Daftar Blog Saya

Selasa, 31 Januari 2023

GEREJA KATOLIK CONGO DAN SUDAN SELATAN

 


Kemarin Paus Fransiskus mengunjungi Basilika Santa Maria Mayora untuk mempersembahkan kunjungan apostoliknya yang ke-40 di Republik Demokrasi Congo dan Sudan Selatan yang dimulai hari ini, 31 Januari 2023, kepada Bunda Maria untuk damai sejahtera umat Allah di kedua negara.

Rencana kunjungan Paus di Afrika ini sudah tertunda sekali di tahun 2018, setelah hari doa khusus untuk Congo dan Sudan 23 November 2017 di Basilika St Petrus Vatikan, dan direncanakan kembali sejak Juli 2022. 

Lihat juga: Harapan Perdamaian Untuk Congo

Kunjungan Paus Fransiskus di Republik Demokrasi Congo akan berlangsung dari hari ini 31 Januari 2023 menuju Kinshasa hingga 3 Februari 2023, kemudian setelah perpisahan di Bandara NDjili dilanjut kunjungan melalui Bandara Juba, dalam rangka kunjungan ekumenis bersama Moderator Dewan Gereja Skotlandia di Sudan Selatan 3 Februari 2023 hingga 5 Februari 2023.


Lihat: Agenda Kunjungan Paus Fransiskus di Congo dan Sudan Selatan

Gereja Katolik Congo sudah berusia lebih dari 500 tahun sejak 1491, merupakan yang tertua di kawasan di bawah Gurun Sahara. Gereja hadir di antara kaum muda Congo; panggilan berkembang; aktivisme awam Katolik dan kehadirannya yang tersebar luas di masyarakat dan di media. 

Fitur penting dari Gereja Kongo adalah aktivisme awam, dengan beberapa asosiasi dan gerakan awam berkumpul di Dewan Kerasulan Katolik Awam (CALCC), banyak katekis dan pria dan wanita awam memberikan kesaksian tentang iman mereka di bidang politik, ekonomi dan bidang budaya. Kaum awam di memberikan kontribusi signifikan untuk vitalitas Gereja lokal, dengan secara aktif terlibat di bidang komunikasi, dengan lebih dari 30 stasiun radio, beberapa saluran televisi keuskupan, surat kabar dan publikasi. Selain itu, Gereja Katolik Congo merupakan aktor sosial terkemuka sebagai mitra utama Negara di bidang pendidikan dan kesehatan, dengan menyediakan layanan publik melalui jaringan rumah sakit, pusat sosial dan sekolah terkenal.


Di sisi lain, Gereja Katolik Congo juga menghadapi beberapa tantangan. Keyakinan dan praktik takhayul, santet dan sihir masih tersebar luas bahkan di komunitas Katolik. Selanjutnya, ada sekte katolik independen menyebar di negara ini. Tantangan penting lainnya adalah mencegah kaum muda terlibat dalam kekerasan geng dan keikutsertaan mereka dalam beberapa gerakan milisi yang bertempur di daerah konflik, yaitu di bagian timur negara itu.

Total 4.602 ada imam melayani di hampir 1.500 paroki dan 48 keuskupan, dan juga banyak imam Fidei Donum Congo yang bekerja di Afrika, Eropa dan Amerika. Mereka dibantu sekitar 11.000 religius pria dan wanita Congo yang terlibat dalam berbagai bidang reksa pastoral. 

Selama tiga puluh tahun terakhir, Konferensi Waligereja Nasional Congo (CENCO) mengawal dengan cermat situasi sosial-politik lokal di saat-saat kritis, melawan korupsi yang meluas, tata kelola yang buruk, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak berwenang. CENCO juga mempromosikan prakarsa  mendidik warga Congo dalam nilai-nilai perdamaian dan demokrasi, dan mendorong umat awam untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik nasional. Gereja Katolik melibatkan diri dalam penyelenggaraan pemilu nasional dengan pemantaunya sendiri, dan telah menegaskan kembali perlunya menjamin independensi Komisi Pemilihan Nasional (CENI) demi mencegah perselisihan yang terjadi di setiap putaran pemilu.

Selama beberapa tahun terakhir, para Uskup Congo mengulangi seruan untuk perdamaian di provinsi-provinsi Timur, terutama di Kivu Utara, mengecam kehadiran pasukan asing yang terus mengacau kawasan itu dengan kekerasan dan secara ilegal mengeksploitasi kekayaan mineral Congo, termasuk coltan, komponen untuk perangkat elektronik.

Sedang Gereja Katolik Sudan mempunyai jejak awal Kekristenan yang pertama kali dibawa ke wilayah ini oleh Gereja Bizantium Konstantinopel pada abad keenam. Gereja lokal kemudian beralih ke Patriarkat Koptik Aleksandria. Namun dengan berakhirnya Kerajaan Kristen Nubia, pada awal abad keempat belas, terjadi pula kepunahan total agama Kristen di Sudan, dengan hanya meninggalkan sedikit komunitas Fransiskan yang tersisa di wilayah tersebut. Misi Gereja Katolik dirintis kembali pada akhir abad ke-19 oleh misionaris Italia St. Daniel Comboni (1831-1881), pendiri Misionaris Hati Yesus dan Kongregasi Bunda Suci Nigrizia, juga dikenal sebagai Suster Misionaris Comboni, yang mengelola untuk mendirikan kembali Gereja di Sudan, khususnya di Sudan Selatan sampai sekarang.

Aktivitas misionaris intensif memungkinkan agama Katolik berkembang dengan semakin cepat antara tahun 1901 dan 1964, menguatkan identitas nasional rakyat Sudan Selatan, yang berbeda dari populasi Arab dan Muslim di Sudan Utara.

Perlawanan sengit terhadap kebijakan islamisasi dan arabisasi yang dilakukan rezim Khartoum setelah kemerdekaan Sudan dari kekuasaan Anglo-Mesir, memicu gerakan separatis yang menyebabkan dua kali perang saudara yang melanda negara tersebut antara tahun 1955 -1972 dan 1983-2005, dan berakhir dengan kemerdekaan Sudan Selatan yang mayoritas Kristen pada tahun 2011, setelah referendum.

Saat ini, lebih dari setengah populasi Sudan Selatan diyakini beragama Kristen, dengan angka dominan umat Katolik, yang mewakili sekitar 52% populasi, diikuti oleh Anglikan, Presbiterian, dan denominasi Protestan lainnya, sedangkan Ortodoks (Koptik, Etiopia dan Yunani-Ortodoks) berjumlah kurang dari 1%. Ada juga sejumlah besar pengikut agama asli tradisional Afrika (yang menurut beberapa sumber sebenarnya adalah mayoritas). Konstitusi Sudan Selatan secara eksplisit mengakui kebebasan beribadah dan persamaan agama, dan Sudan Selatan memiliki hubungan diplomatik dengan Tahta Suci.

Selama sepuluh tahun terakhir para uskup, misionaris, dan pemimpin Kristen lainnya telah menyampaikan seruan tanpa henti untuk solusi damai atas konflik bersenjata, yang tersulut dari pertikaian antara dua rival ketika Presiden Salva Kiir (seorang etnis Dinka) dan Wakilnya  diberhentikan. Presiden Riek Machar (suku Nuer), segera meredam karakter etnis kesukuan, yang melemahkan institusi Sudan Selatan oleh perpecahan historis antar suku dalam komunitas Sudan Selatan.

Seruan  pada Juli 2017 dikeluarkan Ketua Konferensi Waligereja (SCBC), Uskup Edward Hiiboro Kussala dari Tombura-Yambio, dalam rangka peringatan enam tahun kemerdekaan. Pesan tersebut menyerukan penghentian total pertempuran, menindaklanjuti  penandatanganan Perjanjian Resolusi Konflik di Republik Sudan Selatan (ARCSS), pada Juli 2016 setelah mendesak pihak-pihak sepakat  melaksanakan dialog nasional baru yang diusulkan oleh Presiden Kiir. Semua orang Sudan Selatan  berdoa tanpa henti mengharapkan perdamaian.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar