, berpakaian serba
gaya, punya barang-barang mewah dan nyaman, secara optimal memeroleh segala
sesuatu sebisa mungkin dalam jangkauan kita yang terbatas, secara mudah. Dalam
banyak hal semua ini membentuk ambisi yang tak kenal malu dan hasrat yang
dinyatakan secara terbuka, blak-blakan dalam bicara, meninggalkan sopan-santun
serta basa basi. Bagian yang penting dari kualitas seorang yuppie adalah keunggulan atas yang lain.*
Semua ini tidak buruk dan
bukannya hal baru. Orang selalu menginginkan semua ini dan ada berbagai mitos
dari masa lalu sulit dibedakan dalam hal ini (yaitu dari miskin menjadi kaya
raya, kerja keras dan memeroleh kemajuan). Begitu juga, tidak ada yang bersifat
imoral dalam semua ini, dan tekanan pada keunggulanpun bukan sesuatu yang perlu
ditentang secara profetis. Yang baru, yang kurang bermoral, dan yang
membutuhkan tantangan profetis adalah sikap yuppie
bahwa di sini pengejaran akan keunggulan dan mutu kehidupan itu dikaitkan
dengan filsafat hidup yang eksplisit yang di dalamnya terkandung individualisme
yang liar, mementingkan diri sendiri dan pengembangan sikap idiosinkratis yang tidak peduli pada
orang lain yang secara luas dianggap sebagai kehebatan. Pendek kata
perkembangan pribadi menjadi sumber keselamatan. Dalam bahasa Yunani, idio berarti gerakan ke dalam diri
sendiri. Apa yang dipupuk dan dikembangkan kaum yuppie baik di dalam dirinya maupun pada masyarakat adalah gerakan
yang tertuju pada diri sendiri. Pengembangan diri itu dilakukan dengan ngotot menjadi
semacam askese yang dulunya diterapkan dalam agama, karena bagi kaum yuppie, pengembangan diri adalah
keselamatan, maka suatu proyeksi yang bersifat religius.
Seberapa pengaruhnya cita-cita
kaum yuppie itu jelas dalam banyak cara. Di antaranya, dari apa yang kita baca
dan apa yang kita kagumi.
Jika kita melakukan penelitian
atas buku-buku non-fiksi yang paling laris dalam tahun-tahun belakangan ini,
maka dapat kita lihat dengan jelas daftar ini penuh dengan buku-buku mengenai
prestasi, buah imbalan keberhasilan, kualitas gaya hidup, pengejaran
keunggulan. Kita juga melihat kecenderungan untuk menjadi kaya dan terkenal.
Neil Postman* dalam buku Amusing Ourselves to Death melukiskan
permulaannya di tahun 1983 di Universitas Yale. Waktu itu beberapa gelar doktor
kehormatan (honoris causa) diberikan
kepada beberapa orang, satu di antaranya untuk Ibu Teresa. Ketika beliau dan
yang lain-lain secara bergiliran menerima tanda gelar kehormatan, para hadirin
memberi tepuk tangan wajar, tetapi menurut Postman, lalu ada perubahan yang
ditahan dengan rasa tidak sabar, “karena hadirin mau memberikan hatinya kepada
penerima gelar terakhir yang sedang menunggu dengan malu-malu di sebelah”.
Ketika riwayat hidup wanita penerima gelar doktor kehormatan itu dibacakan,
kebanyakan hadirin berdiri dari kursinya dan maju mendekati panggung. Akhirnya,
ketika nama penerima doktor kehormatan yang terakhir itu disebutkan, Meryll
Streep, “hadirin meledak dengan suka cita, begitu kerasnya sehingga bisa
membangunkan orang mati di New Haven”[ii]. Sambutan ini
bukan dimaksudkan sebagai suatu kritikan kepada Merryl Streep. Dia memang seorang
aktris hebat dalam segala hal, dan orang yang sangat hebat**.
Hal yang mencolok dalam kejadian itu adalah reaksi para hadirin itu sendiri. Di
dalam tanggapan mereka itu, tampak ciri tanggapan yang khas dalam budaya kita, menunjukkan
apa yang sangat mereka nilai tinggi.
Pada akhirnya, narsisisme ini
mungkin bukan seperti yang diuraikan dalam buku-buku teks, namun yang pasti
seperti yang dikenali oleh Freud. Kita adalah suatu budaya yang sangat lekat
dengan idiosinkratik, memuja diri
tanpa memerhatikan orang lain.
iii)
Gerak menuju ke arah ranah privat (pribadi) yang
berlebihan
Salah
satu ciri dari narsisisme adalah gerak menuju privacy yang berlebihan. Jika kita lihat budaya kita, kita dapatkan
gerak yang tak pernah berhenti menuju perluasan ranah pribadi yang tampak dalam
segala segi kehidupan. Bagi kita adalah ideal mempunyai mobil pribadi, kantor
pribadi, rumah pribadi; dan kemudian di dalam rumah itu ada kamar pribadi,
kamar-mandi pribadi, telepon pribadi, sistem stereo pribadi, televisi pribadi
dan rekaman video (film) pribadi.
Mungkin suatu gambaran yang
paling tepat melukiskan gerak yang berlebihan menuju ranah pribadi yang
berlebihan itu adalah seorang pembelanja di suatu supermarket yang padat dengan
mengenakan headset pada telinganya. Kendari
jelas-jelas berada di ruang publik dan punya potensi sosial, orang membalik
orientasinya lebih tertuju ke dalam dunia pribadinya sendiri. Bicara soal idiosinkratik atau mundur masuk ke dalam
ranah dunia pribadi!
Hukum yang sangat ideal di dalam
kebanyakan budaya Barat menentang tuntutan akan privacy yang berlebihan ini. Bagi kebanyakan dari kita, hukum dan
ketertiban yang paling ideal adalah Pax
Romanum, yaitu hukum seharusnya cukup memelihara ketertiban umum sehingga
setiap orang dan semuanya dapat melaksanakan kepentingan pribadinya. Di Barat
dengan standar inilah dirumuskan Hak Asasi Manusia.
Lagi-lagi tak ada yang pada
dasarnya keliru dengan hak-hak khusus pribadi (privacy). Tak ada seorang pun yang bisa mencapai kematangan dan
tetap di sana tanpa keseimbangan antara interaksi sosial dengan hak-hak khusus
pribadi. Yang jadi masalah hanyalah kebutuhan akan hal-hal pribadi yang
berlebih-lebihan. Jika hal ini tidak terkendali, maka interaksi sosial yang
bermakna lalu berkurang dan semakin terbukalah jalannya menuju suatu dunia yang
terdiri dari proyek-proyek pribadi, impian dan fantasi pribadi. Narsisisme
tumbuh makin kuat ketika interaksi sosial yang bermakna tidak memadai dan
kurang mampu menarik kita keluar dari kungkungan hal-hal yang bersifat pribadi
dan menyadari bahwa realitas yang ada di luar diri kita sama nyatanya dengan
kita. Gerak yang semakin besar menuju dunia yang pribadi ini merupakan gejala
sekaligus sebab dari narsisisme.
iv)
Ketidakmampuan bertindak untuk suatu tujuan yang
melampaui kepentingan diri sendiri
Di
dalam budaya barat sekarang orang makin lama makin sibuk dengan dunia di dalam
dirinya sendiri sehingga sulit bagi untuk bergerak bagi sesuatu yang di luar
hal-hal yang kita anggap penting bagi diri sendiri.
Sosiolog Robert Bellah* memberikan suatu contoh yang hebat
sekali tentang ini. Ia memulai bukunya yang bagus, Habits of the Heart[iii], dengan
cerita tentang Brian, seorang pengusaha muda dari California. Brian adalah
orang yang menuruti pemikirannya sendiri mengubah sistem nilai dirinya setelah
mengalami trauma perceraian. Sebagai anak muda ia tadinya mengejar kenikmatan:
“berantem, membuat keributan dan seks”. Kemudian ia menikah, menjadi mapan,
mendapat pekerjaan dengan tanggungjawab besar, dan menjadi ayah dari tiga orang
anak. Walaupun baginya perkawinannya tidak menyedihkan, namun perkawinan bukan
fokus hidupnya. Ia lebih mementingkan pekerjaan dan karir. Ia bekerja antara
65-70 jam seminggu dan jarang libur akhir pekan. Karirnya meroket, tapi
perkawinannya runtuh. Pada suatu malam ketika ia pulang ke rumah, didapatinya
rumah itu dalam keadaan kosong. Isterinya meninggalkan dia.
Perceraian itu sangat
mengguncangkan jiwanya. Ia tidak terbiasa menerima kegagalan macam apa pun, dan
kegagalan perkawinan itu mendorongnya terperosok ke dalam suatu krisis yang
akhirnya membuatnya mengubah prioritas secara radikal. Ketika pada akhirnya ia
menikah lagi, perkawinan dan keluarga menjadi sesuatu yang sangat berbeda
baginya. Jika sebelumnya ia mengorbankan segala sesuatu demi pekerjaan, karir
dan perusahaan, sekarang hidupnya pertama-tama adalah untuk keluarga. Jika ada
sesuatu yang sekarang harus dikurbankan, pekerjaanlah yang kini diubahnya.
Brian sekarang bahagia dan punya suatu daya kekuatan dan semangat yang berasal
dari keluarga dan dari prioritasnya yang baru. Kehidupan keluarga sekarang
menjadi pusat hidupnya dan dari situ ia mendapatkan energi dan makna.
Dari berbagai segi cerita, kisah
ini seperti pertobatan. Perbedaannya terasa, seperti yang ditunjukkan oleh
Bellah, ketika Brian mencoba menjelaskan mengapa hidupnya saat ini lebih baik
dari yang terdahulu. Pada akhirnya alasan yang dikemukakannya atas apa yang
dilakukannya sekarang, dan yang diyakininya sungguh berharga, hanyalah sedikit saja bedanya dari alasannya dulu
dalam mengejar kesenangan sebagai remaja dan dalam mengejar keberhasilan bisnis
sebagai anak muda – tapi yang sekarang ini membuatnya merasa nyaman. Pendek
kata, jika ia dulu mengejar apa yang dianggapnya tepat bagi dirinya sendiri, sekarang
pun ia masih sama, mengejar apa yang dianggapnya baik bagi dirinya sendiri.
Orang luar tentu saja bisa
menunjukkan bahwa secara umum dari struktur sosial seluruhnya, gaya hidupnya
dan nilai-nilai yang sekarang dianutnya adalah lebih menguntungkan secara
keseluruhan dibanding dengan yang dulu. Namun pada akhirnya bukan itu tujuannya
dalam mengubah gaya hidup dan menyesuaikan prioritas-prioritasnya. Pada
akhirnya, kriteria pembenaran gaya hidupnya yang sekarang ini masih sama dengan
kriteria pembenaran di masa lalu, yaitu pilihan untuk mengutamakan kepentingan
diri sendiri. Ia hanya mempedulikan/melakukan urusannya sendiri saja.
Berkenaan dengan ini semua
seseorang mungkin bertanya: Bagaimana hal ini punya pengaruh yang merugikan hidup
rohani? Akibat dari narsisisme yang berlebihan dapat disebutkan dengan mudah.
Jika kita berhadapan dengan realitas dan sibuk dengan diri sendiri, kita hanya
melihat sedikit hal yang berharga dari apa yang sesungguhnya tampak di situ.
Selain itu apa yang sebenarnya kita lihat juga terganggu dan terbentuk oleh
kepentingan diri sendiri. Ini dapat dilukiskan dengan contoh sederhana.
Bayangkanlah anda sedang
berjalan-jalan di sebuah hutan yang indah pada suatu hari yang baik di musim
panas. Bumi terang benderang karena api (matahari) dari Tuhan dan pemandangan, bunyi-bunyian, aroma semuanya
bisa menggugah anda untuk ingin melepaskan kasut anda di hadapan semak yang
bernyala. Namun pikiran dan hati anda sungguh sedang terluka dan terobsesi
karena anda sedang mabuk kepayang kepada seseorang dan merasa menderita karena
pujaan anda itu menolak diri anda. Maka anda senyatanya tidak melihat semua
yang ada dalam perjalanan anda itu, bukan hanya tidak melihat semua keindahan
dan alam ciptaan, namun yang lain-lainnya juga. Anda terbelenggu dalam diri
anda sendiri, terobsesi oleh puja-asmara, tertusuk oleh luka hati nan penuh
duka lara, terus menerus memutar ulang rekaman wacana masa lalu dan masa
mendatang di kepala anda, berbagai kemungkinan dan berbagai fantasi. Walaupun
anda sebenarnya sedang melihat, mendengar dan mencium aroma keindahan dan alam,
anda sama saja dengan berjalan-jalan di tempat parkir mobil, atau di tempat pembuangan
sampah. Anda terbenam di dalam dunia batin yang realitas obsesifnya menyerap
semua kesadaran anda. Dunia luar sama sekali tidak berdaya untuk memasuki dan
menarik perhatian anda. Bagi anda, realitas sudah anda susutkan hingga mencapai
ukuran, bentuk, dan warna menurut dunia batin anda sendiri.
Gambaran seseorang yang
terobsesi yang sedang berjalan-jalan di tengah alam keindahan dan buta terhadap
semua yang ada itu melukiskan bagaimana narsisisme menjadi antitesis (lawan)
dari kontemplasi. Ini juga merupakan gambaran dari pergumulan budaya kita dalam
melihat Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita sungguh-sungguh sibuk
memikirkan persoalan dan duka lara kita sendiri, kita cenderung tidak melihat
apa pun yang lain di luar itu semua. Cerapan indera kita atas realitas merosot
karenanya dan tidaklah mengherankan jika kemudian kita sulit memercayai
realitas Tuhan sabda dan tindakanNya, karena kita mengalami kesulitan dalam
mencerap realitas apa pun di luar diri kita sendiri.
Ron Rolheiser OMI
* Orang-orang muda profesional yang
melejit naik dengan cepat memanjat tangga karir karena kemampuan yang lebih
baik dan adanya kesempatan (terutama karena sistem perekrutan tenaga kerja
dengan cara membajak), seperti bajing loncat berpindah-pindah lembaga tempat
kerja, mencari yang mampu memberi pangkat, tantangan, gaji, kemudahan yang
lebih besar dan tangga karir yang lebih panjang, dan mempunyai gaya hidup
tertentu yang mewah.
* Pengaruh budaya pengejaran
keunggulan (manajerial) dalam persaingan yang ketat di kalangan bisnis (In Search of Excellence).
* Neil Postman (1931-2003) adalah seorang
profesor, teoritisi media, dan kritikus budaya pada Universitas New York.
** Merryl Streep (lahir tahun 1949), pada waktu itu
sudah memeroleh sebutan sebagai aktris pemeran terbaik dari berbagai kalangan
penghargaan seperti Academy Awards (dalam film Sophie Choice, 1982, dan Kramer
vs Kramer, 1979), BAFTA Award (1981, dalam film The French Leutenant’s Woman), Emmy Awards (dalam miniseri Holocaust, 1978), Golden Globe Awards (Sophie Choice, 1983, The French Leutenant’s Woman, 1982),
dll.
* Profesor
emeritus sosiologi pada Universitas California, Berkeley (lahir 1927)
[i] YUP
adalah singkatan dari Young
Upwardly-mobile Person. Akhiran –(p)ie adalah imbuhan untuk membentuk kata baru
yang menunjukkan sebutan informal dengan muatan rasa sayang, Yup+(p)ie.
[ii] Neil
Postman, Amusing Ourselves to Death,
Public Discourse in the Age of Show
Business, NY, Penguin Books, 1985, hal 96-97.
[iii] Robert Bellah, Richard Madsen,
William Sullivan, Ann Swidler dan Steven Tipton, Habits of the Heart, Individualism and Commitment in American Life,
San Francisco, Harper & Row, 1985 hal 3-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar