Seraya memandang foto-foto jenazah Paus Emeritus Benediktus XVI di Basilika Vatikan yang dikunjungi sekitar 140.000 orang yang menyampaikan penghormatan terakhir menjelang pemakamannya, saya menuliskan hasil peziarahan saya membalik-balik dokumen Gereja semasa kepausan beliau, terutama mencari garis besar sikap beliau pada Konsili Vatikan II. Menjelang penutupan peti beliau pada hari ini, Rabu, 4 Januari 2023, saya menuliskan secara ringkas hasil peziarahan saya menelisik wacana-wacana Paus Emeritus Benediktus XVI dengan penuh syukur atas konsistensi teologis beliau.
Saya baru menceburkan diri dalam karya pelayanan Gerejawi pada 2001, setelah mengundurkan diri dari kegiatan kerja di bidang konsultansi dan pelatihan manajemen bisnis. Ketika itu masa kepausan Yohanes Paulus II yang dimulai dari 22 Oktober 1978 mencapai puncak masa keemasannya. Saya harus banyak membaca dan merenungkan dinamika Gereja yang selama 20 tahun (1981-2000) hanya sambil lalu saja saya perhatikan, walau antara 1985-1988 saya sempat lebih serius menggeluti kerasulan keluarga (mengikuti Familiaris Consortio, 1981) dan kerasulan awam (mendalami relatio Sinode Para Uskup 1987 tentang Peran Awam, yang kemudian dirumuskan menjadi Seruan Apostolik pasca Sinode Christifideles Laici, 1988). Surat Apostolik tentang millenium baru yang seolah memberi arah pada Gereja baru saja diterbitkan (Novo Millenio Ineunte, 6 Januari 2001). Menyangkut Konsili Vatikan II, Surat Apostolik Novo Millenio Ineunte meminta agar umat katolik mengkaji ulang empat pilar ajaran Konsili, yaitu Dei Verbum tentang Kitab Suci, Sacrosanctum concilium tentang Liturgi, Lumen Gentium tentang Gereja, dan Gaudium et Spes tentang pastoral Gereja di dunia. Masih ada banyak sekali pembaruan lain yang perlu saya dalami sejak Konsili Vatikan II. Tetapi kemudian Paus Yohanes Paulus II wafat pada April 2005, dan terasa sekali kemudian dinamika Gereja melambat.
Kardinal Josef Ratzinger selama kepausan Yohanes Paulus II dikenal sebagai Prefek Kongregasi Suci untuk ajaran iman sejak 1981 dan banyak membantu Paus Yohanes Paulus II dalam tulisan-tulisannya. Dalam konklaf 2005 sepeninggal Paus Yohanes Paulus II, ia terpilih menjadi Paus baru. Ia memilih nama Benediktus sebagai tanda, bahwa masa kepausannya akan dibaktikan untuk pujian kepada Allah. Ia memilih sosok Santo Benediktus dari Nursia, perintis hidup membiara di Barat, sebagai patron. "Saya tidak cakap dalam administrasi pemerintahan", kata Paus Benediktus XVI kepada para kardinal yang memilihnya dalam konklaf dan akan pulang kembali ke daerah masing-masing (22 April 2005). Ia terpilih menjadi Paus pada usia 78 tahun, 20 tahun lebih tua dibanding Paus Yohanes Paulus II yang terpilih menjadi Paus pada usia 58 tahun. Menjadi Paus tak pernah menjadi keinginan pribadinya. Sebenarnya ia ingin menikmati masa tua dengan pulang ke Bavaria dan menulis buku. Namun Paus Benediktus XVI bersedia menerima kepercayaan dan amanat Gereja yang dipercayakan kepadanya. Ia memulai masa kepausannya 19 April 2005.
Alih-alih melanjutkan dinamika kepausan 26 tahun dari Paus Yohanes Paulus II yang bersifat pastoral menghayati sifat pastoral Konsili Vatikan II dan rajin mengunjungi umat di berbagai tempat di dunia, Paus Benediktus XVI yang seorang teolog, seperti rem bagi Gereja, lebih suka berkanjang dalam aspek dogmatik dan tradisi kesalehan, kendati tidak melawan arus perjumpaan Gereja dan dunia. Maka terasa juga penerapan ajaran Konsili Vatikan II yang bersifat pastoral mengalami pelambatan jika tidak dikatakan mengalami jeda, diarahkan sementara kembali kepada ranah kedalaman teologis dan spiritual.
Baca juga: KONSILI VATIKAN II DAN PAUS BENEDIKTUS XVI
Desember 2005 adalah peringatan 40 tahun berakhirnya Konsili Vatikan II. Ada beberapa pihak berharap Paus Benediktus XVI memberi pencerahan yang meluruskan perbedaan tafsir atas hasil Konsili Vatikan II, yang di satu pihak diwakili oleh para penulis dan editor serial 5 jilid History of Vatican Council II di bawah Uskup Agung Mgr Giuseppe Alberigo, yang sering disebut "Aliran Bologna", dan tafsir lain yang diwakili penulis Agostino Marchetto, Il Concilio Ecumenico Vaticano II: Contrappunto per la sua storia, Vatican City 2005 didukung oleh penulis kolom majalah L'Espresso yang pengamat spesialis Vatikan, Sandro Magister. Kiranya menjadi kekecewaan pihak-pihak bahwa homili Paus Benediktus XVI pada 8 Desember 2005 sama sekali tidak menyinggung tasir yang berbeda-beda atas Konsili Vatikan II, tetapi suatu anjuran untuk merenungkan Bunda Maria sebagai kunci pengertian atas Konsili Vatikan II.
Pencerahan yang diharapkan dari Paus Benediktus XVI tampaknya disampaikan dalam sebagian amanatnya kepada Kuria Roma pada 22 Desember 2005. Ia mengawali amanatnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Paus Yohanes Paulus II ketika mengundang Sinode Luar Biasa Para Uskup 1985 dalam rangka 20 tahun Konsili Vatikan II: "Apa yang dihasilkan Konsili Vatikan II? Sejaun mana hasil-hasil itu diterima? Dalam penerimaan itu, mana yang bagus, mana yang kurang atau keliru? Apa yang masih perlu dilakukan?" Paus Benediktus tidak berusaha menjawab pertanyaan itu namun secara tersirat dikatakan "di kalangan luas penerimaan Konsili agak mengalami kesulitan". Apa kesulitannya dan kalangan luas mana, tidak disebutkan. Tetapi orang menangkapnya sebagai dunia barat, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara.Ensiklik pertama Paus Benediktus XVI berkaitan dengan kebajikan kasih, Allah adalah Kasih (Deus Caritas Est, disingkat DCE, 25 Desember 2005), walau sekilas renungan teologis, namun ensiklik itu juga mengandung ajaran sosial. Kasih berhubungan dengan keadilan. "Tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang adil merupakan tugas sentral politik. Negara yang tidak didefinisikan oleh keadilan, adalah gerombolan besar perampok, seperti kata Agustinus: “Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia.” Selanjutnya beliau menyebut Konstitusi tentang Gereja di Dunia dari Konsili Vatikan II Gaudium et Spes art 36. (DCE 28). DCE art 30 mengutip "pada zaman kita diperlukan kesediaan baru untuk menolong sesama yang menderita. Konsili Vatikan II telah mengedepankannya dengan amat jelas: 'Dewasa ini, karena sarana-sarana komunikasi berfungsi makin sempurna, jarak-jarak antarmanusia diatasi, dapat dan haruslah karya karitatif meliputi semua orang dan kesusahan.' - 'Tepatlah Konsili Vatikan II mengedepankan: “Di antara ciri khas zaman kita patut diperhatikan citarasa solidaritas semua bangsa yang makin berkembang dan tak tertahan.” (Actuositatem Apostolicam 8; 14).
Ketika diundang memberi kuliah perdana di Universitas Regensburg 12 September 2006 terjadi insiden yang tidak menyenangkan. Diberi judul Iman, Akal Budi dan Universitas, Paus Benediktus mengutip situasi rangkaian dialog agama Kristiani dan Muslim yang melibatkan Kaisar Byzantin Manuel II Palaeologos dan seorang ulama Persia tahun 1391 dalam buku Professor Theodore Khoury (Karl Förstel Corpus Islamico-Christianum (Series Graeca ed. A. T. Khoury dan R. Glei) : “Manuel II. Palaiologus, Dialoge mit einem Muslim”, 3 vols., Würzburg-Altenberge 1993-1996). Situasi dialog itu melukiskan percakapan iman yang dipimpin akal budi, ditunjukkan sebagai dialog yang jujur dan perlu menjadi bagian tugas ilmiah Universitas. Namun dikutip bebas oleh pers pada bagian-bagian merupakan kontroversi sensitif tanpa menunjukkan akhir yang baik dan diluar konteks tujuan ilmiah yang dikehendaki, kuliah Paus Benediktus lalu membangkitkan sentimen emosional di seluruh dunia, yang justru berlawanan dengan maksudnya untuk mengusahakan dialog yang jujur sebagai tugas Universitas. Paus Benediktus XVI lalu mendapat kecaman umum sebagai anti-dialog dan berlawanan dengan Deklarasi Vatikan II, Nostra Aetate. Pada hal yang sebenarnya adalah bahwa beliau penganjur dialog yang baik, yang dipimpin akal budi. Paus Benediktus XVI minta maaf kepada masyarakat muslim karena kuliahnya menimbulkan kegaduhan. Kuliah Regensburg justru menghasilkan kesepakatan lebih dari 130 ahli agama kelas dunia untuk melanjutkan Dialog Kristiani-Muslim di masa selanjutnya. Pada 30 November 2006 Paus Benediktus XVI mengunjungi Turki dan berdoa disamping ulama Islam Mustafa Cagrici di Masjid Biru Istanbul.
Pada awal 2007 Paus Benediktus XVI menyelesaikan bukunya, Yesus dari Nazaret, yang kemudian diterbitkan di Amerika Serikat. Dengan bukunya itu Benediktus XVI memberi bahan ressourcement (kembali ke sumber asli) bagi Gereja universal.
Pada 22 Februari 2007 Paus Benediktus XVI menerbitkan seruan apostoliknya yang pertama, Sacramentum Caritatis, atau Sakramen Kasih, berdasarkan relatio dalam Sinode Para Uskup Sedunia XI 2-23 Oktober 2005 tentang Ekaristi membahas hubungan dogma, liturgi dan hidup. Ini berhubungan dengan penetapan Tahun 2005 sebagai Tahun Ekaristi oleh Paus Yohanes Paulus II. Perhatian dan kecintaan Paus Benediktus XVI pada Ekaristi mengarahkan keprihatinannya pada kelompok yang mencintai Misa berbahasa Latin dan tidak setuju kepada Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II yang membolehkan Misa dipersembahkan dalam bahasa lokal. Karena kebaikan hatinya, Paus Benediktus XVI pada bulan Juni 2007 menerbitkan Motu Proprio Summorum Pontificum, yang membolehkan imam mempersembahkan Misa dalam bahasa Latin tanpa izin siapa pun menurut buku Missal 1962. Itu merupakan wujud kesetiaan kepada Tradisi demi integritas iman. Keputusan yang dimaksudkan sama sekali tidak mengurangi otoritas Konsili Vatikan II ini, selanjutnya menampilkan sosok Paus Benediktus XVI sebagai Paus Konservatif dan dijadikan benteng kelompok konservatif dalam Gereja dari sisi Liturgi, walau dalam praktek beliau sendiri menerapkan Liturgi Konsili Vatikan II. Tak pernah terbayangkan bahwa Motu Proprio itu justru menghasilkan perpecahan yang makin memprihatinkan dalam Gereja dan menyulitkan karya pastoral, sehingga empat belas tahun kemudian pada 2021 Paus Fransiskus dengan Motu Proprio Traditionis Custodes (dengan tujuan menjaga kesatuan Gereja) membatasi penggunaan Misa Latin dan memberi tanggungjawab kepada para Uskup bahwa kelompok-kelompok yang menggunakan Misa Latin agar tidak bertentangan dengan Konsili Vatikan II dan Magisterium Gereja.
Ensiklik kedua dari Paus Benediktus XVI, Spe Salvi, (30 November 2007) atau “Harapan yang Menyelamatkan,” berkenaan dengan harapan sebagai rahmat-karunia Allah sama sekali tidak menyinggung Konsili Vatikan II, namun mengangkat Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1992 utamanya tentang harapan Kebangkitan Badan dan Surga Kehidupan Kekal (KGK 998-1037). Dalam Kitab Suci kata harapan sering digunakan sebagai padanan kata iman. Maka harapan yang menyelamatkan juga dipahami sebagai iman yang menyelamatkan.
Pada 5 Oktober 2008 Paus Benediktus XVI membuka Sinode Para Uskup Sedunia XII tentang Sabda Allah dalam Hidup dan Misi Gereja. Dari Sinode itu Paus Benediktus XVI menerbitkan seruan apostolik Verbum Domini (30 September 2010). Dalam art 3 dokumen ini sangat menghargai Konstitusi Konsili Vatikan II Dei Verbum yang banyak dikutip sepanjang dokumen dan perlunya studi lebih lanjut atas Sabda Allah dalam Kitab Suci."untuk meninjau kembali implementasi dari arahan-arahan Konsili, dan menghadapi tantangan-tantangan baru yang pada masa kini dihadapi kaum beriman Kristiani".
Dalam ensiklik yang ketiga terbit 9 Juli 2009, Caritas in Veritate (CiV), atau Kasih Dalam Kebenaran, Benediktus XVI menyatakan bahwa kasih berkaitan secara mendasar dengan kebenaran dan mengantar keadilan yang terutama membuahkan kesejahteraan umum (CiV 5-7). Kasih dalam kebenaran merupakan inti dari ajaran sosial Gereja. Dan terkait perkembangan bangsa-bangsa, negara, pasar dan teknologi tidak dapat diandalkan, sebab "Tanpa Tuhan, manusia tidak tahu ke mana tujuannya, dan tidak memahami jati dirinya" (art 78). Benediktus XVI banyak mengutip dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes (1965), dilanjut dengan ajaran sosial pasca Konsili dari Paus Paulus VI, Populorum Progressio (1967), dari Paus Yohanes Paulus II Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan Centesimus Annus (1991). "Perkembangan membutuhkan orang-orang Kristiani yang mengangkat tangannya pada Allah dalam doa, orang-orang Kristiani yang digerakkan oleh pengetahuan bahwa kasih dipenuhi kebenaran, caritas in veritate, yang melahirkan perkembangan autentik, bukan merupakan hasil usaha kita, melainkan anugerah yang diberikan kepada kita. Oleh sebab itu, bahkan juga pada saat-saat paling sulit dan rumit, selain memahami apa yang sedang terjadi, terutama kita harus kembali kepada kasih-Nya. Perkembangan memerlukan perhatian akan hidup rohani, pertimbangan serius atas pengalaman iman akan Allah, persekutuan rohani dalam Kristus, kepercayaan akan penyelenggaraan dan belas kasihan ilahi, kasih dan pengampunan, penyangkalan diri, penerimaan orang lain, keadilan dan perdamaian" (CiV 79).
Kendati tampak dan terasa sedikit mengerem langkah kemajuan penerapan Konsili Vatikan II oleh Gereja Universal untuk kembali ke sumber-sumber iman dan tradisi iman, namun dalam banyak wacana Paus Benediktus XVI justru merupakan afirmasi dan penegasan Konsili Vatikan II dan ajaran-ajaran sosial pasca Konsili dengan bekal rohani yang lebih kuat dan mantap dalam kesetiaan pada prinsip-prinsip utama, teologis, moral maupun pastoral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar