Daftar Blog Saya

Rabu, 05 Oktober 2022

Narsisisme kita

 


Sebelum lahirnya filsafat, orang Yunani kuno mengkristalkan sebagian besar kebijakan keagamaan dan psikologis ke dalam rangkaian mitologi. Salah satunya adalah mitos tentang Narsisus.

                Narsisus adalah putera dewa sungai, Kefisus, dan seorang pemuda yang luarbiasa cakap dan tampan. Seorang peri gunung, Ekho, jatuh kasmaran kepadanya, namun Narsisus dingin-dingin saja sikapnya kepadanya. Pada akhirnya Ekho hanya melepaskan gaung suaranya sendiri saja, karena cintanya tidak memeroleh tanggapan. Karena itu dewa Nemesis bermaksud menghukum Narsisus karena ketampanannya dan membuat pemuda itu minum di suatu kolam yang airnya seperti cermin memperlihatkan kepada Narsisus bayangan dirinya sendiri.

Melihat rupa dirinya sendiri, Narsisus begitu kagum sehingga iapun jatuh cinta pada ketampanannya sendiri dan terobsesi pada keindahan dirinya. Maka, karena terarah ke dalam dan lumpuh oleh obsesinya kepada diri sendiri, Narsisus akhirnya menyusut dan menjadi sekuntum bunga yang dinamakan bunga Narsisus.

                Psikologi aliran Freud mengolah mitos ini dan sekarang menggunakan nama Narsisus itu menjadi suatu istilah teknis di dalam psiko-analisis, narsisisme. Secara singkatnya, narsisisme berarti kesibukan atas diri sendiri (mematut diri) yang berlebihan.

                Kurang lebih ada kesepadanan yang dengan tepat melukiskan sikap batin zaman sekarang ini sebagai suatu narsisisme. Kendati mungkin bukan suatu generasi yang jatuh cinta pada diri sendiri secara berlebihan, tak dapat disangkal, kita adalah generasi yang kenes centil terobsesi pada diri sendiri. Ada banyak sekali bacaan yang menganalisis secara sangat detil masalah ini namun tidaklah perlu kita buat ikhtisarnya di sini. Untuk kepentingan kita cukupnya disajikan suatu contoh saja.

                Pertama-tama kita lihat narsisisme ini berada dalam kecenderungan kita kepada individualisme, dan yang berhubungan dengan itu adalah ketidakmampuan kita menyadari secara sehat dan prihatin akan realitas di luar hidup pribadi. Suatu ilustrasi yang sederhana berkenaan dengan kegiatan bimbingan kursus persiapan perkawinan. Kursus ini bagi mereka yang mengikuti, merupakan prasyarat untuk menikah di dalam gereja. Maka, banyak di antara peserta kursus itu bukan karena keinginan mereka sendiri. Di dalam sesi kami, kami harus berjuang mengatasi berbagai keberatan mereka. Kebanyakan dari keberatan mereka tidak menyangkut topik pembicaraannya, yaitu hakekat perkawinan. Namun yang kemudian tampak, keberatan utama mereka (seringnya dengan sikap bermusuh) selalu mengenai kursus itu: “Mengapa kami harus mengikuti kursus ini? Mengapa gereja dan masyarakat campur tangan dalam urusan perkawinan-ku? Perkawinan-ku adalah urusan-ku, bukan urusan mereka. Ini hidup-ku, cinta-ku, seks-ku, bulan madu-ku, masa depan-ku, urusan-ku sendiri!”

                Pertanyaan dan keberatan itu sebenarnya tidak salah; muncul karena kursus itu dirasa bertabrakan dengan sikap individualistis, suatu sikap-rasa yang kurang memerhitungkan kebersamaan, kurangnya cita-rasa akan realitas di luar masalah pribadi, yang pada ujungnya sangat tidak sehat. Keberatan seperti itu banyak terdengar dari mereka yang lebih mengikuti sikap filsuf rasionalis RenĂ© Descartes dari pada sikap dari murid-murid Yesus Kristus. Ketika RenĂ© Descartes, 1596-1650, mencari-cari suatu titik tolak yang tak dapat dibantah untuk filsafatnya, ia meragukan realitas apapun dan sampai pada suatu realitas yang tak terbantahkan : “Aku berfikir, karena itu aku ada!” (Cogito, ergo sum). Dalam pemikiran Descartes, yang paling pasti, yang kita ketahui sebagai yang kenyataan, adalah diri kita sendiri. Kita pasti hanya mimpi tentang yang lain-lain.

                Mendengarkan keberatan anak-anak muda itu rasanya bagaikan mendengar suara gema, gaung, ekho, suara kesepian dari Descartes yang sedang meragukan realitas apa pun di luar dunia pribadinya sendiri: “Aku berpikir, maka aku ada... sakit hati-ku, pusing kepala-ku, luka-ku, masalah-ku, kekurangan uang-ku yang kronis, kredit rumah-ku, pekerjaan-ku, kecemasan-ku adalah nyata. Kehidupan orang lain dan komunitas yang lebih besar serta persoalan mereka adalah tidak nyata!”

                Pemusatan perhatian pada diri sendiri seperti ini tidak mengherankan dan bukan sesuatu yang khas dari zaman kita. Struktur kepribadian manusia sebagai suatu pusat dari kesadaran-diri telah membuat kita pada dasarnya bersifat narsistis. Kebanyakan pengalaman masa kecil kita menambah sifat ini lebih jauh lagi. Realitas diri kita sendiri selalu paling utama. Bagi diri kita, kitalah yang selalu amat sangat sungguh nyata. Namun sekarang, ada sekumpulan hal yang membantu mengintensifkan kecenderungan alamiah kita untuk bersibuk-sibuk dengan diri sendiri hingga kita secara tidak sehat terobsesi dengan (dan terjebak di dalam) diri kita sendiri.

                Narsisisme ini, dalam kaitan dengan pengaruhnya yang merugikan, kini disifatkan oleh empat fitur pokok:

i)                    Ketidakmampuan mengenali secukupnya realitas dari yang lain.

Sifat ini sangat jelas dalam contoh di atas. Anak-anak muda dengan berbagai keberatan mereka (Ini adalah perkawinan-ku, ini bukan urusan orang lain!), adalah anak-anak dari budaya kita, inkarnasi dari sikap-sikap dasarnya. Pada mereka itu kita melihat pergumulan kita sendiri untuk memerhatian yang lain, dunia di luar diri kita, yang sama nyatanya dengan diri kita sendiri.



ii)                   Naluri “yuppie” bagi mutu kehidupan

Sudah dari akhir 1980-an kita menyaksikan fenomena yang disebut yuppie*. Istilah in terkesan bukan sesuatu yang serius. Gejala ini tadinya merupakan perkembangan yang makin penting dalam budaya Barat. Tetapi kemudian mendunia. Apa itu yuppie?[i]

                Kita mengarahkan hidup lebih dengan mitos tanpa sadar dan condong dengan perasaan, ketimbang dengan siatu sikap rasional, dan dengan demikian kita memahami istilah yuppie dari empat slogan yang berasal dari gaya hidup lapisan masyarakat ini, yaitu: Mutu Hidup, Mobilitas ke Atas, Pengejaran Keunggulan, dan Kenyamanan Material.

                Mitologi yang tidak disadari itu (namun dalam banyak kasus disadari juga) menggerakkan orang, agar sukses, naik pangkat dengan cepat, menjadi kaya, punya tubuh yang indah, berpakaian serba gaya, punya barang-barang mewah dan nyaman, secara optimal memeroleh segala sesuatu sebisa mungkin dalam jangkauan kita yang terbatas, secara mudah. Dalam banyak hal semua ini membentuk ambisi yang tak kenal malu dan hasrat yang dinyatakan secara terbuka, blak-blakan dalam bicara, meninggalkan sopan-santun serta basa basi. Bagian yang penting dari kualitas seorang yuppie adalah keunggulan atas yang lain.*

                Semua ini tidak buruk dan bukannya hal baru. Orang selalu menginginkan semua ini dan ada berbagai mitos dari masa lalu sulit dibedakan dalam hal ini (yaitu dari miskin menjadi kaya raya, kerja keras dan memeroleh kemajuan). Begitu juga, tidak ada yang bersifat imoral dalam semua ini, dan tekanan pada keunggulanpun bukan sesuatu yang perlu ditentang secara profetis. Yang baru, yang kurang bermoral, dan yang membutuhkan tantangan profetis adalah sikap yuppie bahwa di sini pengejaran akan keunggulan dan mutu kehidupan itu dikaitkan dengan filsafat hidup yang eksplisit yang di dalamnya terkandung individualisme yang liar, mementingkan diri sendiri dan pengembangan sikap idiosinkratis yang tidak peduli pada orang lain yang secara luas dianggap sebagai kehebatan. Pendek kata perkembangan pribadi menjadi sumber keselamatan. Dalam bahasa Yunani, idio berarti gerakan ke dalam diri sendiri. Apa yang dipupuk dan dikembangkan kaum yuppie baik di dalam dirinya maupun pada masyarakat adalah gerakan yang tertuju pada diri sendiri. Pengembangan diri itu dilakukan dengan ngotot menjadi semacam askese yang dulunya diterapkan dalam agama, karena bagi kaum yuppie, pengembangan diri adalah keselamatan, maka suatu proyeksi yang bersifat religius.

                Seberapa pengaruhnya cita-cita kaum yuppie itu jelas dalam banyak cara. Di antaranya, dari apa yang kita baca dan apa yang kita kagumi.

                Jika kita melakukan penelitian atas buku-buku non-fiksi yang paling laris dalam tahun-tahun belakangan ini, maka dapat kita lihat dengan jelas daftar ini penuh dengan buku-buku mengenai prestasi, buah imbalan keberhasilan, kualitas gaya hidup, pengejaran keunggulan. Kita juga melihat kecenderungan untuk menjadi kaya dan terkenal. Neil Postman* dalam buku Amusing Ourselves to Death melukiskan permulaannya di tahun 1983 di Universitas Yale. Waktu itu beberapa gelar doktor kehormatan (honoris causa) diberikan kepada beberapa orang, satu di antaranya untuk Ibu Teresa. Ketika beliau dan yang lain-lain secara bergiliran menerima tanda gelar kehormatan, para hadirin memberi tepuk tangan wajar, tetapi menurut Postman, lalu ada perubahan yang ditahan dengan rasa tidak sabar, “karena hadirin mau memberikan hatinya kepada penerima gelar terakhir yang sedang menunggu dengan malu-malu di sebelah”. Ketika riwayat hidup wanita penerima gelar doktor kehormatan itu dibacakan, kebanyakan hadirin berdiri dari kursinya dan maju mendekati panggung. Akhirnya, ketika nama penerima doktor kehormatan yang terakhir itu disebutkan, Meryll Streep, “hadirin meledak dengan suka cita, begitu kerasnya sehingga bisa membangunkan orang mati di New Haven”[ii]. Sambutan ini bukan dimaksudkan sebagai suatu kritikan kepada Merryl Streep. Dia memang seorang aktris hebat dalam segala hal, dan orang yang sangat hebat**. Hal yang mencolok dalam kejadian itu adalah reaksi para hadirin itu sendiri. Di dalam tanggapan mereka itu, tampak ciri tanggapan yang khas dalam budaya kita, menunjukkan apa yang sangat mereka nilai tinggi.

                Pada akhirnya, narsisisme ini mungkin bukan seperti yang diuraikan dalam buku-buku teks, namun yang pasti seperti yang dikenali oleh Freud. Kita adalah suatu budaya yang sangat lekat dengan idiosinkratik, memuja diri tanpa memerhatikan orang lain.

iii)                 Gerak menuju ke arah ranah privat (pribadi) yang berlebihan

Salah satu ciri dari narsisisme adalah gerak menuju privacy yang berlebihan. Jika kita lihat budaya kita, kita dapatkan gerak yang tak pernah berhenti menuju perluasan ranah pribadi yang tampak dalam segala segi kehidupan. Bagi kita adalah ideal mempunyai mobil pribadi, kantor pribadi, rumah pribadi; dan kemudian di dalam rumah itu ada kamar pribadi, kamar-mandi pribadi, telepon pribadi, sistem stereo pribadi, televisi pribadi dan rekaman video (film) pribadi.

                Mungkin suatu gambaran yang paling tepat melukiskan gerak yang berlebihan menuju ranah pribadi yang berlebihan itu adalah seorang pembelanja di suatu supermarket yang padat dengan mengenakan headset pada telinganya. Kendari jelas-jelas berada di ruang publik dan punya potensi sosial, orang membalik orientasinya lebih tertuju ke dalam dunia pribadinya sendiri. Bicara soal idiosinkratik atau mundur masuk ke dalam ranah dunia pribadi!

                Hukum yang sangat ideal di dalam kebanyakan budaya Barat menentang tuntutan akan privacy yang berlebihan ini. Bagi kebanyakan dari kita, hukum dan ketertiban yang paling ideal adalah Pax Romanum, yaitu hukum seharusnya cukup memelihara ketertiban umum sehingga setiap orang dan semuanya dapat melaksanakan kepentingan pribadinya. Di Barat dengan standar inilah dirumuskan Hak Asasi Manusia.

                Lagi-lagi tak ada yang pada dasarnya keliru dengan hak-hak khusus pribadi (privacy). Tak ada seorang pun yang bisa mencapai kematangan dan tetap di sana tanpa keseimbangan antara interaksi sosial dengan hak-hak khusus pribadi. Yang jadi masalah hanyalah kebutuhan akan hal-hal pribadi yang berlebih-lebihan. Jika hal ini tidak terkendali, maka interaksi sosial yang bermakna lalu berkurang dan semakin terbukalah jalannya menuju suatu dunia yang terdiri dari proyek-proyek pribadi, impian dan fantasi pribadi. Narsisisme tumbuh makin kuat ketika interaksi sosial yang bermakna tidak memadai dan kurang mampu menarik kita keluar dari kungkungan hal-hal yang bersifat pribadi dan menyadari bahwa realitas yang ada di luar diri kita sama nyatanya dengan kita. Gerak yang semakin besar menuju dunia yang pribadi ini merupakan gejala sekaligus sebab dari narsisisme.

iv)                 Ketidakmampuan bertindak untuk suatu tujuan yang melampaui kepentingan diri sendiri

Di dalam budaya barat sekarang orang makin lama makin sibuk dengan dunia di dalam dirinya sendiri sehingga sulit bagi untuk bergerak bagi sesuatu yang di luar hal-hal yang kita anggap penting bagi diri sendiri.

                Sosiolog Robert Bellah* memberikan suatu contoh yang hebat sekali tentang ini. Ia memulai bukunya yang bagus, Habits of the Heart[iii], dengan cerita tentang Brian, seorang pengusaha muda dari California. Brian adalah orang yang menuruti pemikirannya sendiri mengubah sistem nilai dirinya setelah mengalami trauma perceraian. Sebagai anak muda ia tadinya mengejar kenikmatan: “berantem, membuat keributan dan seks”. Kemudian ia menikah, menjadi mapan, mendapat pekerjaan dengan tanggungjawab besar, dan menjadi ayah dari tiga orang anak. Walaupun baginya perkawinannya tidak menyedihkan, namun perkawinan bukan fokus hidupnya. Ia lebih mementingkan pekerjaan dan karir. Ia bekerja antara 65-70 jam seminggu dan jarang libur akhir pekan. Karirnya meroket, tapi perkawinannya runtuh. Pada suatu malam ketika ia pulang ke rumah, didapatinya rumah itu dalam keadaan kosong. Isterinya meninggalkan dia.

                Perceraian itu sangat mengguncangkan jiwanya. Ia tidak terbiasa menerima kegagalan macam apa pun, dan kegagalan perkawinan itu mendorongnya terperosok ke dalam suatu krisis yang akhirnya membuatnya mengubah prioritas secara radikal. Ketika pada akhirnya ia menikah lagi, perkawinan dan keluarga menjadi sesuatu yang sangat berbeda baginya. Jika sebelumnya ia mengorbankan segala sesuatu demi pekerjaan, karir dan perusahaan, sekarang hidupnya pertama-tama adalah untuk keluarga. Jika ada sesuatu yang sekarang harus dikurbankan, pekerjaanlah yang kini diubahnya. Brian sekarang bahagia dan punya suatu daya kekuatan dan semangat yang berasal dari keluarga dan dari prioritasnya yang baru. Kehidupan keluarga sekarang menjadi pusat hidupnya dan dari situ ia mendapatkan energi dan makna.

                Dari berbagai segi cerita, kisah ini seperti pertobatan. Perbedaannya terasa, seperti yang ditunjukkan oleh Bellah, ketika Brian mencoba menjelaskan mengapa hidupnya saat ini lebih baik dari yang terdahulu. Pada akhirnya alasan yang dikemukakannya atas apa yang dilakukannya sekarang, dan yang diyakininya sungguh berharga, hanyalah sedikit saja bedanya dari alasannya dulu dalam mengejar kesenangan sebagai remaja dan dalam mengejar keberhasilan bisnis sebagai anak muda – tapi yang sekarang ini membuatnya merasa nyaman. Pendek kata, jika ia dulu mengejar apa yang dianggapnya tepat bagi dirinya sendiri, sekarang pun ia masih sama, mengejar apa yang dianggapnya baik bagi dirinya sendiri.

                Orang luar tentu saja bisa menunjukkan bahwa secara umum dari struktur sosial seluruhnya, gaya hidupnya dan nilai-nilai yang sekarang dianutnya adalah lebih menguntungkan secara keseluruhan dibanding dengan yang dulu. Namun pada akhirnya bukan itu tujuannya dalam mengubah gaya hidup dan menyesuaikan prioritas-prioritasnya. Pada akhirnya, kriteria pembenaran gaya hidupnya yang sekarang ini masih sama dengan kriteria pembenaran di masa lalu, yaitu pilihan untuk mengutamakan kepentingan diri sendiri. Ia hanya mempedulikan/melakukan urusannya sendiri saja.

                Berkenaan dengan ini semua seseorang mungkin bertanya: Bagaimana hal ini punya pengaruh yang merugikan hidup rohani? Akibat dari narsisisme yang berlebihan dapat disebutkan dengan mudah. Jika kita berhadapan dengan realitas dan sibuk dengan diri sendiri, kita hanya melihat sedikit hal yang berharga dari apa yang sesungguhnya tampak di situ. Selain itu apa yang sebenarnya kita lihat juga terganggu dan terbentuk oleh kepentingan diri sendiri. Ini dapat dilukiskan dengan contoh sederhana.

                Bayangkanlah anda sedang berjalan-jalan di sebuah hutan yang indah pada suatu hari yang baik di musim panas. Bumi terang benderang karena api (matahari) dari Tuhan dan  pemandangan, bunyi-bunyian, aroma semuanya bisa menggugah anda untuk ingin melepaskan kasut anda di hadapan semak yang bernyala. Namun pikiran dan hati anda sungguh sedang terluka dan terobsesi karena anda sedang mabuk kepayang kepada seseorang dan merasa menderita karena pujaan anda itu menolak diri anda. Maka anda senyatanya tidak melihat semua yang ada dalam perjalanan anda itu, bukan hanya tidak melihat semua keindahan dan alam ciptaan, namun yang lain-lainnya juga. Anda terbelenggu dalam diri anda sendiri, terobsesi oleh puja-asmara, tertusuk oleh luka hati nan penuh duka lara, terus menerus memutar ulang rekaman wacana masa lalu dan masa mendatang di kepala anda, berbagai kemungkinan dan berbagai fantasi. Walaupun anda sebenarnya sedang melihat, mendengar dan mencium aroma keindahan dan alam, anda sama saja dengan berjalan-jalan di tempat parkir mobil, atau di tempat pembuangan sampah. Anda terbenam di dalam dunia batin yang realitas obsesifnya menyerap semua kesadaran anda. Dunia luar sama sekali tidak berdaya untuk memasuki dan menarik perhatian anda. Bagi anda, realitas sudah anda susutkan hingga mencapai ukuran, bentuk, dan warna menurut dunia batin anda sendiri.

                Gambaran seseorang yang terobsesi yang sedang berjalan-jalan di tengah alam keindahan dan buta terhadap semua yang ada itu melukiskan bagaimana narsisisme menjadi antitesis (lawan) dari kontemplasi. Ini juga merupakan gambaran dari pergumulan budaya kita dalam melihat Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita sungguh-sungguh sibuk memikirkan persoalan dan duka lara kita sendiri, kita cenderung tidak melihat apa pun yang lain di luar itu semua. Cerapan indera kita atas realitas merosot karenanya dan tidaklah mengherankan jika kemudian kita sulit memercayai realitas Tuhan sabda dan tindakanNya, karena kita mengalami kesulitan dalam mencerap realitas apa pun di luar diri kita sendiri.

Ron Rolheiser OMI



* Orang-orang muda profesional yang melejit naik dengan cepat memanjat tangga karir karena kemampuan yang lebih baik dan adanya kesempatan (terutama karena sistem perekrutan tenaga kerja dengan cara membajak), seperti bajing loncat berpindah-pindah lembaga tempat kerja, mencari yang mampu memberi pangkat, tantangan, gaji, kemudahan yang lebih besar dan tangga karir yang lebih panjang, dan mempunyai gaya hidup tertentu yang mewah.

* Pengaruh budaya pengejaran keunggulan (manajerial) dalam persaingan yang ketat di kalangan bisnis (In Search of Excellence).

* Neil Postman (1931-2003) adalah seorang profesor, teoritisi media, dan kritikus budaya pada Universitas New York. 

** Merryl Streep (lahir tahun 1949), pada waktu itu sudah memeroleh sebutan sebagai aktris pemeran terbaik dari berbagai kalangan penghargaan seperti Academy Awards (dalam film Sophie Choice, 1982, dan Kramer vs Kramer, 1979), BAFTA Award (1981, dalam film The French Leutenant’s Woman), Emmy Awards (dalam miniseri Holocaust, 1978), Golden Globe Awards (Sophie Choice, 1983, The French Leutenant’s Woman, 1982), dll.

* Profesor emeritus sosiologi pada Universitas California, Berkeley (lahir 1927)



Catatan dan rujukan

 

[i] YUP adalah singkatan dari Young Upwardly-mobile Person. Akhiran –(p)ie adalah imbuhan untuk membentuk kata baru yang menunjukkan sebutan informal dengan muatan rasa sayang, Yup+(p)ie.

 

[ii] Neil Postman, Amusing Ourselves to Death, Public Discourse in the Age of Show  Business, NY, Penguin Books, 1985, hal 96-97.

 

[iii] Robert Bellah, Richard Madsen, William Sullivan, Ann Swidler dan Steven Tipton, Habits of the Heart, Individualism and Commitment in American Life, San Francisco, Harper & Row, 1985 hal 3-6.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar