Kemarin suatu halaman WAG berdiskusi soal hukum. Campur-campur komen yang diposting. Ada kecenderungan manusiawi untuk mengadili. Pengadilan manusia tentu punya sumber. Salah satunya adalah iman akan Allah. Maka sungguh salah jika seseorang menempatkan diri justru melampaui Allah, bahkan mengadili Allah. Maka ketika ditempatkan pada kalangan yang berada dalam ranah iman, kiranya perlu renungan lebih mendalam tentang mengadili dan keadilan dari sisi iman. Semalam saya mengusahakan pendalaman prinsip keadilan yang bersumber pada Allah. Semoga berguna.
Sifat pemerintahan Allah adalah adil. Dengan adil Ia memberikan pahala atau hukuman. Dari awal mula, Kitab Suci menyatakan dengan jelas bahwa manusia mempunyai tanggungjawab atas segala tindakannya. Ketika Allah memberikan perintahnya yang pertama kepada Adam, Ia juga menyatakan adanya konsekuensi: “sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau akan mati” (Kej 2:17). Sepanjang Kitab Suci, entah dalam cerita atau dalam hukum, terdapat prinsip dasar yang berlaku, “apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (Gal 6:7). Karena Allah pada hakekatnya adalah adil, keputusannya selalu adil (Kej 18:25; Ul 1:9-18; Yer 11:20). Seluruh tindakan manusia tunduk pada keadilan ilahi, pikiran kita (1 Kor 4:5), perkataan (Mat 12:36), dan perbuatan kita (2 Kor 5:10).
Tetapi dasar keputusan keadilan Allah bukanlah menghukum.
Melainkan terutama mendidik. Tujuannya adalah mengubah pribadi manusia. Di
dalam Im 26, misalnya, Allah mengawali dengan menyatakan akibat positif dari
melaksanakan perintahnya (Im 26:3-12). Jika orang gagal, ia akan berhadapan
dengan suatu balasan “tujuh kali lipat”[1]
– serangkaian hukuman yang bertambah-tambah beratnya. Yang pertama adalah
teguran lembut (Im 26:14-17) yang berfungsi sebagai panggilan agar bertobat.
Jika pendosa tetap melakukan pelanggaran, maka konsekuensi yang dihadapi akan
lebih besar (Im 26:18-20), namun sasarannya tetap sama: pertobatan. Jika ia
masih nekat juga, hukumannya akan semakin berat lagi (Im 26:21-22). Namun Allah
masih mengharapkan mereka bertobat. Hanya dengan situasi kutuk dari Im 26:27-39
Ia mengarah pada pembinasaan. Sekalipun begitu, ketika orang kehabisan asa,
“apabila mereka ada di negeri musuh mereka, Aku tidak akan menolak mereka dan
tidak akan muak melihat mereka, sehingga Aku membinasakan mereka dan
membatalkan perjanjianKu dengan mereka, sebab Akulah Tuhan, Allah mereka” (Im
26: 44).
Dengan demikian, balasan “tujuh kali lipat” itu sebenarnya
adalah belas kasih pengampunan “tujuh kali lipat”. Hakim yang adil sangat
sabar, keputusannya korektif membangun, ditujukan lebih pada perbaikan ketimbang menyakitkan.
Allah tentu saja juga memberikan hukuman pada manusia, tetapi
selalu dengan didahului peringatan yang didasari belas kasihan. Para nabi
sering mengumumkan datangnya semacam “hari Tuhan” (misalnya Am 5:18-20; Zef
1:14-16), yaitu campur tangan Allah secara desisif menentukan dalam sejarah
manusia. Lebih-lebih lagi, para nabi sering memohonkan ampunan bagi para
pendosa, dengan harapan agar dapat menunda Allah turun tangan menjatuhkan
hukuman (mis Kej 18). Dan jika hari semacam itu datang juga, Allah menghukum
yang jahat, bukan orang benar, yang dari jenisnya dipertahankan “sisa-sisa”.
Di dalam Perjanjian Baru prerogatif ilahi ini, pengadilan, ada di tangan
Yesus. Dalam Mat 24-15, Yesus menyatakan diri sebagai hakim bagi Yerusalem, dan
kemudian hakim untuk seluruh umat manusia. Dalam Injil Yohanes dengan lugas Ia
menyatakan: “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi....” (Yoh 9:39), dan,
“Bapa....menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak” (Yoh 5:22). Di
dalam Kisah Para Rasul, Paulus juga mengenal Kristus sebagai “seorang” yang
telah ditentukan oleh Allah “dengan adil akan menghakimi dunia” (Kis 17:31).
Kristus sendiri akan menghakimi orang-perorangan berdasarkan perbuatannya:
“Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap
orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya
dalam hidupnya, baik ataupun jahat” (2 Kor 5:10, lihat juga Rm 2:6).
Keputusan keadilan Tuhan terpetakan di dalam sejarah dan
pada pelaksanaan sejarah. Sifatnya historis (misalnya kehancuran Yerusalem yang
telah dinubuatkan); liturgis (misalnya 1 Kor 11:28-32), dan eskatologis
(misalnya Mat 25; Why 20:11-12). Di dalam sejarah, Yesus membagikan kuasa
keadilanNya itu kepada hirarki Gereja: “apabila Anak Manusia bersemayam di
takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas
dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Mat 19:28; lih juga
Luk 22:30).
Yohanes melukiskan pengadilan Tuhan dengan serangkaian paradoks
atau kontradiksi yang jelas. Ia menyatakan: “Allah mengutus Anak-Nya ke dalam
dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia”
(Yoh 3:17; bdk juga Yoh 12:47). Pada waktu yang sama, Yesus menyatakan: “Aku
datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat,
dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta” (Yoh
9:39). Sepertinya, Tuhan tidak menghakimi (Yoh 5:22) tetapi jelas Tuhan adalah
hakim (Yoh 8:50); Yesus menyatakan bahwa Ia tidak menghakimi (Yoh 8:15; 12:47)
tetapi juga menyatakan bahwa Bapa tidak menghakimi karena telah menyerahkan
wewenang penghakiman itu kepada Anak (Yoh 5:22).
Kontradiksi-kontradiksi itu hanya tampaknya saja; Yohanes
menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang menentukan hasil dari penghakimannya
sendiri. Ayat-ayat kuncinya adalah di dalam Yoh 3:16-21, yang menyatakan kepada
kita bahwa Yesus tidak menghakimi dunia melainkan menyelamatkannya (bdk Yoh 8:15
dan 12:47). Tetapi serentak dengan itu, Yesus datang ke dunia membawa
pengadilan. Dosa “penguasa dunia ini” telah dihukum (Yoh 16:11). Mereka
yang tidak percaya – yang menolak keselamatan yang diberikan oleh Yesus – menjatuhkan
hukuman atas dirinya sendiri (Yoh 3:18). Iman adalah anugerah dari Tuhan (Yoh
6: 37, 44) yang secara bebas diterima atau ditolak (Yoh 6:66-70). Dunia dihukum
pada saat ini juga, di dalam penolakan atas Yesus, dan Yesus merupakan titik
fokus pilihan, dasar dan tujuan pengadilan. Maka sungguh dapat kita katakan
bahwa Allah tidak menghakimi, namun orang yang tidak percaya tetap dihukum oleh
tindakannya sendiri yang tidak percaya (Yoh 3:18; 5:24).
Pengadilan
juga merupakan tema utama di dalam Kitab Wahyu. Pengadilan dalam Kitab Wahyu
sering menakutkan, kaya dengan simbol-simbol, perutama pengadilan, binatang
buas, pengadilan iblis, pengadilan orang mati (Why 19:11—20:15). Pengadilan
dunia dimulai dengan dibukanya tujuh meterai (Why 6:1
– 8:5), yang berisi gambaran-gambaran yang hidup tentang empat penunggang kuda,
yang merupakan simbol pengadilan ilahi atas perang (kuda putih), pertumpahan
darah (kuda merah), kelaparan (kuda hitam), dan kematian (kuda hijau-kuning)
(Why 6:1-8). Siklus pengadilan dilengkapkan dengan ketujuh sangkakala (Why
15:1-16:21), yang memuncak dengan Pengadilan Terakhir (Why 20: 11-15; bdk Mat
25:32-46) (KGK 633-635; 677; 1038-1041).
Akhirnya, sementara Perjanjian Baru dengan jelas berbicara tentang
Pengadilan Terakhir, ia juga bicara tentang suatu jenis pengadilan yang khusus:
langsung setelah kematian, keputusan kekal atas setiap jiwa yang terpisah
ditentukan oleh keadilan Tuhan. Perumpamaan tentang Lazarus yang miskin dan
kata-kata Kristus kepada pencuri yang baik di atas Salib jelas merujuk kepada
jenis pengadilan khusus itu (Luk 16:22; 23:43; Mat 16:26; 2 Kor 5:8; Flp 1:23;
Ibr 9:27; 12:23; bdk Kis 1:25; Why 20:4-6, 12-14) (KGK 1021-1022).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar