Daftar Blog Saya

Rabu, 26 Oktober 2022

Mengenang Konsili Vatikan II sesi I 1962




Gereja Katolik memang sudah hadir lama, empat abad,  di Indonesia.  Kehadirannya selama itu masih diperlakukan sebagai anak yang dirawat, diatur dan dituntun oleh Konggregasi Penyebaran Iman (Propaganda Fide) di Roma/Vatikan, berdasarkan ius commissiones yang dilaksanakan ordo-ordo misionaris.  Dengan Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus 3 Januari 1961 dan ditegaskan lagi dengan  Surat Apostolik Sacrarum Expeditionem 20 Maret 1961, Paus St Yohanes XXIII setelah tahun sebelumnya melakukan penilaian keadaan berdasar surat permohonan para waligereja dalam sidang di Girisonta bulan Mei 1960, berkenan mendirikan Hirarki Gereja Katolik mandiri di Indonesia. Umat Katolik di Indonesia sudah dianggap dewasa dan mampu mengembangkan hidupnya sendiri, dan sehubungan dengan Krisis Irian Barat yang menyebabkan hubungan antara Indonesia dan Belanda tempat pusat misi ordo-ordo religius yang bekerja di Indonesia terputus sementara, lepas dari pengampuan Roma/Vatikan. Konstitusi Apostolik Quod Christus Adorandus tersebut dipercayakan kepada Internunsius Apostolik pada waktu itu, Uskup Agung Gaetano Alibrandi. Ius commissiones kepada Ordo-ordo misionaris berhenti, digantikan ius mandatum, dengan diserahkannya mandat reksa pastoral umat kepada para Uskup.

Dengan Konstitusi dan Surat Apostolik itu status Gereja Katolik di Indonesia berubah, dari  status “daerah misi” yang untuk berbagai kegiatannya diampu dan dikendalikan oleh Kongregasi Pewartaan Iman di Roma, menjadi suatu Gereja yang mandiri dan otonom dalam menentukan kegiatan penggembalaan dan melaksanakan amanat perutusan Kristus.  Wilayah yang sebelumnya dinamakan “prefektur Apostolik” dan yang satu level di atasnya “vikariat Apostolik” , di mana sebutan “Apostolik” merujuk pada Tahta Suci Vatikan, oleh Konstitusi dan Surat Apostolik itu berubah menjadi “Keuskupan” dan “Keuskupan Agung” mandiri di bawah wewenang Uskup masing-masing.

Pada waktu perubahan itu terdapat 19 Keuskupan dan 6 Keuskupan Agung. Jumlah umat Katolik hampir 1,2 juta jiwa berkembang dari  784.000 di tahun 1949 dan 880 ribu jiwa pada tahun 1952, dan mempunyai banyak katekumen calon baptis. Di satu pihak perubahan itu menunjukkan penghargaan dan kepercayaan Paus atas perkembangan dan kedewasaan Gereja Katolik di Indonesia, di pihak lain kepercayaan itu adalah suatu amanat untuk berdiri di atas kaki sendiri dan bertumbuh secara swadaya. Karena masih baru, tidak semua hal langsung dilepas begitu saja oleh Vatikan/Roma, khususnya Kongregasi Propaganda Fide,  masih ada bantuan dan intervensi Roma dalam beberapa hal, tetapi  sebagian besar wewenang penggembalaan didelegasikan Vatikan/Roma kepada Hirarki Gereja Katolik di Indonesia yang baru mandiri itu. 

Maka selanjutnya ada banyak tugas pekerjaan pengembangan yang harus dilakukan para Uskup setelah Gereja Katolik di Indonesia dipercaya oleh Paus Yohanes XXIII menjadi Gereja yang mandiri dan para Uskup menerima mandat untuk reksa rohani umat Katolik di Indonesia.  Termasuk melakukan persiapan mengikuti Konsili Vatikan II.

Sidang Pertama Konsili Vatikan II

Sesi I Konsili Vatikan II berlangsung dari 11 Oktober  hingga 8 Desember 1962. Amanat Pembukaan Konsili Vatikan II dari Paus St. Yohanes XXIII pada 11 Oktober 1962 menyatakan  “Sering terjadi dalam pengalaman kita melaksanaan pelayanan kerasulan sehari-hari, kita mendengarkan suara-suara dari orang-orang, yang sungguh sangat kami sesalkan, yang  meskipun dikobarkan oleh semangat agama, namun kurang matang  dan cermat dalam pertimbangan. Dalam kondisi masyarakat manusia dewasa ini, mereka melulu melihat keruntuhan dan bencana. Menurut mereka dibandingkan dengan  masa-masa  yang lalu zaman sekarang bertambah semakin  buruk, dan mereka bersikap seolah mereka sama sekali tidak belajar dari sejarah yang sesungguhnya adalah guru kehidupan. Mereka bersikap seolah-olah pada masa Konsili-konsili yang terdahulu segala sesuatu penuh dengan kejayaan gagasan dan hidup kristiani dan untuk kebebasan Gereja.

 Kami rasa kami tidak sepakat dengan para nabi kehancuran, yang selalu melihat bencana semata, seolah-olah kiamat sudah dekat. 

Dalam situasi dunia sekarang, Penyelenggaraan Ilahi  tampak membimbing kerja keras manusia dalam membarui tata kemasyarakatan dengan usaha mereka sendiri yang harus diakui berhasil, bahkan umumnya melampaui harapan, menuju kepada terlaksananya rencana ilahi yang tak terperikan dan unggul. Dan segala sesuatu, termasuk perbedaan-perbedaan manusia, mengarah kepada kesejahteraan yang lebih besar bagi Gereja.

Sungguh mudah untuk memahami realitas ini jika kita memperhatikan dengan cermat betapa sibuknya dunia sekarang dengan  isu-isu politik dan kontroversi  ekonomi  hingga seolah-olah mereka tak punya waktu lagi untuk menata realitas rohani yang menjadi bidang keprihatinan Magisterium Gereja. Cara bertindak ini tentu saja keliru, dan memang tidak bisa disetujui....

Ajaran Kristiani harus dijaga dan sekaligus diwartakan dengan lebih efektif. Ajaran ini untuk seluruh umat manusia yang adalah mahluk jasmani dan rohani seutuhnya. Dan walaupun sedang berziarah di dunia, ajaran ini mengajaknya agar selalu mengarahkan hati ke surga. 

Ditunjukkan bagaimana hidup kita yang fana diatur sedemikian rupa agar memenuhi kewajiban kita baik sebagai warga dunia maupun warga surga, dan dengan demikian mencapai tujuan akhir kita sebagaimana telah ditentukan Tuhan.  Yaitu bahwa semua orang baik perorangan maupun sebagai masyarakat wajib selalu mengarahkan hidupnya sepanjang hayat kepada hal-hal surga dan menggunakan hal-hal dunia untuk maksud itu saja, artinya, bahwa penggunaan harta benda duniawi janganlah mengurangi kebahagiaan surga.

Tuhan bersabda : "Carilah pertama-tama  Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya" (Mat 6,33). Kata "pertama-tama" menunjukkan secara khusus kemana semua usaha dan pikiran kita harus diarahkan; namun jangan dilupakan pula perkataan Tuhan berikutnya: "maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu" (Mat 6:34)




Namun agar ajaran ini dapat meresapi begitu banyak bidang kegiatan manusia, baik perorangan, keluarga maupun masyarakat, pertama-tama dan terutama Gereja sendiri harus selalu akrab  dengan warisan suci kebenaran yang diterima dari para Bapa itu. Dan serentak dengan itu harus selalu memerhatikan keadaan sekarang, kondisi-kondisi baru dan bentuk-bentuk baru kehidupan yang diperkenalkan zaman modern yang membuka jalan-jalan baru bagi kerasulan Katolik.

Untuk itu, Gereja tak boleh menutup mata pada kemajuan besar  temuan-temuan kecerdasan manusia, dan jangan terlambat ketinggalan dalam memberikan penilaian dengan tepat. Tetapi seraya mengikuti jalannya perkembangan, janganlah ia lalai mengingatkan manusia agar melampaui dan di atas segala yang dicerap indera, mereka selalu mengarahkan hati kepada Allah, sumber segala kebijaksanaan dan keindahan. Dan agar mereka tidak melupakan perintah yang paling utama: “Engkau harus menyembah Tuhan Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat 4:10; Luk 4:8), sehingga pesona hal-hal yang fana tidak menghambat kemajuan yang sejati.

Tentang cara pewartaan ajaran iman dan bagaimana hal itu  ditetapkan, menjadi jelas sangat diharapkan dari sidang Konsili yang berhubungan dengan ajaran iman. Yakni, Konsili Ekumenis Keduapuluhsatu – yang akan  menimba dari pengalaman berlimpah di bidang hukum, liturgi, kerasulan dan pemerintahan dukungan yang efektif dan sangat berharga, harapan untuk menyampaikan ajaran iman Katolik, secara murni dan lengkap,  tanpa cacad atau gangguan,  yang diteruskan selama dua puluh abad kendati  berbagai kesulitan dan pertentangan, menjadi tuntunan umum bagi semua orang. Suatu tuntunan yang walau pun belum diterima dengan baik oleh semua orang, namun selalu merupakan harta kekayaan besar yang selalu tersedia bagi mereka yang berkehendak baik.

Maksud utama Konsili ini dengan demikian bukan membahas lagi pokok-pokok ajaran  Gereja,  yang sudah berulangkali dibicarakan para Bapa dan teolog dari zaman dulu hingga sekarang secara rinci, yang kami anggap kita semua sudah memahaminya dengan baik  dan fasih.

Bukan untuk itu Konsili ini diperlukan. Tapi dari kesetiaan yang diperbarui,  murni dan jernih kepada  seluruh ajaran Gereja seutuhnya dan setepat-tepatnya, seperti yang diwariskan Konsili Trente dan Konsili Vatikan I kepada kita,  umat kristiani katolik di seluruh dunia  dengan semangat apostolik menghendaki  agar kita maju selangkah lagi dalam meresapkan ajaran iman dan membina kesadaran  kaum beriman serta kesetiaan penuh pada ajaran yang autentik  yang dipelajari dan diteguhkan dengan metode-metode penelitian serta bentuk tulisan yang dapat diterima oleh semua orang di zaman kita. Pokok-pokok ajaran iman yang asli adalah satu hal, sedang cara menyajikannya adalah hal yang lain. Untuk yang terakhir itulah kita memberikan pertimbangan sebanyak mungkin dengan kesabaran sejauh mungkin, semuanya dengan bentuk dan proporsi yang terukur dalam suatu magisterium yang terutama bercorak pastoral.

Demikianlah, Gereja Katolik, seraya meninggikan suluh kebenaran agama melalui Konsili Ekumenis ini, ingin menunjukkan dirinya sebagai  ibu yang mengasihi untuk semua,  baik hati, sabar, murah hati dan penuh kebaikan terhadap sesaudara yang terpisah darinya. Kepada mereka yang tertindas banyak kesulitan, Gereja berkata, seperti Petrus kepada  orang miskin yang meminta derma darinya: “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan padamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah” (Kis 3:6). Dengan kata lain Gereja tidak memberi kekayaan yang fana kepada manusia zaman ini, juga tidak menjanjikan kebahagiaan duniawi saja. Tetapi ia membagikan kebaikan  rahmat ilahi yang, dengan mengangkat  manusia kepada martabat  anak-anak Allah, adalah perlindungan yang paling efektif dan bantuan ke arah hidup yang lebih manusiawi. Gereja membuka keran mata air ajaran iman yang memberi hidup yang memampukan manusia, diterangi oleh cahaya Kristus, memahami kenyataan dirinya, martabatnya yang luhur dan tujuan hidupnya, dan akhirnya, bersama putera-puterinya, Gereja  menyebarkan di mana saja  kepenuhan kasih Kristiani  sebagai sarana yang paling efektif untuk mengatasi benih-benih perseteruan, memajukan persamaan pendapat, perdamaian yang adil, dan kesatuan semua umat manusia dalam persaudaraan.

Tekad Gereja untuk memajukan dan menegakkan kebenaran berasal dari fakta bahwa, menurut rencana Tuhan, yang menghendaki  agar semua orang diselamatkan  dan sampai kepada pengertian akan kebenaran  (1Tim 2,4), tanpa pertolongan sepenuhnya dari ajaran  yang diwahyukan, mereka tidak dapat mencapai kesatuan pikiran yang lengkap dan kuat, yang terkait dengan damai sejati dan keselamatan abadi. 

Kesatuan dalam kebenaran yang kita lihat ini, sayangnya, belum sepenuhnya dicapai oleh seluruh keluarga Kristiani.

Karena itu Gereja Katolik menganggap sebagai kewajibannya untuk aktif mengupayakan agar sejauh mungkin dapat terpenuhilah  misteri besar kesatuan yang oleh Kristus Yesus, menjelang sengsara  dan wafatNya, dengan doa yang sangat khusyuk dimohonkan dari Bapa Surgawi. Gereja bersukacita dalam damai, karena tahu bahwa dirinya erat terkait dengan doa  Kristus itu; dan bersorak gembira ketika permohonan doa itu meluaskan khasiat buah keselamatan, bahkan kepada mereka yang berada di luar kawanannya.

Saudara-saudara yang mulia, demikianlah tujuan dari Konsili Ekumenis Vatikan Kedua ini, yang seraya menghimpun sebaik mungkin seluruh daya Gereja dan mengusahakan agar manusia lebih siap menerima kabar gembira dan keselamatan, menyiapkan dan mengkonsolidasikan jalan menuju kesatuan umat manusia yang perlu sebagai landasan agar kota dunia menjadi semakin menyerupai kota surgawi, di mana kebenaran meraja, kasih menjadi hukumnya, dan terentang hingga kekal .”

Para Bapa Konsili dari Indonesia dalam persidangan pertama (26 uskup) adalah: Mgr Albers O.Carm, Mgr Arntz OSC, Mgr Bergamin SX,  Mgr Demarteau MSF,  Mgr Djajasepoetra SJ, Mgr Geise OFM, Mgr Hermelink Gentiaras SCJ, Mgr.Mgr Grent MSC, Mgr  J.Klooster CM, Mgr Gabriel Manek SVD, Mgr Paul Sani Kleden SVD, Mgr Henri Romeijn MSF, Mgr M. Schneiders CICM, Mgr Schoemaker MSC, Mgr Soegijapranata SJ, Mgr JH Soudant SCJ,  Mgr Staverman OFM, Mgr AH Thijssen SVD, Mgr van Bekkum SVD, Mgr v.d. Hurk OFM, Mgr v.d. Tillart SVD, Mgr Tillemans MSC, Mgr v.d.Burgt OFM, Mgr v.d. Westen SSCC,  Mgr v. Kessel  SMM, Mgr Verhouven MSC. Delegasi para Uskup Indonesia dalam mengikuti Sidang Pertama Konsili Vatikan II dipimpin oleh Mgr Soegijopranata SJ, dalam kapasitasnya sebagai  Ketua MAWI.   




Dua belas komisi persiapan Konsili telah mengadakan rapat-rapat kerja antara bulan November 1960 dan bulan Juni 1962, dan menghasilkan lebih dari 70 naskah yang kemudian dirangkum menjadi sekitar 20 naskah. Setiap naskah diperiksa oleh Komisi Persiapan Pusat, diperbaiki dengan memperhatikan catatan-catatan yang dilampirkan, dan akhirnya dimohonkan persetujuan Paus. Pada musim panas tahun 1962 sejumlah naskah diedarkan di antara para Uskup sedunia sebagai bahan untuk periode Sidang yang dimulai pada musim gugur 1962. Dalam sidang kerja pertama, pada 13 Oktober 1962 para Uskup tidak bersedia menerima daftar anggota komisi-komisi kerja Konsili yang disodorkan dalam daftar yang sudah siap, karena dominasi Kuria Vatikan, sebaliknya mereka ingin memilih sendiri para anggota komisi-komisi kerja yang umumnya dipimpin 10-12 kardinal dan bersifat internasional demi karakter Konsili yang disebut ekumenis. Hal itu menunjukkan, bahwa banyak Uskup melalui intervensi  Kardinal Frings (Jerman) dan Kardinal Lienart  (Prancis)  tidak setuju dengan nada dan isi pokok banyak naskah yang telah disiapkan dan bersifat Roma-centris, keras, kurang bersahabat. Naskah untuk dibahas yang telah diserahkan kepada para Bapa Konsili  meliputi antara lain draft tentang Sumber-sumber Wahyu, Perbendaharaan Iman, Tatanan Moral Kristiani, Kemurnian-Perkawinan-Keluarga dan Keperawanan,  Konstitusi Liturgi, Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristiani.

Dengan alasan mereka perlu waktu secukupnya untuk saling mengenal dan memilih para anggota komisi-komisi, mereka berkelit dari agenda pengambilan suara atas naskah-naskah, dan menghendaki proses konsultasi berlangsung leluasa seperti biasa terjadi dalam tradisi konsili-konsili yang lalu. Dewan  pemimpin Konsili  menghadap Paus Yohanes pada 16 Oktober 1962 membawa pesan para Uskup. Mereka meminta urutan pembahasan dibalik, mulai dari Konstitusi Liturgi, Komunikasi Sosial dan Kesatuan Kristen. Draft lain-lainnya dibahas dalam masa sidang berikutnya. Paus menyetujui. Maka dikirimkanlah nota kepada para Bapa Konsili: “Animadversiones in "Primam Seriem" schematum constitutionum ad decretorum”, bahwa urutan pembahasan dibalik menurut skema yang utama dulu, dari konstitusi ke dekrit. Mengomentari perubahan itu Kardinal Montini (yang nanti menjadi Paus Paulus VI) pada 18 Oktober 1962 mengirim catatan kepada Kardinal Sekretaris Negara mencemaskan bahwa Konsili tidak mempunyai rencana kerja  yang rapi dan baku. 

Pada  22 Oktober 1962 tema Konstitusi Liturgi dipilih untuk pembahasan pertama karena draft yang dihasilkan lebih tertata rapi; secara keseluruhan sangat bagus, juga dalam bagian-bagiannya, menurut penilaian para Uskup Eropa Tengah. Walaupun demikian, debat mengenai  Konstitusi Liturgi sangat alot. Pokok perdebatan menyangkut  gaya bahasa teks yang lebih puitis ketimbang teologis. Ada ketidakjelasan ajaran yang perlu diperbaiki secara teologis.  Tentang bahasa Liturgi: Latin atau bahasa setempat. Komuni dua rupa. Konselebrasi. Dan otoritas atas liturgi. Pada 6 November 1962 dimintakan kesepakatan tentang penghentian debat mengenai hal-hal yang telah cukup didiskusikan. Pembahasan tentang Konstitusi Lturgi berakhir pada 13 November 1962 dan kemudian diambil suara atas pernyataan:  “Konsili Vatikan II setelah meninjau dan memeriksa skema tentang Liturgi suci, dengan ini menyetujui arah umum yang cermat dan arif, bermaksud membuat bagian-bagian tertentu dari Liturgi lebih hidup dan lebih mudah dipahami umat beriman selaras kebutuhan pastoral di masa kini. Perubahan-perubahan yang didiskusikan dalam sidang konsili sesegera mungkin akan dipelajari dan disusun dalam bentuk yang tepat oleh komisi Konsili untuk Liturgi, dan akan disampaikan pada waktunya kepada sidang umum, dan dengan pemberian suaranya para Bapa Konsili niscaya membantu atau mengarahkan komisi dalam menyiapkan teks yang telah direvisi dan pasti untuk disampaikan kepada sidang umum lagi”. Dari 2215 Bapa Konsili yang hadir, 2162 setuju (melampaui kuorum duapertiga atau 1476). 46 suara tidak setuju.

Diskusi selanjutnya adalah untuk membahas skema tentang komunikasi sosial, Gereja timur dan Hakekat Wahyu Allah. Terutama untuk skema yang terakhir, Hakekat Wahyu Allah, sebagian besar Bapa Konsili menolak teks yang diajukan karena hanya mengakui satu sumber wahyu: sabda Tuhan, maka kurang ekumenis. Nadanya terlalu bersifat skolastik hingga dirasa kering, kurang kehangatan, dan perlu memerhatikan kebutuhan Gereja, sehingga teks itu  perlu ditulis ulang melalui suatu tinjauan teologis yang lebih baik. Walau ketika diambil suara, jumlah yang menolak hanya 1.368 suara, kurang dari kuorum 2/3 yaitu 1.473 suara, namun tetap merupakan mayoritas melebihi  55%. Maka Paus berkenan memutuskan untuk merombak teks dengan wawasan teologi yang lebih lengkap. Untuk revisi dan penulisan ulang teks maka hingga masa sidang sesi pertama berakhir pada 8 Desember 1962, belum ada dokumen apa pun yang dihasilkan Konsili Vatikan II. 

Sementara persidangan pertama Konsili Vatikan II berlangsung, dunia terancam krisis nuklir dipicu situasi di Cuba. Krisis Nuklir Cuba (16–28 Oktober 1962) – ditandai situasi sangat nyaris terjadi perang nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet karena penempatan peluru kendali Soviet di Cuba dianggap mengancam Amerika Serikat. Setelah armada Amerika Serikat memblokade perairan Cuba memutus hubungan negara itu dari mana pun, barulah Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev setuju memindahkan pelurukendalinya dari Cuba, sedang Amerika Serikat pun memindahkan peluru kendali yang ditempatkan di Turki.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar