Pada hari Sabtu 1 Oktober 2022 terjadi tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, di mana kerusuhan pertandingan sepakbola menyebabkan 182 orang kehilangan hidupnya. Yang menyedihkan, banyak dari mereka yang mati masih terbilang muda usia. Minggu, 2 Oktober 2022, saya melayat isteri seorang teman yang meninggal karena menderita sakit penyempitan otak. Bacaan Injil hari ini (Luk 10:26) mengajukan pertanyaan terkait iman tentang "Hidup kekal".
Berbagai kata dalam Kitab Suci yang diterjemahkan dengan kata “hidup” kurang lebih mempunyai makna yang sama luasnya dengan pengertian kata “hidup” itu sendiri. Hidup bisa semata-mata suatu prinsip yang membedakan “benda hidup” dan “benda mati”, atau masa hidup seseorang, atau cara hidup seseorang, atau hidup kekal yang ada pada kaum beriman sekalipun sekarang, ke arah mana ia dipanggil sebagai suatu harapan masa depan (KGK 609-610, 994-996).
I. Dalam Perjanjian Lama
A. Allah Sumber Hidup
B. Hidup yang Baik
C. Hidup Kekal
II. Dalam Perjanjian Baru
A. Hidup Kekal Sebagai Fokus
B. Iman pada Yesus sebagai Sarana Hidup
Kekal
C. Hidup Kekal Sudah Mulai Dari
Sekarang
I. Dalam Perjanjian Lama
A. Allah Sumber Hidup
Semua yang hidup mendapatkan keberadaan dan kelangsungannya
dari Allah, Sang Pencipta; ini merupakan prinsip dasar dalam Perjanjian Lama
(Kej 2:7). Allah itu kekal, tetapi mahluk ciptaanNya adalah fana (2 Sam 14:14;
Mzm 90:1-6). Berbeda dari ilah-ilah yang disembah bangsa-bangsa lain, Tuhan
adalah “Allah yang hidup” (Yer 10:6-10; bdk 1 Tes 1:9). Ia menciptakan hidup
dengan menghembuskan hidup itu pada manusia (Kej 2:7), dan hidup terus bertahan
sepanjang Allah menempatkan roh di dalam manusia (Kej 6:3; Ayb 34:14-15). Kitab
Amsal menekankan prinsip hidup yang berasal dari Allah dan seberapa jauh Ia
menanamkannya pada segala yang hidup (Mzm 16:11; 133:3). Dia adalah “sumber
hidup” (Mzm 36:10) dan “cahaya kehidupan” (Mzm 56:14). Karena hidup itu
merupakan anugerah, kita wajib mensyukurinya, sebagaimana orang bersyukur
karena dibebaskan dari kematian atau bahaya, atau bahkan dari kehilangan
martabat (Mzm 30:3-4; 71:20; 80:18).
B. Hidup yang Baik
Bahwa kematian merupakan akhir dari kehidupan yang tak
terelakkan bagi mahluk yang fana mengembangkan pemikiran mengenai yang disebut
“hidup yang baik”. Hidup yang baik sering dipandang merupakan umur panjang,
yang berakhir dengan kematian “yang baik” pada usia lanjut (Kej 25:8; Ul 5:16;
Hak 8:32; Ayb 21:23). Dalam banyak hal, keluarga merupakan pusat dari suatu hidup
yang baik: mempunyai anak-anak merupakan tanda dari berkat (Mzm 128:1-6) dan
memastikan bahwa garis keluarga akan terus berlanjut (Kej 35:29; 50:7-8; Ayb
42:16). Sastra kebijaksanaan menekankan
bahwa hikmat atau kebijaksanaan mendatangkan hidup baik, yang sering
digambarkan sebagai umur panjang dan sejahtera (Ams 3:16; 8:18). Maka “hidup
yang baik” adalah hidup di mana seseorang menikmati kedamaian, kebahagiaan,
keluarga dan kerabat, teman dan sahabat, dan segala hal yang baik yang berasal
dari hidup yang baik. Di pihak lain Kitab-kitab Kebijaksanaan seperti Ayub dan
Pengkhotbah mengakui bahwa hikmat/kebijaksanaan saja tidak cukup untuk
menghasilkan segala hal yang baik: “karena di dalam banyak hikmat ada banyak
susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan” (Pkh
1:18). Sebagian dari masa hidup Ayub dijalani dalam kesusahan, apakah karena
itu ia tidak mengalami “hidup yang baik”? Pada akhirnya, berserah kepada Allah
merupakan satu-satunya arah yang pasti. “Akhir kata dari semua yang didengar
adalah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintahNya, karena
ini adalah kewajiban semua orang” (Pkh 12:13).
Maka,
hidup mempunyai suatu dimensi moral yang berkait dengan pelaksanaan
perintah-perintah Allah dan terutama setia kepada perjanjian. Hidup merupakan
suatu rahmat, dan hidup yang baik adalah mengasihi Allah dengan segenap hati
dan mengikuti Hukum (Sir 24:22-23; bdk Ul 4:1; 6:24; 16:20).
“Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan
dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan, karena pada hari ini aku
memerintahkan kepadamu untuk mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan hidup menurut
jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan
peraturan-Nya, supaya engkau hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh
Tuhan, Allahmu, di negeri ke mana engkau masuk untuk mendudukinya. Tetapi jika
hatimu berpaling dan engkau tidak mau mendengar, bahkan engkau mau disesatkan
untuk sujud menyembah kepada allah lain dan beribadah kepadanya, maka aku
memberitahukan kepadamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu akan binasa; tidak
akan lanjut umurmu di tanah, ke mana engkau pergi, menyeberangi sungai Yordan
untuk mendudukinya” (Ul 30:15-18)
C. Hidup Kekal
Pada masa Pembuangan Babilon, pandangan berubah menjadi
lebih bersifat eskatologis, merujuk ke arah kebangkitan menuju hidup kekal (Dan
12:2). Pandangan eskatologis itu semakin berkembang setelah sekian lama (2 Mak
7:9). Hidup sesudah kematian terletak di seberang hidup kita di dunia: “Sebab
Allah telah menciptakan manusia untuk kebakaan, dan dijadikan-Nya gambar
hakekat-Nya sendiri” (Keb 2:23). Maka ada tujuan yang lebih dalam dari
kesulitan-kesulitan yang dialami demi kebaikan: “Kalaupun mereka disiksa menurut
pandangan manusia, namun harapan mereka penuh kebakaan” (Keb 3:4).
II. Dalam Perjanjian Baru
A. Hidup
Kekal Sebagai Fokus
Hidup kekal melalui Yesus Kristus merupakan ajaran sentral
Perjanjian Baru. “Hidup” di sini berarti hidup ilahi atau hidup kekal. Sebagai
Pencipta, Kristus memberikan “hidup duniawi” kepada manusia (Yoh 1:1-4), dan
sebagai Penebus Ia memberikan “hidup ilahi” dalam segala kelimpahannya (Yoh
10:10).
Ini
merupakan kelanjutan dari pandangan Perjanjian Lama tentang hidup, tetapi
dengan orientasi yang lebih kuat pada keabadian. Hidup lebih dari sekedar
memiliki (Luk 12:15); secara paradoksal, supaya memiliki hidup kekal, orang
harus menyerahkan hidupnya kepada Yesus (Luk 14:26) sebagaimana Ia telah
menyerahkan hidupNya bagi banyak orang (Mrk 10:45). “Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia
akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan
menyelamatkannya” (Luk 17:33).
B. Iman pada
Yesus sebagai Sarana Hidup Kekal
Ketika menulis Injilnya Yohanes menyatakan kepada kita: “supaya
kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu
memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh 20:31). Iman pada Penyaliban dan
Kebangkitan Yesus Kristus membentuk dasar hidup kita (Yoh 3:16), dan di dalam
baptis, kita diperbolehkan ikut ambil bagian dalam hidup baru yang “datang dari
atas” (Yoh 3:3-5). Hidup kekal adalah karunia Allah bagi semua orang yang
percaya (Rm 6:23) dan yang hidup dalam Roh (Rm 8:11-13).
Di
dalam Perjanjian Baru, hidup yang ideal adalah hidup yang didasarkan pada
hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Cara hidup ini diikhtisarkan dalam Surat
Kepada Jemaat Galatia: “Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum
Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus;
namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus
yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging,
adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan
menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:19-20). Mirip dengan itu, Paulus
menulis: “Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi
dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (Rm 6:11 ; bdk 1 Kor
15:22; Flp 1:21). Yohanes terutama menekankan bahwa hidup kekal kita bergantung
kepada Kristus: “Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang
kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya. Barangsiapa memiliki
Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki
hidup” (1 Yoh 5:11-12).
C. Hidup
Kekal Sudah Mulai Dari Sekarang
Hidup kekal sudah datang kepada mereka yang beribadah kepada
Allah, menaati perintah-perintahNya, dan mengikuti Kristus, “Pemimpin kepada
hidup” (Kis 3:15; bdk. Kis 5:20; 13:48; 17:25). Hidup kekal dengan demikian
merupakan cicipan atas hidup yang akan datang. Hidup ini sudah dimulai sejak
baptisan, yang mendatangkan hidup baru dalam Kristus (Rm 6:4). Hidup yang lama
sudah berlalu bagi pendosa, hidup dalam daging (Rm 8:12), dan suatu kebangkitan
telah terjadi di dalam jiwa (Rm 6:13) yang mengantisipasi kebangkitan tubuh (Rm
8:11).
Hidup
kekal yang sepenuhnya akan dimiliki di surga, yang disebut Kitab Suci “hidup
yang sebenarnya” (1 Tim 6:19), tetapi kita sudah mempunyai suatu bagian di
dalam hidup kekal itu melalui karya sakramental Gereja: ''Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya,
kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu” (Yoh 6:53).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar