Daftar Blog Saya

Jumat, 07 Oktober 2022

APOLOGIA KREATIF BERTOLAK DARI KONSILI VATIKAN II

 Bambang Kussriyanto




Dalam perjumpaan dengan para pengurus Ikatan Alumni Filsafat-Teologi (Ikafite) Sanata Dharma, sebelum diangkat menjadi Rektor Sanata Dharma Ketua Fakultas Teologi Wedabhakti Rm Bagus Laksana SJ mengharapkan para alumni yang tergabung dalam Ikafite di dalam hidup bermasyarakat melaksanakan “Apologia Kreatif”. Ia mengandaikan kita semua tahu apa yang dimaksudkan dengan “apologia kreatif” itu. Dan hadirin pun tidak ada yang bertanya apa itu “apologia kreatif”, mengandaikan masing-masing “sudah tahu” atau “kira-kira tahu”; yang jelas tidak tampak pengandaian “tidak tahu sama sekali”. Maklumlah, semua yang hadir waktu itu “alumni” Fakultas Filsafat-Teologi.

Saya menempatkan diri pada asumsi “kira-kira tahu” mengandalkan pengajaran yang saya terima dulu dari IFT dan pengembangan yang saya lakukan setelah “di luar IFT”, dengan juga mengandaikan ada hal-hal yang belum saya ketahui dan masih perlu saya ketahui. Maka saya coba merekontsruk apa yang saya ketahui dengan harapan mendapat pencerahan dari dialog setelah tulisan ini saya publikasikan.


Perkembangan “pedoman-pedoman” untuk penyelenggaraan Fakultas-fakultas Gerejawi demi menghasilkan alumni yang sesuai harapan Gereja sudah sangat berkembang lebih jauh sejak Surat Apostolik Paus Benediktus XV “Maximum Illud” 1919 yang mendasari penyelenggaraan Seminari-seminari di Indonesia dan banyak dikutip dalam bagian “sejarah” lembaga pendidikan calon imam. Paus Pius XI menerbitkan Konstitusi Apostolik Deus Scientiarum Dominus pada 1931 meneruskan pengajaran kebijaksanaan Kristiani untuk pembinaan kehidupan dan tingkah laku manusia. Untuk membantu universitas-universitas Katolik mencapai tujuan dengan lebih baik, Paus Pius XII telah berusaha mendorong kegiatan bersama dari universitas-universitas dengan mendirikan secara resmi Federasi Internasional Universitas-Universitas Katolik lewat Surat Apostolik tertanggal 27 Juli 1949. Ketika membuka Konsili Vatikan II dengan semangat aggiornamento Paus St Yohanes XXIII meminta keterhubungan yang tekun dengan realitas, dan para teolog juga didorong untuk mencari cara yang lebih sesuai untuk mengomunikasikan ajaran pada orang-orang sezaman mereka yang bekerja di pelbagai bidang pengetahuan, karena “khazanah iman atau kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam ajaran iman itutidaklah identik dengan cara perumusannya, meskipun makna dan arti yang samadipertahankan.” Hal ini akan menjadi sangat berguna sehingga di antara Umat Allah, praktik religius dan kesalehan jiwa bisa bertumbuh sama cepatnya dengan kemajuan ilmu dan teknologi, dan sehingga, dalam karya pastoral, umat dapat dituntun secara bertahap pada kehidupan iman yang lebih dewasa dan murni. Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Katolik (GE, 1965) menegaskan bahwa “Gereja memberi perhatian besar pada lembaga-lembaga pendidikan tinggi,” dan juga sungguh mengusulkan agar universitas-universitas Katolik mesti “dibangun di tempat-tempat yang cocok di seluruh dunia” dan agar “para mahasiswa perguruan-perguruan itu menjadi sungguh unggul dalam ilmu pengetahuannya, siap siaga untuk menunaikan tanggung jawab besar dalam masyarakat, dan menjadi saksi-saksi iman di dunia” (GE 10). Konsili Vatikan II menyampaikan Dekret “Optatam Totius” 1965 untuk meninjau kembali secara setia dan kreatif program-program studi gerejawi (bdk.Nomor 13-22). Pedoman-pedoman pembinaan para calon imam yang dikeluarkan MAWI pada kurun 1970-an sudah mengisyaratkan perkembangan yang lebih jauh, terutama setelah diskusi-diskusi Federasi Konferensi Waligereja Asia (FABC) sejak 1974 tentang inkulturasi dalam pendidikan dan pewartaan iman. Sesudah studi yang saksama dan percobaan yang bijak, peninjauan kembali tersebut menghasilkan Konstitusi Apostolik Sapientia Christiana, yang dipromulgasikan oleh Santo Yohanes Paulus II pada 15 April 1979.

Dalam kurun waktu hampir 50 tahun, perubahan-perubahan besar telah terjadi tidak hanya dalam masyarakat sipil, tetapi juga di dalam Gereja sendiri. Peristiwa-peristiwa penting, teristimewa Konsili Vatikan II, ... telah mempengaruhi kehidupan internal Gereja dan relasi eksternalnya dengan orang-orang Kristen dari pelbagai gereja, dengan orang-orang non-Kristiani, dan dengan orang-orang yang tidak beriman, serta dengan semua orang yang menginginkan peradaban yang lebih manusiawi.

Karenanya Paus Fransiskus menerbitkan Konstitusi Apostolik Evangelium Gaudium pada 8 Desember 2017 tentang Universitas dan Fakultas Gerejawi. Di dalamnya ditegaskan kembali tujuan “Fakultas Gerejawi melalui penelitian ilmiah, memelihara dan memajukan disiplin-disiplin ilmu mereka sendiri, yaitu (disiplin-disiplin) yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan wahyu Kristiani atau yang secara langsung membantu misi Gereja, dan karena itu secara khusus memperdalam pengetahuan atas wahyu Kristiani dan hal-hal yang berkaitan dengannya, mengungkapkan secara sistematis kebenaran-kebenaran yang terkandung di dalamnya, mempertimbangkan dalam terang wahyu tersebut pelbagai kemajuan terbaru dari ilmu pengetahuan, dan menghadirkannya pada manusia zaman sekarang dengan cara yang sesuai untuk banyak budaya” (Veritatis Gaudium 3.1).



Konstitusi Apostolik Sapientia Christiana telah menunjukkan penelitian sebagai “kewajiban utama”, dalam “kontak langsung dengan realitas […] untuk mengomunikasikan ajaran pada orang-orang sezaman [kita] dalam pelbagai budaya.” Namun, di zaman kita sekarang, yang ditandai dengan situasi multikultural dan multietnik, dinamika sosial dan budaya yang baru menuntut agar tujuan-tujuan penelitian tersebut diperluas.

Sesungguhnya, agar Gereja bisa melaksanakan perutusan penyelamatannya, “tidaklah cukup bahwa para pewarta Injil memiliki perhatian untuk menjangkau setiap orang, Injil juga harus diwartakan kepada kebudayaan-kebudayaan secara menyeluruh.” (EG 133). Studi-studi gerejawi tidak dapat dibatasi sekadar untuk mentransfer pengetahuan, kemampuan profesional dan pengalaman kepada orang-orang sezaman kita yang ingin tumbuh dalam kesadaran Kristiani, tetapi juga harus mengambil tugas mendesak untuk mengembangkan perangkat-perangkat intelektual yang bisa berperan sebagai paradigma tindakan dan pemikiran, yang berguna untuk pewartaan di dunia yang ditandai oleh pluralisme etis dan religius. Untuk melakukan hal ini, diperlukan tidak hanya kesadaran teologis yang mendalam, tetapi juga kemampuan untuk memahami, merancang dan membangun cara-cara untuk menghadirkan agama Kristiani yang mampu memasuki secara mendalam sistem-sistem budaya yang berbeda. Semua ini menuntut peningkatan kualitas penelitian ilmiah dan juga perbaikan bertahap dalam tingkatan studi-studi teologis dan ilmu-ilmu lain yang terkait. Yang kita butuhkan bukan hanya memperluas bidang diagnosis dan menambahkan kumpulan data yang tersedia untuk menafsirkan realitas (LS 47, EG 50) melainkan studi yang lebih mendalam yang berusaha terus-menerus untuk “menyampaikan secara lebih efektif kebenaran Injil dalam konteks tertentu, tanpa mengabaikan kebenaran, kebaikan, dan cahaya yang dapat dibawanya ketika kesempurnaan tidak dimungkinkan.”(EG 45)

Terutama, kepada penelitian yang dilakukan di Universitas-universitas, Fakultas-fakultas dan Institut-institut gerejawi saya mempercayakan tugas mengembangkan “apologetika kreatif” yang saya minta dalam Evangelii Gaudium agar “mendorong keterbukaan lebih besar kepada Injil pada semua pihak.” (EG 132)

Setelah menyiapkan “civita academica” : kelembagaan, pengurus, para dosen, dukungan administratif yang diperlukan, selanjutnya disampaikan Dukungan Kurikulum atau Pedoman Studi sebagai bagian pokok yang penting.

Artikel 37. § 1. Dalam mengatur program-program studi, semua prinsip dan norma yang menurut keragaman isinya terkandung dalam dokumen-dokumen gerejawi, khususnya Konsili Vatikan II, haruslah ditaati. Namun, pada saat yang sama harus diperhitungkan juga pelbagai kemajuan ilmiah yang bisa menyumbang pada usaha menjawab persoalan-persoalan yang sekarang sedang dibahas.

§ 2. Dalam sebuah Fakultas, hendaknya metode ilmiah yang dipakai bersesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan tiap-tiap ilmu. Metode didaktik dan pedagogis yang mutakhir haruslah digunakan secara tepat agar semakin mengembangkan keterlibatan pribadi dan partisipasi aktif dari para mahasiswa dalam studi mereka.

Artikel 38. § 1. Dengan mengikuti norma Konsili Vatikan II, dan sesuai dengan sifat Fakultas masing-masing:

1) kebebasan yang sewajarnya80 haruslah diakui di dalam bidang penelitian dan pengajaran sehingga kemajuan sejati dapat dicapai dalam pengetahuan dan pemahaman akan kebenaran ilahi.

2) Pada saat yang sama, haruslah menjadi jelas bahwa:

a) kebebasan sejati dalam mengajar haruslah ditempatkan dalam batas-batas Sabda Allah, seperti yang selalu diajarkan oleh Magisterium Gereja.

b) demikian juga, kebebasan sejati dalam penelitian haruslah didasarkan pada kesetiaan yang teguh pada Sabda Allah dan dalam sikap hormat terhadap Magisterium Gereja yang diberi tugas untuk menafsirkan Sabda Allah secara autentik.

§ 2. Oleh karena itu, dalam perkara yang sedemikian penting itu, orang harus bertindak dengan kepercayaan dan tanpa kecurigaan, tetapi sekaligus juga dengan kehati-hatian tanpa kecerobohan, khususnya dalam pengajaran; lebih-lebih, tuntutan-tuntutan ilmiah harus diselaraskan secara hati-hati dengan kebutuhan pastoral umat Allah.

Artikel 39. Di setiap Fakultas, kurikulum studi haruslah diatur secara tepat ke dalam langkah-langkah atau siklus-siklus, yang disesuaikan dengan materi studi.

Dalam siklus pertama: a) - Disiplin-disiplin ilmu filsafat yang diperlukan untuk teologi, yaitu terutama filsafat sistematik dan sejarah filsafat (klasik, abad pertengahan, modern, kontemporer). Selain pengantar umum, pengajaran sistematik harus meliputi semua bidang utama filsafat: 1) metafisika (yang dimengerti sebagai filsafat ada dan teologi alamiah), 2) filsafat alam, 3) filsafat manusia, 4) filsafat moral dan politik, 5) logika dan filsafat pengetahuan. b) disiplin-disiplin ilmu teologi, yaitu: • Kitab Suci: pengantar dan eksegesis • Teologi fundamental, yang juga meliputi ekumenisme, agama-agama non-Kristiani, dan ateisme, serta pelbagai aliran budaya kontemporer. • Teologi dogmatik; • Teologi moral dan spiritual ; • Teologi pastoral; • Liturgi; • Sejarah Gereja, Bapa-bapa Gereja, arkeologi • Hukum Kanonik. c) disiplin-disiplin ilmu pendukung, yaitu, ilmu-ilmu humaniora tertentu, bahasa-bahasa biblis, selain Latin, sejauh diperlukan untuk menempuh studi pada siklus-siklus selanjutnya. Dalam norma pelaksanaan Art 70 dikemukakan studi-studi yang dapat memberi sumbangan: • Arkeologi Kristiani • Bioetika • Komunikasi Sosial • Hukum • Sastra Kristiani dan Klasik • Liturgi • Misiologi • Musik Suci • Kajian Timur Dekat Kuno • Psikologi • Ilmu Pendidikan • Ilmu-ilmu Agama • Ilmu-Ilmu Sosial • Spiritualitas • Sejarah Gereja • Kajian Bahasa Arab dan Islam • Kajian Kitab Suci • Kajian Oriental • Kajian tentang Perkawinan dan Keluarga.

Di mana posisi “Apologia atau apologetika kreatif”?

Saya membayangkan “Apologia atau apologetika kreatif” adalah pengertian komprehensif dari semua studi di atas yang digunakan sebagai kiat “secara kreatif” di dalam pewartaan dan kesaksian iman berhadapan dengan pengalaman situasional dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks budaya termasuk teknologi yang senyatanya.

Sebagai “kiat” karena seluruh bahan yang diterima dalam kuliah dilepaskan dari atribut ilmiahnya dipilah untuk digunakan sesuai keperluan khusus dan “secara kreatif” dengan diolah kembali (digested) dengan tambahan-tambahan baru yang diperoleh dari pengalaman hidup, melalui penghayatan pribadi dan komunal, dalam bimbingan Roh Kudus.  Rekonstruksi atau reformulasi pasca digestasi menjadi pemribadian semua bahan, menjadi milik pribadi yang menyatu dalam satu keyakinan iman. Saya memposisikan semua itu sebagai “produk siap pakai” yang sewaktu-waktu dapat disampaikan (delivered) menurut permintaan (on demand) dalam dialog pergaulan.

Catatan “dalam bimbingan Roh Kudus” saya garis bawahi. Yaitu kesadaran bahwa bukan hanya kita pribadi yang bekerja, tetapi juga Roh Kudus dalam diri kita; artinya seluruh proses pengolahan dan pemribadian terjadi dalam ikatan doa memohon Roh pempimbing, Roh pengetahuan dan hikmat, serta Roh kebenaran, agar Ia memberi khasiat menghasilkan dalam diri kita “produk siap pakai” untuk pewartaan dan kesaksian iman. Mengingat situasi Pentakosta yang produktif, kita berharap Roh Kudus memberi kita dunamis pneuma (daya pengubah Roh): “dinamo” energi yang kita perlukan, “dinamika” kemajuan proses yang terbaik, dan  akhirnya hasil anapologetos (istilah Paulus) penerimaan kebenaran Allah yang mengubah (metanoia). Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar